Friday, January 27, 2012

Meretas Jogja

Sebuah perjalanan mengisi kembali jadwal off kerjaku yang bertepatan dengan long weekend tahun baru imlek. Kali ini temen jalanku adalah Sopi. Tiket murah Air Asia dari Jakarta membawa kami mblusukan ke kota gudeg Yogyakarta.

Rini, sobat lamaku jaman kuliah dulu telah menyambutku di terminal kedatangan Bandara Adi Sutjipto. Ah, kau masih seperti dulu Rin. Tak ada yang berubah, masih Rini yang super romantis, hehe. Aku juga beruntung memilikimu di kota itu, karena dengan sukarela kau pinjami aku motor untuk keliling Jogja :-)

Motor yang akhirnya penuh dengan ransel dan koper itu kemudian melaju di atas jalanan kota Jogja menuju Hotel Agung Mas di Jl. Cokroaminoto yang telah Sopi booking. Ancer-ancernya adalah....dari Bandara belok kiri, lurus terus, melewati kira-kira 10 lampu merah kemudian belok kiri, nemu rel kereta api lalu lurus terus kira-kira 100 meter setelah itu. Hah, lengkap deh Rin. Kita nggak nyasar kok :-)

Sesampai di hotel ternyata kita belum bisa langsung check in karena masih pagi dan kamar belum kosong. Jadilah kami cuma nitip barang saja untuk kemudian lanjut ke Cangkringan/Kaliadem, melihat sisa-sisa letusan Gunung Merapi.

Berbekal GPS Manual alias tanya-tanya orang sepanjang jalan akhirnya kami sampai juga di Kaliadem. Mengunjungi desa Kinah Rejo tempat tinggal Alm. Mbah Maridjan. Rumah Alm. Mbah Maridjan sudah rata dengan tanah, di atasnya dibangun sebuah gubuk kecil sebagai penanda bertuliskan "Rumah Mbah Maridjan". Tepat di sampingnya, dua motor dan satu mobil APV yang tinggal rangkanya saja, teronggok menjadi saksi kedahsyatan terjangan awan panas waktu itu. Di dekatnya pula terdapat spanduk berisi tulisan kronologi kejadian waktu itu. Masjid di dekat rumah Mbah Maridjan juga sudah didirikan lagi meski hanya menggunakan bangunan papan dan bambu. Istri Mbah Maridjan nampak di area situ. Sebentar bercakap dengan beliau menanyakan keadaannya dan beliau mengijinkan kami untuk berfoto dengannya.



Rencana sebenarnya mau langsung pulang tapi Sopi tergoda oleh offroad tour menggunakan jeep di areal Kali Gendol, Kali Opak dan areal lainnya sisa erupsi Merapi. Setelah tawar menawar dengan si pemilik jeep akhirnya dimulailah petualangan offroad kami. Yup, Sopi as a driver! Sementara si driver aslinya menjadi navigator. Aku cukup menumpang di belakang saja, sambil sesekali jadi fotografer dadakan. Guyuran hujan menambah serunya perjalanan siang itu.

Merapi tertutup kabut, ah sayang...keindahan aslinya tak terekam indah dalam foto-foto.

Setelah puas berkeliling, perut diisi dengan mie rebus, kamipun pulang kembali ke Jogja. Hujan rintik hingga sedang mengantar kami turun dari lereng Merapi.

Motor yang kubawa sampai ke daerah deket-deket Condong Catur kalau nggak salah, ketika tiba-tiba kurasakan helm yang dipakai Sopi terantuk-antuk ke helmku. Oo...ngantuk nih anak. Merasa nggak aman mboncengin orang yang ngantuk dan tidur , aku segera berinisiatif mencari masjid saja agar Sopi bisa istirahat. Tapi entah berapa jauhnya tak jua kutemukan masjid di pinggir jalan. Waduh! Motor kujalankan pelan saja sambil mata ini terus memperhatikan sisi-sisi jalan. Alhamdulillah dari sisi kiri aku bisa membaca tulisan nama masjid 50 meter belok kiri. Maka ndlongsorlah dengan sempurna Ibu Sopi di masjid tersebut. Sementara aku bengong ria menunggu dia bangun. Sholat dhuhur udah, lanjut sholat ashar...dan dia baru bangun abis sholat maghrib. Gubrax deh!

