Sunday, August 05, 2012

A Journey to Holy Land

Aku bukan seorang yang religius. Tapi entah mengapa tiba-tiba aku ingin pergi umroh. Sebuah keinginan yang aneh secara tak pernah terpikir di benakku sekalipun. Pergi ke tanah suci mungkin hanya terbayang bakal kulakukan pada suatu saat nanti pada usia entah berapa tua. Tapi sekali lagi entah, tanpa gejala yang signifikan, mak jegagig aku bilang ingin umroh kepada ayahku dan memintanya untuk menemaniku sebagai muhrim untuk pergi ke sana. Aku dan ayahku, dua orang yang sama-sama blank tentang dunia pertanahsucian. Dan sekali lagi, aku dan ayahku, yang sama-sama buta tentang umroh tersebut akhirnya kecantol pada sebuah Biro Perjalanan Umroh yang letaknya tak begitu jauh dari rumah keluarga ayah dan pengelolanya juga kenal dengan mereka, untuk kami pilih sebagai perantara kami berangkat ke Arab Saudi. Kelak, beberapa kerikil penyesalan, membuatku jengkel dan nggrundel mengapa memilih Biro Perjalanan Umroh yang satu ini, tanpa menanyakan informasi yang rinci tentang perjalanan tersebut.

Hari H keberangkatan adalah tepat sehari setelah kepulanganku dari offshore. Seluruh rombongan, baik yang berasal dari kotaku maupun kota-kota lain dengan Biro Perjalanan Umroh yang sama, berkumpul di Terminal Keberangkatan Internasional Bandara Soekarno Hatta. Lumayan banyak pesertanya, sekitar 30-an orang lebih, dengan usia yang bervariasi pula. Dari anak SD hingga orang tua. Sejenak berfikir bahwa anak-anak kecil itu beruntung, punya orang tua dengan harta lebih, sehingga masih kecil saja sudah bisa pergi umroh mengisi liburan kenaikan kelas. Aku tersenyum sendiri, sekedar mengingat rekam jejak masa kecilku (boro-boro untuk pergi ke tanah suci, lha wong untuk biaya hidup saja ayah dan ibuku harus gali lubang tutup lubang). Dan seharusnya aku bersyukur karena semua menjadi lebih baik sekarang…

Menuju Arab Saudi, kami menggunakan pesawat Malaysia Airlines. Inilah penyesalanku pertama, mengapa sedari awal aku tak meminta informasi rinci tentang perjalanan umroh ini. Yup, dengan memakai pesawat Malaysia Airlines dari Jakarta menuju Jeddah, maka kami harus transit sekitar 3 jam dulu di Kuala Lumpur. Hah, pilihan perjalanan yang sangat tidak efektif. Lebih parah lagi pada pulangnya nanti dari Jeddah ke Jakarta karena kami juga mesti transit kembali di Kuala Lumpur, sampai di sana pagi dan baru terbang ke Jakarta jam 9 malam, dengan bonus tour keliling Kuala Lumpur selama transit. Gubrax! Pentingkah keliling Kuala Lumpur? Hmm, aku kembali nggrundel...

Perjalanan udara yang panjang menuju Jeddah, belum pernah aku terbang dengan durasi selama ini. Sampai di Jeddah sekitar jam 8 malam. Rombongan langsung naik bis yang telah disiapkan menuju Madinah. Sampai di Madinah sekitar jam 3 malam. Beruntung letak hotel tempatku menginap letaknya tidak jauh dari Masjid Nabawi. Soal kenapa kusebut “beruntung” akan aku ceritakan kemudian. Dan ya…sholat shubuh kali ini, adalah jejakan kakiku pertama di masjid tersebut. Bagaimana rasanya sholat di sana? Tanpa bermaksud lebay, tapi sungguh semuanya tak bisa terucap dan dijelaskan. Terlalu luar biasa!


