Friday, April 17, 2015

Menyapa Papua (Bag. 10) - Merauke

"This country the Republic of Indonesia, doesn't belong to any group, nor to any religion, nor to any ethnic group, nor to any group with customs and traditions, but property of all us...from Sabang to Merauke"
(Soekarno)

-------------------------------------------------------------------------------------------

14 Februari 2015

Woohoo...! Pesawat Sriwijaya Air yang kami tumpangi mendarat mulus di landasan pacu Bandara Mopah. Selamat datang di Merauke! Sebuah tempat yang hanya kukenal lewat lagu yang kerap dinyanyikan saat SD dulu. Merauke, inilah daerah yang sepertinya resmi dianggap sebagai perbatasan timur Indonesia setidaknya dalam lagu dan slogan-slogan nasionalisme.

Eh, hari ini 14 Februari ya? Kata orang, hari ini diperingati sebagai hari kasih sayang. Tapi makna kasih sayang kan luas, termasuk menyayangi negeri tercinta Indonesia menurutku. Nyatanya saking cintanya pada Indonesia, kami bela-belain menjejakkan kaki sampai Papua bahkan ke ujung Merauke tepat di hari valentine ;p

Mama Regina, adik dari suami Roslena (teman SMP Dame, tempat kami menginap selama di Jayapura) sudah menunggu di area pengambilan bagasi Bandara Mopah. Mama Regina bekerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Merauke, jadi sepertinya beliau punya akses khusus untuk bisa menjemput kami sedekat itu, haha! Ceritanya kami juga bakal numpang dua hari di rumahnya selama berada di Merauke. Bisa dibilang kami beruntung karena selalu dapat tempat tumpangan selama jalan di Papua. Mauliate godang atas semua usahanya ya, Eda Dame :-)  


Selamat Datang di Merauke! Izakod Bekai Izakod Kai = Satu Hati Satu Tujuan :-)

Sampai di rumah Mama Regina, aku dan Dame istirahat sebentar. Suami Mama Regina sedang tugas di luar kota, jadi di rumah hanya tinggal beliau dan tiga anaknya yaitu Regina, Rafael dan Karen yang masih bayi. Saat ngobrol di sela makan siang, Mama Regina menanyakan kami hendak jalan-jalan kemana saja selama di Merauke, mengingat sebenarnya nggak ada tempat wisata yang menarik di sana. Kami mah yang penting jalan saja, apapun yang dilihat di jalan itulah yang kami nikmati, hehe! 

Dengan meminjam motor milik Mama Regina, kami langsung ngacir ke destinasi pertama yaitu Monumen LB Moerdani. Monumen ini terletak di daerah Tanah Miring sekitar 15 km dari kota Merauke. Jalanan Merauke lengang, tak banyak kendaraan lalu lalang. Sebenarnya sebelum pergi tadi, Mama Regina sudah ngasih sedikit ancer-ancer menuju monumen tersebut, tapi tetep saja ketika sudah sampai jalan raya, bingung juga sama arahnya. Nggak apa-apa, banyak orang di sepanjang jalan yang pasti bisa ditanya-tanya. 

Tiba-tiba turun hujan deras bahkan disertai angin yang lumayan kencang. Motor ini serasa bergoyang. Kupacu pelan saja. Kami melewati sebuah jembatan panjang yang melintasi Sungai Maro. Sumpah itu jembatan panjaaaaaaaang banget! Jembatan itu bernama jembatan 7 Wali-Wali dan memiliki panjang 565 meter. Wow! Sensasi melewati jembatan itu di atas motor sambil hujan-hujanan benar-benar luar biasa!

Hujan juga membuat jalan raya licin. Di beberapa lokasi terlihat jalan yang bergelombang, retak dan pecah parah. Sepanjang jalan menuju Tanah Miring, kami bisa melihat banyak persawahan. Ternyata Merauke adalah lumbung padinya Papua. Banyak penduduk transmigran yang datang dan menjadi petani di sana. 