Jam 7 malam-an kamipun keluar dari masjid tersebut. Tujuan selanjutnya adalah makan malam di Bale Raos kompleks Keraton Jogja. Sejenak mencicipi hidangan favorit para Sultan. Aku pilih, aduh lupa nama menunya tapi semacam suwiran daging bebek panggang yang dikasih saos kedondong. Yummy juga. Tak lupa dengan minuman wedang jahe gulo klopo. Ah, serasa dinner dengan keluarga kerajaan.

Lanjut lagi ke alun-alun Kidul. Menjajal mitos berjalan di antara dua beringin. Ah, Sopi gagal. Aku nggak nyoba karena sudah bisa kupastikan aku akan mbelak-mbelok juga, hehe. Di alun-alun Kidul sempet ketemuan dengan anggota milist Petualang24, ngobrol, kemudian cao dan janjian besoknya akan ke Gunung Kidul bersama.

Nah, dari alun-alun Kidul menuju hotel, kami nyasar. Muter-muter nggak karuan, bolak-balik kok jebulnya sini lagi sini lagi. Proses penyasaran tersebut berlangsung sekitar 1 jam! Akhirnya, kami berhasil menuju jalan kebenaran dan sampai ke hotel dengan selamat.

Esoknya, seperti rencana kami sebelumnya, pantai-pantai di Gunung Kidul akan jadi tujuan selanjutnya. Sejatinya aku bukan pecinta pantai, lha wong tiap 2 minggu dalam sebulan hidupku sudah di tengah laut dan melihat laut seperti sudah eneg dan mau muntah rasanya, haha. Tapi, buat Jogja mungkin bisa jadi exception deh. Kami pergi berdua saja, karena teman yang tadinya janjian akan menemani batal ikutan. Berbekal rambu-rambu di jalan dan sekali lagi GPS Manual...Valentino Rossi jadi-jadian ini meluncur di jalanan Jogja-Gunung Kidul. Hajar blehhhhh....

Busyet dah, serasa nggak inget waktu aku terus melajukan motor. Jalanan berkelak-kelok dan naik turun, ampuun! Pegel banget tangan dan pantatku naik motor tanpa istirahat selama 2 jam lebih, begitupun Sopi yang meski cuma membonceng tapi pastilah capeknya kerasa. Akhirnya, dengan selamat sentosa...sampailah kami di pantai pertama...Pantai Baron.

Pantai Baron, ramai orang siang itu. Pengeras suara dari pengelola pantai mengumumkan acara-acara dan fasilitas yang tersedia bagi pengunjung. Sesekali suara Ebiet G Ade bernyanyi, menjadikan langit kelabu yang tak menyisakan biru itu menjadi melow mendayu (hehe). Pantainya cukup indah. Apalagi kalau kita naik ke atas bukit karangnya dan memandang ke bawah. Setelah menyantap es kelapa, fotografer super amatiran ini jeprat-jepret sesukanya. Dan Sopi, ah...come on, tak maukah kau foto-foto di sini? Dia menggeleng, pengen istirahat saja katanya :-(

Tak berapa lami, kami lanjut lagi ke pantai sebelahnya yaitu Pantai Kukup. Wuih, keren euy. Ada view yang mirip kayak Tanah Lot di Bali (emang udah pernah ke Tanah Lot, Len? Hi3x, cuma lihat di gambar maksude!). Airnya kehijauan, ada semacam ganggang hijau yang menyelimuti air di tepi pantainya. Tapi langit semakin abu-abu...

Lalu kami menyusur jalan ke pantai di sebelahnya lagi. Tercantum rambu "Pantai Sepanjang". Pantainya memang panjaaaaaaaaaaaang banget. Masih sepi. Kami cuma lewat saja dengan motor sejalan garis pantainya. Tak sempat berhenti di sana.

