Monday, December 15, 2014

Menyusur Flores (Bag. 7) - Wae Rebo

"It's not how fast you can go
The force goes into the flow
If you pick up the beat
You can forget about the heat
More than just survival
More than just a flash
More than just a dotted line
More than just a dash..."

(Marathon - Rush)

----------------------------------------------------------------

20 November 2014.

Next destination...Wae Rebo di Kabupaten Manggarai.


Wae Rebo dalam Peta Flores.
Sumber : www.waerebopower.com


Lagi-lagi kami harus ngumpulin nyawa sejak jam 3 pagi karena jam 4 nya kami mesti check out dari hotel dan berangkat ke Ruteng. Kami menyewa mobil karena harus pergi pagi-pagi bener dari Bajawa untuk bisa mengejar angkot ke Denge. Denge adalah desa terdekat dari Wae Rebo. Angkot ke Denge kabarnya berangkat jam 9 pagi dari terminal Ruteng. Jika kami naik bis umum dari Bajawa, positif akan ketinggalan angkot karena bis baru berangkat jam 8 pagi. Baiklah, terpaksa bengkak lagi budget kami :-(

Ruteng sendiri berjarak sekitar 167 km dari Kota Bajawa. Ruteng adalah ibukota Kabupaten Manggarai. Oya perkenalkan, driver kami kali ini bernama Kak Noh. Hei, pelan-pelan saja Kakak, biarkan kami menikmati siluet Inerie di langit Bajawa yang nyaris sunrise itu. Cantik sekali! Lagi males ngeluarin kamera tapinya, jadi cukup direkam dalam memori batin saja ;p

Ada tempat lain yang bisa dihampiri sebelum sampai Ruteng? Ada, namanya Danau Ranumese. 



Menepi sejenak, menikmati Danau Ranumese dari jauh


Sekitar jam 8 pagi kami sampai di terminal Ruteng.  Angkot ke Denge sudah tersedia di tempat. Hmm, tepatnya bukan angkot sih tapi semacam truk yang dimodifikasi. Orang sini menyebut truk ini dengan Oto Kayu. Bangku penumpangnya berupa lempengan kayu yang dipasang/lepas/geser. Ada sekitar 7 baris bangku di di dalamnya dimana tiap bangku lempengan kayu tersebut bisa memuat 5 sampai 6 orang (itu belum termasuk barang-barang atau bahkan hewan ya ;p). Jarak antar bangku sempit sekali. Jadi bagi yang merasa memiliki kaki panjang, harap bersabar atas ketidaknyamanan ini, hehe! 



Ini penampakan Oto Kayu bermerk Rita Lux, jurusan Ruteng - Denge 

Update status Cynnn... "On the way to Wae Rebo -_-"

Masih menunggu penumpang.
jadi, tidurlah yang nyenyak kawan! Sebelum kita disiksa tak berdaya dalam oto kayu ini nanti ;p

Sebuah rambu di pojok terminal. Saya suka anjuran itu :-)

Oto kayu tersebut ternyata baru berangkat sekitar jam 10-11 siang. Penuh dengan penumpang dan barang. Bahkan beberapa sak semen turut ditaruh di bagian bawah truk dan terpaksa kami injak-injak. Sebuah spring bed juga ikut nangkring santai di atas sana. Oke kakak, kita berangkat! Oto kayunya full musik cuy! 


Interior dalam Oto Kayu. Lengkap dengan sak-sak semen yang akan dibawa ke Denge ;p

Dari Ruteng ke Denge kurang lebih membutuhkan waktu 5 jam. Itu berarti selama 5 jam pula kami akan duduk di bangku lempengan kayu yang tidak ergonomis, sempit dan berhimpit. Jangan tanya aspek safety dari oto kayu semacam ini yang kemudian melaju di jalanan sempit , berkelok dan rusak. Inilah satu gambaran transportasi umum di timur Indonesia... :-(

Dua kata untuk perjalanan di atas oto kayu ini, sangat melelahkan! Perjalanan bis dari Ndao ke Mbai saja ternyata masih kalah ganas dibanding yang ini!