Dari jauh, aku melihat tugu di sebuah pertigaan. Yup, itulah Monumen LB Moerdani. Ternyata monumennya kecil saja, berdiri di tengah-tengah pertigaan yang lengang. Monumen itu berbentuk seorang tentara berbaret merah lengkap dengan senjata dan parasut yang digendongnya. Tampak tak begitu istimewa. Tapi cerita dibalik monumen itulah yang luar biasa. Monumen ini dibangun untuk mengenang jasa Mayor LB Moerdani yang diterjunkan di daerah tersebut pada saat pembebasan Irian Barat. 

"Di sini daerah penerjunan dalam rangka pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Mayor L Benny Moerdani pada tanggal 4 Juni 1962. Terima kasih atas perhatian masyarakat dan pemerintah daerah Tingkat II. Persembahan masyarakat dan Pemda. 2 Oktober 1989". Kalimat itulah yang tertera pada prasasti pada monumen tersebut. 


Monumen LB Moerdani

Merauke juga terkenal dengan sebutan Kota Rusa dikarenakan dahulu banyak ditemukan hewan rusa di tempat ini. Tapi perburuan yang banyak terjadi menjadikan populasi hewan ini semakin berkurang. Aku inget di dekat pertigaan Monumen LB Moerdani, terlihat beberapa Mama Papua yang membuka lapak dagangan dan mereka menjual daging rusa. Hmm, seperti apa ya rasa daging rusa?

Selesai dari monumen LB Moerdani kami kembali pulang ke arah kota. Tujuan selanjutnya adalah ke Pantai Lampu Satu. Mengapa disebut Pantai Lampu Satu? Karena ada satu mercusuar di dekat pantai ini yang memiliki satu lampu besar sebagai alat penerangnya. Hujan rintik masih menemani perjalanan kami. Kembali aku bingung mencari jalan menuju pantai itu. Oke, kita tanya warga lagi :-)

Akhirnya kami temukan pantai lampu satu itu di tengah hujan yang kian deras dan angin yang semakin nggak karuan. Awalnya sih ingin menunggu senja di sini, tapi cuacanya sungguh tidak bersahabat. Ah, aku gagal termangu di Pantai Lampu Satu! Banyak juga kapal nelayan berjajar di tepi pantai, tapi tak kulihat aktivitas nelayan pada saat itu. 


Aku termangu di Pantai Lampu Satu

Mercusuar Lampu Satu

Usai sudah menikmati perjalanan hari pertama di Merauke. Kami pulang ke rumah Mama Regina dengan kondisi jas hujan yang masih merekat di badan dalam kondisi basah. Tapi motor-motoran di tempat anti mainstream sambil hujan-hujanan sepertinya memang sesuatu sekali, hihi! 

15 Februari 2015

Tak lengkap rasanya pergi ke Merauke jika tak mengunjungi Distrik Sota, daerah perbatasan RI dengan Papua Nugini. Skouw di Jayapura juga merupakan perbatasan, tapi yang dibuat lagu kan dari Sabang sampai Merauke, bukan Sabang sampai Jayapura ;p

Distrik Sota terletak sekitar 70 km dari kota Merauke. Jauhnya! Rencana awal sih mau naik motor saja, tapi dengan kondisi cuaca di Merauke yang kurang mendukung akhirnya kami sepakat menggunakan mobil saja. Nanya harga sewa mobil di Merauke, ampyun mahal sekali, sekitar 800 ribu. Untungnya, kami dapat pinjaman mobil dari temannya Mama Regina dan tinggal isi bensin saja. Nah, sekarang giliran Kakak Dame yang nyetir. Mari kita liburan keluarga, karena Mama Regina dan ketiga anaknya ikut menemani kami ke Sota :-)

Jalan raya menuju Sota sudah bagus. Dari kota tinggal lurus saja ke timur. Menjelang Sota, kami melewati Taman Nasional Wasur. Taman Nasional Wasur merupakan lahan basah terbesar di Papua. Sekitar 70% dari luas wilayahnya terdiri dari sabana, sementara vegetasi lainnya merupakan hutan rawa, hutan pantai, hutan pambu dan hutan sagu. Jalan raya ke Sota menembus taman nasional ini dengan panorama rawa di kanan kiri.


