Wednesday, December 28, 2011

Memburu Masa Lalu...

Jadwal off kerja yang kebetulan berbarengan dengan liburan sekolah, kelihatan sangat sempurna. Travelling sekeluarga ke Solo-Jogja, jadi pilihan. Candi Sukuh, Cetho & Ratu Boko (again) di sana akan menjadi tujuan perjalanan kali ini. Bukan tujuan keluarga sebenarnya, tapi tujuanku egoisku (hehe). Beruntung aku memiliki ayah, ibu & adik yang sama-sama tahu bahwa aku adalah penyuka wisata candi.

Road trip pun dimulai. Dari Pekalongan, kami nginep dulu di Ungaran. Menghirup semalam udara segar kaki gunung Ungaran. Esoknya, perjalanan dilanjutkan lagi. Transit sebentar di Pasar Klewer Solo. Sebuah pasar yang entahlah, aku mungkin akan malas menginjakkan kaki di sana lagi gara-gara oknum beberapa pedagang yang memberiku kesan buruk atasnya. Sholat dhuhur di Masjid depan alun-alun. Masjid tua, tapi bangunan aslinya masih cantik.

Destinasi selanjutnya adalah Candi Sukuh. Tapi kemungkinan sampai Karanganyar sudah agak sorean, hujan deras juga mengguyur jalan. Sepertinya nggak bisa langsung ke tujuan. Dengan pertimbangan banyaknya hotel untuk bermalam, maka kami tak langsung menuju arah Ngargoyoso tempat dimana Candi Sukuh & Cetho berada, tapi kami berbelok arah ke Tawangmangu. Ah, lereng Gunung Lawu yang kini ternyata tak sedingin dulu...

Bonus mengunjungi Grojogan Sewu sebentar. Langsung tancap menuju Candi Sukuh dengan perjalanan dengan tanjakan-tanjakan yang lumayan. Sebuah candi yang cantik, bentuknya mirip piramida. Lay outnya sejenak mengingatkanku pada Candi Penataran di Blitar. Candi ini juga terkenal akan keberadaan arca yang agak saru, entahlah apa maksud nenek moyang kita membuatnya...





Dan jalan menanjak yang luar biasa adalah ke arah Candi Cetho. Alamak, ampun dah pokoknya. Thanks banyak buat adikku yang jadi driver dan sukses berjuang menuju ke sana hingga kakaknya ini bisa menyambanginya. Plus kedua orang tuaku yang tak henti berdzikir sepanjang tanjakan yang super duper mengerikan.

Yeah, sebuah candi di negeri di atas awan. Cantik. Bangunan candi di tingkat paling atas berbentuk piramida yang mirip seperti di Candi Sukuh. Dan layaknya saudara dengan Candi Sukuh, Candi Cetho ini juga menyimpan keerotisannya dengan sebuah relief yang saru juga...







Melintas perbatasan propinsi, perjalanan kami lanjutkan ke arah Yogyakarta. Sampai di Prambanan sudah sore. Gagal cita-citaku mengabadikan sunset di Prambanan karena loket masuk sudah tutup ketika sampai di sana.

Esoknya kami balik ke Candi Prambanan lagi. Suasana sudah seperti cendol di sana saking banyaknya pengunjung. Jadi males muterin Prambanan, alias langsung ikut Shuttle Bus dari Prambanan menuju Keraton Ratu Boko.

Keraton Ratu Boko, Candi tercantik sejauh ini menurutku. Setengah tahun lalu padahal baru saja dari sana, tapi sayang waktu itu nggak bawa kamera beneran alias cuma kamera hape hingga tak bisa mengabadikan kecantikannya secara sempurna. Dan kini aku kembali rindu mengunjunginya.

Langit mendung dan hujan rintik. Keraton Ratu Boko tampak makin sayu dalam keheningannya. Ah, sempet kepikir suatu hari nanti (entah kapan) aku bisa foto pre-wed di sini, hahaha! Sumpah, candi ini keren luar biasa! Imajinasi kita bahkan bisa bergerak bebas nan liar membayangkan bangunan-bangunan batu tersebut seperti apa dulunya...













