Monday, December 24, 2012

Senja di Pelabuhan Kecil

Sedang melo atau galau? Entahlah. Tak ada perkara atau peristiwa yang signifikan sebenarnya. Tapi mungkin aku sedang rapuh oleh beberapa spot masa lalu yang tiba-tiba ter-rewind dengan tak sengaja. 

Hah, jatah off dua minggu-ku nyaris berakhir dalam hitungan jam. Lautan kembali memanggil, pekerjaan telah menunggu. Besok Natal, tahun baru juga sebentar lagi menjelang. Yeah, di saat semua orang menikmati libur akhir tahun, kenapa aku malah pergi kerja? Atau anggap saja aku juga berlibur di tengah samudra, gratisan, bahkan dibayar. Bukankah senja di sana adalah yang paling indah sedunia? Ha3x.

"Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, désir hari lari berenang
menuju bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi, aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap"
(Senja di Pelabuhan Kecil, Chairil Anwar -1946)

Ah, kan kusambangi Semayang
Pelabuhan yang tak kecil di Balikpapan...
Hanya untuk dua minggu menikmati matahari terbenam...
dan membangun mimpi...jika ada, meski mungkin temaram.

(@my home sweet home - menjelang packing)

Wednesday, September 12, 2012

At Melahin P/F...

Bontang tampak dari kejauhan, dari sebuah offshore platform tempatku berpijak kini.  Langit tak biru.
Aku sedang dalam kondisi jenuh setengah mampus. Mungkin sudah melampaui nilai ambang batas jika diukur dengan alat pengukur tingkat kebosanan (jika ada). Untuk kesekian kalinya mengalami ini dan lagi-lagi aku tak tahu apa yang harus diperbuat. 
Tuhan sudah ngasih aku banyak. Banyak hal yang kadang aku tak perlu kerja keras untuk mencapainya, Dia kasih dengan mudah untukku.  Banyak keajaiban. Aku yang kurang bersyukur...
Hah…
Ombak agak besar,  angin mulai kencang, langit mendung.
Off nanti, sepertinya aku harus angkat backpack…dan nggembel entah ke mana. Mungkin bisa sejenak melarung galau, membangun mimpi lagi,  mensyukuri segala apa yang terjadi dan menjadi hamba Allah yang lebih tahu diri…

(@MTR1, somewhere...)

Sunday, August 05, 2012

A Journey to Holy Land

Aku bukan seorang yang religius. Tapi entah mengapa tiba-tiba aku ingin pergi umroh. Sebuah keinginan yang aneh secara tak pernah terpikir di benakku sekalipun. Pergi ke tanah suci mungkin hanya terbayang bakal kulakukan pada suatu saat nanti pada usia entah berapa tua. Tapi sekali lagi entah, tanpa gejala yang signifikan, mak jegagig aku bilang ingin umroh kepada ayahku dan memintanya untuk menemaniku sebagai muhrim untuk pergi ke sana. Aku dan ayahku, dua orang yang sama-sama blank tentang dunia pertanahsucian. Dan sekali lagi, aku dan ayahku, yang sama-sama buta tentang umroh tersebut akhirnya kecantol pada sebuah Biro Perjalanan Umroh yang letaknya tak begitu jauh dari rumah keluarga ayah dan pengelolanya juga kenal dengan mereka, untuk kami pilih sebagai perantara kami berangkat ke Arab Saudi. Kelak, beberapa kerikil penyesalan, membuatku jengkel dan nggrundel mengapa memilih Biro Perjalanan Umroh yang satu ini, tanpa menanyakan informasi yang rinci tentang perjalanan tersebut.

Hari H keberangkatan adalah tepat sehari setelah kepulanganku dari offshore. Seluruh rombongan, baik yang berasal dari kotaku maupun kota-kota lain dengan Biro Perjalanan Umroh yang sama, berkumpul di Terminal Keberangkatan Internasional Bandara Soekarno Hatta. Lumayan banyak pesertanya, sekitar 30-an orang lebih, dengan usia yang bervariasi pula. Dari anak SD hingga orang tua. Sejenak berfikir bahwa anak-anak kecil itu beruntung, punya orang tua dengan harta lebih, sehingga masih kecil saja sudah bisa pergi umroh mengisi liburan kenaikan kelas. Aku tersenyum sendiri, sekedar mengingat rekam jejak masa kecilku (boro-boro untuk pergi ke tanah suci, lha wong untuk biaya hidup saja ayah dan ibuku harus gali lubang tutup lubang). Dan seharusnya aku bersyukur karena semua menjadi lebih baik sekarang…

Menuju Arab Saudi, kami menggunakan pesawat Malaysia Airlines. Inilah penyesalanku pertama, mengapa sedari awal aku tak meminta informasi rinci tentang perjalanan umroh ini. Yup, dengan memakai pesawat Malaysia Airlines dari Jakarta menuju Jeddah, maka kami harus transit sekitar 3 jam dulu di Kuala Lumpur. Hah, pilihan perjalanan yang sangat tidak efektif. Lebih parah lagi pada pulangnya nanti dari Jeddah ke Jakarta karena kami juga mesti transit kembali di Kuala Lumpur, sampai di sana pagi dan baru terbang ke Jakarta jam 9 malam, dengan bonus tour keliling Kuala Lumpur selama transit. Gubrax! Pentingkah keliling Kuala Lumpur? Hmm, aku kembali nggrundel...

Perjalanan udara yang panjang menuju Jeddah, belum pernah aku terbang dengan durasi selama ini. Sampai di Jeddah sekitar jam 8 malam. Rombongan langsung naik bis yang telah disiapkan menuju Madinah. Sampai di Madinah sekitar jam 3 malam. Beruntung letak hotel tempatku menginap letaknya tidak jauh dari Masjid Nabawi. Soal kenapa kusebut “beruntung” akan aku ceritakan kemudian. Dan ya…sholat shubuh kali ini, adalah jejakan kakiku pertama di masjid tersebut. Bagaimana rasanya sholat di sana? Tanpa bermaksud lebay, tapi sungguh semuanya tak bisa terucap dan dijelaskan. Terlalu luar biasa!


Bayanganku (lagi-lagi karena aku cuma bisa membayangkan dulunya), Masjid Nabawi dikelilingi landscape yang indah, semacam taman yang luas atau apalah. Tapi ternyata, bukan taman yang mengelilinginya, melainkan bangunan-bangunan hotel! Sangat surprise ketika ternyata banyak pasar kaget yang meraja lela di seputaran masjid Nabawi. Ketika kita berbondong-bondong keluar selesai sholat jamaah, maka pasar kaget yang bahkan letaknya tepat di depan masjid sudah siap menyambut. Para penjualnya pun sangat fasih berbahasa Indonesia. Kalimat “murah-murah” atau bahkan “lima real” gampang kita dengar di sela-sela keramaian. Beraneka produk ditawarkan, mulai dari sajadah, baju, kain, sampai makanan.