Cerita lucu di perjalanan? Tentu ada! Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada satu bangku kayu yang patah dan bunyi patahnya cukup mengagetkan (awalnya kukira itu bangku deretannya Kakak Dame). Ah, mungkin bangku kayu itu sudah lelah, haha!  Atau Ardyan yang beberapa kali berdiri karena kakinya pegel dan memilih duduk di pinggiran bak truk sambil nundukin kepala takut kejeduk atap truk (kasihan dia...). Atau seorang Ibu yang naik dari entah desa apa, dan malah maksain duduk di bangku yang sebenarnya sudah penuh karena satu penumpang di bangku yang sebenarnya agak kosong  tidak mau bergeser. Keadaan itu disambut teriakan beberapa penumpang "Bolo...bolo...!" Hah? Bolo-Bolo? Jadi inget lagunya Tina Toon yang begini : "Mama...bolo-bolo. Papa, bolo-bolo, Nenek bolo-bolo, Kakek bolo-bolo..*sing!" Wkwkw! Usut punya usut ternyata bolo-bolo adalah bahasa daerah situ yang berarti "geser-geser". Ya, berinteraksi dengan penumpang di oto kayu itu lumayan menghibur dan mereka kelihatan ikhlas menjelaskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kami. 

Jam 15.30 sore akhirnya kami sampai desa Denge. Waduh, bisakah kami langsung trekking ke Waerebo jam segini? Kami menuju rumah Pak Blasius yang merupakan pengelola Pusat Informasi Wae Rebo. Seorang pemuda bernama Kak Reihan menyambut kedatangan kami di rumah itu, lengkap dengan welcome drink berupa kopi sehingga membuat hidup lebih hidup (eh, salah ya slogannya). Tak berapa lama kemudian datanglah Kak Marcel, masih saudara sama Pak Blasius. Maka ngobrol-lah kami tentang Wae Rebo sambil nunggu Pak Blasius pulang dari kebun.

Pak Blasius datang. Obrolan berlanjut. Kami tidak direkomendasikan trekking ke Wae Rebo saat itu karena hari telah sore. Trekking cukup jauh sekitar 9 km atau 3 jam-an, dan sering ada ular di jalan/hutan yang akan dilewati. Penduduk yang tinggal di Wae Rebo-pun juga belum siap jika kami datang pada malam hari. Jika tadi datang maksimal jam 2 siang, mungkin masih bisa langsung ke Wae Rebo, jelasnya. Ya sudahlah, pupus sudah harapan kami untuk bisa bermalam di rumah kerucut Wae Rebo. Akhirnya kami menginap di rumah Pak Blasius yang memang menyediakan homestay untuk tamu. Nama homestay-nya adalah Wejang Asih. Lha kok seperti bahasa Jawa? Tapi ternyata itu bahasa lokal/Manggarai yang artinya tempat istirahat. 

Obrolan dengan Pak Blasius berlanjut hingga malam. Beliau adalah seorang guru SD (SD-nya ada di dekat homestay) dan juga merupakan warga asli suku Wae Rebo. Bisa dibilang beliau merupakan salah satu perintis upaya pelestarian Wae Rebo. Buku-buku tentang Wae Rebo tersedia lengkap di ruang tamu rumahnya. Nah, buku-bukunya ini harus di-iqra' ya :-)

Masyarakat suku ini percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau. Wae Rebo merupakan tempat persinggahan terakhir mereka dari kehidupan yang berpindah-pindah. Leluhur mereka telah menciptakan 7 rumah adat yang bernama Mbaru Niang. Kehidupan yang semakin modern membuat masyarakat kemudian meninggalkan rumah adat mereka dan di tahun 90-an tinggal beberapa rumah adat saja yang tersisa. Beliau bercerita bahwa ia membawa foto-foto rumah Wae Rebo (yang tersisa) ke sebuah hotel di Ruteng sekitar awal tahun 2000-an. Dari sanalah kegiatan semacam promosi berawal. Dan siapakah wisatawan yang pertama kali datang ke Wae Rebo? Ah, ternyata wisatawan bule! Hiks, kok bukan domestik sih? Sungguh ironis!

Tahun 2008, dengan bantuan beberapa donatur, masyarakat Wae Rebo mulai dapat membangun kembali rumah adat mereka. Pembangunan dilakukan secara bertahap selama 3 tahun hingga kembali lengkap berjumlah 7 buah seperti sekarang. 

Tak mudah hidup di Wae Rebo, lanjut Pak Blasius. Tanah di Wae Rebo hanya cocok untuk kopi, cengkeh, jagung dan sayur-mayur.  Untuk beras dan kebutuhan makanan lainnya mereka harus membawanya dari bawah. Bayangin, trekking 3 jam sambil nggembol beras dll untuk hidup! Tapi demi mempertahankan budaya dan adat istiadat, masyarakat Wae Rebo mau melakukannya. Salut!  Oh ya, masyarakat  akan digilir untuk tinggal di rumah Wae Rebo, ya semacam jadwal/roster on - off gitu. Khusus untuk anak-anak yang masih sekolah, mereka tinggal di Kombo. 

