Monday, March 30, 2015

Menyapa Papua (Bag. 6) - Lembah Baliem Day-5 (Menembus Kabut Habema)


"Aku makin ke timur, mengikuti garis bujur.
Meski barangkali hidup adalah angan-angan panjang, 
tapi di satu titik ini izinkan aku berhenti sebentar.
Ingin kubekukan sepi, 
Dan pagipun melandai, menyisakan angin pucat dan kabut dingin ..."

------------------------------------------------------------------------------------------------------

9 Februari 2015

Hari ke-5 di Lembah Baliem. Sampailah hari di mana aku dan Dame akan pergi ke Danau Habema...

Menuju ke Danau Habema bukanlah perkara mudah, terutama untuk urusan kantong. Tak ada transportasi umum ke sana. Satu-satunya jalan adalah harus mencarter mobil 4WD dari Wamena dengan biaya sekitar dua jutaan rupiah lebih! Hah! Sejak awal kami bikin itinerary Papua, maka transportasi ke Danau Habemalah yang bikin mata terbelalak lebar apalagi praktis biaya tersebut hanya ditanggung oleh kami berdua. Tapi selalu ada harga yang dibayar untuk keindahan destinasi yang mungkin tak biasa ini. Dan akhirnya, kami tetap nekad pergi ke sana...

Tepat jam 06.30 pagi, sebuah mobil Ford Ranger yang kami rental dengan driver bernama Kak Nunuk telah siap di depan mata. Oh ya, Pak Musa tetap ikut. Capcus kita! 

Danau Habema berada sekitar 48 km dari Wamena, berada di kaki Gunung Trikora, dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lorentz. Danau ini memiliki nama asli Yuginopa. Nama Habema sendiri diambil dari seorang perwira Belanda yaitu Letnan D. Habema yang mengawal ekspedisi H.A Lorentz untuk mencapai puncak Gunung Trikora pada tahun 1909 (sebelum nama Trikora disematkan, pemerintah Belanda menyebut gunung itu dengan nama Gunung Wilhelmina). Dengan ketinggian 3.225 mdpl danau ini termasuk danau tertinggi di Indonesia. Dari sana, kita akan bisa melihat Gunung Trikora yang menjulang tinggi dengan salju abadi di puncaknya. Hey, bila kalian pernah menonton film "Denias Senandung Di Atas Awan", maka keindahan Danau Habema sempat terekam dalam beberapa adegannya. Pemandangannya luar biasa!

Mobil meluncur ke arah Distrik Napua. Untuk pergi ke kawasan Danau Habema, kami memang diharuskan melapor terlebih dahulu ke Pos Polisi Napua karena perjalanan ke sana termasuk rawan dalam hal keamanan.

Jalanan sempit dengan rute berkelak-kelok dan naik turun, diapit hutan Papua dengan pepohonan tinggi, serta kabut yang harus kami tembus menjadi teman perjalanan. Hmm, dingin tapi indah sekali. Sepi, nyaris kami tak bertemu dengan orang atau kendaraan lain. Jalur menanjak makin tinggi. Kota Wamena berada jauh dibawah kami bahkan di satu titik mobil kami berjalan sejajar dengan awan! Wah...!

Tapi ada sedikit yang merusak pemandangan. Di beberapa lokasi tampak penebangan pohon terjadi. Bukannya tempat ini bagian dari Taman Nasional yang seharusnya menjadi hutan lindung ya. Entahlah...



Kabut, sengajakah engkau mewakili pikiranku...

Awan bahkan bergerak sejajar dengan jalanan yang kami lewati

Sebuah lukisan pagi


Dua jam lebih perjalanan hingga kemudian Kak Nunuk berhenti di tepi jalan dimana kami bisa melihat Danau Habema dari kejauhan. Cantik, dengan latar belakang pegunungan yang gagah sekali. Satu jepretan dulu boleh?



Jalanan ala offroad kembali dilanjutkan. Kami mendekati arah tujuan, sang danau tertinggi di Indonesia itu.  Ah, bahkan bunga edeweis-pun tumbuh liar di pinggiran jalan. Sampai di persimpangan jalan, Kak Nunuk memilih jalan ke kiri, arah ke Kabupaten Nduga kata Kak Nunuk. Kalau ambil jalan ke kanan, itu menuju Kabupaten Puncak Jaya. Dan jalanan ini, wuih...bentang alamnya! Bebatuan tinggi yang keren sekali!