Satu hal yang sangat berkesan di masjid Nabawi yaitu perjuangan menuju Raudhoh. Roudhoh dulunya adalah tempat yang letaknya antara Rumah Rasululloh SAW dan Masjid Nabawi. Raudhoh kini ada dalam kompleks Masjid itu sendiri, perbedaan antara area Roudhoh dan bukan adalah di Raudhoh lantainya diidentifikasi dengan karpet berwarna hijau ke-abu-abuan sedangkan karpet merah menandakan area yang bukan termasuk Raudhoh. Sholat dan berdoa di Raudhoh adalah hal yang sangat sayang bila terlewatkan begitu saja karena termasuk tempat yang mustajab. Tapi tak mudah menuju Raudhoh, terutama bagi jamaah perempuan. Mengapa? Karena untuk jamaah perempuan, Roudhoh hanya dibuka pada jam-jam tertentu. Berbeda bagi jamaah pria, dimana Raudhoh dibuka selama 24 jam! Maka perjuangan menuju Raudhoh bagiku adalah sesuatu yang luar biasa. Begitu banyak yang ingin ke dalamnya. Meski sudah diatur antriannya sesuai negara, tapi toh acara berdesak-desakan ke sana tak terelakkan lagi. Maka jangan heran jika acara dorong-dorongan dan sikut-sikutan antar jamaah terjadi di sana. Bahkan jamaah dari Negara tertentu mengeluarkan tenaga yang luar biasa saat mendorong satu sama lain! Masya Allah! Sempat terpikir, okey Raudhoh adalah tempat yang mustajab untuk berdoa, tapi jika jalan menuju Raudhoh harus dilalui dengan saling dorong-dorongan bahkan sampai menyakiti orang apakah…ah sudahlah! Yang jelas, meski dengan perjuangan yang tak mudah akhirnya aku berhasil masuk kedalamnya. Alhamdulillah.


Salah satu tempat yang rombongan kami kunjungi di Madinah adalah kebun kurma, begitu tertulis dalam itenerary perjalanan. Maka bayanganku adalah kami semua menuju sebuah kebun, menyusurinya, dengan guide yang memberikan penjelasan tentang berbagai macam kurma yang ditanam disana dan bagaimana proses produksinya hingga menjadi selayaknya kurma yang dapat dikonsumsi. Tapi ternyata kami dibawa ke sebuah tempat, kulihat ada banyak pohon kurma sih di tempat tersebut dan juga sebuah toko. Dan pesiar kali ini bukanlah mewujudkan bayanganku tentang jalan-jalan di kebun kurma melainkan wisata belanja di sebuah toko yang menjual beraneka macam kurma. Oalah! Kenapa di itenerary-nya ditulis kebun kurma, kenapa tidak ditulis saja dengan shopping kurma di toko kurma? Hah, nggrundel lagi jadinya. Astaghfirullahaladzim...

Ada satu cerita lucu di Masjid Nabawi. Pada saat itu seorang Ibu-Ibu berwajah Turki memintaku agak menggeser dudukku karena sepertinya cukup untuk dimasuki satu jamaah lagi (diucap dengan bahasa Turki yang tak aku mengerti, tapi ditambah bahasa tubuh jadi membuatku agak mengerti). Jadilah ia teman ngobrol meski dipenuhi "body language yang penting tahu sama tahu" sebelum sholat dimulai. Namanya Aminah, ia memperkenalkan diri. Ia memberiku permen, yang sumpah nyaris bikin aku ngakak ketika membaca nama permen tersebut. Permen tersebut bertuliskan “Konak”. What? Entah apa arti Konak dalam bahasa Turki, mungkin harus kucari lewat google translate, wkwkw!

Setelah tiga hari di Madinah, kini saatnya kami ke Mekah, untuk melakukan ibadah inti dari perjalanan ini yaitu umroh. Landscape padang pasir, gunung-gunung batu mendominasi perjalanan itu. Kering, tapi indah dimata. Dan Arab Saudi adalah negeri yang bisa kubilang sangat kering. Banyak gunung disana. Tapi bukan gunung atau pegunungan hijau seperti di Indonesia, melainkan gunung batu! Maka jika kita hiking ke sana, tak ada rimbun hijau pohon untuk berteduh, pun merdunya gemericik sungai. Tapi sungguh, gunung-gunung batu itu tampak luar biasa gagah! Seandainya bisa berhenti sejenak di spot-spot yang bagus pasti asyik, tapi kan nggak mungkin, kecuali kita sendiri yang nyetir bis tersebut, hehe!

Labbaika Allahumma Labbaik. Labbaik la sharika laka labbaik
Innal hamda Wan-ni'mata Laka walmulk. Laa sharika lak.


Kami datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji dan kebesaran untuk-Mu semata, segenap kerajaan adalah milik-Mu, dan tidak ada sekutu bagimu.

Waktu Isya ketika kita sampai di Mekah, dan kami sudah dalam keadaan berihram. Bis langsung menuju hotel pertama. Sepuluh orang, termasuk aku dan ayahku diturunkan di situ karena inilah hotel yang akan kami tempati selama di Mekah. Tidak begitu jelek dari luar, hotel yang sudah agak tua. Tapi ketika sudah masuk, alamak…entahlah agak terkesan kumuh. Makan malam kami berupa nasi kotak, menu Indonesia sih, tapi sumpah sama sekali tak membuat selera. Tambah nggondok rasanya ketika jalan menuju Masjidil Haram ternyata hampir 1,5 km jauhnya dari hotel tersebut.

Terlalu banyak nggrundel, aku malah jadi lupa cerita tentang Masjidil Haram. Masjidil Haram, tak dikelilingi oleh landscape taman-taman indah dan luas (sesuai bayanganku dulu, yeah bayanganku indahku tentang masjid di sana gatot semua, hiks!). Hotel-hotel dan mall mengganti landscape indah versi idealku. Dan di tengah-tengahnya persis, di sanalah Ka’bah berdiri dengan agungnya.

Pertama kali melihat Ka’bah, Subhanallah…ngocor airmataku, deras! Ya Allah, bagaimana aku tak menangis? Speechless, tak tahu harus berkata apa. Bahkan aku tak sanggup memohon apa-apa lagi kepada-Nya. Aku sampai di tanah suci dan kini berdiri di tengah Masjidil Haram dan dengan mata telanjangku memandang rumah-Nya, adalah anugerah-Nya yang sungguh luar biasa. Thowaf mengelilingi Ka’bah, melebur diantara ribuan umat yang juga mengelilinginya, manusia berbagai usia dari segala penjuru dunia, tak peduli berpaspor negara mana…tumplek blek menjadi satu dan memuji Asma-Nya. It was just...amazing! Inilah "me time" ku dengan Sang Kreator-ku...!

Oke, marilah kita lanjutkan curhat alias nggrundelku yang belum selesai tadi. Lagi-lagi aku perlu istighfar. Tapi terus terang inilah sisi lain perjalanan indah ini...

Lalu dimanakah tempat menginap rombonganku yang lain, selain kami bersepuluh yang hidup dan makan seadanya di hotel kelas melati? Ternyata mereka semua menginap di hotel megah berbintang yang letaknya tepat di depan Masjidil Haram, saudara-saudara! Yang mungkin dari kamarnya saja Ka’bah bisa mereka lihat, yang ketika adzan berkumandang mereka baru menuju masjidpun nggak bakal kehabisan shaf. How come? Bagaimana bisa mereka di sana, sedangkan kami bersepuluh tinggal di hotel yang berbeda dengan perbedaan langit dan bumi! Ternyata oh ternyata…! Inilah penyesalanku kedua dalam perjalanan umroh ini. Aku tak menanyakan mengenai paket-paket umroh yang ada kepada Biro Perjalanan tersebut. Ternyata aku termasuk ikut paket hemat, dan orang-orang yang menginap di hotel berbintang teras Masjidil Haram adalah paket eksekutif! Tapi bukankah seharusnya Biro Perjalanan Umroh tersebut yang harus memberitahukan kepada kami mengenai paket-paket tersebut? Masa kami yang harus nanya, sedangkan kami buta? Tapi aku dan ayahku datang ke Biro Perjalanan Umroh tersebut dan hanya ditawari 1 harga saja yang ternyata adalah paket hemat! Ya, paket hemat dengan fasilitas yang seadanya. Lalu bagaimana bisa mereka hanya memberiku 1 harga yang paket hemat saja? What the h***! Dan ketika aku tahu perbedaan antara pake hemat dengan yang eksekutif hanyalah sekian rupiah saja, yang Insya Allah aku masih sanggup memcarinya, maka makin nggrundellah aku. Tapi bagaimana aku bisa nyari kalau dikasih tahu saja tidak? Tidak masalah kalau aku jalan sendiri, tidur di emperan masjidpun aku oke, tapi aku bawa ayahku, aku ingin beliau mendapatkan fasilitas yang bagus bukan ala backpacker seperti ini.


