Tuesday, February 21, 2006

Seandainya Kamu Nggak Suicide

Seandainya kamu nggak nulis "Suicide Letter" di atas ....Mungkin masih bisa kamu nikmati usia 39-mu pada 20 Februari kemarin..., mungkin kamu masih menjadi seorang rockstar. Aku masih mendengarkan karyamu, meskipun kamu harus me-rewind kehidupan pedih pribadi-mu untuk menciptakan lagu2-mu...

It's better to burn out than to fade away......

Friday, February 17, 2006

Untittled Story

Kemarin, pulang kantor aku langsung ke sebuah mall terdekat. Nggak ada 10 menit-lah kalau naik motor. Ada sesuatu yg harus kubeli di sebuah toko buku di tempat tersebut. Well....eventhough I hate mall, I had to go there anyway!

Nyampe depan pintu masuk Mall, seorang Satpam menghentikan-ku : "Tolong buka tas-nya, Mbak." Memang, I saw clearly sebuah sign dengan tulisan "MAAF, ADA PEMERIKSAAN TAS" Nggak masalah sih dengan perintah Satpam Mall tersebut, I'm not terorist, bukan pula pembawa bom bunuh diri, bukan pula preman yang bawa senjata tajam, pun bukan pemakai hal2 lain yg terlarang.

Selesai periksa tas-ku (dan nggak menemukan sesuatu-pun yang mencurigakan di dalamnya. Ya iyalah!), I said : "Sudah, Pak?" Sang Satpam tadi cuman mengangguk (plus muka jutek), tanpa mengucapkan terima kasih. Hehe, aku nggak butuh ucapan terima kasih...cuman...ah sutralah! Nggak penting kok!

Ini untuk kesekian kalinya, setiap kali aku pergi ke Mall tersebut, Satpam memeriksa tas-ku (dalam hal ini, nggak hanya periksa pake metal detector, tapi lengkap dengan membuka tas segala!). Sekali lagi nggak masalah buatku…jika semua pengunjung Mall tersebut diperlakukan sama dalam hal ini tas bawaannya diperiksa oleh Satpam dengan alasan prosedur keamanan pastinya. Tetapi ini? Dengan mata kepalaku sendiri kulihat dengan jelas…banyak pengunjung (yang bawa tas tentunya) dengan enaknya masuk ke Mall tersebut tanpa teguran atau perintah dari Satpam untuk pemeriksaan tas bahkan di-metal detector pun enggak! Apa penampilan dan gaya-ku memang pantas dicurigai ya? Mirip teroris, kayak preman, kayak bandar narkoba? Hahaha... kasihan deh gua! Sudahlah! Sekali lagi nggak penting...biarin aja, toh si Satpam tadi cuman men jalankan prosedur keamanan (meskipun cuman setengah-setengah)

Ngomong2 soal eksterior (baca : penampilan dan gaya), aku pernah punya pengalaman yang...asli nge-bete'in. Sudah lama sih terjadinya, sekitar bulan Oktober 2005. Waktu itu aku baru pulang dari site pengeboran di Halmahera. Setelah naik chopper dari lokasi tambang selama lebih dari 1 jam, aku sampai ke Bandara Sam Ratulangi Manado. Sialnya, aku nggak bisa nerusin langsung ke Jakarta karena penerbangan ke sana pada jam terdekat sudah full semua. Tiket yg kupunya sebenarnya sudah confirmed untuk sebuah tanggal di minggu depan, tapi karena suatu hal aku harus segera pulang ke Jakarta esok hari. Aku coba nyari penerbangan lain, tapi entah ada apa dengan hari itu...semua penerbangan full! Males untuk stay semalam di Manado, akhirnya dengan sedikit terpaksa aku upgrade tiket ekonomi-ku ke kelas bisnis pada penerbangan jam setengah tujuh malam, dan itu adalah satu-satunya seat yang kosong. Lumayan juga duit yang kukeluarin untuk upgrade, tapi... aku sudah pengen cepet2 pulang ke Jakarta.

Berjam-jam aku harus nunggu di Bandara. Bentuk dan rupaku mungkin sudah sangat kucel dan kumel. Jeans belel, kaos oblong, safety shoes yang agak berlumpur, kulit tubuh yang jadi item, belum lagi bau mesin bor... hehehe ( Ya iyalah...namanya juga pulang dari lapangan, bukannya piknik, hehe...).

Aku naik pesawat G****A (yg notabene adalah penerbangan kelas satu di negeri ini), tapi apa yang aku rasakan di dalamnya sungguh...nggak enak banget. Ceritanya begini :

Ketika diumumkan bahwa penumpang dipersilahkan untuk naik pesawat, dengan semangat empat lima aku langsung bergegas. Cita-citaku cuman satu, aku pengen tidur secepatnya! Capek banget rasanya! Dan bener, segera setelah aku temukan seat sesuai nomor yang tertera dalam boarding pass-ku, aku langsung duduk dan bersiap untuk tidur. Tapi ada yang aneh, seorang pramugari ngeliatin aku terus. Aku nggak tahu apa yang salah, setahuku tempat duduk yang ku-duduki memang sesuai. So what? Akhirnya, mau nggak mau aku perhatiin diriku dan sekelilingku. Yach... ada yang aneh, hampir semua yang duduk di kelas bisnis ini adalah Bapak-Bapak berdasi dan berjas resmi, sementara Ibu-Ibu nya rambutnya ber-sasak tinggi! Style para pejabat atau orang2 kaya gitu deh! Aku jadi tertawa sendiri, karena aku mungkin jadi satu-satunya orang "ter-aneh" dalam kelas bisnis tersebut gara-gara eksterior-ku ...(lihat deskripsinya di paragraf sebelumnya). Tapi sudahlah, sekali lagi nggak penting!