Perjalanan pulang ke Pekalongan via Magelang. Sejenak say hay dengan Candi Mendut yang terlewati untuk menuju Borobudur. Nggak niat masuk ke kompleks Borobudur, suasananya juga udah kayak cendol karena pengunjung yang ramai. Jadilah hanya mampir beli bakso di deket kios souvenir/parkiran untuk mengganjal perut lapar. Sangat kecewa dengan kondisi lingkungan sekitar karena sampah berserakan. Sayang banget :-(

Ah, masih banyak Candi yang berserak yang ingin kusapa dan kunikmati keindahannya. Entah kapan bisa mblusukan, memburu masa lalu...mengais sisa kejayaan Nusantara dulu...!!!

Monday, October 10, 2011

Kembang Pete, Jilid II

Dear kehidupan,

Aku pengen complain. Complain pada pilihan hidupku sendiri. Semakin nyadar kalau pekerjaan ini terlalu "keras" buatku. Mungkin kulitku atau hatiku sudah sekasar badak hingga baru kerasa, atau memang Nilai Ambang Batas nya sudah mampu terlewati sehingga menjadi terbiasa?

Mereview lagi perjalanan. God, sudah sejauh inikah terlampaui...? Dari hutan belantara Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Sumatra Utara...dan pijakan-pijakan kecil di bagian pulau lainnya, hingga kini terdampar di lautan maha luas. Sudah sejauh inikah rentangan pekerjaan yang telah aku jalani selama ini? Aku kuat ternyata, tapi shit...apa yang telah terjadi denganku?


Apalagi yang kucari? Impian macam apalagi? Tantangan seperti yang bagaimana lagi? Kepuasan yang model kayak mana? Ketika hidup tanpa planning yang jelas kupilih, menikmati segala surprise di dalamnya, lalu bingung kan melanjutkan seperti apa. Aku sedang terjebak dalam perasaan yang sulit terdefinisikan. Kata "yach, dinikmati aja" pun tak lagi bisa terucap untuk menenangkan diri...

Hah! Maafkan aku jiwaku. Aku tahu kamu sudah lelah. Tunggu sebentar lagi ya...

Nyaris jam lima sore waktu samudra tak terbatas di Selat Makassar. Aku hanyalah seorang perempuan. Pernah jadi pemimpi, tapi kerap menjadi pecundang. Cita-citaku sederhana. Menggandeng anak-anakku kelak, menunggu papanya pulang. Mengantarkan mereka tidur dengan cerita kehidupan, bahwa dulu...Ibunya pernah pura-pura menjadi wanita tangguh. Membangunkan mereka dengan kecupan sayang. Menyiapkan sarapan dari tanganku sendiri. Memberinya bekal untuk berangkat sekolah...

Ah, sial...airmataku nyaris jatuh...

Weits, dah jam lima lebih...! Belum sholat Ashar!

(Dibaca dan dimaknai bersama Ujung Mimpiku... @Buar56, 8 Juli 2023)

Friday, September 30, 2011

Cerita dari Bromo

Maka Gunung Bromo-lah menjadi tujuan perjalananku dan Nia sahabatku kali ini. Tak ikut EO travel apapun dan hanya bermodal searching di internet tentang perjalanan ke sana. Bersyukur betapa informasi yang luar biasa banyaknya berhasil aku dapatkan di dalamnya.

Berangkat pagi-pagi dari Kost Pule Residence tercinta. Sudah niat harus naik ojeng dari depan gang untuk menuju Terminal Kampung Rambutan untuk mengejar Bis Damri jurusan Bandara Soekarno Hatta yang jam 5. Bolak-balik ngintip ke depan gang tetapi tak satupun tukang ojeg yang biasanya mangkal di situ ada. Ah, mungkin karena masih terlalu pagi, bahkan adhan subuhpun belum berkumandang. Dan benar, selesai adhan barulah muncul tukang ojeg di depan gang, itupun Cuma satu padahal kami berdua. Alhasil, kami berdua membonceng dengan hanya 1 ojeg. Jangan bicara safety, karena sama sekali nggak safety. Bahkan aku yang membonceng paling belakangpun duduk dengan posisi yang sangat tidak ergonomis. Tapi masih lebih parah Nia, karena naik ojeg pagi-pagi buta malah membuatnya jet lag dan agak-agak kurang sadar…(ha3x, piss Ni…!)

Bis Damri yang berangkat jam 5 pagipun terlewat sudah. Kami yang berangkat jam setengah enam. Kami nggak mungkin terlambat pesawat jam 06.50, pikir kami, karena Lion sudah sangat terkenal dan berkali-kali kurasakan delay-nya. Tapi ternyata di luar dugaan, ternyata pagi itu Lion terbang sesuai jadwal dan kami mesti lari terbirit-birit dari ke pesawat terbang untuk boarding. Sialnya lagi, aku dan Nia tidak duduk bersebelahan meski kami check in bareng. Maka jadilah kami duduk terpisah sepanjang perjalanan Jakarta ke Surabaya, menikmati dunia dan langit masing-masing selama kurang lebih 1,5 jam.