Bukan berburuk sangka, tapi aku jadi teringat saat pertama kali aku dan ayahku datang ke tempat Biro Perjalanan Umroh tersebut untuk mendaftar. Hah, mungkin penampilan aku dan ayahku yang “nggak dipercaya”. Kami datang ke Biro Perjalanan Umroh tersebut dengan motor butut kesayangan ayahku dan penampilan seadanya. Pengelola Biro Perjalanan Umroh tersebut juga tetangga keluarga ayahku. Yeah, keluarga ayahku juga biasa saja, cuma buruh, bukan juragan batik atau pengusaha. Mungkin malah mereka surprise bagaimana bisa ayahku bahkan dengan anak perempuannya yang dekil ini mau ikut umroh? Di sela-sela guyonan kami, maka kami menyebut diri kami…kaum Proletar! Uang tak bisa membeli kasta…

Setiap pagi, selesai sholat shubuh, aku dan ayahku kerap menyeruput teh panas atau kopi yang kubeli dari kedai di sekitar masjid, nongkrong sambil melihat ratusan burung-burung dara yang berkeliaran di samping Mekah Clock Tower. Kadang kubeli fast food sebagai pengganti nasi kotak ransum jatah di hotel yang sama sekali nggak bikin selera. Agak siangan sedikit, kami berjalan pulang menuju hotel, melewati puing-puing reruntuhan bangunan yang mungkin megah pada jamannya. Ditambah lagi debu-debu akibat pembongkaran besar-besaran terhadap bangunan di sekitar Masjidil Haram bercampur dengan Oksigen yang kami hirup. Sampai di hotel, sarapan jatah nasi ransum, tidur sejenak, lalu jauh sebelum adzan dhuhur kami harus segera pergi kembali ke masjidil Haram agar dapat shaf di dekat Ka’bah.

Tapi bagaimanapun, Mekah Al Mukaromah tetap indah dinikmati. Terlalu sayang jika hanya kupenuhi dengan nggrundel di hati. Dan Ka'bah! Man..apa yang harus kuceritakan lagi tentang betapa agungnya! Kelenjar airmata siap-siap bekerja ekstra pokoknya!


Mekah Clock Tower (atau zam-zam tower, whatever!) adalah sebuah menara yang menjulang tinggi luar biasa. Ia berdiri gagah tepat di depan pintu 1 Masjidil Haram. Sebuah jam raksasa dan tulisan Allah terdapat di dekat puncak menaranya. Bila kita berada di dalam Masjidil Haram, maka menara tersebut serasa menjadi latarnya. Ayahku berkomentar, kenapa dibiarkan mereka membangun tower seperti itu di dekat Ka’bah? Ka’bah terlihat sedemikian kecil dibanding bangunan raksasa tersebut. Aku setuju, bahwa bangunan tersebut sangat mengganggu bagiku. Entahlah, atau ini Cuma perasaanku saja? Karena aku tak dapat jatah menginap di salah satu hotel di tower tersebut dan malah menginap di hotel kelas melati berjarak 1,5 km dari Masjidil Haram? Bukankah tiap langkah menuju masjid adalah pahala? Maka, setidaknya, kami masih bisa tersenyum menikmati Mekah dengan segala atmosfernya :-)

Pada kesempatan thowafku selanjutnya, aku dibuat terharu biru oleh satu pemandangan indah. Seorang bayi yang mungkin baru beberapa bulan umurnya, digendong ayahnya dan diajak berkeliling Ka’bah. Sesekali sang Ibu menyeka peluh di dahi bayi itu lantaran panas yang lumayan terik. Kalau tak ingat aku sedang berdoa, maka pengen banget mengambil fotonya. Dia begitu mungil dan imutnya dalam balutan baju Ihram kecilnya…

Masih mau lanjut grundelannya? Ups! Jadi ceritanya sesuai jadwal, rombongan grup proletar akan melakukan ritual umroh yang kedua. Pembimbing grup kami malah entah kemana, rombongan kami terpencar-pencar nggak jelas. Kuikuti ayahku, kugandeng seorang ibu-ibu sepuh yang satu rombongan denganku. Kacau! Karena pembimbing rombongan nggak tahu kemana, maka selesai thawaf, kami kebingungan mencari jalan menuju shofa-marwa untuk syai. Tanya sana-sini akhirnya dapat juga. Kami malah ketemu dengan rombongan yang isinya para juragan batik dan bos-bos itu. Kulihat Sang pembimbing dengan sabarnya terus memimpin rombongan itu. Kami ngintil aja di belakang, serasa jadi bagian grup orang-orang kaya nan eksklusif itu. Haha! 

Tiga hari di Mekah, dan saatnya kami kembali ke tanah air. Kami stay semalam di sebuah hotel di Jeddah. Hotel yang bagus, sama bagusnya dengan hotel yang di Madinah. Sempat kutanyakan kenapa kaum Proletar tidak di-switch saja alias, nggak masalah hotel di Madinah dan Jeddah kami dapat hotel jelek tetapi pas di Mekah kami mendapatkan hotel yang jaraknya tidak begitu jauh dari Ka’bah. Begini jawab sang Reps dari Biro Perjalanan Umroh tsb, bahwa sebenarnya jatah hotel paket hemat untuk di Madinahpun sebenarnya bukan yang kami tempati dulu, tapi masuk lagi ke belakang, itu bonus dari Biro Perjalanan Umroh untuk kami. Hah! Ya, ternyata kami masih beruntung di Madinah, tapi tak beruntung di Mekah. (Hah, ternyata aku masih berkutat dengan masalah itu-itu saja, hiks! Susah jadi orang ikhlas nek!)

By the way, ini sebagian pemandangan menarik di Jeddah :-)



Pelajaran berharga yang kuambil dari segenap suka duka perjalanan ini adalah : Cari dulu informasi sebanyak-banyaknya sebelum kita memilih Biro Perjalanan Umroh. Terutama jenis paket dan fasilitas yang ditawarkan agar ibadah kita di sana lebih nyaman dan mantap, termasuk rencana perjalanan dan pesawat yang akan dipakai agar perjalanan menjadi efektif.

Special thanks untuk teman seperjuangan senasib sepenanggunan (a.k.a Gank Firdaus) : Bapak & Ibu Sukarno, Bapak & Ibu Kadis, Pak Sahroni, Pak Nasir, Mbah Sukarni & Mbah Muntamah :-)

Ini kisahku, sebuah perjalanan yang membuatku sakau dan ketagihan ingin menikmatinya lagi...

O my Lord, here I am at Your service, here I am.
There is no partner with You, here I am.
Truly the praise and the provisions are Yours,
and so is the dominion and sovereignty. There is no partner with You.


Saturday, May 19, 2012

Solitude @Situ Gunung...

“Loneliness adds beauty to life. It puts a special burn on sunsets and makes night air smell better.” ― Henry Rollins



Dan kesendirianku berawal...

Temenku tiba-tiba meng-cancel rencana camping kami ke Situgunung Sukabumi, di kawasan Taman Nasional Gede Pangrango. Cancel di last minutes, yang sumpah membuatku lumayan bete. Gimana enggak, jika carrierku sudah kupacking rapi dengan segala tetek bengek perlengkapan camping. Yup, tenda, matras, sleeping bag, kompor, nesting dan sebagainya sudah terjejal sempurna di dalamnya dan tinggal angkat saja. Yeah, daripada ngedumel sendiri, maka kuangkat saja carrier itu dan meluncur naik ojeg ke Terminal Kampung Rambutan. Aku niat ke Sukabumi sendiri.