Danau Habema makin dekat dalam pandangan mata. Bukan main luasnya, dikelilingi oleh hamparan padang rumput dan rawa. Mobil berjalan pelan, kami mencari jalan masuk untuk turun ke danau itu, tapi tak kunjung ketemu.

"Susah turun ke danau di bawah itu. Rawanya hidup." kata Kak Nunuk

Lah, tapi aku ingat di beberapa artikel dan blog yang kubaca, bahwa kita bisa turun ke bawah, bahkan berenang di danaunya. Ada papan nama Danau Habema dan juga gubug-gubug di pinggirannya. Jadi pasti ada jalan turun ke bawah sana. Akhirnya kami putar balik, dan mencoba ambil arah kanan di persimpangan jalan tadi. Ya, kami ambil jalan yang menuju arah Kabupaten Puncak Jaya.

Mobil kembali pelan berjalan. Hawa dingin makin menusuk tulang. Entah berapa derajat celcius suhu di sana. Kabut tampak pekat, langit sama sekali tak biru. Kak Nunuk bilang jika kami datang agak siangan, maka tempat ini sudah tertutup kabut dan membuat Danau Habema tak kelihatan lagi. Lalu mana Gunung Trikora dengan puncak salju abadinya...?

"Seharusnya Gunung Trikora bisa terlihat di sebelah kanan kita jika cuaca cerah. Tapi cuacanya seperti ini, jadi tidak kelihatan" jelas Kak Nunuk.

Yach, gagal sudah harapan untuk menikmati megahnya Trikora dengan salju di puncaknya itu. Ya sudahlah, mengeluh tiada guna, bukankah alam memiliki skenarionya sendiri.

Membiarkan mata kami menikmati pemandangan yang sempurna dan tak biasa di depan mata adalah anugerah terindah pagi itu. Akhirnya, tampak di depan sebuah gubug kayu rusak dan papan nama yang sudah miring. Kami spontan teriak, nah....itu pasti jalan masuk untuk turun ke Danau Habema!


This is it, Danau Habema! 


Carilah papan nama ini, maka di situlah jalan masuk turun menuju Danau Habema

Aku, Dame dan Pak Musa turun sementara Kak Nunuk mau nunggu di mobil saja katanya. Baiklah, mari kita tapaki padang rumput yang terbentang maha luas ini untuk menuju danau itu. Jauh juga! Ups, hati-hati melangkah, ini bukan sembarang padang rumput biasa karena sebagiannya berupa aneka macam tumbuhan lumut dan tersimpan kubangan air dan lumpur di bawahnya. Tapi nyatanya, meski sudah berhati-hati dan mata tertuju pada langkah, berkali-kali aku masih terperosok juga, haha!

Di sekitar danau bisa kita jumpai tanaman epifit sarang semut dan entah tanaman apa lagi yang aku tak tahu namanya. Sepi sekali. Tak ada orang lain di tempat ini selain kami, lansekap seindah dan semegah ini benar-benar kami nikmati sendiri. Seribu puisi, mungkin bisa tercipta di sini.


Padang rumput, lumut dan rawa...

Mari istirahat di sini, kita nikmati sepi...

Iseng googling, tanaman ini bermarga Rhododendron
Ketika kopi bertemu dengan sarang semut (Myrmecodia pendans). Karena selalu ada kopi di setiap destinasi :-)

Menjelang siang kami pulang, meninggalkan Danau Habema dengan segenap kesunyiannya.

Dalam perjalanan pulang, belum begitu jauh dari lokasi danau, tiba-tiba aku ingat bahwa bendera merah putih itu belum dikibarkan. Aku memang sengaja membawa bendera dari rumah dengan sebuah cita-cita yaitu mengibarkannya di danau tertinggi di Indonesia, di Papua! Lha kok bisa-bisanya terlupa! Waduh! Eh, Kak Nunuk malah menyarankan untuk tetap dikibarkan saja, dia berhenti di tepi jalan dan memarkir mobilnya.

Maka hari ini, Senin tanggal 9 Februari 2015, kami kibarkan Sang Saka Merah Putih di dekat Danau Habema, danau tertinggi di Indonesia, di kaki Gunung Trikora Jayawijaya Papua! Kepada...Sang Merah Putih....Hormaaaat graaak...!!!



Papua, sekali lagi...tetaplah menjadi Indonesia!