Sampailah kami Bandara Juanda Surabaya. Hmm, ini kali kedua aku injakkan kakiku di Bandara ini. Sesuai catatan rute, maka kami akan naik Bis Damri jurusan Terminal Bungurasih.

Rasa lapar melanda karena kami belum sarapan. Kami memilih untuk sarapan sebentar di warung soto di kompleks terminal. Busyet dah, seperti inikah soto daging khas Surabaya? Alamak…dagingnya besar-besar dan banyak pula, mana langsung dicampur dengan nasinya. Eh, ada yang salah pesen teh. Ha3x, ini bukan Jakarta yang mesti harus bilang teh manis kalau mau pesen teh dengan gula. Tahukah berapa rupiah kami habiskan untuk 2 mangkuk soto daging dan 2 gelas teh hangat? Rp. 50.000 bos, mahalnya! Ya sudahlah, mau apalagi, nasi sudah kadung masuk lambung, wkwkwk!

Kami melanjutkan perjalanan ke Probolinggo dengan menggunakan bis ekonomi. Perjalanan rasanya begitu ternikmati karena kami sama-sama baru melihat pemandangan sepanjang Surabaya-Probolinggo. Ah, seandainya kami bisa turun sebentar saja di tanggul lumpur Lapindo dan melihat isinya.

Setelah perjalanan sekian jam, tibalah kami di Terminal Bayu Angga Probolinggo. Nanya sana-sini tentang angkutan yang menuju Bromo, ternyata angkutan tepatnya minibus tersebut berada di area luar terminal. Minibus masih kosong, sang supir meminta kami untuk menunggu. Entah sampai berapa lama minibus tersebut dapat full dan segera beranjak menuju Bromo. Dan yeah, berjam-jam kami seperti dua orang aneh yang menunggu sesuatu yang tak pasti. Duduk di depan warung bakso dan tukang buah. Nggak enak Cuma numpang duduk, akhirnya Nia berinisiatif untuk membeli buah jeruk, yang mesti agak asem tapi lumayan membuat rasa nggak enak kami pada penjual buah tebayar. Menunggu, masih menunggu. Ditemani lagu “Cinta Satu Malam” yang mengalun keras dari warung soto/bakso, akhirnya aku keluarkan jurus pemusnah rasa bosa, alias kamera dan tripod. Lalu seperti orang gila, kami sibuk foto-foto nggak jelas.

Ups, ada yang terlewat dalam cerita (sorry, Nia). Datanglah seseorang, raut muka Asia tapi bukan Indonesia, dengan rucksack besarnya menuju minibus. Sepertinya dia juga akan ke Bromo. Cerita selanjutnya dengan orang Jepang yang ternyata bernama Yuki ini, sepertinya sangat membekas di hati Neng Nia (ehm…).

Akhirnya, setelah ada 8 penumpang, minibus yang bertuliskan “Ambisi” di sisi kanan bodinya itu meluncur penuh ke Bromo. Wahai sesuatu yang telah lama terindukan…here I come!!!

Pemandangan sepanjang perjalanan lumayan memukai, sayang kelihatan agak gersang karena musim kemarau atau efek dari erupsi gunung beberapa waktu lalu.

Kami berhenti tepat di depan Café Lava, hotel yang sudah kami pesan kemarin. Turis Jepang gebetannya Neng Nia nggak bisa nginep di situ karena kamar kelas ekonomi sudah penuh dan tinggal kamar kelas superior dengan harga enam ratusan ribu lebih, begitupun 3 penumpang lain yang seperjalanan dengan kami.

Udara dingin mulai berasa. Begitupun lapar yang mendera. Selesai meletakkan barang-barang di kamar kami segera pergi ke warung terdekat. Tak lupa janjian dengan si Aa’ Yuki. Dan obrolan seru Neng Nia dan Aa’ Yuki, membuatku merasa menjadi obat nyamuk saja! Ha3x.