Sebuah bis ekonomi jurusan Sukabumi sedang ngetem menunggu penumpang penuh. Kumasuki. Masih separuh bangku terisi. Tepat jam 06.30, bis itu kemudian berjalan pelan keluar terminal. Seorang Ibu yang duduk di sebelahku menawariku gorengan yang baru saja dibelinya.

"Mari, Teh."
"Oh ya Bu, terima kasih. Saya sudah sarapan kok"
 "Mau camping ya, Teh?" tanyanya
 "Iya, Bu"
"Di mana?" 
"Sukabumi, Bu. Di Situgunung"
"Oh ya ya, dulu anak Ibu suka camping di sana waktu SMA dulu"

Aku tersenyum, dan mendengarkan cerita sang Ibu tentang anaknya.

"Kok sendirian, Mbak campingnya?" 
"E...temen-temen sudah nunggu di Cisaat, Bu. Saya aja yang sendirian dari Rambutan"
Aduh maaf banget Bu, saya terpaksa bohong, habis ntar panjang penjelasannya...

"Berapa jam ya Bu, sampai Cisaat kira-kira?" tanyaku
"E...kalau nggak macet ya mungkin sekitar 3 jam-an"

Maka jadilah si Ibu itu teman ngobrolku di dalam bus. Seorang Mbak-Mbak yang naik dari Jalan Baru yang kemudian duduk di sebelah kami, menambah teman ngobrol kami. Seru kami membicarakan tentang acara TV "Reportase Investigasi" setelah si Ibu cerita kalau gorengan tahu yang dimakannya kok minyaknya banyak banget. Lalu dengan lincahnya si Mbak ini bercerita tentang acara TV tersebut dimana salah satu episode yang ditontonnya membahas masalah gorengan yang telah dicampuri bahan kimia berbahaya demi keuntungan produsen semata.

Macet di Ciawi. Bis berjalan pelan sekali. Pedagang asongan meramaikan suasana dalam bis. Mulai dari gorengan, aneka minuman botol, onde-onde, buah-buahan dll keluar-masuk bis entah berapa kali. Mata ini tak terlelap. Benar-benar perjalanan yang sangat ternikmati. Sempat memandangi sebuah pabrik air mineral di daerah Cicurug. Tersenyum dan teringat sesuatu di masa lalu. Aku pernah masuk ke dalamnya, dulu, telah lama sekali, saat aku bekerja di grup yang sama dengan pabrik tersebut. Ha3x, yeah tiba-tiba aku ingat sebuah pabrik dengan merk yang sama di daerah Citeurep Bogor, tempat kerjaku semasa tahun 2001 sampai 2004.

Aku belum pernah ke Situ Gunung. Cuma berbekal beberapa blog yang pernah kubaca tentang lokasi tersebut. Maka setelah lewat pasar Cibadak akupun bilang pada kondektur bis tersebut bahwa nanti aku turun di Polsek Cisaat.

"Masih jauh kok, Teh" katanya
"Mau camping ya, Teh?" 
"Iya, Pak" "Di Cinumpang?" 
"Bukan, Pak. Di Situ Gunung." 
"Oh. Nanti turun di Polsek Cisaat. Naik ojeg dari situ. Angkot juga ada, tapi jalan dulu sampai pertigaan pasar. Angkotnya sampai depan gerbang Situ Gunung kok" jelasnya dengan logat Sunda-nya yang kental. Penjelasan yang sangat tepat. Thanks a lot, Pak Kondektur :-)

Aku geser pindah tempat duduk di belakang biar dekat pintu keluar dan ngobrol dengan kondektur tersebut di sela-sela kemacetan yang lumayan di pasar Cibadak.

Akhirnya sampailah aku di Polsek Cisaat. Sesuai petunjuk dari pak kondektur, para tukang ojeg memang telah stand by di lokasi tersebut dan menawarkan jasanya. Aku menolak, pengen ngirit naik angkot saja, meski harus berjalan kira-kira 50 meteran ke pertigaan pasar. Aku masuk ke sebuah warung padang, mengganjal perut dulu. Jam menunjukkan pukul 11 siang, waktu Cisaat Sukabumi.

Angkot berwarna merah itu tak begitu lama ngetem. Penumpang langsung memenuhi termasuk aku dengan carrierku. Sengaja kuambil tempat duduk paling pojok, toh aku akan turun di penghujung rute angkot ini. Jalanan aspal lumayan bagus di awalnya, kemudian diselingi jalanan yang agak rusak dan menanjak. Hawa dingin mulai terasa, tampak pegunungan di depan sana, pohon pinus dan hijau suasana. Situ Gunung, aku datang, sejenak menyambangimu, menggumulimu semalam saja...

Setelah membayar tiket masuk 3000 rupiah, aku menuju kantor pengelola Situ Gunung Park untuk registrasi. Aku bertemu dengan Pak Ical & crew. Mereka agak kaget ketika mengetahui rencanaku untuk camping seorang diri. Akhirnya gagal rencanaku untuk nge-camp di camping Tegal Arben yang letaknya paling dekat dengan danau Situ Gunung dengan alasan yang cukup masuk akal mengingat aku camping seorangan. Akhirnya camping ground Bagedor yang letaknya di belakang kantor direkomendasikan mereka untukku. Yeah, tinggal teriak kalau ada apa-apa...toh dekat dengan kantor, hehe. Well, baiklah kalau begitu.

Aku tak langsung mendirikan tenda, melainkan jalan-jalan dulu ke danau Situ Gunung. Danau yang cantik, meski katanya ini danau buatan. Sayang agak mendung. Kubandingkan dengan situ-situ di Garut yang pernah kukunjungi, yang ini lebih cantik. Tampak banyak orang, sepertinya acara kampus, sedang outbound di sana. Sip, saatnya menjajal lensa wide-ku!

Nyaris sore ketika aku mendirikan tenda, si kuning Consina. Gerimis mengundang. Please jangan hujan. Sesuai ramainya berita yang kubaca di internet bahwa nanti malam akan ada supermoon, dimana bulan akan berada paling dekat dengan bumi. Berharap bisa menikmatinya di sini. Sinyal hp full, include 3G, aku tak berasa sendiri...

Tapi mimpi tinggal mimpi, ketika rintik hujan tak jua berhenti. Supermoon tak akan terlihat dalam cuaca seperti ini. Khayalanku menggelar matras di depan tenda, menikmati secangkir kopi, memandang langit dengan segala egoisme diri...gagal sudah. Aku meringkuk sendiri, dalam dekapan sleeping bag, menuju pagi.



Pagi di tepi danau Situ Gunung adalah pagi terindah yang pernah kutemui. Kabut malu-malu menyelimuti rimbun pepohonan di sekitar, sama malunya dengan sinar matahari yang sedikit demi sedikit menampakkan diri. Bau humus sisa hujan semalam terasa ringan dihirup. Gunung Gede Pangrango tampak gagah di belakang. Kukitari Danau Situ Gunung dengan sampan sewaan dengan membayar 7000 ribu rupiah. Yup, morning has broken, like the first morning...





Selesai mereguk cantiknya danau, destinasi selanjutnya adalah menuju Curug Sawer yang juga masih berada di kawasan Situ Gunung. Sekitar 30 menit tracking dengan medan yang lumayan naik turun. Lagu-lagu jadul di playlist Ipod ternyata sangat pas menemani kesendirianku, mencumbui pemandangan alam yang kurindui. Indah, dan aku suka...



Jam 11 siang, aku pamit pada Situ Gunung. Kembali ke Jakarta dengan bis ekonomi yang kucegat dari depan alun-alun Cisaat. Jalanan macet dan ban kempes kian melengkapi perjalanan siang itu. Mungkin aku akan kembali suatu hari nanti, menyongsong pagi kembali bersamamu...:-)

Mengutip quote dari seorang novelis Perancis, Honore de Balzac bahwa : Solitude is fine, but you need someone to tell that solitude is fine. Yeah, and now I want to tell everybody that solitude is fine, ha3x!