Catatan penting bagi para pemilik hp dan aktivis media sosial yang demen update status atau ngetweet, di Denge nggak ada sinyal. Sinyal hanya sampai di Desa Dintor yang terletak sekitar 4 km sebelum Denge. Jadi, puasa alay sebentar dan tabahkan hatimu Nak ;p

21 November 2014.

Dinihari di Denge. Dan lagi-lagi kami harus bangun jam 3 pagi. Kami sudah janjian dengan Kak Marcel yang akan menjadi guide kami ke Waerebo dan memulai trekking jam 4 pagi. Wae Rebo berada di ketinggian sekitar 1200 mdpl. Akan ada 3 pos yang dilewati sebelum sampai ke Wae Rebo. 


Peta Lokasi Wae Rebo.
Sumber : www.waerebopower.com

Jalanan di desa Denge masih gelap, belum ada tanda-tanda kehidupan. Tapi langit penuh bintang. Trek awal ke Waerebo adalah jalan desa yang cukup lebar dan masih dalam proses pengerjaan penataan batu-batu guna keperluan pengaspalan. Jalan dengan batu-batu besar yang tertata itu akan berakhir di sebuah sungai di dekat Pos 1. 

Dame dan Ardyan berjalan seperti rusa. Aku ketinggalan jauh di belakang. Sebenarnya treknya sih nggak begitu ekstrim nanjak, tapi tampaknya tenagaku sudah terkuras habis di Gunung Inerie dan kini tinggal ampasnya saja. Itupun ampas reject yang nggak bisa didaur ulang, haha! Aku tertatih, terseok, ter-apalagi coba...pokoknya yang senasib dengan ketidakberdayaan! Aku terjatuh di jalanan batu, asyem...sakitnya tuh di dengkul! Lengkap sudah penderitaanku. Setelah sukses menggapai puncak Gunung Inerie kemarin, sekarang harga diriku terjun bebas di Wae Rebo, wkwk! Tapi aku masih selamat sampai Pos 1. Lumayan. 

Setelah mengambil waktu untuk istirahat, kami lanjut jalan ke Pos 2. Kondisiku masih sama. Aku ra popo, aku iso! Iso mlaku timik-timik, wkwk! Alhamdulillah, masih selamat juga sampai di Pos 2. Istirahat dulu, Kakak.

Sunrise di Pos 2 :-)
Yang pake handuk hijau di kepala nampak happy banget di sini. Kenapa ya?
Oh, ada sinyal tho di Pos 2? Pantes!

Lanjut lagi, Kakak! Saatnya ke Pos 3. Ternyata saya masih selamat juga! Sip-sip, baik-baik ya kaki. Jangan bikin masalah!  Setelah Pos 3...Nah, ini jalannya baru agak turun! Bonus namanya! Sering-sering ya bonus turunan gini, eh tapi nanti pulangnya nanjak dong berarti ? Ora uruslah, nanti ya nanti ;p

Jembatan bambu setelah Pos 3 

Sekitar jam 7 pagi, kami sudah makin mendekati Wae Rebo. Kami menuju sebuah rumah kecil semacam gerbang ke Wae Rebo. Wow, Wae Rebo dengan 7 rumah kerucutnya sudah kelihatan dari sini. Gila, ini mah indah sekali! Di rumah kecil inilah Kak Marcel memukul kentongan yang suaranya terdengar hingga Wae Rebo. Ternyata kentongan tadi menjadi pertanda bagi penduduk Wae Rebo bahwa ada tamu datang dan mereka akan segera melakukan persiapan penyambutan tamu. 


Gerbang menuju Wae Rebo

Kini kami berada di area seluas lapangan bola dengan sebuah altar berbentuk lingkaran di tengahnya serta tujuh rumah kerucut mengelilinginya. Ladies and gentlemen...this is Wae Rebo!

7 Rumah Adat Wae Rebo

Kak Marcel membawa kami ke rumah utama yang disebut Mbaru Niang Gendang Maro untuk menemui perwakilan tetua adat. Ada semacam ritual atau penghormatan kepada leluhur di sana yang bertujuan agar tamu yang datang senantiasa diberikan keselamatan selama di Wae Rebo dan juga bisa pulang ke rumah dengan selamat. 

Selesai ritual, kami dibawa ke Mbaru Niang Gena Maro, rumah kerucut yang dikhususkan sebagai tempat singgah para tamu. Di sinilah Kak Marcel menjelaskan tentang rumah kerucut ini. Bahwa setiap bangunan Mbaru Niang memiliki lima lantai, masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Lantai pertama sebagai tempat tinggal, ada kamar-kamarnya juga yang bisa menampung 6 hingga 8 keluarga. Tingkat kedua berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang sehari-hari. Tingkat ketiga untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan. Tingkat keempat untuk menyimpan stok pangan dan tingkat kelima atau yang paling tinggi adalah tempat sesajian persembahan bagi leluhur.