Menikmati sunset tak boleh terlewat. Café Lava jaraknya sangat dekat dengan pintu gerbang wisata Bromo dan dengan mudahnya akses kami menikmati pemandangan gunung-gunung di depan selama senja, dilanjutkan dengan jalan menuju lautan pasir. Indah luar biasa. Meski harus ditebus dengan jalan pulang kembali yang menanjak ketika pulangnya. Efek positifnya adalah kami nyenyak tertidur sehingga nggak merasa ngantuk meski nanti harus bangun jam 2 pagi untuk persiapan melihat sunrise dari penanjakan.

Semua atribut anti dingin telah dikenakan. Jaket, sarung tangan dan penutup kepala. Jam 03.30, hardtop yang akan membawa kami menuju penanjakan telah siap di depan hotel. By the way, Yuki juga ikut serta dalam hardtop tersebut. Ehm…Neng Nia jadi tambah semangat jalannya. Anjrit, senter terlupa masih di dalam tas satunya! Terpaksa kami beli senter di tengah jalan. Perjalanan menuju Penanjakan sangat ramai waktu itu. Nggak sebegitu jauh atau menanjak sebenarnya, tapi…kaki dan nafasku sudah tak sekuat dulu, jamannya berkelana di pedalaman Wedabay dan Martabe. Ah…!

Sunrise nyaris di depan mata ketika sampai di Penanjakan. Cari spot yang terbaik untuk membidikkan kamera. Bersaing dengan ratusan orang yang sudah menjejal area tersebut dengan kamera masing-masing. Jadilah pagi itu…aku menikmati matahari Bromo serta mengabadikannya dalam kamera, pun dalam hati (halah!). Ada sedikit yang mengganggu, bahwa hijaunya Bromo yang sering kulihat dalam foto-foto tak tampak lagi. Bukit Teletubbies, yup savanna itu kelihatan gersang, hiks…sayang. Tapi bagaimanapun pemandangan di depan mata ini tetap masuk di dalam kategori luar biasa. Weits…terdengar suara anak kecil merengek. Kutengok dan…anjrit, ada bayi kecil bule lagi digendong ama Papanya. Busyet, anak sekecil itu telah melahap indahnya Bromo dalam umurnya yang masih hijau, sementara aku…halah…sudah tua begini baru ternganga dan berhasil ke Bromo padahal ini terletak di Indonesiaku tercinta…

Puas berfoto-foto, kamipun turun kembali ke tempat hardtop yang telah menunggu. Sempat terjadi incident kecil ketika kami tak menemukan hardtop yang tadinya mengantar kami ke Penanjakan. Setelah bertanya kepada driver hardtop lain, ternyata hardtop yang pagi tadi membawa kami tersebut salah orang dan bukan kami yang seharusnya dijemput. Tapi syukurlah ada hardtop lain yang telah disiapkan. Tadinya kami berangkat Cuma bertiga, kini kami turun berenam. Trip selanjutnya adalah Kawah Bromo…

Aku dan Nia menjadi dua WNI yang ada dalam hardtop tersebut. Jadilah acara ngobrol dengan Pak Sopir dapat kami lakukan dengan gampangnya. Sementara 3 bule dan 1 Jepang mungkin hanya bisa garuk-garuk kepala mendengarkan ocehan kami.

Untuk menuju Kawah Bromo dapat dilakukan dengan jalan kaki atau naik kuda sampai di bawah tangga. Pak Supir menyatakan bahwa naik kuda hanya Rp. 60.000,- pulang pergi, yang punya kuda bakal nunggu si penumpang turun dari kawah Bromo. Well, Rp. 60.000 PP tak begitu mahal dibanding membayangkan energy yang harus dikeluarkan untuk menapaki lautan pasir menuju Kawah bromo. Jadilah kami deal, meski akhirnya kami kecewa karena info dari Driver Hardtop tadi ternyata salah banget! Rp. 60.000 hanyalah naik atau turun saja, kalau pulang pergi ya jadinya Rp. 120.000. Tahu gini kan naikknya aja yang pake kuda, turunnya jalan kaki tinggal meluncur. Sial…setelah soto daging di Surabaya kini kami kena pula di masalah kuda! Halah-halah…!

Tangga yang konon katanya berjumlah 250 menuju kawah Bromo itu kunaiki, minus Neng Nia yang nggak mau naik. Banyak tangga yang rusak (kurasa karena pengaruh erupsi), dan debu begitu penuh memenuhi lantainya, mana berjejal pula. Sesampai di Kawah Bromo…o…lubang besar dalam mengangga di depan mata. Mengingatkanku pada area open pit di tambang Batu Hijau. Bedanya, lubang terbuka di tambang dipenuhi lalu lalang haul truck dan aktivitas manusia, kalau lubang yang ini…gelap dan serasa tak berbatas, entah apa yang ada di dalamnya. Dalam perjalanan pulang turun tangga, eh…si bayi kecil tadi muncul lagi. Tampak tertidur pulas dalam gendongan Mamanya. So sweet….