Gerbang Taman Nasional Wasur
Kantor Taman Nasional Wasur

Sepanjang jalan juga bisa kita lihat, orang menyebutnya "rumah semut atau musamus", tapi bukan rumah sembarang rumah, tapi sarang yang besar dan tinggi sekali! Semutnya pun juga bukan semut biasa tapi semut putih alias rayap dengan jenis Marcotermes sp. Istana rayap ini dibangun dari campuran rumput kering sebagai bahan utama dan liur sebagai semen untuk merekatkannya. Kabarnya, rumah rayap ini juga tahan gempa. Wuih, ruar biasa!

Kanguru juga banyak berkeliaran di Taman Nasional Wasur. Tapi itu dulu. Entah dimana atau tinggal berapa hewan tersebut ada. Sungguh sangat disayangkan. Walhasil kita hanya bisa melihat kanguru yang terbuat dari semen di Bandara Mopah sana :-(

Dan...setelah menempuh perjalanan selama 1,5 jam lebih kami sampai di Distrik Sota. Ayo kita mampir dulu ke sebuah tugu paling terkenal di Merauke apalagi kalau bukan Tugu penanda Nol Kilometer-nya Indonesia sebelah timur. Meskipun sebenarnya tidak terletak di titik 0 km sih, tapi bisa dikatakan ini lambang bahwa Merauke adalah titik tertimur Indonesia. Di tubuh tugu ini terdapat tulisan "Tugu Kembaran Sabang Merauke". Hmm, memang tugu di Sabang sana miripkah dengan tugu di Merauke ini? 

Tugu Nol Kilometer - Merauke

Prasasti di Tugu 0 Km-nya Merauke 

Perbatasan RI - Papua Nugini sudah menjadi destinasi wisata di Merauke. Jika di perbatasan  RI - PNG di Skouw Jayapura bisa dibilang ramai karena di sisi PNG terdapat pula jalan yang menghubungkan dengan pemukiman penduduk PNG,  maka perbatasan RI - PNG di Sota sangatlah sepi, bahkan hanya hutan dan rawa saja yang ada di sisi Papua Nugini. Meskipun demikian ada juga penduduk PNG yang datang melewati perbatasan Sota ini sehingga terdapat juga Kantor Imigrasi di dekat perbatasan ini. 

Baiklah, mari kita kunjungi ke titik perbatasan, titik tertimur Indonesiaku. Titip KTP dulu ke Bapak TNI penjaga perbatasan sebagai syarat kami bisa masuk ke area perbatasan RI - Papua Nugini dan nggak usah pakai paspor jika hanya berwisata saja. 


Pos Militer Perbatasan - Sota Merauke

Selamat jalan, Kakak Dame. Selamat liburan di PNG ;)

Ini sudah di wilayah PNG. Jangan jauh-jauh kakak, nanti kita dikira penyusup ilegal ;p

Para penjual souvenir di perbatasan

Lumayan puas menikmati Sota Merauke. Bahkan kami membawa bekal makan siang dari rumah untuk sengaja kita nikmati di perbatasan. Sekarang saatnya pulang kembali ke pangkuan Indonesia!

Welcome to Republik Indonesia!

Di sepanjang perjalanan pulang, Rafael terus merengek minta berhenti di Taman Nasional Wasur untuk bisa bermain air di objek wisata Biras. "Aku mau celup-celup" begitu bunyi rengekannya. Hahaha! Objek wisata Biras termasuk bagian dari TN Wasur sebenarnya adalah sebuah rawa yang cukup luas sekali dengan bunga-bunga teratai yang tumbuh subur di atas air. Di sana kita bisa berenang atau hanya bermain air saja. Tapi tempat itu masih jauh, mana hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. "Iya, nanti kita berhenti di sana untuk celup-celup. Jadi sekarang Rafael tidur dulu ya sambil berdoa semoga hujannya berhenti"  kata Kakak Dame. Mungkin doa Rafael didengar Tuhan, hujanpun berhenti sebelum kami sampai di objek wisata Biras :-)

Objek Wisata Biras

Mau berenang? 

Bunga teratai di atas rawa-rawa

Ayo celup-celup...

Mama Regina, Regina, Rafael & Baby Karen

Puas bercelap-celup di rawa-rawa Taman Nasional Wasur, kamipun pulang kembali ke Kota Merauke. Untuk Mama Regina dan keluarga, terima kasih atas bantuannya selama kami berada di Merauke. Besok kami pulang....! 