Bayanganku (lagi-lagi karena aku cuma bisa membayangkan dulunya), Masjid Nabawi dikelilingi landscape yang indah, semacam taman yang luas atau apalah. Tapi ternyata, bukan taman yang mengelilinginya, melainkan bangunan-bangunan hotel! Sangat surprise ketika ternyata banyak pasar kaget yang meraja lela di seputaran masjid Nabawi. Ketika kita berbondong-bondong keluar selesai sholat jamaah, maka pasar kaget yang bahkan letaknya tepat di depan masjid sudah siap menyambut. Para penjualnya pun sangat fasih berbahasa Indonesia. Kalimat “murah-murah” atau bahkan “lima real” gampang kita dengar di sela-sela keramaian. Beraneka produk ditawarkan, mulai dari sajadah, baju, kain, sampai makanan.

Satu hal yang sangat berkesan di masjid Nabawi yaitu perjuangan menuju Raudhoh. Roudhoh dulunya adalah tempat yang letaknya antara Rumah Rasululloh SAW dan Masjid Nabawi. Raudhoh kini ada dalam kompleks Masjid itu sendiri, perbedaan antara area Roudhoh dan bukan adalah di Raudhoh lantainya diidentifikasi dengan karpet berwarna hijau ke-abu-abuan sedangkan karpet merah menandakan area yang bukan termasuk Raudhoh. Sholat dan berdoa di Raudhoh adalah hal yang sangat sayang bila terlewatkan begitu saja karena termasuk tempat yang mustajab. Tapi tak mudah menuju Raudhoh, terutama bagi jamaah perempuan. Mengapa? Karena untuk jamaah perempuan, Roudhoh hanya dibuka pada jam-jam tertentu. Berbeda bagi jamaah pria, dimana Raudhoh dibuka selama 24 jam! Maka perjuangan menuju Raudhoh bagiku adalah sesuatu yang luar biasa. Begitu banyak yang ingin ke dalamnya. Meski sudah diatur antriannya sesuai negara, tapi toh acara berdesak-desakan ke sana tak terelakkan lagi. Maka jangan heran jika acara dorong-dorongan dan sikut-sikutan antar jamaah terjadi di sana. Bahkan jamaah dari Negara tertentu mengeluarkan tenaga yang luar biasa saat mendorong satu sama lain! Masya Allah! Sempat terpikir, okey Raudhoh adalah tempat yang mustajab untuk berdoa, tapi jika jalan menuju Raudhoh harus dilalui dengan saling dorong-dorongan bahkan sampai menyakiti orang apakah…ah sudahlah! Yang jelas, meski dengan perjuangan yang tak mudah akhirnya aku berhasil masuk kedalamnya. Alhamdulillah.


Salah satu tempat yang rombongan kami kunjungi di Madinah adalah kebun kurma, begitu tertulis dalam itenerary perjalanan. Maka bayanganku adalah kami semua menuju sebuah kebun, menyusurinya, dengan guide yang memberikan penjelasan tentang berbagai macam kurma yang ditanam disana dan bagaimana proses produksinya hingga menjadi selayaknya kurma yang dapat dikonsumsi. Tapi ternyata kami dibawa ke sebuah tempat, kulihat ada banyak pohon kurma sih di tempat tersebut dan juga sebuah toko. Dan pesiar kali ini bukanlah mewujudkan bayanganku tentang jalan-jalan di kebun kurma melainkan wisata belanja di sebuah toko yang menjual beraneka macam kurma. Oalah! Kenapa di itenerary-nya ditulis kebun kurma, kenapa tidak ditulis saja dengan shopping kurma di toko kurma? Hah, nggrundel lagi jadinya. Astaghfirullahaladzim...

Ada satu cerita lucu di Masjid Nabawi. Pada saat itu seorang Ibu-Ibu berwajah Turki memintaku agak menggeser dudukku karena sepertinya cukup untuk dimasuki satu jamaah lagi (diucap dengan bahasa Turki yang tak aku mengerti, tapi ditambah bahasa tubuh jadi membuatku agak mengerti). Jadilah ia teman ngobrol meski dipenuhi "body language yang penting tahu sama tahu" sebelum sholat dimulai. Namanya Aminah, ia memperkenalkan diri. Ia memberiku permen, yang sumpah nyaris bikin aku ngakak ketika membaca nama permen tersebut. Permen tersebut bertuliskan “Konak”. What? Entah apa arti Konak dalam bahasa Turki, mungkin harus kucari lewat google translate, wkwkw!