Makin jauh kami tinggalkan Habema di belakang. Ada rasa enggan pergi...

Jadi teringat, sejumput tulisan tentang Heinrich Harrer, seorang pendaki Austria yang juga merupakan penakluk pertama Cartenz Pyramid Papua pada tahun 1962. Dalam bukunya I Come from The Stone Age, dia menuliskan kesannya tentang Papua. Kuterjemahkan secara bebas saja ya : "Di Aigera aku ingin menguji kemampuanku. Di Himalaya aku ingin mengetahui tentang kesendirian. Di Tibet aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Tapi di Papua aku menemukan semuanya..." 

Kami melewati jalan yang sama seperti saat berangkat tadi. Alam masih menyuguhi kami kabut pekat sepanjang perjalanan.

Kembali ke Wamena, kami melapor lagi ke Pos Polisi Napua yang menyatakan bahkan kami telah pulang dengan selamat dari Danau Habema. Saat lapor, kami sekalian iseng menanyakan dimana letak Air Terjun Napua yang kabarnya terletak tak begitu jauh dari Pos Polisi. Tak kusangka, Bapak Polisi yang jaga malah bersedia mengantarkan kami ke air terjun itu.

Tak ada rambu apapun sebagai petunjuk menuju lokasi Air Terjun Napua. Yang jelas, Kak Nunuk memarkirkan mobil sekitar 200-an meter dari Pos Polisi Napua kemudian ada jalan setapak di sebelah kanan jalan. Trekking menanjak sedikit lalu turun dan menemukan aliran sungai. Tak jauh dari sungai itulah air terjun Napua berada. Air terjunnya nggak begitu tinggi, tapi masih lebih tinggilah dibanding air terjun Walesi yang kami kunjungi kemarin.  Terima kasih, Bapak Polisi! Aduh maaf, kami bahkan lupa menanyakan namanya.


Air Terjun Napua

Jam sudah menunjukkan waktu 13.30 siang saat  kami berhenti untuk menikmati Soto Makasar di sebuah warung langganan Kak Nunuk di Kota Wamena untuk makan siang. Saat makan, tiba-tiba Kak Nunuk bertanya "Habis makan, mau lanjut jalan-jalan kemana lagi?" Aku dan Dame saling berpandangan. Hohoho, jadi mobilnya bisa dipakai seharian kah? Maka sebuah konspirasi terjadi. Kak Nunuk menyatakan bahwa mobil yang kami sewa itu bisa dipakai seharian, nanti dia tinggal bilang ke bosnya kalau aku dan Dame agak lama di Danau Habema dan pulang sore dari sana. Deal! Hahaha!

Kami memutuskan jalan-jalan ke Distrik Wosilimo untuk melihat Goa Lokale dan Goa Kontilola. Oh ya, Distrik Wosilimo merupakan tempat diadakannya Festival Lembah Baliem di Bulan Agustus setiap tahunnya.


Lapangan Distrik Wosilimo yang digunakan untuk Festival Lembah Baliem

Goa Lokale kami kunjungi duluan. Goa ini bentuknya memanjang dengan akses yang sempit bahkan beberapa di antaranya harus melewati jembatan kayu yang lapuk. Penerangan hanya tersedia sampai 50 meteran dari pintu goa. Entah sampai mana ujung goa ini.


Pintu masuk Goa Lokale

Mantap, Kakak! Ayo lanjut naik terus!


Goa selanjutnya yang kami datangi adalah Goa Kontilola. Dan goa ini...ah mulutku sampai ternganga saat sampai di pintu masuknya. Ada semacam aula besar dengan pilar di tengahnya, taman/hutan kecil di dalam goa dan goa lain di seberangnya dan sebuah aliran sungai bawah tanah jika jelajahi bagian kanan dari aula itu (perlu senter untuk ke sungai bawah tanah itu, gelapnya minta ampun!). Dari tulisan di internet yang kami baca, sempat ditemukan tulang belulang didalam goa ini dan juga lukisan aneh di dinding goa. Tapi pada saat kami tanyakan ke Pak Musa dan juga anak-anak yang menjadikan goa ini sebagai tempat bermainnya, tulang maupun lukisan itu tak ada. Nah lo!

Bebatuan goa didominasi warna hijau. Semoga goa ini tetap tersembuyi dari para penggemar batu akik, karena bisa-bisa batu di goa ini habis semua digali, wkwk!


Sebuah pilar di tengah goa
Survey batu akik, Kakak? Hahaha! 