Tuesday, April 03, 2012

Maret

Dan sejarahpun berulang...

Di bulan yang sama, enam tahun lalu. Hal ini pernah terjadi. Sesuatu yang entahlah, tak bisa kuceritakan dengan detail. Cukup memilukan. Perasaan terbuang dan tak dihargai. Meski berhasil kulalui, aku tetap kalah. Semuanya tak bisa pulih seperti semula. Kadang aku masih meradang, jika perasaan sakit itu muncul kembali, saat tak sengaja pikiran ini mengembara ke beberapa bagian silam masa lalu.

Aku selalu takut pada Maret, meski tak tiap tahun terjadi sesuatu. Tapi kerap ada sesuatu yang terjadi. Buruk biasanya. Ah, semoga aku bukan musyrik. Aku cuma menandai waktu pada beberapa peristiwa hidup yang cukup signifikan.

Tahun ini, kembali terbukti. Maret kembali menjelma menjadi bulan yang membuatku kerdil, lemah dan terpuruk.

Aku kembali bersiap lelah. Harusnya cukup tegar karena telah cukup berpengalaman. Ya, aku menerima sejarah ini lagi. Karena sejarah kembali terulang, seperti bulan Maret, enam tahun silam...

(@BL Barge, menghitung jam untuk days off...)

Monday, February 27, 2012

"Sentilan" Seorang Kal Muller

"Orang indonesia kalau punya uang, akan liburan ke bali. Okelah, Bali masih Indonesia. Namun, kalau uangnya lebih banyak lagi, ia akan ke Singapura. Bila uangnya lebih banyak lagi, mereka pergi ke Eropa atau Amerika. Kenalilah negaramu dulu sebelum yang lain"

Itulah kalimat Kal Muller, seorang Antropolog asal Hungaria yang telah memilih Papua menjadi rumahnya, di akhir program Face To Face With Desi Anwar di Metro TV beberapa hari yang lalu. Kata-kata yang cukup membuatku tersentil. Bagaimana tidak, jika bahkan seorang bule yang harus mengucapkan itu pada kita, penghuni Indonesia yang lahir jeger di bumi Nusantara.

Saturday, February 25, 2012

Melodia

Kangen bikin puisi, tapi jemari tak mampu lagi. Mungkin aku sedang hampa inspirasi. Mungkin juga karena kemalasan tingkat tinggi. Tapi aku sedang rindu ingin perpuisi. Jadi kunikmati sajak indah ini, tulisan seorang penyair mumpuni...

MELODIA - karya Umbu Landu Paranggi

cintalah yang membuat diriku betah untuk sesekali bertahan
karena sajakpun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam
mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi,
membawa langkah ke mana saja

karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati mengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitar jarak dalam gempuran waktu

takkan jemu-jemu nafas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka, hikmah rahasia melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawahbantal, pananggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di rumah kecil papa, tapi gairah bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan

Friday, January 27, 2012

Meretas Jogja

Sebuah perjalanan mengisi kembali jadwal off kerjaku yang bertepatan dengan long weekend tahun baru imlek. Kali ini temen jalanku adalah Sopi. Tiket murah Air Asia dari Jakarta membawa kami mblusukan ke kota gudeg Yogyakarta.

Rini, sobat lamaku jaman kuliah dulu telah menyambutku di terminal kedatangan Bandara Adi Sutjipto. Ah, kau masih seperti dulu Rin. Tak ada yang berubah, masih Rini yang super romantis, hehe. Aku juga beruntung memilikimu di kota itu, karena dengan sukarela kau pinjami aku motor untuk keliling Jogja :-)

Motor yang akhirnya penuh dengan ransel dan koper itu kemudian melaju di atas jalanan kota Jogja menuju Hotel Agung Mas di Jl. Cokroaminoto yang telah Sopi booking. Ancer-ancernya adalah....dari Bandara belok kiri, lurus terus, melewati kira-kira 10 lampu merah kemudian belok kiri, nemu rel kereta api lalu lurus terus kira-kira 100 meter setelah itu. Hah, lengkap deh Rin. Kita nggak nyasar kok :-)

Sesampai di hotel ternyata kita belum bisa langsung check in karena masih pagi dan kamar belum kosong. Jadilah kami cuma nitip barang saja untuk kemudian lanjut ke Cangkringan/Kaliadem, melihat sisa-sisa letusan Gunung Merapi.

Berbekal GPS Manual alias tanya-tanya orang sepanjang jalan akhirnya kami sampai juga di Kaliadem. Mengunjungi desa Kinah Rejo tempat tinggal Alm. Mbah Maridjan. Rumah Alm. Mbah Maridjan sudah rata dengan tanah, di atasnya dibangun sebuah gubuk kecil sebagai penanda bertuliskan "Rumah Mbah Maridjan". Tepat di sampingnya, dua motor dan satu mobil APV yang tinggal rangkanya saja, teronggok menjadi saksi kedahsyatan terjangan awan panas waktu itu. Di dekatnya pula terdapat spanduk berisi tulisan kronologi kejadian waktu itu. Masjid di dekat rumah Mbah Maridjan juga sudah didirikan lagi meski hanya menggunakan bangunan papan dan bambu. Istri Mbah Maridjan nampak di area situ. Sebentar bercakap dengan beliau menanyakan keadaannya dan beliau mengijinkan kami untuk berfoto dengannya.



Rencana sebenarnya mau langsung pulang tapi Sopi tergoda oleh offroad tour menggunakan jeep di areal Kali Gendol, Kali Opak dan areal lainnya sisa erupsi Merapi. Setelah tawar menawar dengan si pemilik jeep akhirnya dimulailah petualangan offroad kami. Yup, Sopi as a driver! Sementara si driver aslinya menjadi navigator. Aku cukup menumpang di belakang saja, sambil sesekali jadi fotografer dadakan. Guyuran hujan menambah serunya perjalanan siang itu.

Merapi tertutup kabut, ah sayang...keindahan aslinya tak terekam indah dalam foto-foto.

Setelah puas berkeliling, perut diisi dengan mie rebus, kamipun pulang kembali ke Jogja. Hujan rintik hingga sedang mengantar kami turun dari lereng Merapi.

Motor yang kubawa sampai ke daerah deket-deket Condong Catur kalau nggak salah, ketika tiba-tiba kurasakan helm yang dipakai Sopi terantuk-antuk ke helmku. Oo...ngantuk nih anak. Merasa nggak aman mboncengin orang yang ngantuk dan tidur , aku segera berinisiatif mencari masjid saja agar Sopi bisa istirahat. Tapi entah berapa jauhnya tak jua kutemukan masjid di pinggir jalan. Waduh! Motor kujalankan pelan saja sambil mata ini terus memperhatikan sisi-sisi jalan. Alhamdulillah dari sisi kiri aku bisa membaca tulisan nama masjid 50 meter belok kiri. Maka ndlongsorlah dengan sempurna Ibu Sopi di masjid tersebut. Sementara aku bengong ria menunggu dia bangun. Sholat dhuhur udah, lanjut sholat ashar...dan dia baru bangun abis sholat maghrib. Gubrax deh!

Jam 7 malam-an kamipun keluar dari masjid tersebut. Tujuan selanjutnya adalah makan malam di Bale Raos kompleks Keraton Jogja. Sejenak mencicipi hidangan favorit para Sultan. Aku pilih, aduh lupa nama menunya tapi semacam suwiran daging bebek panggang yang dikasih saos kedondong. Yummy juga. Tak lupa dengan minuman wedang jahe gulo klopo. Ah, serasa dinner dengan keluarga kerajaan.