Setelah tiga hari di Madinah, kini saatnya kami ke Mekah, untuk melakukan ibadah inti dari perjalanan ini yaitu umroh. Landscape padang pasir, gunung-gunung batu mendominasi perjalanan itu. Kering, tapi indah dimata. Dan Arab Saudi adalah negeri yang bisa kubilang sangat kering. Banyak gunung disana. Tapi bukan gunung atau pegunungan hijau seperti di Indonesia, melainkan gunung batu! Maka jika kita hiking ke sana, tak ada rimbun hijau pohon untuk berteduh, pun merdunya gemericik sungai. Tapi sungguh, gunung-gunung batu itu tampak luar biasa gagah! Seandainya bisa berhenti sejenak di spot-spot yang bagus pasti asyik, tapi kan nggak mungkin, kecuali kita sendiri yang nyetir bis tersebut, hehe!

Labbaika Allahumma Labbaik. Labbaik la sharika laka labbaik
Innal hamda Wan-ni'mata Laka walmulk. Laa sharika lak.


Kami datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untuk-Mu semata, segenap kerajaan adalah milik-Mu, dan tidak ada sekutu bagimu.

Waktu Isya ketika kita sampai di Mekah, dan kami sudah dalam keadaan berihram. Bis langsung menuju hotel pertama. Sepuluh orang, termasuk aku dan ayahku diturunkan di situ karena inilah hotel yang akan kami tempati selama di Mekah. Tidak begitu jelek dari luar, hotel yang sudah agak tua. Tapi ketika sudah masuk, alamak…entahlah agak terkesan kumuh. Makan malam kami berupa nasi kotak, menu Indonesia sih, tapi sumpah sama sekali tak membuat selera. Tambah nggondok rasanya ketika jalan menuju Masjidil Haram ternyata hampir 1,5 km jauhnya dari hotel tersebut.

Terlalu banyak nggrundel, aku malah jadi lupa cerita tentang Masjidil Haram. Masjidil Haram, tak dikelilingi oleh landscape taman-taman indah dan luas (sesuai bayanganku dulu, yeah bayanganku indahku tentang masjid di sana gatot semua, hiks!). Hotel-hotel dan mall mengganti landscape indah versi idealku. Dan di tengah-tengahnya persis, di sanalah Ka’bah berdiri dengan agungnya.

Pertama kali melihat Ka’bah, Subhanallah…ngocor airmataku, deras! Ya Allah, bagaimana aku tak menangis? Speechless, tak tahu harus berkata apa. Bahkan aku tak sanggup memohon apa-apa lagi kepada-Nya. Aku sampai di tanah suci dan kini berdiri di tengah Masjidil Haram dan dengan mata telanjangku memandang rumah-Nya, adalah anugerah-Nya yang sungguh luar biasa. Thowaf mengelilingi Ka’bah, melebur diantara ribuan umat yang juga mengelilinginya, manusia berbagai usia dari segala penjuru dunia, tak peduli berpaspor negara mana…tumplek blek menjadi satu dan memuji Asma-Nya. It was just...amazing! Inilah "me time" ku dengan Sang Kreator-ku...!

Oke, marilah kita lanjutkan curhat alias nggrundelku yang belum selesai tadi. Lagi-lagi aku perlu istighfar. Tapi terus terang inilah sisi lain perjalanan indah ini...