Giok, Bacan, Kalimaya, Red Borneo, Ruby, Kecubung, hmm...apalagi....wkwkw! 

Ini tempat main kami, Kakak!

Menjelang maghrib kami sampai kembali ke Kota Wamena. Meluruskan kaki dan membingkai memori tentang perjalanan hari ini. Itu sudaaahhh....!!!

Cerita selanjutnya di Lembah Baliem Day-6 (Distrik Piramid)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Sewa mobil 4WD Wamena - Danau Habema pp = Rp. 2.500.000/hari (sudah termasuk bensin dan supir)
2. Sumbangan untuk Goa Lokale = Rp. 100.000/rombongan
3. Sumbangan untuk Goa Kontilola = Rp. 50.000/rombongan

Sunday, March 29, 2015

Menyapa Papua (Bag. 5) - Lembah Baliem Day-4 (Liburan Keluarga)


"Don't walk behind me; I may not lead. Don't walk in front of me; I may not follow. 
Just walk beside me and be my friend..."
(Albert Camus)

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

8 Februari 2015

Sudahkah aku cerita bahwa Radio Republik Indonesia (RRI) Wamena ternyata masih punya banyak penggemar di sana? Hampir semua pengumuman dari pemerintah daerah selalu dikabarkan via RRI begitupun dengan kondisi keamanan di Wamena dan sekitarnya. Maka mendengarkan siaran berita RRI setiap pagi sepertinya menjadi wajib hukumnya bagi seluruh warga, termasuk di rumah Indah tempat kami menginap. 

Minggu pagi yang cukup sibuk di sela-sela mendengarkan RRI. Keluarga Indah masak besar pagi ini untuk bekal makan siang nanti. Indah sekeluarga mengajak aku dan Dame dan semua pegawai di tempat usaha Indah untuk jalan-jalan di seputaran Wamena. Sepulang ibadah dari gereja, maka meluncurlah rombongan kami dengan mobil 4WD yang sudah disewa. Yup, dengan kondisi geografis Lembah Baliem, maka mobil seperti itulah yang bisa menjelajah dengan aman. Jadi jangan heran, angkutan umum di sana (terutama yang memiliki rute ke distrik yang jauh dari Wamena) menggunakan jenis kendaraan 4WD.


Ayo berangkat, kakak! 

Tujuan pertama kami adalah Hotel Baliem Resort atau penduduk Wamena lebih mengenalnya sebagai Hotel Jerman. Hotel ini terletak sekitar 21 km dari utara Kota Wamena. Kabarnya, tempat ini penuh jika hari minggu karena hampir semua warga Kota Wamena tumplek blek di tempat itu untuk berwisata. 


Interior  Restoran Hotel Baliem Resort

Interior Restoran Hotel Baliem Resort

Hotel ini menyuguhkan nuansa tradisional Papua. Kamar-kamar hotel dibuat serupa Honai, rumah adat tradisional sana. Pernak-pernik pajangan khas Papua melengkapi interior restoran. Cantik sekali. Tentu saja kami yang hanya pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke area penginapan. Para pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke restoran hotel yang menyuguhkan view lembah dan Kota Wamena yang bisa dilihat dari halaman belakang restoran. Tapi, mungkin karena mataku ini masih terbayang luar biasanya pemandangan Distrik Kurima yang kami jelajahi kemarin, maka view di belakang restoran tampak menjadi biasa saja. 

Wamena, view dari Hotel Baliem Resort

Perjalanan dilanjutkan kembali. Mobil 4WD dengan penumpang penuh di bak belakang meluncur di jalanan yang bertrek naik-turun itu. Kami menuju Walesi. Walesi terletak sekitar 10 km ke arah selatan Kota Wamena. Ada apa di Walesi? Ada sungai dan air terjun katanya yang akan kami sambangi. Dan Walesi, hawanya sejuk sekali!  

Menuju Distrik Walesi

Akhirnya kami sampai di tempat yang kami tuju, Air terjun Walesi. Dan hohoho, sebenarnya tak ada air terjun sih, tapi air jatuh, alias air terjun yang pendek banget, hehe. Air terjun itu lalu mengalir di ke sungai berbatu-batu dengan beberapa gazebo yang dibangun di pinggirannya. Area wisata ini penuh oleh pengunjung, tapi  yang memadati tempat ini bisa dibilang bukan asli penduduk Papua, tentu saja tampak dari wajah-wajah mereka. Ya sudah, mari kita main air sebentar, menikmati air jatuh lalu makan siang.