Balik ke jalan besar lagi, ada rambu kecil bertuliskan "Pantai Watukodok". Kutawarkan ke Sopi, mau mampir nggak? Dia bilang nggak usah. Oke deh. Lanjoot lagee...!

Lurus jalan, kami menjumpai tulisan "Pantai Drini". Motor kugeber ke situ. Jalanan menanjak. Sampai di dekat pantai, tiba-tiba Sopi berteriak kegirangan "Eh, masjid-masjid!". Hah, ini anak tiba-tiba berubah jadi alim sekarang, lihat masjid langsung hijau matanya. Usut punya usut, ternyata dia pengen tiduran karena capek dan ngantuk. Oalah, kirain! Lalu menggeleparlah dia dengan sempurna, sekali lagi di sebuah masjid.

Akhirnya aku sendirian mengeksplore pantai ini. Eh, ada yang lagi foto pre-wedding di situ euy. Pantainya cantik, dengan deburan ombak besar khas pantai selatan. Dari atas batu karang, pantai tersebut terlihat semakin cantik. Background langit mendung, menjadikan pantai ini tambah sayu (halah, bahasamu...Len).



Setelah puas menikmati pantai Drini, aku kembali ke masjid dan masih menemukan Sopi molor dengan nikmatnya. Walah! Padahal kostum pantainya yang sudah ia siapkan telah menjejali ranselku, tapi nyaris tak ada photo session di pantai satupun karena dia telah tepar sedari awal. Sorry nek, sepertinya dikau perlu dibiasakan untuk jalan jauh pakai motor, hehe...

Hujan tiba-tiba deras mengguyur ketika kami bermaksud pulang dari pantai Drini. Yup, stop di pantai Drini saja dan tak melanjutkan ke pantai-pantai yang masih tersisa di sebelahnya. Hiks, lumayan kecewa juga sebenarnya karena pantai Krakal, pantai Sundak dan entah apalagi belum sempat terjelajahi. Sudah terbayang 3 jam naik motor untuk kembali ke kota Jogja, terbayang pegel dan capeknya maksudnya. Lalu kami putuskan untuk nginap di Wonosari saja, kota terdekat yang hanya menempuh perjalanan kira-kira 1 jam.

Event Kejurnas Balap Sepeda Tingkat Nasional di Wonosari, menjadikan hampir semua hotel dan penginapan di kota itu penuh. Tapi Alhamdulillah, akhirnya kami menemukan kamar juga. Dan Losmen Tilam Sari di sebuah gang di Wonosari menjadi saksi dilakukannya pemijatan oleh sang ahli pijat ke tubuh Sopi. Hehe, Sop...Sop...kamu kok lucu sampe kepikiran panggil tukang pijat segala. Yo wis selamat menikmati, aku terusin motor-motoran keliling Wonosari, dan berharap berharap nggak nyasar...hehe

Esoknya kami melanjutkan perjalanan ke kota Jogja. Valentino Rossi jadi-jadian ini kembali menggeber motor pinjeman Jeng Rini. Love u, Rin :-)

Bukit Bintang terlewati begitu saja. Ah, Bukit Bintang...seharusnya aku menikmati kamu semalam. Melihat kerlip lampu-lampu Jogja dari atas sana. Hiks, lain kali ya :-)

Kami belok ke arah Piyungan. Sopi pengen liat Keraton Ratu Boko katanya. Oke deh, siap nek. Keraton Ratu Boko mah nggak bakal pernah lelah kucumbui, meski baru sebulan lalu aku pergi ke sana.

Dan Sopi-pun berganti busana, merias diri cantik sekali sesampainya di Ratu Boko. Wkwkw, kostum pantainya yang tak terjamah kemarin selama di pantai, ia pakai sekarang. It's time for...pemotretan model! Hmm, padahal aku belum pernah belajar sekalipun motret model. Tapi biarin ajalah, trial and error, kalau hasilnya ntar error ya wajar, hehe...

Rencana lanjut jalan ke Candi Ijo dan Candi Banyunibo di dekat Ratu Boko gagal sudah karena jeng Sopi pengen langsung pulang ke kota Jogja. Hiks, lain kali lagi ya...(aku akan ke sana!).