Tetapi...hal ini tiba-tiba menjadi sangat penting ketika pramugari yang sedari tadi negliatin aku itu berucap begini : "Mbak, bisa lihat boarding pass-nya?"
Tanpa nanya lebih lanjut, aku tunjukin boarding pass-ku (aku tahu banget, aku telah duduk di kursi yang tepat). Si pramugari tsb kemudian membawa boarding pass-ku. Aku jadi mikir, apa sih maksudnya? Sebentar kemudian dia kembali ke aku, memberikan boarding passku dan mengucapkan sederet kalimat yang sumpah nggak bakal kulupa seumur hidupku : "
Maaf, saya kira petugas check in telah salah ngasih nomor tempat duduk ke Mbak."

Oh My God! Apa dia bilang barusan? Dia mengira bahwa petugas check ini telah salah ngasih nomor tempat duduk? Please deh, jelas-jelas aku dah bayar untuk kelas bisnis, jelas2 seat yg ku-duduki sudah bener, ini bukan pertama kalinya aku naik pesawat dan aku tahu persis mana kelas ekonomi dan mana kelas bisnis! Lha kok bisa2nya si pramugari mengira bahwa petugas check in telah salah ngasih nomor tempat duduk ke aku. Asli nyesek banget! Mentang2 eksterior-ku lagi kucel n kumel, beda sama Bapak2 & Ibu2 di kelas ini...lalu dia anggap aku nggak layak duduk di kelas bisnis? Please, aku lagi capek banget, bisa saja aku marah dengan ucapan dia yang lumayan... "menyinggung" diriku. Tapi sudahlah...ngapain marah, aku capek...dan aku hanya pengen tidur. Aku mencoba tetap tersenyum pada pramugari tersebut (aku kan baik hati dan tidak sombong, dan blas nggak punya niatan sama sekali untuk memasukkan "peristiwa" ini ke rubrik Surat Pembaca di koran.). Gilanya, nih pramugari-nya bukannya senyum balik, tapi tetep berwajah jutek (dan aku tahu, bahwa pramugari tsb, yang barusan minta boarding pass-ku, yang "mencurigaiku" adalah bukan pramugari untuk kelas bisnis, tapi kelas ekonomi!). Sudahlah, untung saja pramugari yang di kelas bisnis sangat ramah, terlalu ramah malah! Bahkan terus nawarin ini-itu yang agak nggak penting menurutku!

Sunday, February 05, 2006

By The River Piedra I Sat and Wept...


Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan tersedu. Ada sebuah legenda bahwa semua benda yang jatuh ke dalam air sungai ini - dedaunan, serangga, bulu burung - akan berubah menjadi bebatuan yang membentuk dasar sungai. Jika saja aku bisa mencabut hatiku dan melemparkannya ke dalam arus, maka pedih dan rinduku akan berakhir, dan akhirnya aku bisa melupakan semua.

Di tepi Sungai Piedra aku duduk dan tersedu. Udara musim mendinginkan air mata di pipiku, terjatuh ke dalam air dingin yang mengalir melewatiku. Di kejauhan, sungai ini bertemu sungai lain, lalu yang lain, hingga-jauh dari hati dan pandanganku-semua alir sungai menyatu dengan laut.

Semoga air mataku mengalir sejauhnya, agar ia takkan pernah tahu bahwa suatu hari aku pernah menangis untuknya. Semoga air mataku mengalir sejauhnya, agar bisa kulupakan Sungai Piedra, biara, gereja di Pegunungan Pyrennes, kabut, dan jalanan yang telah kami lalui bersama.

Akan kulupakan jalanan, pegunungan, dan padang-padang dalam mimpiku-yang takkan pernah menjadi nyata.

Aku ingat "momen magis" ku - saat sebuah ucapan "ya" atau "tidak" bisa mengubah hidup seseorang selamanya. Rasanya seperti telah lama. Sulit dipercaya baru kemarin telah kutemukan kembali cintaku, lalu kehilangan dirinya.

Aku menulis kisah ini di tepi Sungai Piedra. Tanganku membeku, kakiku mati rasa, dan setiap menit aku ingin berhenti.

Ia pernah bilang, "Hiduplah. Mengenang hanya untuk orang lanjut usia,"

Mungkin cinta membuat kita tua sebelum saatnya atau kembali muda, jika masa belia telah lewat. Tetapi bagaimana mungkin saat-saat itu tak kuingat? Itu sebabnya aku menulis-mencoba mengubah sedih jadi rindu, sepi jadi kenangan. Agar s elesai bercerita, aku bisa melemparkannya ke Sungai Piedra. Di saat itulah – seperti kata salah seorang santo - air akan memadamkan api yang telah ditulis nyala api.

Semua kisah cinta sama saja.....

------------------------------------------

Aku menyerah. Sisi feminin dari diriku akhirnya telah menggerakkan jemari ini untuk menuliskan prolog dari novel karya Paulo Coelho tsb ke dalam blog-ku, and I don't know why....