16 Februari 2015

Hari ini adalah hari terakhir kami di Merauke yang berarti ujung dari petualangan di bumi Papua. Dua belas hari lebih kami habiskan untuk perjalanan ini. Tak ada kata lelah untuk Papua, tempat itu terlalu luar biasa untuk dijelajahi.  Tapi kini kami harus pulang, lagi-lagi kembali ke kenyataan... :-(

Pesawat Sriwijaya Air akan membawa kami pulang dengan rute Merauke - Makassar - Jakarta. Sempat kuucapkan perpisahan untuk Merauke, pada Sungai Maro yang meliuk panjang yang aku lihat lewat jendela pesawat. Tapi ternyata setelah hampir 1 jam di udara, pesawat itu harus return to base alias kembali ke Merauke karena ada kerusakan teknis, begitu pengumuman yang disampaikan oleh paramugarinya. What...? Semoga nggak kenapa-napa...

Hampir satu jam pesawat itu diperbaiki dan menunggu bisa terbang kembali. Ada kerusakan di pintu pesawat katanya. Kakak Dame agak ketar-ketir karena dia harus melanjutkan penerbangannya ke Medan, khawatirnya nggak keburu apalagi pesawatnya nggak connecting dari Jakarta ke Medan. Tapi syukur Alhamdulillah, akhirnya semua bisa kembali normal. Kali ini kami benar-benar meninggalkan Merauke, menuju Makassar lalu bersambung ke Jakarta!

Aku dan Dame berpisah di Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Terima kasih  Kakak Dame yang telah menjadi teman seperjalanan menikmati Papua. Mohon maaf  banget jika sempat terjadi friksi-friksi kecil di antara kita, tapi di situlah seni-nya, hehe! Itu sudaaaaaaaaaahhhh....!!!

Jadi kapan kita kemana lagi, kakak...???



----------------------------------- THE END ---------------------------------

Budget :
1. Tiket Sriwijaya Air Jayapura - Merauke = Rp. 390.000/orang
2. Isi bensin motor = Rp. 25.000
3. Isi bensin mobil = Rp 100.000



Wednesday, April 15, 2015

Menyapa Papua (Bag. 9) - Jayapura

"Just keep smiling, move onward everyday
And try to keep our thoughts away from home
We're traveling around, no time to settle down
And satisfy our wanderlust to roam..."
(Rush - Making Memories)

----------------------

12 Februari 2015

Kami tinggalkan Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya dengan segenap cerita. Sebuah mimpi yang menjadi nyata dan entahlah...tapi tempat ini terlalu luar biasa. Jika ada ruang abadi di hati, maka selalu ada ruang untuk kenangan tentangnya.

Aku telah pergi jauh. Jauh sekali hingga Jayawijaya Papua. Kuakui, alamnya indah tak terkata. Jika tujuanku pergi ke sana hanya untuk melihat pemandangan atau keindahan alam saja, maka perjalanan itu mungkin hanya bermakna sepintas lalu saja. Tapi dengan ikut melihat atau bahkan merasakan kehidupan masyarakatnya yang berbeda dengan keseharian kita, Insha Allah aku merasa lebih bersyukur dan berharap menjadi hamba Tuhan yang lebih tahu diri. Masih terngiang di kepalaku, para Mama Papua  menggendong bawaan berat dalam satu, dua atau bahkan tiga nokennya di kepala lalu berjalan jauh naik turun gunung. Anak-anak kecil dengan ingus meler dan tanpa alas kaki. Anak yang putus sekolah, sekolah yang jauh, jalan yang putus atau blas nggak ada jalan. Harga-harga kebutuhan primer yang selangit dan... Hah! Seandainya aku tak sekedar "melihat", tapi juga bisa "melakukan" sesuatu untuk mereka. Entahlah...

Sekitar jam 9 pagi, petugas bandara berteriak ke seluruh calon penumpang di ruang tunggu untuk segera boarding, pesawat Trigana Air telah siap terbang ke Jayapura. Tak ada pengumuman lewat speaker, pun suara lembut dari announcer, melainkan hanya teriakan. Seperti yang kuceritakan di awal catatan perjalanan Papua ini, kondisi fasilitas Bandara Wamena memang sangat memprihatinkan. 