Jam 8 pagi kesepakatan kami dengan Driver Hardtop untuk kembali.

Sampai di Café Lava, sarapan dulu. Giliran nasi pecel yang jadi santapan aku dan Nia. Si Yuki mencicipi gado-gado plus nasi tambahan. Telepon hotel yang kurencanakan untuk menginap di destinasi kami selanjutnya yaitu Malang. Tetapi malangnya pula, hotel tersebut telah full book untuk hari ini. Kenapa aku jadi lalai begini, seharusnya aku menyiapkan alternative-alternatif hotel cadangan. Nia kemudian telp temannya, dan ujung-ujungnya…planning awal kami akhirnya berubah. Kami tidak menginap di Malang, tapi di Blitar di salah satu temannya Nia.

Dengan Driver minibus yang sama seperti kemarin waktu ke Bromo, kami kembali ke Probolinggo. Ternyata aku dan Nia, menjadi dua WNI lagi di antara 13 penumpang dalam minibus. Dan tidak disangka ataupun diduga, si bayi kecil yang jadi perhatianku selama di Bromo juga satu minibus dengan kami. Si kecil, mama dan papanya, dan beberapa bule lainnya. Lengkap sudah. Sayang aku dan Nia duduk di depan, coba di dekat si bayi kecil itu…ih pasti sudah kucubit-cubit dia, kalau perlu minta ijin buat nggendong “Sir, could you please let me hold your son? He’s so cute!” Hahaha…!

Minibus yang kami tumpangi menyusuri jalan yang sama seperti berangkat kemarin. Tapi kali ini tak langsung ke Terminal Probolinggo melainkan berhenti di sebuah travel agent dulu. Ternyata bule-bule di belakang mau lanjut ke Kawah Ijen. Dan satu persatu bule itupun turun…dan…eng ing eng…tampaklah satu sosok yang anjrit…aje gile di depan kaca minibus tepat di depan mata kami. Itu pamannya si kecil! Gubraxxx, tenang-tenang! Jangan kelihatan norak, wkwkkw.

Sampai di Terminal Probolinggo. Aku, Nia dan si Yuki pun turun. Langsung cabut ke Malang. Malang akan jadi tempat transitan sebelum aku dan Nia ke Blitar, sementara si Yuki memang berniat bermalam di sana. Jadilah kami berpisah di Terminal Malang. Setelah sebelumnya mengantar si Yuki ke angkot warna biru jurusan AG yang akan mengantarnya ke Hotel Pajajaran Malang. Nia, jangan sedih ya…hehe!

Lanjut ke Blitar…dan perjalanan kami di Jatim akan berakhir di Surabaya. Ceritanya dilanjut nanti ya...

Wednesday, September 07, 2011

Curhatku, Hari Ini...

Hari pertama kembali melaut. Malas rasanya kerja lagi. Mak jegagig, rasa bosanpun menyapa. "Sampai kapan terus begini, Len?" Yeah, pertanyaan yang sama, selalu. Lalu apa yang mesti kujawab dengan pertanyaan hati kecilku tersebut? Aku nggak tahu. Semakin lama mengalir, rasanya malah makin terdampar dan tenggelam (tapi masih hidup, hehe).

Ada kalanya aku menikmati ini. Tapi kelelahan jiwa kadang tak mau kompromi. Kerap aku mengeluh. Keluhan yang kusampaikan pada deburan alun, ombak, pun angin yang menderu di samudera maha luas di depanku.

Kadang membayangkan sesuatu yang indah terjadi. Melamunkan kebahagiaan. Merangkai mimpi yang tak pernah berani aku wujudkan. Lalu aku akan kembali berseru pada angin "aku capek, bantu aku..."

Aku sedang menginginkan sebuah perubahan. Tapi apa daya, aku tak pernah tahu bagaimana merealisasikannya. Aku menunggu nasib baik menyambangiku, membawaku ke langit ke tujuh. Ah, betapa bahagianya aku...

Selamat terbang, Lena...
Jangan lupa memijak bumi lagi, ketika bahan bakarmu hampir habis...