Long weekend membuat Jogja jadi penuh luar biasa. Lampu merahnya yang rata-rata lamanya di atas 1 menit lebih dan lampu hijaunya yang cuma 20 detik, agak-agak bikin macet jalan. Dan...ketika sampai di deket Mall Saphir, waduh-waduh...partner jalanku kembali ngantuk. Ditahan dulu, Sop...lima lampu merah lagi kita sampai hotel. Tapi apa daya, tingkat kengantukan Sopi sudah di atas ambang batas. Akhirnya dia memutuskan turun dari motor ketika melihat ada salon Natasha di seberang Mall Saphir. Mau tidur dan facial aja katanya di sana :-)

Jadilah aku meneruskan perjalanan sendiri. Sebelum balik ke hotel, aku mampir dulu ke Mirota Batik di Malioboro untuk membeli sesuatu. Satu set miniatur gamelan, menggoda imanku. Tapi harganya yang selangit membuatku sadar bahwa lebih baik uang tersebut ditabung saja, hahaha.

Sekitar jam 4 sore, Sopi telepon katanya sudah selesai facial dan sudah tidur. Good! Mau balik dulu ke hotel untuk mandi kemudian kita akan jalan-jalan di Tamansari. Tapi sampai maghrib, dia tak juga muncul di hotel. Lha, nyasar ke mana? Sms nggak dibales, telepon nggak diangkat. Sumpah, aku panik luar biasa! Lha wong jarak Mall Saphir ke hotel nggak begitu jauh kukira. Khawatir terjadi sesuatu padanya.

Hah, akhirnya dia datang juga tepat jam 7 malam. Bercerita tentang kemacetan Jogja dan kemungkinan pengemudi taksi yang memutar-mutar jalannya. Yo wislah, yang penting kamu selamet nduk...

Malam itu aku sudah janjian dengan Rini dan keluarga untuk makan di luar. Tunjukkan aku ciri khas Jogja, Rin. Makan di angkringan juga hayo aja. Itu malah yang ingin banget kunikmati, yup kebersahajaan kotamu. Akhirnya kami makan di warung nasi goreng sapi di pinggiran Kota Baru sambil ngobrol tentang masa lalu. Asli, belum terbayar utuh rinduku padamu.

Senin, 23 Januari 2012. Pagi-pagi aku motor-motoran sendiri keliling kota Jogja. Sori Sop, kamu masih molor di kasur, jadi nggak enak membangunkanmu, hehe. Mencium pagi Jogja (tanpa acara nyasar)...dan aku jatuh cinta... :-)

Flight kami kembali ke Jakarta sekitar jam 1 siang. Masih ada kesempatan untuk jalan-jalan ke Tamansari. Mengunjungi reruntuhan bangunan masa lalu yang pasti megah pada saat jayanya dulu. Eh, ada yang lagi foto pre-wedding juga! Hmm, kemarin di pantai Drini, sekarang di Tamansari. Lagi musim kali ya?

Petualangan kami di Jogja berakhir di Tamansari. Pesawat Air Asia siang itu menerbangkan kami pulang ke Jakarta. Jogja, aku pamit dulu...

Untuk Rini, thanks banyak sist untuk semua bantuanmu. Aku pasti kembali suatu hari nanti, kau tahu.. bahwa aku telah jatuh cinta pada keindahan pagi di kebersahajaan kota-mu...

"Aku terpejam, kuhirup nafas dalam
di gerbang kotaku, Yogyakarta
Hari ini aku pulang, hari ini aku datang
bawa rindu, bawa haru, bawa harap-harap cemas
..........................
Setiap sudutmu menyimpan derapku, Yogyakarta
Setiap sudutmu menyimpan langkahku, Yogyakarta"
(Ebiet G. Ade, Yogyakarta)


Monday, January 02, 2012

Pergantian Tahun di Kawah Galunggung



Cuti diapprove dan itu berarti aku bisa tahun baruan di darat. Rencana telah siap, merayakan pergantian tahun di Gunung Galunggung Tasikmalaya Jawa Barat. Bersama gank nggembel-ku, Nia dan Ayu, kita bakal camping ceria di sana. Menjauhi hiruk pikuk perayaan di ibukota dan berbagi waktu dengan alam.