Rencananya aku dan Dame akan berada di Jayapura selama dua hari. Untuk tempat menginap? Hohoho, Kakak Dame telah berhasil menemukan Roslena, teman semasa SMP-nya yang kebetulan tinggal tak jauh dari Jayapura dan bersedia menampung para pejalan ini.

Siang hari waktu Bandara Sentani. Dengan menggunakan Bis Damri Bandara, kami menuju Kotaraja, tempat tinggal Roslena dan keluarga. Wajah-wajah asli Papua tampaknya sudah jarang kujumpai saat mulai keluar dari Bandara. Danau Sentani di sebelah kanan menjadi view sepanjang perjalanan. Tempat demi tempat yang kami lalui, bisa dikatakan kota ini sudah sangat maju dan ramai sekali. Berbeda dengan daerah Pegunungan Tengah dimana wajah Papua masih sedemikian aslinya.

Keponakan Roslena, Indah Manik namanya, menjemput kami di tempat percetakan seberang Bank Mandiri Kotaraja, itu adalah tempat usaha Roslena dan keluarga. Roslena sendiri bekerja di sebuah bank sedangkan suaminya merupakan PNS Dinas Pertanian di Propinsi Papua. Sampai di rumah, Roslena belum pulang dari tempat kerja. Karena bingung mau ngapain, akhirnya aku dan Dame memutuskan untuk langsung jalan. Tujuan pertama kami adalah ke Skouw. Skouw adalah daerah  perbatasan Indonesia dan Papua Nugini. Membutuhkan sekitar dua jam perjalanan dari Jayapura. Kami menyewa mobil yang biasa disewa oleh keluarga Roslena. Driver kami bernama Kak Atiq yang ternyata beristrikan orang Batak yang kalau dirunut-runut mungkin masih saudaraan sama Boru Sianipar aka Kakak Dame pe marga.

Kami menuju timur. Di satu titik tampak teluk Yotefa yang cantik sekali. Jalanan menuju Skouw bisa dikatakan lumayan sepi. Setelah hampir dua jam berkendara, mulai tampaklah bendera merah putih berjajar di kanan-kiri jalan raya dan sebuah pos polisi. Skouw sudah di depan mata. Wow, sebentar lagi aku bisa menjejak perbatasan Indonesia paling timur.

Sebelum pemeriksaan di sebuah Pos Polisi, kami melihat sebuah bangunan pasar yang bisa kukatakan sangat bagus. Ternyata inilah pasar di perbatasan, pernah kulihat di TV dulu sekali. Kebetulan hari itu adalah hari pasar. Pasar ini didirikan oleh Pemerintah RI dan diresmikan pada tahun 2012 dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor produk dalam negeri ke negara tetangga karena letaknya yang sangat strategis serta dapat menggerakkan roda perekonomian masyarakat sekitar. Kalau dilihat memang kebanyakan yang belanja di sini adalah warga Papua Nugini. Dengan mendapatkan surat serupa paspor, warga PNG bisa masuk ke wilayah RI dan berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar tersebut.


Spanduk bertuliskan "Indonesia Tanah Air Beta" terpampang tepat di samping Pos Pemeriksaan Polisi

Pasar di Skouw, Perbatasan RI - PNG

KTP Kak Atiq sang driver harus dititipkan ke Pos Polisi Perbatasan sebelum kami melintas perbatasan. Dan...mari kita jejakkan kaki dan main-main ke tetangga sebelah! Nggak perlu menunjukkan paspor kalau cuma main sebentar katanya :-)


Border Post-nya RI, kakak!

Goodbye Indonesia...!

Gerbang RI ada di sebelah kiri, PNG ada di sebelah kanan. Yang tengah ini daerah netral!

Papan Rambu Imigrasi yang hanya tergeletak di atas paving

Aku, Kakak Dame dan Kak Atiq akhirnya memasuki wilayah Papua Nugini. Selain kami, tampak penduduk Indonesia yang sepertinya wisatawan juga sedang melihat-lihat perbatasan ini. So, jangan pernah lewatkan Skouw jika kalian mengunjungi Jayapura. Merasakan sensasi menjejakkan kaki di negara tetangga dan melihat selintas kegiatan di perbatasan.