Set slow speed dulu, kakak!

Sungai Walesi

Foto Keluarga

Aku mau berenang...

Aku sempat terkesima dengan sebuah bangunan sekolah dimana kami memarkir mobil di halamannya. Bangunan itu adalah sebuah Madrasah Ibtidaiyah (sekolah muslim untuk tingkat SD). Tepat di sampingnya terdapat sebuah Masjid dengan kubah besar berwarna kuning yang masih dalam tahap renovasi. Ternyata banyak penduduk asli (Suku Dani) yang beragama Islam bermukim di desa ini sejak agama Islam masuk sekitar tahun 1970-an. Mereka hidup berdampingan dengan penduduk pribumi yang mayoritas beragama Nasrani. Sebuah bentuk toleransi antar umat beragama yang indah sekali.   


Seorang bocah dan "Wajib Belajar Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa"

Masjid di Distrik Walesi

Selesai dengan Walesi, kami menuju Napua. Ngapain di Napua? Foto-foto, kakak! Haha! Yup, di dekat Pos Polisi Napua kami turun dan menikmati pemandangan sekitar lewat gardu pandang di seberang kantor polisi. 

Salib besar berwarna putih di atas bukit

Indah dan Lion

Jalanan di Distrik Napua


Kota Wamena tampak dari kejauhan. Hmm, dimana Jl. Jendral Sudirman ya? 


Kebersamaan yang menyenangkan. Terima kasih Indah dan keluarga, telah membawa kami menikmati beberapa spot terkenal di Wamena. Besok, giliran Danau Habema nun jauh di sana yang akan aku dan Dame jelajahi! Itu sudaaaahhhh....!!!

Sang Saka Merah Putih berkibar di pojokan pagar Pos Polisi Distrik Napua. 
Tetaplah menjadi Indonesia, wahai Papua! 

Kisah selanjutnya di Lembah Baliem Day-5 (Danau Habema)

Sunday, March 22, 2015

Menyapa Papua (Bag. 4) - Lembah Baliem Day-3 (Distrik Kurima)

"Mungkin kamu bukan surga.
Tapi jika aku bahagia, mungkin kamu bagiannya.
Maka kita berdua saja
Bermain dengan alam raya..."

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

7 Februari 2015

Hari ketiga di Lembah Baliem. Wamena masih dingin. Kemana kita hari ini? 

Lembah Baliem bagian selatan tepatnya ke Distrik Kurima dan sekitarnya adalah tujuan kami sekarang. Tempat itulah yang seharusnya kami jelajahi selama empat hari penuh jika saja rencana awal berjalan dengan baik. Ah, mungkin alam semesta sedang menyiapkan konspirasi dalam versi terbaiknya. Nyatanya dengan kegagalan kami mengeksekusi rencana pertama, maka sekarang bukan hanya sisi bagian selatan Lembah Baliem saja yang akan disambangi, tapi semoga bisa ke delapan penjuru mata anginnya. Ya meskipun tentu saja tidak akan bisa lama dan puas karena kami hanya melakukan day trip saja alias pergi pagi pulang sore. 

Trekking sudah dimulai dari dalam kota, haha! Ya, aku, Dame dan Pak Musa bener-bener jalan kaki pagi di tengah kota, dari rumah Indah sampai Pasar Misi atau Wouma, entah berapa kilometer, tapi lumayan jauhlah. Saat melewati Kantor Bupati Jayawijaya, aku dan Dame tertarik pada satu tulisan yang terletak di gerbang Kantor Bupati. Ada kalimat dengan bahasa lokal yang berbunyi seperti ini "Yogotak Hubuluk Motok Hanorogo". Pak Musa menjelaskan bahwa itu adalah bahasa lokal yang artinya Hari esok harus lebih baik dari hari ini. 

Sampai di Pasar Misi, kami menuju angkot yang akan membawa kami ke Kurima. Tapi angkotnya masih kosong, alamat nunggu lama ini :-(

Mama Papua dengan Noken (tas rajut khas Papua) di punggungnya dan bocah kecil di pundaknya

Baru jam 9 pagi lebih, angkot tersebut terisi penuh dan akhirnya berangkat. Aku dan Dame duduk di depan. Pemandangan masih biasa di awal. Tapi makin ke selatan...damn! Makin keren! Cuaca sangat cerah. Bukit-bukit yang menjulang di sebelah kanan dan kiri jalanan bener-bener breathtaking. Dari kejauhan, bisa kami lihat aliran sungai Baliem. Tak salah banyak orang menyebut bahwa sisi selatan adalah tempat yang paling bagus untuk menikmati view lembah Baliem.