Berangkat dari Pule Residence, our kost sweet kost sekitar jam 8 malam via ojek depan gang menuju Terminal Kampung Rambutan. Rencana awalnya kita bakal naik bis paling malam yang ke Tasikmalaya sekitar jam 11 malam sehingga diperkirakan bisa sampai di Tasikmalaya pagi-pagi. Tapi dengan pertimbangan "jangan-jangan macet" di Cipularang mengingat nyaris tahun baru akhirnya kami putuskan untuk ikut bis Primajasa ke Tasikmalaya yang jam 9 malam.

Doa dan harapanku adalah...semoga di jalan bener-bener macet sehingga kita sampai di Tasikmalaya pagi, tapi ternyata oh ternyata jalanan lumayan lancar sehingga kita sampai Terminal Indihiang Tasikmalaya tepat jam 2 pagi. Alamak...ini mah kepagian! Abang-abang ojeg yang standby di depan terminal langsung mengerubuti kami. Tadinya mau ikut numpang di warung deket pangkalan ojeg itu untuk menunggu sampai pagi, tapi kok kelihatan agak-agak nggak nyaman dan nggak aman, ditambah lagi para tukang ojeg itu terus menanyai kami dan tak hentinya menawarkan jasa untuk mengantarkan kami ke Galunggung saat itu juga. What? Yang bener aja!

Untung ada masjid yang menyelamatkan kami. Alhamdulillah! Sebuah masjid yang terletak di dalam kompleks terminal, tempat kami beristirahat menunggu pagi. Nggelar sleeping bag...molor-lah daku hingga shubuh...

Percakapan dengan seorang bapak yang jualan di samping masjid yang ternyata beliaunya adalah imam masjid di situ mewarnai penantian kami. "Naik angkot warna hijau teh kalau ke Galunggung. Kalau ragu tanya saja sama pengurusnya, ada di rumah makan". Begitulah pesen bapak tersebut. Walau agak sedikit bingung dengan maksud "pengurus di rumah makan", kami iyakan saja.

Matahari pagi menampakkan diri, tak lama kemudian angkot hijau tampak mangkal di pasar seberang terminal lalu kami pamitan ke bapak tersebut. Saat hendak menyeberang jalan ke arah pasar. Seorang petugas yang berada di gerbang masuk bis terminal menanyai kami dan menjelaskan transportasi menuju Galunggung. "Nyebrang ke pasar, naik angkot warna kopi", katanya. Hah? Warna kopi? Bukannya hijau...? Waduh, gimana nih Pak petugas? Jadi warna hijau atau warna kopi...???

Setelah nyebrang ke arah pasar, demi ketepatan angkot yang akan kami naiki, maka kami kembali bertanya. Kali ini kami bertanya sama seorang mbak-mbak yang sedang menyapu di depan sebuah toko untuk kembali mengkonfimasi angkot dengan tujuan Galunggung "Itu teh, angkot warna hijau itu yang ke Galunggung". Menurut supir angkotnya, dia akan berangkat jam 06.45. Jadi masih ada kesempatan 30 menit untuk sarapan. Ada ketupat sayur mangkal dekat angkot tersebut. Kali ini Nia menanyakan dulu berapa harga se-porsinya sebelum membeli. Yeah, karena pengalaman membuktikan sudah beberapa kali dalam perjalanan kami sebelum ini, makan deket terminal selalu saja dihargai mahal padahal kadang hanya makanan standar saja. Jadilah ketupat sayur ala Tasikmalaya kami santap sebagai sarapan. Bukan ketupat sayur ding karena blas nggak ada sayurnya, maka kami sepakat menamakannya sebagai ketupat kuah :-)