Border Post-nya PNG

Angkot-nya PNG lagi ngetem. Siap membawa pulang/pergi para pelintas batas asal PNG

Lihat di belakang sana, sepertinya ada pantai indah di PNG ;p

Bapak asal PNG ini sepertinya barusan mborong dua kardus Pop Mie. Selamat menikmati selera Indonesia!

Sekaleng Coca Cola dengan tulisan "Celebrating Papua New Guinea". Rasanya? Ah, sama aja ternyata! Haha!
Indonesia, kami pulang...!!!

Oke Indonesia tercinta, kami pulang kembali! Seru juga menyambangi batas negara sisi timur ini. Rasa nasionalismepun serasa kian berkobar di dalam hati.  

Kami kembali ke Jayapura. Kak Atiq menawarkan untuk jalan-jalan seputaran Jayapura dulu. Hajar sudah! Lanjut kita ke Pantai Holtekam, sebuah pantai sepi dengan pemandangan nyiur melambai yang bisa bikin kita ngantuk bersama sepoi angin. Kami juga pergi ke  Jayapura City. Sebuah bukit tinggi yang di atasnya terdapat tower pemancar berbagai stasiun TV. Nah, di bukit itulah  terdapat tulisan besar "Jayapura City" yang bisa terlihat dari jauh dan menyala terang saat malam hari. Dari sana kita bisa melihat kota Jayapura beserta pelabuhannya dari ketinggian. Pasar Hamadi juga kita kunjungi. Ada banyak toko souvenir yang menyediakan kerajinan khas Papua di pasar ini. Terakhir kami menghabiskan sore di Pantai Bangku Panjang depan Gubernuran. Eh, pulangnya makan Papeda dulu ya, biar berasa Papua-nya!

Pantai Holtekam

Hembusan angin yang tetap setia bersamaku

Kota Jayapura terlihat dari Tower Jayapura City

Seorang anak bermain di antara bebatuan Pantai Bangku Panjang

Yang akur ya adek... :-)

Hampir Isya saat kami pulang ke rumah Roslena. Maka terjadilah reuni antara Kakak Dame dengan teman semasa SMP-nya :-)

13 Februari 2015

Kemana kita hari ini? Rencana masih nggak jelas. Awalnya mau ke pantai Tablanusa. Tapi di samping lokasinya yang jauh banget dari Kotaraja, ternyata Kak Atiq dan mobilnya nggak bisa nganterin kami hari ini alias sudah dibooking orang lain duluan. Ya sudah, mari kita naik angkot saja ke tempat-tempat yang lebih terjangkau tentunya. Kami mengajak Indah, sekalian sebagai guide.

Tugu Mc. Arthur adalah tujuan pertama kami. Jendral Mc.Arthur adalah seorang tentara sekutu yang datang ke Papua untuk mengusir Jepang pada zaman perang dunia dulu. Tempat dimana tugu ini berdiri dulunya adalah markas besar tentara sekutu untuk wilayah pasifik barat daya. Dari Tugu itulah view terbaik untuk menikmati Danau Sentani dari atas. Tugu ini berada di Ifar Gunung, termasuk kawasan militer/Kodam dengan medan yang menanjak dan berkelak-kelok. Untuk menuju ke sini, kami harus naik ojek dari pertigaan Ifar Gunung. Tapi kami kecewa karena teryata area tugu digembok pagarnya alias nggak bisa dimasuki. Hiks, kami hanya bisa mengintip dari kejauhan saja. Yo wislah, akhirnya kami mblusuk cari spot di seputaran area di luar tugu. Setidaknya pemandangan Bandara Sentani serta Danau Sentani tampak jelas juga dari sini.

Mengintip Danau Sentani dan landasan pacu Bandara Sentani

Mari kita zoom pulau-pulau di tengah Danau Sentani

Kami turun dari kawasan Ifar Gunung setelah cukup puas mengambil foto. Sempat cari makan dan oleh-oleh sebentar, lalu lanjut ke destinasi selanjutnya yaitu Pulau Tabi. 