Lalu dimanakah tempat menginap rombonganku yang lain, selain kami bersepuluh yang hidup dan makan seadanya di hotel kelas melati? Ternyata mereka semua menginap di hotel megah berbintang yang letaknya tepat di depan Masjidil Haram, saudara-saudara! Yang mungkin dari kamarnya saja Ka’bah bisa mereka lihat, yang ketika adzan berkumandang mereka baru menuju masjidpun nggak bakal kehabisan shaf. How come? Bagaimana bisa mereka di sana, sedangkan kami bersepuluh tinggal di hotel yang berbeda dengan perbedaan langit dan bumi! Ternyata oh ternyata…! Inilah penyesalanku kedua dalam perjalanan umroh ini. Aku tak menanyakan mengenai paket-paket umroh yang ada kepada Biro Perjalanan tersebut. Ternyata aku termasuk ikut paket hemat, dan orang-orang yang menginap di hotel berbintang teras Masjidil Haram adalah paket eksekutif! Tapi bukankah seharusnya Biro Perjalanan Umroh tersebut yang harus memberitahukan kepada kami mengenai paket-paket tersebut? Masa kami yang harus nanya, sedangkan kami buta? Tapi aku dan ayahku datang ke Biro Perjalanan Umroh tersebut dan hanya ditawari 1 harga saja yang ternyata adalah paket hemat! Ya, paket hemat dengan fasilitas yang seadanya. Lalu bagaimana bisa mereka hanya memberiku 1 harga yang paket hemat saja? What the h***! Dan ketika aku tahu perbedaan antara pake hemat dengan yang eksekutif hanyalah sekian rupiah saja, yang Insya Allah aku masih sanggup memcarinya, maka makin nggrundellah aku. Tapi bagaimana aku bisa nyari kalau dikasih tahu saja tidak? Tidak masalah kalau aku jalan sendiri, tidur di emperan masjidpun aku oke, tapi aku bawa ayahku, aku ingin beliau mendapatkan fasilitas yang bagus bukan ala backpacker seperti ini.


Bukan berburuk sangka, tapi aku jadi teringat saat pertama kali aku dan ayahku datang ke tempat Biro Perjalanan Umroh tersebut untuk mendaftar. Hah, mungkin penampilan aku dan ayahku yang “nggak dipercaya”. Kami datang ke Biro Perjalanan Umroh tersebut dengan motor butut kesayangan ayahku dan penampilan seadanya. Pengelola Biro Perjalanan Umroh tersebut juga tetangga keluarga ayahku. Yeah, keluarga ayahku juga biasa saja, cuma buruh, bukan juragan batik atau pengusaha. Mungkin malah mereka surprise bagaimana bisa ayahku bahkan dengan anak perempuannya yang dekil ini mau ikut umroh? Di sela-sela guyonan kami, maka kami menyebut diri kami…kaum Proletar! Uang tak bisa membeli kasta…

Setiap pagi, selesai sholat shubuh, aku dan ayahku kerap menyeruput teh panas atau kopi yang kubeli dari kedai di sekitar masjid, nongkrong sambil melihat ratusan burung-burung dara yang berkeliaran di samping Mekah Clock Tower. Kadang kubeli fast food sebagai pengganti nasi kotak ransum jatah di hotel yang sama sekali nggak bikin selera. Agak siangan sedikit, kami berjalan pulang menuju hotel, melewati puing-puing reruntuhan bangunan yang mungkin megah pada jamannya. Ditambah lagi debu-debu akibat pembongkaran besar-besaran terhadap bangunan di sekitar Masjidil Haram bercampur dengan Oksigen yang kami hirup. Sampai di hotel, sarapan jatah nasi ransum, tidur sejenak, lalu jauh sebelum adzan dhuhur kami harus segera pergi kembali ke masjidil Haram agar dapat shaf di dekat Ka’bah.

Tapi bagaimanapun, Mekah Al Mukaromah tetap indah dinikmati. Terlalu sayang jika hanya kupenuhi dengan nggrundel di hati. Dan Ka'bah! Man..apa yang harus kuceritakan lagi tentang betapa agungnya! Kelenjar airmata siap-siap bekerja ekstra pokoknya!