Tepat jam 7 pagi kurang sedikit, kami bersama angkot warna hijau akhirnya berangkat ke Galunggung. Angkot penuh sesak, bukan oleh penumpang tapi oleh barang-barang. Carrier dan daypack kami berdiri di antara tumpukan box-box minuman mineral bahkan juga sekarung sayur yang memenuhi hampir separuh isi angkot. Jalan menuju Galunggung bener-bener sudah rusak. Amat disayangkan betapa destinasi wisata yang aku yakin telah menyumbangkan pendapatan asli daerah ini, tidak begitu diperhatikan aksesnya. Tapi meski dengan kondisi jalan yang rusak dan mengakibatkan ketidaknyamanan duduk di dalam angkot, kulihat si Ayu tetep bisa molor tuh. Yeah, selamat bermimpi indah di dalam angkot :-)

Entah berapa kilometer jarak dari Terminal Indihiang ke Galunggung, perasaan perjalanannya lumayan lama. Meski jalanan rusak, tetapi kuperhatikan petunjuk arah menuju Galunggung sangat jelas. Akhirnya sampailah kami di Pos Retribusi Galunggung. Naik ojeg menuju tangga Galunggung sudah masuk dalam itenerary kami plus budgetnya, jadi...marilah kita mengirit tenaga saja naik ojeg daripada jalan kaki, hehe...

Ojeg mengantarkan kami tepat di dekat tangga semen menuju kawah Galunggung. Ha3x, naik gunung kok pakai tangga semen ya? Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Sebelum naik, kami singgah dulu di sebuah warung sekalian membeli perbekalan camping nanti. Nasi bungkus, telur dadar, air minum dll. Sang Ibu penjaga warung juga menyarankan agar kami naik ke Gunung lewat jalan setapak di samping tower BTS saja yang tepat berada di samping warung tersebut, lebih dekat sampai bibir kawah dan jalannya tak begitu menanjak. Okelah kalau begitu, kita hajar bleh!

Kabut merayap naik. Hmm, seger...

Perjalanan sampai bibir kawah tak begitu jauh pun nanjak, bener kata si Ibu penjaga warung tadi. Melihat dari atas, kok area kawah yang sudah menjadi danau di bawah masih sepi, tak terlihat ada tenda camping di sana. Waduh, jangan-jangan cuma kita bertiga yang nge-camp di sana! Setelah foto narsis sebentar, kitapun turun melalui setapak ke arah kawah.

Sampai di tepian kawah, eh nemu warung. Walah, tahu ada warung gini ngapain kita bawa perbekalan dari Jakarta plus tambahan makanan di warung atas tadi ya? Harga juga cuma beda gopek doang. Sayangnya, warung yang kemudian kita namai menjadi Ibu D2 alias "Depan Danau" ini tak tersedia gorengan yang masih panas kemebul. Coba kalau ada, wuih pasti sempurna!


Suasana sekitar danau masih sepi. Ada tenda yang telah berdiri cuma jaraknya juga lumayan jauh dari lokasi tempat kami nenda. Beruntung tak lama kemudian, datanglah segerombolan orang yang akhirnya menjadi tetangga dan mendirikan tenda tepat di belakang kami. Hehe, spot tempat buang air darurat meski kegusur, wkwkwk. Tambah seru juga punya tetangga yang kelakuannya lucu-lucu bin aneh-aneh ini.

Tenda berdiri, makan siang...lalu molor! Oalah, pindah tidur doang ini ceritanya :-)

Menjelang sore, Galunggung diguyur hujan deras, angin kencang plus guntur yang menggelegar. Tenda kami yang imut serasa berjuang keras melawan penderitaan. Tangan kami terus menopang tiang-tiang tenda dari dalam. Tak lupa pula berdoa pada yang Kuasa. Hah, lega rasanya ketika semuanya kemudian berakhir dan langit kembali cerah ceria menanti malam pergantian tahun.



Satu lagi keuntungan punya tetangga, yaitu kami tak perlu susah-susah bikin api unggun malamnya alias tinggal nebeng saja. Kembali disayangkan, kenapa si Ibu D2 tak menyediakan jagung sehingga bisa kami bakar bersama. Ups, ada yang ngasih susu anget juga, tapi cuma 1 orang yang menghabiskan 3 gelas susu anget tersebut. Nia nggak mau karena takut cepet pup sedangkan aku nggak mau karena takut laktosa intoleranku beraksi. Alhasil, 3 gelas susu hangat tersebut dihabiskan oleh satu orang saja (hayo tunjuk jari...!. Sang penikmat 3 gelas susu ini, juga kelihatan begitu nikmatnya klepas-klepus dengan asapnya. Yang lain serasa ngontrak aja ya, Yu? Hehe...