Monday, July 11, 2011

Me & Ujung Mimpi

Kereta yang kutumpangi berhenti di stasiun Bekasi. Banyak penumpang yang turun. Pedagang asongan berebut naik. Penjual minuman, koran, asesoris hape, sampai gunting kukupun masuk ke gerbong kereta. Ramai. Tapi ada dua hal yang nyebelin tiap kali kereta ini berhenti di stasiun Bekasi sebelum akhirnya menuju stasiun terakhirnya di Pasar Senen. Pertama adalah beberapa ABG dengan dandanan ala punk yang suka jadi "tukang sapu" di gerbong. Sumpah nyebelin banget. Kereta ini sudah cukup bersih karena sudah ada petugas cleaning service-nya, dan para ABG dengan dandanan yang nggak jelas dan malah bikin aku ngeri kalau nggak ngasih duit. Satu hal lagi adalah anak-anak kadang juga ABG lagi yang mengedarkan amplop kecil dengan tulisan di atasnya yang isinya meminta uang sekedarnya untuk biaya keperluan sekolah. Entahlah, sudah ratusan kali aku naik kereta api dan aku masih menjumpai wajah-wajah pengedar amplop yang sama.

Tapi sore itu ada pemandangan baru di gerbongku. Seorang Ibu dan anak kecil perempuan yang mungkin masih berumur dua tahun. Sang Ibu membawa alat musik ala kadarnya yang terbuat dari tutup botol dan kayu yang kemudian ditepuk-tepuknya untuk mengiringi nyanyiannya. Si kecil membawa plastik bekas kemasan permen yang sepertinya untuk tempat duit bagi penumpang yang akan memberi. Mulanya hanya si Ibu yang bernyanyi, aku tahu itu lagunya Rhoma Irama. Tapi ketika refrainnya...alamak, anak kecil yang sepertinya baru belajar bicara itupun ikutan jadi backing vocalnya. Lucu tapi miris mendengarkan si kecil itu mengikuti ibunya menyanyikan ini :

"Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Sisa orang yang aku makan"

Ya Tuhan, anak ini belum bisa bicara lancar...tapi lagu apa yang ia nyanyikan? Lagu berjudul Gelandangan by Rhoma Irama? Bukankan anak sekecil itu seharusnya bernyanyi balonku, satu-satu aku sayang ibu, atau lagu naik kereta api tut tut tut? Bukan ikut ibunya mengamen di atas kereta, ikut bernyanyi yang bercerita tentang nasib dan kemudian dengan fasihnya kaki kecilnya berjalan dari satu tempat duduk ke tempat duduk lainnya sambil mengedarkan plastik untuk tempat recehan.

Kuusap rambut anak itu ketika ia menuju tempat dudukku. Kelenjar air mataku berproduksi lagi...

Entah kenapa akhir-akhir ini aku kerap menangis ketika di depanku tersuguh pemandangan yang berbau anak kecil...

Beberapa hari yang lalu. Di Musholla dekat rumahku. Seorang anak kecil laki-laki ikut sholat bareng ibunya di shaf perempuan. Lucu banget. Baru belajar sholat sepertinya. Aku tepat berada di belakangnya hingga semua gerak geriknya terpantau oleh mataku. Ketika sholat berakhir, si ibu mendudukkan anak laki-laki itu ke pangkuannya dan berujar begini; " Ayo, kita berdoa untuk kedua orang tua". Dengan cedalnya dia mengikuti ibunya "Robbighfirli waliwaalidayya war ham huma kamaa robbayaani soghiro, amin..."

Dan ya...kelenjar air mataku juga berproduksi dengan derasnya kala itu. Hingga aku memutuskan pulang duluan meski sang Imam belum selesai memimpin doa bersama selesai sholat. Aku nggak kuat melihat pemandangan surgawi sang ibu bersama anak kecil itu.

Esok pagi ku kan terbang ke Balikpapan, memulai kebali siklus hidupku yang tidak "normal" . Tapi aku sedang berpikir untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang semoga akan menjadikan hidupku normal seperti cita-citaku dulu sebelum terantuk pada sesuatu bernama tantangan.

Jiwaku sedang mulai berbenah. Bayangan buramku sudah mulai cerah. Aku sudah bersama Ujung Mimpiku. Untuk merangkai harapan baru...

(@Buar 56, 8 Juli 2023)

Friday, June 10, 2011

My Precious Birthday Gift

Dua minggu setelah peristiwa itu...