Angkutan Umum ke Kurima

Jembatan Pasar Misi

Jalan aspal makin rusak, bahkan angkot ini kadang harus mengeluarkan semua energinya. Di Terminal Holoka, di penghabisan jalanan aspal kami turun. Dulu ada jalan bagus sampai ke distrik atas sana, tapi longsoran besar beberapa tahun lalu menjadikan jalan ini tertutup tak bisa dilewati kendaraan dan belum ada perbaikan hingga sekarang.

Ujung Aspal...Terminal Holoka 

Sekitar 200 meteran lebih kami berjalan di jalan batu berpasir sebelum akhirnya menjumpai sebuah sungai yang berarus sangat deras. Sungai Yetni namanya. Longsoran sungai itu kemudian menembus Sungai Baliem. Yup, tak ada jalan lain ke Roma, mau nggak mau kami harus menyeberangi sungai Yetni untuk bisa melanjutkan perjalanan ini. Ampun, entah grade berapa ini jika dipakai untuk arung jeram!

Kami dipertemukan dengan Son, seorang anak laki-laki yang sedang bermain dengan anjingnya di dekat Sungai Yetni. Son kami mintai tolong untuk bisa menggandengku menyebrang sungai itu, sedangkan Dame bersama Pak Musa. Keselamatan saat menyeberang sungai menjadi fokus utamaku. Fokus keduaku adalah jangan sampai kamera dan hape ini kena atau nyemplung ke air dan bernasib sial seperti saat di Riung Flores dulu! Tapi dengan dimasukkannya kamera dan hape ke dalam dry bag maka akhirnya momen gila menyeberang Sungai Yetni yang arusnya legend ini tak bisa kubadikan :-(

Sungai Yetni, yang menanti untuk diseberangi

Kami selamat sampai seberang Sungai Yetni. Terima kasih, Son! Nah, berhubung Pak Musa juga nggak ngerti-ngerti banget soal daerah Kurima, maka sekalian kami ajak Son untuk menjadi guide dadakan trekking di seputaran Distrik Kurima ini. 

Di seberang sungai Yetni, tampak beberapa tukang ojeg siap menunggu penumpang. Kami gunakan jasa mereka sebagai transportasi naik sampai ke Nalikima.

Kami turun di Pangkalan Ojeg Nalikima. Berjalan sekitar 100 meter maka tampaklah Sungai Baliem berarus deras dan berair coklat di depan kami, sungai landmark-nya Lembah Baliem pastinya. Son mengajak kami menyeberang jembatan yang menggantung di atas sungai itu. Dengan pijakan dari lempengan-lempengan kayu yang sebagian sudah tidak solid bentuknya dan wire sling yang entah sudah berapa lama usianya yang digunakan untuk menggantungkan jembatan itu. Tiap kami pijak, maka jembatan tersebut pasti akan bergoyang. Hmm, berapa ya SWL-nya? Hadeuh! 


Jembatan Gantung Nalikima

"Son, kalau mau lihat Sungai Baliem biar kelihatan pemandangan sungai yang berkelak-kelok, dimana tempat lihatnya yang bagus?" tanyaku setelah sampai di seberang. 

"Kita jalan ke sana, lalu naik kakak, masih jauh" jelas Son

Berjalan menyusuri Sungai Baliem dan mendaki bukit. Sungai Baliem tampak seperti liukan ular raksasa yang membelah lembah yang diapit oleh pegunungan tinggi nan hijau. Wow, mata lahir dan mata batin ini benar-benar termanjakan! Sungai Baliem ini membelah wilayah tengah Papua. Entah berapa panjangnya sungai itu. Menurut informasi yang kubaca, air Sungai Baliem bersumber dari bagian utara pegunungan Trikora dan berhilir sampai Laut Arafura. Eh, secara geografis ternyata sekarang ini kami bukan berada di Kabupaten Jayawijaya lagi karena daerah ini termasuk wilayah Kabupaten Yahukimo! 


Dan Sungai Baliem-pun meliuk, membelah lembah. 