Lanjut lagi ke alun-alun Kidul. Menjajal mitos berjalan di antara dua beringin. Ah, Sopi gagal. Aku nggak nyoba karena sudah bisa kupastikan aku akan mbelak-mbelok juga, hehe. Di alun-alun Kidul sempet ketemuan dengan anggota milist Petualang24, ngobrol, kemudian cao dan janjian besoknya akan ke Gunung Kidul bersama.

Nah, dari alun-alun Kidul menuju hotel, kami nyasar. Muter-muter nggak karuan, bolak-balik kok jebulnya sini lagi sini lagi. Proses penyasaran tersebut berlangsung sekitar 1 jam! Akhirnya, kami berhasil menuju jalan kebenaran dan sampai ke hotel dengan selamat.

Esoknya, seperti rencana kami sebelumnya, pantai-pantai di Gunung Kidul akan jadi tujuan selanjutnya. Sejatinya aku bukan pecinta pantai, lha wong tiap 2 minggu dalam sebulan hidupku sudah di tengah laut dan melihat laut seperti sudah eneg dan mau muntah rasanya, haha. Tapi, buat Jogja mungkin bisa jadi exception deh. Kami pergi berdua saja, karena teman yang tadinya janjian akan menemani batal ikutan. Berbekal rambu-rambu di jalan dan sekali lagi GPS Manual...Valentino Rossi jadi-jadian ini meluncur di jalanan Jogja-Gunung Kidul. Hajar blehhhhh....

Busyet dah, serasa nggak inget waktu aku terus melajukan motor. Jalanan berkelak-kelok dan naik turun, ampuun! Pegel banget tangan dan pantatku naik motor tanpa istirahat selama 2 jam lebih, begitupun Sopi yang meski cuma membonceng tapi pastilah capeknya kerasa. Akhirnya, dengan selamat sentosa...sampailah kami di pantai pertama...Pantai Baron.

Pantai Baron, ramai orang siang itu. Pengeras suara dari pengelola pantai mengumumkan acara-acara dan fasilitas yang tersedia bagi pengunjung. Sesekali suara Ebiet G Ade bernyanyi, menjadikan langit kelabu yang tak menyisakan biru itu menjadi melow mendayu (hehe). Pantainya cukup indah. Apalagi kalau kita naik ke atas bukit karangnya dan memandang ke bawah. Setelah menyantap es kelapa, fotografer super amatiran ini jeprat-jepret sesukanya. Dan Sopi, ah...come on, tak maukah kau foto-foto di sini? Dia menggeleng, pengen istirahat saja katanya :-(

Tak berapa lami, kami lanjut lagi ke pantai sebelahnya yaitu Pantai Kukup. Wuih, keren euy. Ada view yang mirip kayak Tanah Lot di Bali (emang udah pernah ke Tanah Lot, Len? Hi3x, cuma lihat di gambar maksude!). Airnya kehijauan, ada semacam ganggang hijau yang menyelimuti air di tepi pantainya. Tapi langit semakin abu-abu...

Lalu kami menyusur jalan ke pantai di sebelahnya lagi. Tercantum rambu "Pantai Sepanjang". Pantainya memang panjaaaaaaaaaaaang banget. Masih sepi. Kami cuma lewat saja dengan motor sejalan garis pantainya. Tak sempat berhenti di sana.

Balik ke jalan besar lagi, ada rambu kecil bertuliskan "Pantai Watukodok". Kutawarkan ke Sopi, mau mampir nggak? Dia bilang nggak usah. Oke deh. Lanjoot lagee...!

Lurus jalan, kami menjumpai tulisan "Pantai Drini". Motor kugeber ke situ. Jalanan menanjak. Sampai di dekat pantai, tiba-tiba Sopi berteriak kegirangan "Eh, masjid-masjid!". Hah, ini anak tiba-tiba berubah jadi alim sekarang, lihat masjid langsung hijau matanya. Usut punya usut, ternyata dia pengen tiduran karena capek dan ngantuk. Oalah, kirain! Lalu menggeleparlah dia dengan sempurna, sekali lagi di sebuah masjid.

Akhirnya aku sendirian mengeksplore pantai ini. Eh, ada yang lagi foto pre-wedding di situ euy. Pantainya cantik, dengan deburan ombak besar khas pantai selatan. Dari atas batu karang, pantai tersebut terlihat semakin cantik. Background langit mendung, menjadikan pantai ini tambah sayu (halah, bahasamu...Len).



Setelah puas menikmati pantai Drini, aku kembali ke masjid dan masih menemukan Sopi molor dengan nikmatnya. Walah! Padahal kostum pantainya yang sudah ia siapkan telah menjejali ranselku, tapi nyaris tak ada photo session di pantai satupun karena dia telah tepar sedari awal. Sorry nek, sepertinya dikau perlu dibiasakan untuk jalan jauh pakai motor, hehe...

Hujan tiba-tiba deras mengguyur ketika kami bermaksud pulang dari pantai Drini. Yup, stop di pantai Drini saja dan tak melanjutkan ke pantai-pantai yang masih tersisa di sebelahnya. Hiks, lumayan kecewa juga sebenarnya karena pantai Krakal, pantai Sundak dan entah apalagi belum sempat terjelajahi. Sudah terbayang 3 jam naik motor untuk kembali ke kota Jogja, terbayang pegel dan capeknya maksudnya. Lalu kami putuskan untuk nginap di Wonosari saja, kota terdekat yang hanya menempuh perjalanan kira-kira 1 jam.

Event Kejurnas Balap Sepeda Tingkat Nasional di Wonosari, menjadikan hampir semua hotel dan penginapan di kota itu penuh. Tapi Alhamdulillah, akhirnya kami menemukan kamar juga. Dan Losmen Tilam Sari di sebuah gang di Wonosari menjadi saksi dilakukannya pemijatan oleh sang ahli pijat ke tubuh Sopi. Hehe, Sop...Sop...kamu kok lucu sampe kepikiran panggil tukang pijat segala. Yo wis selamat menikmati, aku terusin motor-motoran keliling Wonosari, dan berharap berharap nggak nyasar...hehe

Esoknya kami melanjutkan perjalanan ke kota Jogja. Valentino Rossi jadi-jadian ini kembali menggeber motor pinjeman Jeng Rini. Love u, Rin :-)

Bukit Bintang terlewati begitu saja. Ah, Bukit Bintang...seharusnya aku menikmati kamu semalam. Melihat kerlip lampu-lampu Jogja dari atas sana. Hiks, lain kali ya :-)

Kami belok ke arah Piyungan. Sopi pengen liat Keraton Ratu Boko katanya. Oke deh, siap nek. Keraton Ratu Boko mah nggak bakal pernah lelah kucumbui, meski baru sebulan lalu aku pergi ke sana.

Dan Sopi-pun berganti busana, merias diri cantik sekali sesampainya di Ratu Boko. Wkwkw, kostum pantainya yang tak terjamah kemarin selama di pantai, ia pakai sekarang. It's time for...pemotretan model! Hmm, padahal aku belum pernah belajar sekalipun motret model. Tapi biarin ajalah, trial and error, kalau hasilnya ntar error ya wajar, hehe...

Rencana lanjut jalan ke Candi Ijo dan Candi Banyunibo di dekat Ratu Boko gagal sudah karena jeng Sopi pengen langsung pulang ke kota Jogja. Hiks, lain kali lagi ya...(aku akan ke sana!).