Pulau Tabi atau Tanah Tabi adalah tempat masuknya Injil pertama di Jayapura. Untuk menyeberang ke pulau ini tersedia speed boat reguler dari Teluk Yotefa. Di sana juga terdapat kampung atas air, namanya Kampung Enggros. Mari kita jelajahi!



Hmm...speed boat mana...speed boat!

Dong so dekat dengan Tanah Tabi

Kampung Enggros

Tugu Pekabaran Injil di Tanah Tabi

Berkibarlah benderaku 

Giliran Pantai Hamadi kita sambangi saat senja. Ombaknya tenang sekali. Duduk di atas pasir...dan teringat sebuah kalimat dari buku Gadis Pantai-nya Pramoedya Ananta Toer..."Aku cuma butuhkan orang-orang tercinta, hati-hati yang terbuka, senyum tawa dan dunia tanpa duka, tanpa takut..." 



Satu senja di Pantai Hamadi


Itulah cerita kami selama di Jayapura dan sekitarnya. Kota yang telah maju dan nyaris mendekati kelas metropolitan menurutku. Terima kasih banyak untuk Roslena dan keluarga yang telah sudi direpotkan selama dua hari ini. 

Perjalanan ini belum berujung. Esok hari, Merauke di ujung sana...telah menunggu! 

Cerita selanjutnya di Menyapa Papua (Bag. 10) - Merauke

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :

1. Pesawat Trigana Air Wamena - Jayapura = Rp. 700.000/orang
2. Sewa mobil hari pertama (Skouw & Keliling Jayapura) = Rp. 600.000 (sudah termasuk driver dan bensin)
3. Transportasi umum ke Tugu Mc.Arthur 
    - Angkot Kotaraja - Lingkaran = Rp. 5000/orang
    - Angkot Lingkaran - Expo = Rp. 7000/orang
    - Angkot Expo - Pertigaan Ifar Gunung = Rp. 9000/orang
    - Ojek Pertigaan Ifar Gunung - Tugu Mc. Arthur = Rp. 20.000/ojek
3. Transportasi ke Pulau Tabi
    - Pertigaan Ifar Gunung - Expo = Rp, 9000/orang
    - Angkot Expo - Terminal Entrop = Rp. 10.000/orang
    - Speed Boat ke Pulau Tabi = Rp. 20.000/orang
4.  Angkot Terminal Entrop - Pantai Hamadi = Rp. 7000/orang

Monday, April 13, 2015

Menyapa Papua (Bag. 8) - Lembah Baliem Day-7 (Distrik Wolo)


"Aku nggak perlu uang ribuan
Yang aku mau uang merah cepek'an
Aku nggak butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan untuk ku makan
Asal ada babi untuk dipanggang
Asal banyak ubi untuk ku makan
Aku cukup senang...aku cukup senangDan akupun tenang...
(Lembah Baliem - Slank)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

11 Februari 2015

Waktu berjalan cepat. Lembah Baliem dan sebagian daerah Pegunungan Tengah Papua telah menjadi bagian hari-hari kami nyaris seminggu ini. Hari ini akan menjadi hari terakhirku dan Dame berada di sini. Untuk menutup perjalanan di Kabupaten Jayawijaya, kami memilih mengunjungi Distrik Wolo. Distrik ini berada di bagian timur laut Jayawijaya yang berbatasan dengan Kabupaten Mamberamo Tengah. Menuju Distrik Wolo, kami harus menggunakan angkutan jurusan Kelila Kab. Mamberamo Tengah. Mobil ke arah sana mangkal di dekat pasar baru Potikelek Wamena yang belum diresmikan.


Lompat lagi, kakak!

Kapan kita kemana...?

"This is one of the most spectacular Baliem side-valleys. Inspired by resolute strain of Evangelical Protestanism, Wolo is a non smoking village with lovely flower garden. There is plenty of great hiking in the area" Demikian tulisan di Lonely Planet tentang Distrik Wolo yang menjadikan kami antusias untuk jalan-jalan ke sana.