Tepat dua hari setelah ulang tahunku, siapa sangka aku mendapatkan kado yang luar biasa yaitu merasakan masuk ke rumah sakit, dioperasi dan mesti rawat inap. Pengalaman pertama sepanjang usiaku.

Di pilot jetty, saat berada di boat dan menunggu beberapa orang teman termasuk bosku menuju barge baru, tiba-tiba perutku sakit tak terkatakan. Bukan sakit masuk angin, atau sakit perut yang mengiringi diare, yang kurasakan saat itu seperti...entahlah, nyeri, seperti dipelintir-pelintir. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Aku pun muntah berkali-kali. Aku tak kuat lagi. Syukurlah, boat masih berada di pelabuhan hingga proses evakuasi ke klinik perusahaan cepat dilaksanakan. Setelah dilakukan pemeriksaan, aku di-suspect kena usus buntu hingga dirujuk ke rumah sakit.

Sampainya di rumah sakit, beberapa pemeriksaan masih harus kulalui lagi. Hingga didapatkan hasil bahwa selain usus buntu...sesuatu juga telah terjadi di indung telurku. Tuhan...!!!

Hal yang terberat adalah ketika aku mengabari orang tuaku. Aku tahu mereka pasti akan panik. Bagaimana tidak panik, aku sendirian di Balikpapan. Operasi dilakukan jam 9 malam. Aku sudah pasrah...apapun yang terjadi. Aku tanda tangan sendiri surat pernyataan untuk dilakukan tindakan operasi. Mengharap kemudahan Tuhan akan kelancaran semuanya. Dalam bius total, aku terlelap. Dan kolaborasi dokter obsgyn dan dokter bedahpun berlangsung di ruang operasi.

Semua kira-kira berjalan dalam 2 jam. Mataku terbuka ketika aku merasakan tubuhku diangkat kembali ke tempat tidur dan kulihat jam 23.15 di jam dinding warna putih di tembok warna putih itu.

Aku punya kista endometrium, kistaku pecah dan cairannya telah merendam usus buntuku. Begitulah yang terjadi...Siapa sangka? Yeah, aku tak pernah merasakan keluhan apapun sebelumnya. Tapi mungkin ini berhubungan dengan keluhan nyeri perut saat menstruasi yang sering kualami beberapa bulan terakhir. Kuanggap hanya biasa, toh paracetamol gampang meredakannya. Tapi...yeah, inilah yang terjadi.

Harus kuucapkan banyak terima kasih kepada seluruh teman, kawan dan sahabat yang telah memberiku bantuan dan support selama aku di rawat di RS Pertamina Balikpapan. Ayah dan ibuku...maafkan aku karena aku sempat jadi "bayi" lagi dan merepotkan kalian.

Hmm...rasanya masih ngilu sisa jahitan operasi ini. Masih terbayang mampukah aku kembali seperti sedia kala dengan aktivitasku semula di offshore...dan...(well, aku tak mau memikirkannya)

Buat Nia dan Nina, sorry rencana liburan kita harus ter-cancel. Juga buat Sofie, yang hari ini sampai dengan 3 hari mendatang seharusnya kita berada di Jogja and having fun.

Allah, I love you...

(@my home sweet home, di tengah masa recovery...)

Saturday, March 26, 2011

Revolusi dan Reformasi? Beda-kah?

Revolusi dan Reformasi? Beda-kah?

Bukan ikut-ikutan latah, mentang-mentang sekarang sedang ramai digemakan menuntut revolusi di PSSI. Seorang narasumber di sebuah acara TV ketika diwawancarai mengenai kondisi PSSI menyatakan "revolusi atau reformasi, apalah sebutannya...", tiba-tiba di-cut oleh narasumber lainnya. Narasumber yang meng-cut tersebut bilang "Tolong jangan disamakan antara revolusi dan reformasi, itu adalah dua hal yang berbeda. Revolusi adalah perombakan total, sedangkan reformasi cuma formatnya saja yang berubah tetapi bisa saja isinya adalah orang-orang lama." Well yeah...

Lalu, menganalogikan diri dengan PSSI...apa yang sebenarnya kubutuhkan sekarang? Revolusi atau Reformasi...??? Ha3x, entahlah!

(sedang terdampar di sebuah barge kecil dan tiba-tiba pengen complain. Well, padahal aku pernah merasakan yang lebih parah dibanding situasi ini...hehe)

Wednesday, March 02, 2011

Something about...

