Sunday, May 24, 2015

Just my two cents

Rasanya kita perlu berterima kasih pada ampas kopi. Ketika statusnya masih menjadi bubuk kopi, maka ia rela melarutkan diri pada seduhan air panas, memberikan kita bau harum tak terkira, dan terciptalah secangkir minuman berwarna coklat kehitaman yang konon katanya bisa meningkatkan rasa alert. Pengorbanan si kopi bubuk tadi tak cukup sampai di situ, ia masih kita paksa menanggung penderitaan cukup lama menahan suhu panas dan dikoyak saat mengaduknya. Kita hanya menyeruputnya sedikit demi sedikit demi menikmati sebuah kewenangan lebih lama. Saat semuanya usai, kita sengaja meninggalkan ampas kopi di dasar cangkir atau gelas. Ampas kopi tadi tak berguna dan terbuang.

Nggak tahu kenapa tiba-tiba aku menulis tentang kopi. Tapi rasanya sayang juga jika satu paragraf di atas harus kuhapus meski aku yakin nggak akan nyambung dengan apa yang akan kutulis nanti. Anggap saja itu satu persembahan khusus untuk kopi, khususnya kopi bubuk. Sebenarnya aku ingin menulis sesuatu yang serius, tapi jangan ber-ekspetasi terlalu tertinggi pada celotehanku yang nggak jelas nanti.

Benarkah surga dan neraka itu ada? Serius ya pertanyaannya? Terlepas dari apa yang tertulis pada kitab suci, maka aku percaya surga dan neraka itu ada. Masalahnya adalah siapa nanti yang akan masuk surga dan siapa yang akan masuk neraka? Sekali lagi aku tidak akan me-refer pada ayat-ayat suci karena aku nggak punya ilmunya. Maka akan kubilang, bahwa Tuhanlah yang memiliki hak prerogatif akan segala sesuatu yang telah diciptakannya termasuk urusan memasukkan ke surga atau neraka.

Kenapa tumben-tumbenan nulis tentang surga dan neraka? Mbuh, mungkin karena aku sedang malu dan merasa malu sama Tuhanku. Malu gara-gara tiap membuka linimasa di twitter maupun facebook dipenuhi tulisan yang sok suci se-Indonesia Raya, dari para "ahli surga" yang sanad ilmunya nggak jelas, yang ngaji-nya mungkin hanya berbekal google saja atau via situs-situs internet yang ber-embel-embel islam tapi gampang mengkafirkan orang dan menyebarkan kebencian serta seolah-olah membantu Tuhan mati-matian. Benarkah Tuhan perlu dibantu? Bukankah TUHAN sudah MAHA? Akhir-akhir ini orang-orang dan gerakan-gerakan seperti itu serasa punya panggung! Ah, jika "sesama muslim" saja sudah "dikafir-kafirkan" jika berbeda pendapat atau aliran, bagaimana kita bisa bertoleransi dengan penganut agama lain? 

Sekarang muncul pula gerakan khilafah atau apalah namanya. Woi, ini Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara yang dibangun oleh para pendiri bangsa di atas persatuan Sabang sampai Merauke, Rote sampai Miangas, lengkap dengan keanekaragaman suku, budaya, ras, bahasa dan agama. Dulu kalian kemana, waktu para pahlawan berkorban nyawa demi mengusir penjajah dari negeri ini untuk merebut kemerdekaan? (Oh saya lupa, kalian mungkin belum pada lahir). Tapi selama kalian masih nyari makan di bumi Indonesia, ya nggak usah belagu! Tambah lagi partai-partai yang menggunakan isu-isu agama bahkan mencatut nama Tuhan demi kepentingan politiknya, sumpah membuat aku pengen muntah! 

Sungguh aku sedang muak! Ah, bisa-bisa aku ikutan di-cap liberal atau bahkan dianggap kafir!

Hidup cuma sekali, ngapain dibikin ribet yak? Anggap saja orang-orang yang suka bikin status sok-sokan merasa ber-Islam paling benar itu hanya kurang piknik. Kurasa kalau mereka doyan piknik, maka yang akan dipajang di twitter atau facebook tentu saja tentang foto-foto selfie dan alay di tempat wisata. 

Alhamdulillah, aku muslim. Syahadatku kalau diterjemahkan juga masih sesuai Rukun Islam bahwa Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah SWT, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah. Aku juga orang Indonesia yang mengusung Bhinneka Tunggal Ika. Aku percaya bahwa Islam adalah rahmat bagi alam semesta. Dan apakah nanti Tuhanku, Allah SWT akan memasukkanku ke surga atau neraka milik-Nya? Aku nggak pernah tahu. Sama seperti nggak tahunya aku apakah aku muslim yang benar atau tidak menurut-Nya...

Aku masih harus banyak belajar. Ah, mari kita nikmati lagi secangkir kopi. Dan mengucapkan terima kasih kepada ampas kopi, sekali lagi...

Monday, May 18, 2015

Sehari di Goa Tengkorak - Kab. Paser Kaltim

"Wherever you go,
becomes a part of you somehow..."
(Anita Desai)

---------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada satu siang di Rig, saat ngobrol nggak jelas, tiba-tiba seorang kawan cerita bahwa ada goa bagus di Kabupaten Paser. Tersebutlah nama Goa Tengkorak. Jiwa petualanganku tiba-tiba menggeliat dan langsung muncul gagasan untuk jalan ke sana segera setelah turun dari Rig tanggal 29 April nanti. Tapi gencarnya rayuan mautku ke teman-teman di Rig aka Husni, Berry, Mas Kamil, Mas Lucky, Trini, Mbah Lukito...semua nggak ada yang berhasil. Satu-satunya yang antusias ikut adalah Donny! Hohoho, hajar ciiiinn....!