Kawah Galunggung mulai ramai. Banyak yang datang. Satu demi satu tenda diberdirikan. Menunggu pergantian tahun, kami molor lagi. Alarm disetel jam 11 malam.

Akhirnya, pergantian tahun 2011 ke 2012 kami nikmati di kawah Gunung Galunggung. Tak kalah seru dibanding di kota. Nyatanya pesta kembang api juga kita nikmati di sana. Plus jedag-jedug musik disko dari tenda kawan-kawan yang nge-camp di seberang sana. Langit cerah. Bintang bertaburan, berkerlip indah. Meski tak ada bintang jatuh yang kulihat, boleh kan make-a wish. Dan harapanku di tahun 2012 adalah...hmm...apa ya? Ada deh! Selamat tahun baru 2012 untuk semua!

Pagi yang cerah di awal 2012. Selesai menamatkan sarapan dengan makanan instan, kamipun cabut dari Galunggung. Kini kami menggunakan jalur tangga semen untuk turun gunung. Ternyata pengunjung yang naik tangga lumayan banyak, mulai dari anak kecil sampai oma opa, terus berjuang menaiki tangga. Ayo…kamu bisa!!!

Tujuan kami selanjutnya adalah pemandian Cipanas yang letaknya tak jauh dari kawah Galunggung. Tentu saja kami ingin mandi! Hehe, secara sudah dari kemarin kami absen mandi meski sebenarnya ada sungai yang lumayan besar bahkan musholla di dekat kawah.

Kembali kami memanfaatkan jasa ojeg menuju Cipanas. Hujan rintik menyertai kami selama perjalanan. Jalanan beraspal bagus tetapi dengan track yang kadang membuat jantung mau copot. Sesampainya di Cipanas…waduh, sudah kayak cendol euy. Ramai sekali. Namanya juga tahun baru. Tapi yang penting, akhirnya…kami mandi juga! Air hangat pula!

Kami berniat langsung kembali ke Terminal Indihiang Tasikmalaya dengan angkot warna hijau dari gerbang pos retribusi. Tapi jalanan desa dengan kondisi rusak dan tidak begitu lebar tersebut tiba-tiba berubah serasa Jakarta, alias macet luar biasa. Gila! Sepertinya semua orang se-Tasikmalaya tumpah ruah di Galunggung semua untuh tahun baru-an. Namun perjalanan macet dan lama bersama penumpang lain yang ternyata warga sekitar Galunggung itu membawa cerita tersendiri. Mereka adalah warga desa yang lugu yang dengan antusiasnya bercerita tentang seorang bos di daerah situ yang luar biasa kaya karena usahanya dalam pengelolaan pasir Galunggung. Dua ikat rambutan yang kami beli di Cipanas, ludes juga menjadi teman perjalanan selama menikmati kemacetan, di antara cerita tentang si bos pasir tersebut.

Sekitar jam 1 siang kami sampai di Terminal Indihiang. Sholat sebentar di masjid dalam terminal yang kemarin kita datangi. Bapak imam masjid masih mengenali kami bertiga dan menanyakan bagaimana suasana tahun baru di Galunggung sana. Lalu Bis Budiman jurusan Jakarta membawa kami pulang ke Kampung Rambutan.

Trip yang singkat tapi mengesankan. Begitu banyak kejadian lucu sepanjang kisah perjalanan. Special thanks untuk para tetangga, yang maaf banget sampai nggak hafal satu persatu namanya. Terima kasih untuk segala kebersamaan. Sampai jumpa suatu hari nanti entah di pelosok gunung mana…

“Berbagi waktu dengan alam. Kau akan tahu dirimu siapa yang sebenarnya...” (Okta feat Eros, OST Gie).