Long weekend membuat Jogja jadi penuh luar biasa. Lampu merahnya yang rata-rata lamanya di atas 1 menit lebih dan lampu hijaunya yang cuma 20 detik, agak-agak bikin macet jalan. Dan...ketika sampai di deket Mall Saphir, waduh-waduh...partner jalanku kembali ngantuk. Ditahan dulu, Sop...lima lampu merah lagi kita sampai hotel. Tapi apa daya, tingkat kengantukan Sopi sudah di atas ambang batas. Akhirnya dia memutuskan turun dari motor ketika melihat ada salon Natasha di seberang Mall Saphir. Mau tidur dan facial aja katanya di sana :-)

Jadilah aku meneruskan perjalanan sendiri. Sebelum balik ke hotel, aku mampir dulu ke Mirota Batik di Malioboro untuk membeli sesuatu. Satu set miniatur gamelan, menggoda imanku. Tapi harganya yang selangit membuatku sadar bahwa lebih baik uang tersebut ditabung saja, hahaha.

Sekitar jam 4 sore, Sopi telepon katanya sudah selesai facial dan sudah tidur. Good! Mau balik dulu ke hotel untuk mandi kemudian kita akan jalan-jalan di Tamansari. Tapi sampai maghrib, dia tak juga muncul di hotel. Lha, nyasar ke mana? Sms nggak dibales, telepon nggak diangkat. Sumpah, aku panik luar biasa! Lha wong jarak Mall Saphir ke hotel nggak begitu jauh kukira. Khawatir terjadi sesuatu padanya.

Hah, akhirnya dia datang juga tepat jam 7 malam. Bercerita tentang kemacetan Jogja dan kemungkinan pengemudi taksi yang memutar-mutar jalannya. Yo wislah, yang penting kamu selamet nduk...

Malam itu aku sudah janjian dengan Rini dan keluarga untuk makan di luar. Tunjukkan aku ciri khas Jogja, Rin. Makan di angkringan juga hayo aja. Itu malah yang ingin banget kunikmati, yup kebersahajaan kotamu. Akhirnya kami makan di warung nasi goreng sapi di pinggiran Kota Baru sambil ngobrol tentang masa lalu. Asli, belum terbayar utuh rinduku padamu.

Senin, 23 Januari 2012. Pagi-pagi aku motor-motoran sendiri keliling kota Jogja. Sori Sop, kamu masih molor di kasur, jadi nggak enak membangunkanmu, hehe. Mencium pagi Jogja (tanpa acara nyasar)...dan aku jatuh cinta... :-)

Flight kami kembali ke Jakarta sekitar jam 1 siang. Masih ada kesempatan untuk jalan-jalan ke Tamansari. Mengunjungi reruntuhan bangunan masa lalu yang pasti megah pada saat jayanya dulu. Eh, ada yang lagi foto pre-wedding juga! Hmm, kemarin di pantai Drini, sekarang di Tamansari. Lagi musim kali ya?

Petualangan kami di Jogja berakhir di Tamansari. Pesawat Air Asia siang itu menerbangkan kami pulang ke Jakarta. Jogja, aku pamit dulu...

Untuk Rini, thanks banyak sist untuk semua bantuanmu. Aku pasti kembali suatu hari nanti, kau tahu.. bahwa aku telah jatuh cinta pada keindahan pagi di kebersahajaan kota-mu...

"Aku terpejam, kuhirup nafas dalam
di gerbang kotaku, Yogyakarta
Hari ini aku pulang, hari ini aku datang
bawa rindu, bawa haru, bawa harap-harap cemas
..........................
Setiap sudutmu menyimpan derapku, Yogyakarta
Setiap sudutmu menyimpan langkahku, Yogyakarta"
(Ebiet G. Ade, Yogyakarta)


Monday, January 02, 2012

Pergantian Tahun di Kawah Galunggung



Cuti diapprove dan itu berarti aku bisa tahun baruan di darat. Rencana telah siap, merayakan pergantian tahun di Gunung Galunggung Tasikmalaya Jawa Barat. Bersama gank nggembel-ku, Nia dan Ayu, kita bakal camping ceria di sana. Menjauhi hiruk pikuk perayaan di ibukota dan berbagi waktu dengan alam.

Berangkat dari Pule Residence, our kost sweet kost sekitar jam 8 malam via ojek depan gang menuju Terminal Kampung Rambutan. Rencana awalnya kita bakal naik bis paling malam yang ke Tasikmalaya sekitar jam 11 malam sehingga diperkirakan bisa sampai di Tasikmalaya pagi-pagi. Tapi dengan pertimbangan "jangan-jangan macet" di Cipularang mengingat nyaris tahun baru akhirnya kami putuskan untuk ikut bis Primajasa ke Tasikmalaya yang jam 9 malam.

Doa dan harapanku adalah...semoga di jalan bener-bener macet sehingga kita sampai di Tasikmalaya pagi, tapi ternyata oh ternyata jalanan lumayan lancar sehingga kita sampai Terminal Indihiang Tasikmalaya tepat jam 2 pagi. Alamak...ini mah kepagian! Abang-abang ojeg yang standby di depan terminal langsung mengerubuti kami. Tadinya mau ikut numpang di warung deket pangkalan ojeg itu untuk menunggu sampai pagi, tapi kok kelihatan agak-agak nggak nyaman dan nggak aman, ditambah lagi para tukang ojeg itu terus menanyai kami dan tak hentinya menawarkan jasa untuk mengantarkan kami ke Galunggung saat itu juga. What? Yang bener aja!

Untung ada masjid yang menyelamatkan kami. Alhamdulillah! Sebuah masjid yang terletak di dalam kompleks terminal, tempat kami beristirahat menunggu pagi. Nggelar sleeping bag...molor-lah daku hingga shubuh...

Percakapan dengan seorang bapak yang jualan di samping masjid yang ternyata beliaunya adalah imam masjid di situ mewarnai penantian kami. "Naik angkot warna hijau teh kalau ke Galunggung. Kalau ragu tanya saja sama pengurusnya, ada di rumah makan". Begitulah pesen bapak tersebut. Walau agak sedikit bingung dengan maksud "pengurus di rumah makan", kami iyakan saja.

Matahari pagi menampakkan diri, tak lama kemudian angkot hijau tampak mangkal di pasar seberang terminal lalu kami pamitan ke bapak tersebut. Saat hendak menyeberang jalan ke arah pasar. Seorang petugas yang berada di gerbang masuk bis terminal menanyai kami dan menjelaskan transportasi menuju Galunggung. "Nyebrang ke pasar, naik angkot warna kopi", katanya. Hah? Warna kopi? Bukannya hijau...? Waduh, gimana nih Pak petugas? Jadi warna hijau atau warna kopi...???

Setelah nyebrang ke arah pasar, demi ketepatan angkot yang akan kami naiki, maka kami kembali bertanya. Kali ini kami bertanya sama seorang mbak-mbak yang sedang menyapu di depan sebuah toko untuk kembali mengkonfimasi angkot dengan tujuan Galunggung "Itu teh, angkot warna hijau itu yang ke Galunggung". Menurut supir angkotnya, dia akan berangkat jam 06.45. Jadi masih ada kesempatan 30 menit untuk sarapan. Ada ketupat sayur mangkal dekat angkot tersebut. Kali ini Nia menanyakan dulu berapa harga se-porsinya sebelum membeli. Yeah, karena pengalaman membuktikan sudah beberapa kali dalam perjalanan kami sebelum ini, makan deket terminal selalu saja dihargai mahal padahal kadang hanya makanan standar saja. Jadilah ketupat sayur ala Tasikmalaya kami santap sebagai sarapan. Bukan ketupat sayur ding karena blas nggak ada sayurnya, maka kami sepakat menamakannya sebagai ketupat kuah :-)

Tepat jam 7 pagi kurang sedikit, kami bersama angkot warna hijau akhirnya berangkat ke Galunggung. Angkot penuh sesak, bukan oleh penumpang tapi oleh barang-barang. Carrier dan daypack kami berdiri di antara tumpukan box-box minuman mineral bahkan juga sekarung sayur yang memenuhi hampir separuh isi angkot. Jalan menuju Galunggung bener-bener sudah rusak. Amat disayangkan betapa destinasi wisata yang aku yakin telah menyumbangkan pendapatan asli daerah ini, tidak begitu diperhatikan aksesnya. Tapi meski dengan kondisi jalan yang rusak dan mengakibatkan ketidaknyamanan duduk di dalam angkot, kulihat si Ayu tetep bisa molor tuh. Yeah, selamat bermimpi indah di dalam angkot :-)

Entah berapa kilometer jarak dari Terminal Indihiang ke Galunggung, perasaan perjalanannya lumayan lama. Meski jalanan rusak, tetapi kuperhatikan petunjuk arah menuju Galunggung sangat jelas. Akhirnya sampailah kami di Pos Retribusi Galunggung. Naik ojeg menuju tangga Galunggung sudah masuk dalam itenerary kami plus budgetnya, jadi...marilah kita mengirit tenaga saja naik ojeg daripada jalan kaki, hehe...