Tangga Bambu untuk naik/turun tiap tingkatan dalam Mbaru Niang.
Don't try this at home, it's very dangerous!

Children of Wae Rebo

Messi of Wae Rebo

Denyut kehidupan di salah satu rumah :-)

Begini caranya menenun

Jam 10, makan siang telah siap. Wuih, makanannya lengkap dan enak. Alat makannya pun bersih dengan piring keramik kualitas bagus. Mereka benar-benar menjamu tamu. Kenyang! SMP alias Sudah Makan Pulang, hehe! Nggak juga, tapi memang waktunya pas. Kami harus turun dari Wae Rebo sekarang karena akan lanjut ke Labuan Bajo siang nanti. 

Wae Rebo, pamit dulu. Terima kasih telah menerima kami! 

Dengan jalur yang sama seperti saat berangkatnya, kami pulang kembali ke Denge. Dame dan Ardyan tetap jalan dengan ala rusa-nya. Saya?  Meskipun sudah makan banyak tadi di Wae Rebo tetap saja nggak bisa mengejar mereka. Woles saja, toh Denge nggak akan kemana, haha! 

Pos 3 kami lewati, pada nggak berhenti istirahat ya? Yo wis. Eh, ada yang jalannya lebih-lebih dari rusa cuy. Lari dia! Busyet! Aku dan Dame tertawa ketika kemudian menjumpai Ardyan sedang mojok di Pos 2 sambil pegang hp-nya. Hahaha! Iya, Ardyan lari-lari dari Pos 3 ke Pos 2 demi sinyal, seperti yang telah kami duga sebelumnya. Lanjutkan saja, Mas :-)

Kami istirahat sebentar di Pos 1. Ah, habis ini jalan batu-batu itu sampai Denge. Lanjut dah! Akhirnya kami sampai juga di homestay Pak Blasius. Langsung tepar meluruskan badan sebentar di lantai rumah. 

Aha, kami kan punya buah sawo mentega yang kabarnya sudah matang. Buah ini kami beli di sebuah warung saat bis Larantuka-Maumere yang kami tumpangi berhenti sejenak di sebuah rumah makan padang. Kami baru pertama kali melihat buah itu, bahkan sempat kami googling di internet. Buah ini bernama latin Pouteria campechiana. Masih mentah saat dibeli. Kata penjualnya akan matang dalam 2-3 hari ke depan. Nyatanya buah itu tak kunjung matang bahkan sudah terbawa overland sampai ke Maumere, Moni, Riung dan Bajawa. Dan ternyata di Wae Rebo-lah si sawo mentega ini matang. Oke, mari kita nikmati rame-rame dengan Ibu Blasius serta anak-anaknya. 

Buah Sawo Mentega
Jam 2 siang kami meninggalkan Denge. Terima kasih, Pak Blasius dan keluarga :-)

Kak Reihan beserta dua temannya akan mengantarkan kami dengan motor ke daerah Pela. Di Pela nanti  kami bisa mencegat bis jurusan Labuan Bajo. Cukup mahal bayar ongkos ojeknya. Tapi mungkin sepadan dengan medan serta jauhnya jalan yang ditempuh. Sumpah, pegel juga nih pantat mbonceng motor selama 2,5 jam dengan bonus hujan deras di tengah jalan. Komplit penderitaan ;p

Perjalanan dari Denge ke Pela
Dan di pertigaan Pela-lah kami turun. Mengucapkan selamat tinggal pada Kak Reihan dan dua temannya serta menyimpan segenap kenangan tentang Wae Rebo. 

Ya, Labuan Bajo telah menunggu...

Kisah selanjutnya di Menyusur Flores (Bag. 8) - Taman Nasional Komodo

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :

a. Sewa mobil Bajawa - Ruteng = Rp. 600.000
b. Oto Kayu Ruteng - Denge = Rp. 35.000/orang
c. Homestay Wejang Asih Denge = Rp. 175.000/orang (termasuk makan)
d. Guide Wae Rebo = Rp. 200.000
e. Sumbangan untuk ritual selamat datang di Wae Rebo = Rp. 50.000
f.  Biaya Day Trip Wae Rebo = Rp. 100.000/orang (dapat makan siang)
g. Ojek Denge - Pela = Rp. 200.000/ojek

No comments:

Post a Comment