Cukup sembunyikan aku di balik bukitmu, maka akan kutulis puisi sepanjang hari...

Son berjalan paling depan. Bocah dari Kampung Holoka ini sesekali menceritakan beberapa kisah yang terjadi di daerah yang kami lewati. Salah satunya, saat kami melewati bibir Sungai Baliem, dia bercerita bahwa pernah ada seorang perempuan yang nekad bunuh diri terjun ke Sungai Baliem tepat di tempat itu. Dia bercerita dengan bahasa lokal dengan Pak Musa, lalu Pak Musa menerjemahkannya ke Bahasa Indonesia agar aku dan Dame mengerti. Son sebenarnya bisa berbahasa Indonesia, nyatanya saat kami bertanya apakah dia masih sekolah, dia menjawab sudah putus sekolah sejak kelas empat SD dan sekarang membantu ayahnya di kebun. "Itu kebun ayah saya", kata Son sambil menunjuk sebuah titik dari kejauhan.

Son, Sang Putra Holoka....

Mungkin dari sinilah akan lahir generasi penerus Boaz Salosa & Titus Bonai :-)

Rumah Honai, permisi...

Kami telah berjalan jauh. Naik bukit, menyusur Sungai Baliem, melewati beberapa kampung kecil dan nanti akan berujung di jembatan kuning Sogokmo. Keindahan tempat ini tak terperi! Memang tak ada surga di bumi, tapi di sini mungkin ada kepingan-kepingan surga yang telah dibiarkan Tuhan untuk jatuh beberapa...

Beberapa kali kami berjumpa dengan penduduk kampung. Ucapan selamat pagi atau siang selalu terucap dari mereka sambil menjabat tangan kami tentunya. Kondisi geografis yang berupa bukit-bukit seperti ini, membuat penduduk tua-muda terbiasa jalan kaki naik-turun tanpa lelah bahkan kadang tanpa beralas kaki. Melihat para Mama Papua yang nggembol bawaan berat menggunakan noken-nya, ah betapa luar biasanya mereka!

Di tengah perjalanan, aku dan Dame spontan teriak ketika dari kejauhan kami melihat Sungai Yetni itu. Iya, sungai yang menyeberangnya saja serasa mempertaruhkan nyawa ;p

Longsoran Sungai Yetni yang bermuara ke Sungai Baliem

Kalap mataku bahkan saat melihat rerumputan sekalipun

Loncat lagi, Kakak Dame!

Sesekali kami istirahat di beberapa titik. Meluruskan kaki atau sekedar menikmati pemandangan indah di depan, lebih lama lagi.

Anak-anak itu bermain, ceria di tengah alam Papua

Sekitar jam 2 siang waktu lembah Baliem, saat kami tiba di jembatan gantung kuning Sogokmo. Jembatan ini kondisinya lebih parah dibanding jembatan gantung Nalikima yang kami lewati  saat awal trekking tadi. Sumpah parah banget! Lempengan kayu pijakan yang lapuk bahkan banyak yang sudah hilang, wire sling yang kelihatan sudah lelah menanggung beban dan usia dan jembatan ini langsung bergoyang patah-patah plus goyang dumang saat kami lewati. Sementara Sungai Baliem di bawah sana, arusnya makin menggila dan siap meluluh lantakkan apa saja yang dilewatinya. Hohoho! Hadeuh, Bismillah, semoga semua selamat sampai seberang sana.



Jembatan Gantung Kuning Sogokmo 

Bergulunglah engkau, mengejar apa saja di depanmu. Tapi saat angin lembut melandai, tenanglah

Berakhirlah acara trekking hari ini di sisi selatan lembah Baliem. Kami menunggu angkot di pinggir jalan (terminal Zipur) yang akan membawa kami pulang ke kota Wamena. Lelah, tapi terbayar oleh apa yang kami dapatkan hari ini, bahkan lebih! Gila, hanya day trip saja, tempat ini sudah bikin aku jatuh cinta. Coba kalau bisa lebih lama, bisa-bisa aku nggak mau pulang ke Jawa! Haha!

Kisah selanjutnya di Lembah Baliem Day-4 (Liburan Keluarga)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Angkot Pasar Misi - Terminal Holoka  = Rp. 25.000/orang
2. Ojeg Sungai Yetni - Pangkalan Nalikima = Rp. 10.000/orang
3. Angkot Pertigaan Zipur Sogokmo - Pasar Misi/Wamena = Rp. 25.000/orang