Ojeg mengantarkan kami tepat di dekat tangga semen menuju kawah Galunggung. Ha3x, naik gunung kok pakai tangga semen ya? Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Sebelum naik, kami singgah dulu di sebuah warung sekalian membeli perbekalan camping nanti. Nasi bungkus, telur dadar, air minum dll. Sang Ibu penjaga warung juga menyarankan agar kami naik ke Gunung lewat jalan setapak di samping tower BTS saja yang tepat berada di samping warung tersebut, lebih dekat sampai bibir kawah dan jalannya tak begitu menanjak. Okelah kalau begitu, kita hajar bleh!

Kabut merayap naik. Hmm, seger...

Perjalanan sampai bibir kawah tak begitu jauh pun nanjak, bener kata si Ibu penjaga warung tadi. Melihat dari atas, kok area kawah yang sudah menjadi danau di bawah masih sepi, tak terlihat ada tenda camping di sana. Waduh, jangan-jangan cuma kita bertiga yang nge-camp di sana! Setelah foto narsis sebentar, kitapun turun melalui setapak ke arah kawah.

Sampai di tepian kawah, eh nemu warung. Walah, tahu ada warung gini ngapain kita bawa perbekalan dari Jakarta plus tambahan makanan di warung atas tadi ya? Harga juga cuma beda gopek doang. Sayangnya, warung yang kemudian kita namai menjadi Ibu D2 alias "Depan Danau" ini tak tersedia gorengan yang masih panas kemebul. Coba kalau ada, wuih pasti sempurna!


Suasana sekitar danau masih sepi. Ada tenda yang telah berdiri cuma jaraknya juga lumayan jauh dari lokasi tempat kami nenda. Beruntung tak lama kemudian, datanglah segerombolan orang yang akhirnya menjadi tetangga dan mendirikan tenda tepat di belakang kami. Hehe, spot tempat buang air darurat meski kegusur, wkwkwk. Tambah seru juga punya tetangga yang kelakuannya lucu-lucu bin aneh-aneh ini.

Tenda berdiri, makan siang...lalu molor! Oalah, pindah tidur doang ini ceritanya :-)

Menjelang sore, Galunggung diguyur hujan deras, angin kencang plus guntur yang menggelegar. Tenda kami yang imut serasa berjuang keras melawan penderitaan. Tangan kami terus menopang tiang-tiang tenda dari dalam. Tak lupa pula berdoa pada yang Kuasa. Hah, lega rasanya ketika semuanya kemudian berakhir dan langit kembali cerah ceria menanti malam pergantian tahun.



Satu lagi keuntungan punya tetangga, yaitu kami tak perlu susah-susah bikin api unggun malamnya alias tinggal nebeng saja. Kembali disayangkan, kenapa si Ibu D2 tak menyediakan jagung sehingga bisa kami bakar bersama. Ups, ada yang ngasih susu anget juga, tapi cuma 1 orang yang menghabiskan 3 gelas susu anget tersebut. Nia nggak mau karena takut cepet pup sedangkan aku nggak mau karena takut laktosa intoleranku beraksi. Alhasil, 3 gelas susu hangat tersebut dihabiskan oleh satu orang saja (hayo tunjuk jari...!. Sang penikmat 3 gelas susu ini, juga kelihatan begitu nikmatnya klepas-klepus dengan asapnya. Yang lain serasa ngontrak aja ya, Yu? Hehe...

Kawah Galunggung mulai ramai. Banyak yang datang. Satu demi satu tenda diberdirikan. Menunggu pergantian tahun, kami molor lagi. Alarm disetel jam 11 malam.

Akhirnya, pergantian tahun 2011 ke 2012 kami nikmati di kawah Gunung Galunggung. Tak kalah seru dibanding di kota. Nyatanya pesta kembang api juga kita nikmati di sana. Plus jedag-jedug musik disko dari tenda kawan-kawan yang nge-camp di seberang sana. Langit cerah. Bintang bertaburan, berkerlip indah. Meski tak ada bintang jatuh yang kulihat, boleh kan make-a wish. Dan harapanku di tahun 2012 adalah...hmm...apa ya? Ada deh! Selamat tahun baru 2012 untuk semua!

Pagi yang cerah di awal 2012. Selesai menamatkan sarapan dengan makanan instan, kamipun cabut dari Galunggung. Kini kami menggunakan jalur tangga semen untuk turun gunung. Ternyata pengunjung yang naik tangga lumayan banyak, mulai dari anak kecil sampai oma opa, terus berjuang menaiki tangga. Ayo…kamu bisa!!!

Tujuan kami selanjutnya adalah pemandian Cipanas yang letaknya tak jauh dari kawah Galunggung. Tentu saja kami ingin mandi! Hehe, secara sudah dari kemarin kami absen mandi meski sebenarnya ada sungai yang lumayan besar bahkan musholla di dekat kawah.

Kembali kami memanfaatkan jasa ojeg menuju Cipanas. Hujan rintik menyertai kami selama perjalanan. Jalanan beraspal bagus tetapi dengan track yang kadang membuat jantung mau copot. Sesampainya di Cipanas…waduh, sudah kayak cendol euy. Ramai sekali. Namanya juga tahun baru. Tapi yang penting, akhirnya…kami mandi juga! Air hangat pula!

Kami berniat langsung kembali ke Terminal Indihiang Tasikmalaya dengan angkot warna hijau dari gerbang pos retribusi. Tapi jalanan desa dengan kondisi rusak dan tidak begitu lebar tersebut tiba-tiba berubah serasa Jakarta, alias macet luar biasa. Gila! Sepertinya semua orang se-Tasikmalaya tumpah ruah di Galunggung semua untuh tahun baru-an. Namun perjalanan macet dan lama bersama penumpang lain yang ternyata warga sekitar Galunggung itu membawa cerita tersendiri. Mereka adalah warga desa yang lugu yang dengan antusiasnya bercerita tentang seorang bos di daerah situ yang luar biasa kaya karena usahanya dalam pengelolaan pasir Galunggung. Dua ikat rambutan yang kami beli di Cipanas, ludes juga menjadi teman perjalanan selama menikmati kemacetan, di antara cerita tentang si bos pasir tersebut.

Sekitar jam 1 siang kami sampai di Terminal Indihiang. Sholat sebentar di masjid dalam terminal yang kemarin kita datangi. Bapak imam masjid masih mengenali kami bertiga dan menanyakan bagaimana suasana tahun baru di Galunggung sana. Lalu Bis Budiman jurusan Jakarta membawa kami pulang ke Kampung Rambutan.

Trip yang singkat tapi mengesankan. Begitu banyak kejadian lucu sepanjang kisah perjalanan. Special thanks untuk para tetangga, yang maaf banget sampai nggak hafal satu persatu namanya. Terima kasih untuk segala kebersamaan. Sampai jumpa suatu hari nanti entah di pelosok gunung mana…

“Berbagi waktu dengan alam. Kau akan tahu dirimu siapa yang sebenarnya...” (Okta feat Eros, OST Gie).