Perjalanan ke Wolo bukanlah dekat. Kami melewati lagi Distrik Kurulu, Distrik Wosilimo, dan mobil ini masih terus naik ke atas. Tapi pemandangan sepanjang jalan memang keren sih meski lagi-lagi kami harus duduk meringkuk di bak belakang mobil yang penuh dengan penumpang dan melewati jalanan yang sebagian tak beraspal. Ya, mungkin aku sudah bosan menggunakan kata memanjakan mata batin untuk mendeskripsikan sebuah view yang wow, mari kita cari kosakata baru saja...menyejukkan mata hati mungkin?


Kami turun di dekat Kantor Distrik Wolo. Udaranya dingin tapi segar sekali. Daerah seperti ini kalau di Jawa mungkin sudah penuh dengan bangunan vila.  

Air Strip di Distrik Wolo

Aku membayangkan sebuah kartu pos memuat gambar seperti ini. 

Aku, Kakak Dame dan Pak Musa berjalan mengikuti jalan desa yang ada. Ah, mana kebun-kebun bunga itu? Ternyata memang tak ada kebun atau taman bunga luas seperti dalam bayanganku, tetapi hampir di halaman depan rumah warga selalu dihiasi dengan taman bunga. Oh mungkin ini yang dimaksud oleh tulisan Lonely Planet itu! Tapi kampung ini memang cantik sekali. 

Damai kami sepanjang hari. 
Gerbang sebuah kampung. 

Keluar dari kampung, kami disuguhi jalan besar yang kami lewati dengan mobil saat berangkat tadi. Matahari menampakkan kekuatannya. Kami berjalan di tengah terik sambil menikmati perbukitan di sebelah kanan dan kiri. Jalanan itu sepi. 

Selamat jalan...!

Karena aku mencintaimu, maka kubiarkan alam memilikimu dan menjagamu

Kupungut penat sepanjang jalan, lalu...kutebarkan kenangan

Sesekali kami menemukan pemukiman penduduk di sekitar Distrik Manda. Bertemu warga yang kembali menyapa ramah. Oh ya, jika kalian mencari wallpaper secantik Windows XP berupa barisan bukit dengan latar langit biru, di sinilah tempatnya :-)

Dan langit, dan pohon tinggi...

Sebuah pasar, tapi sepertinya sedang tidak ada kegiatan

Bangunan sebuah sekolah dasar di Distrik Wolo

Jalanan kampung dan pemukiman yang tertata rapi

Dalam perjalanan pulang ke Wamena, saat kaki kembali meringkuk di pojokan bak mobil belakang, di samping seorang Mama Papua yang memeluk babi-nya...aku seperti tak mau meninggalkan tempat ini, terlintas banyak hal yang telah terlewati. Entah kapan aku bisa kembali ke Lembah Baliem, ke Jayawijaya, Pegunungan Tengah Papua...

Awas, ada tamu VIP lewat. Semua kendaraan otomatis akan berhenti dan rela menunggu jika ada babi nyebrang jalan.
Jika sampai menabrak, wuih...dendanya besar sekali. Hitung jumlah susu!

Kami beruntung akhirnya bisa menemukan alamat produsen Kopi Arabica di Wamena, di hari terakhir kami di sini. Ya, kelak saat sudah pulang ke rumah...aku bisa menyeduhmu di sebuah sore, duduk di teras, menikmati gerimis sambil mengenang segenap perjalanan di Lembah Baliem...

Untuk Indah, Papa Lion, Lionel, Filbert, Mama Netty, Papa Qim, Joaqim, Pak Musa, Bude dan Pakde serta kakak-kakak di toko Indah, terima kasih banyak atas bantuannya selama kami di Wamena. Mohon maaf telah merepotkan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati kalian semua. Amin.

Degup jantung Papua akhirnya bisa kudengar dan kurasakan meski hanya selama delapan hari. Wamena, Jayawijaya, Pegunungan Tengah Papua...sampai jumpa! 

Kisah selanjutnya di Menyapa Papua (Bag. 9) - Jayapura

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Transportasi Wamena - Distrik Wolo = Rp. 100.000/orang
2. Transportasi Pertigaan Manda - Pasar Jibama Wamena = Rp. 25.000/orang
3. Transportasi Pasar Jibama - Kota Wamena = Rp. 7000/orang