Tak banyak tempat yang kukunjungi di Balikpapan meski sebenarnya sudah satu tahun lebih aku selalu transit di kota itu setiap setiap kali mau naik ke offshore. Menghabiskan sore dan malam di hotel, sekedar jalan ke BC atau E-walk, rutinitas tiap kali transit yang sungguh terlalu membosankan. Kadang nongkrong sendirian di Taman Bekapai. Makan gorengan sambil melihat anak-anak kecil bermain, berlarian dan mandi di air mancur yang terletak di tengah taman itu. Tapi ternyata ada sebuah "surga" yang terintip olehku sore itu...

"Surga" yang terintip ketika angkot yang kutumpangi menuju kantor siang itu ternyata berbelok dulu ke dalam pasar Klandasan. Lokasi belakang pasar itu benar-benar menggoda imanku ketika...entahlah aku lihat semacam jetty di tepi pantai yang terletak di belakang pasar tersebut. Sepertinya tempat tersebut sangat menarik untuk hunting foto sore nanti, pikirku. Setelah boring duduk di Taman Bekapai dan tetap garing karena tak banyak anak-anak kecil yang bermain di situ, kecuali segerombolan anak muda yang malah foto-foto narsis di taman itu (ha3x), aku memutuskan untuk jalan kaki ke arah belakang pasar Klandasan untuk main ke "surga" yang telah kuintip siang tadi. Dan yeah...benar-benar "surga". Suatu tempat yang pasti kuakan betah berlama-lama di sana seandainya saja malam tak segera datang.

Jetty dari kayu tersebut ternyata menjadi arena memancing. Ramai tapi menyejukkan. Seorang ayah tampak memasang umpan untuk pancingannya ditemani istri dan kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Mereka tampak bahagia. Bidikan lensa kameraku mengikuti keluarga ini beraksi. Kegembiraan si kecil ketika si ayah dapat ikan, atau si kecil yang berpose buatku ketika kujepret ia. Nice! Tampak di seberangnya sebuah keluarga lagi dengan dua putri kembarnya. Dua orang anak kecil yang terus berlarian dan sesekali menawarkan umpan kepada orang-orang yang sedang mancing. Anak kecil yang malu-malu ketika kuambil gambarnya. Dan pemandangan-pemandangan indah lain yang menemaniku sepanjang sore itu, hingga senja dan kumandang maghrib menggema. Ah...

Ternyata Balikpapan tak membosankan. Ada "surga" yang bisa kunikmati menjelang malam di belakang pasar Klandasan...

Wednesday, February 23, 2011

Epilog Diri, Sore Ini...

Seharusnya aku tak seperti ini. Seharusnya sejak dulu aku tak begini. Sekarangpun seharusnya tak lagi. Apalagi di masa depan...
Aku telah salah memilih dan mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tak layak untuk diteruskan.
Dulu dan sekarang ternyata sama saja...
Mungkin aku sedang emosi hingga menulis seperti ini. Tapi memang begitulah, tak ada beda dalam kenyataannya.
Maafkan aku jiwaku...kelelahan masih terus menderamu.
Bukan maksudku membiarkanmu lama terluka dan tak berbuat apa-apa.
Entahlah apakah ada yang nyaris sempurna sesuai idealismeku.
Aku punya mimpi...masih terkatung, teronggok sepi.
Mungkin saatnya aku menepi, kembali menata ulang pemikiran dan hidupku ini.
Semoga tak salah ketika aku akan menyatakan revolusi terhadap diri sendiri.

Aku lelah, dan saatnya membahagiakan diri...

Saturday, February 05, 2011

Seharusnya...

Seharusnya hari ini jam 9 pagi, aku berada di Balairung UI. Aku akan diwisuda dengan gelar Magister Keselamatan & Kesehatan Kerja. Tapi apa daya...aku masih terdampar di lautan lepas hingga merelakan salah satu momen yang seharusnya bersejarah. Aku tahu, yang penting aku sudah lulus dan urusan ceremonial cuma simbolis saja. Tapi yeah, satu lagi hal yang terlewatkan...begitu saja...

Sedikit pengen berpikir serius "Untuk apa ijazahku kelak"? aku tak tahu. Aku belum merencanakan apa-apa...

Sedang memandang hamparan lautan tanpa batas. Mengandai-andaikan sesuatu. Mungkin merangkai mimpi yang baru...

Hah, agak sedikit mendung di sini. Jangan hujan sekarang, nanti saja karena aku belum terlalu rindu padamu...

(@FF1 Barge, NIB Serang Platform Sorrounding)