Mekah Clock Tower (atau zam-zam tower, whatever!) adalah sebuah menara yang menjulang tinggi luar biasa. Ia berdiri gagah tepat di depan pintu 1 Masjidil Haram. Sebuah jam raksasa dan tulisan Allah terdapat di dekat puncak menaranya. Bila kita berada di dalam Masjidil Haram, maka menara tersebut serasa menjadi latarnya. Ayahku berkomentar, kenapa dibiarkan mereka membangun tower seperti itu di dekat Ka’bah? Ka’bah terlihat sedemikian kecil dibanding bangunan raksasa tersebut. Aku setuju, bahwa bangunan tersebut sangat mengganggu bagiku. Entahlah, atau ini Cuma perasaanku saja? Karena aku tak dapat jatah menginap di salah satu hotel di tower tersebut dan malah menginap di hotel kelas melati berjarak 1,5 km dari Masjidil Haram? Bukankah tiap langkah menuju masjid adalah pahala? Maka, setidaknya, kami masih bisa tersenyum menikmati Mekah dengan segala atmosfernya :-)

Pada kesempatan thowafku selanjutnya, aku dibuat terharu biru oleh satu pemandangan indah. Seorang bayi yang mungkin baru beberapa bulan umurnya, digendong ayahnya dan diajak berkeliling Ka’bah. Sesekali sang Ibu menyeka peluh di dahi bayi itu lantaran panas yang lumayan terik. Kalau tak ingat aku sedang berdoa, maka pengen banget mengambil fotonya. Dia begitu mungil dan imutnya dalam balutan baju Ihram kecilnya…

Masih mau lanjut grundelannya? Ups! Jadi ceritanya sesuai jadwal, rombongan grup proletar akan melakukan ritual umroh yang kedua. Pembimbing grup kami malah entah kemana, rombongan kami terpencar-pencar nggak jelas. Kuikuti ayahku, kugandeng seorang ibu-ibu sepuh yang satu rombongan denganku. Kacau! Karena pembimbing rombongan nggak tahu kemana, maka selesai thawaf, kami kebingungan mencari jalan menuju shofa-marwa untuk syai. Tanya sana-sini akhirnya dapat juga. Kami malah ketemu dengan rombongan yang isinya para juragan batik dan bos-bos itu. Kulihat Sang pembimbing dengan sabarnya terus memimpin rombongan itu. Kami ngintil aja di belakang, serasa jadi bagian grup orang-orang kaya nan eksklusif itu. Haha! 

Tiga hari di Mekah, dan saatnya kami kembali ke tanah air. Kami stay semalam di sebuah hotel di Jeddah. Hotel yang bagus, sama bagusnya dengan hotel yang di Madinah. Sempat kutanyakan kenapa kaum Proletar tidak di-switch saja alias, nggak masalah hotel di Madinah dan Jeddah kami dapat hotel jelek tetapi pas di Mekah kami mendapatkan hotel yang jaraknya tidak begitu jauh dari Ka’bah. Begini jawab sang Reps dari Biro Perjalanan Umroh tsb, bahwa sebenarnya jatah hotel paket hemat untuk di Madinahpun sebenarnya bukan yang kami tempati dulu, tapi masuk lagi ke belakang, itu bonus dari Biro Perjalanan Umroh untuk kami. Hah! Ya, ternyata kami masih beruntung di Madinah, tapi tak beruntung di Mekah. (Hah, ternyata aku masih berkutat dengan masalah itu-itu saja, hiks! Susah jadi orang ikhlas nek!)

By the way, ini sebagian pemandangan menarik di Jeddah :-)



Pelajaran berharga yang kuambil dari segenap suka duka perjalanan ini adalah : Cari dulu informasi sebanyak-banyaknya sebelum kita memilih Biro Perjalanan Umroh. Terutama jenis paket dan fasilitas yang ditawarkan agar ibadah kita di sana lebih nyaman dan mantap, termasuk rencana perjalanan dan pesawat yang akan dipakai agar perjalanan menjadi efektif.

Special thanks untuk teman seperjuangan senasib sepenanggunan (a.k.a Gank Firdaus) : Bapak & Ibu Sukarno, Bapak & Ibu Kadis, Pak Sahroni, Pak Nasir, Mbah Sukarni & Mbah Muntamah :-)

Ini kisahku, sebuah perjalanan yang membuatku sakau dan ketagihan ingin menikmatinya lagi...

O my Lord, here I am at Your service, here I am.
There is no partner with You, here I am.
Truly the praise and the provisions are Yours,
and so is the dominion and sovereignty. There is no partner with You.