Sebelum hari H, sempat kubuka beberapa tulisan di internet tentang keberadaan dan kondisi goa itu. Review-nya bagus-bagus tuh. Tapi jalan ke sana memerlukan waktu yang nggak sedikit. Dari Balikpapan kami harus nyebrang pakai ferry ke Pelabuhan Penajam, lalu lanjut jalan darat sekitar 4 sampai 5 jam-an ke daerah Batu Sopang - alias jalanan ke arah Banjarmasin Kalimantan Selatan. Goa Tengkorak tepatnya berada di Desa Kasungai Kecamatan Batu Sopang Kabupaten Paser. Tapi Donny dengan semangat 45-nya memutuskan pakai mobil dia saja dan dia sendiri yang bakal nyetir. Wuih, good plan nih ciiin...! 

29 April 2015

Sekitar jam 06.30 pagi, aku dan Donny ketemu di Pilot Jetty Pelabuhan Semayang Balikpapan. Hari itu kami sama-sama turun dari lokasi kerja. Langsung capcus pakai taksi ke rumah Donny.

"Mbak, aku bawa dua temanku ya."
"Sip! Eh, "sehat" atau "sakit" nih temen-temenmu ini?" tanyaku sambil tertawa
"Mmm, satu "sakit", satunya lagi "sehat"!" jawab Donny

Wkwkw, whatever-lah Don! 

Sebelum ke rumah Donny di daerah Rapak untuk ambil mobil, taksi yang kami tumpangi sengaja ke daerah Gunung Pasir dulu jemput Panji temannya Donny yang akan ikut jalan juga. Sampai rumah Donny, ambil mobil, lalu jemput satu orang lagi yaitu Sam. 

"Dimana rumahnya Sam, Don?" tanya Panji
"Di daerah Pupuk." jawab Donny
"Wah, yang tinggal di Pupuk kan orang-orang kaya Don" lanjut Panji
"Iya, tapi ini bukan di Pupuk-nya, ya dekat-dekat dengan Pupuk-lah"  Kami tertawa.

Singkat cerita, kami berempat siap berangkat melakukan ekspedisi ke Goa Tengkorak.! Kami menuju Pelabuhan Kariangau Balikpapan untuk nyebrang ke Penajam! Let's go on a road trip, man...!

Di tengah jalan, Sam memutar lagu-lagu di playlist-nya. Dan playlist-nya isinya lagu-lagu religi semua bahkan murotal Alqur'an 30 juz! Haduh-haduh, bukan apa-apa sih, tapi masa jalan-jalan asyik gini tapi backsoundnya lagu-lagu religi? Panas....!!! Wkwkw! Tapi anehnya, nggak ada satupun diantara kami yang merasa keberatan. Kami dengarkan juga lagu-lagu yang asing di telinga ini. 

Kami mungkin sedang beruntung karena ketika kami sampai di kapal ferry, kapal tersebut sudah nyaris penuh dan siap diberangkatkan. Untuk menuju Pelabuhan Penajam, kurang lebih memerlukan waktu satu jam-an. Oke ciiin, kita berlayar ciiin...!!! Lha kok jadi bahasa salon gini yang keluar sih.


Pelabuhan Penyeberangan Kariangau Balikpapan

Model-model nggak jelas dari majalah yang nggak jelas

Tiga anak terlantar...

Sekitar jam 11 siang kami sampai di Pelabuhan Penajam. Perjalanan darat siap dilanjutkan. Lagu-lagu religi itu kembali berkumandang di dalam mobil. Sam kelihatan asyik ikut bersenandung, sementara aku, Donny dan Panji sama-sama bingung, wkwk! Sumpah!


Pelabuhan  Penyeberangan Ferry Penajam 

Menjejak Penajam. Bersiap melakukan perjalanan panjang

Keluar dari Penajam, kami melewati terminal Lawe-Lawe, lalu masuk ke Kecamatan Babulu, Long Kali, Long Ikis dan lain-lain. Perjalanan darat itu serasa jauh sekali! Di tengah jalan, fuel indicator di mobil Donny sudah nyaris merah, tak ada tanda-tanda SPBU di dekat sini, maka kami putuskan untuk membeli bensin eceran saja. Kami merapat ke sebuah warung di pinggir jalan.

"Berapa harga per liter, Bu?" tanya Donny
"9000 rupiah" jawab si Ibu penjaga warung
"Yaelah, mahal amat!" komentar kami
"Ya sudah, 8500 rupiah saja" kata Ibu.
"Batu Kajang masih jauhkah, Bu?" tanya Panji
"Masih. Sekitar dua atau tiga jam-am lagi." jawab si Ibu

Hah, apa??? Masih panjang kah perjalanan ke Goa Tengkorak ini? Jam sudah menunjukkan jam dua siang, saudara-saudara! Semangat kami sudah semakin surut. 

"Beli sepuluh liter aja deh, Bu" kataku.

Selesai refuel dan istirahat sebentar, perjalanan ini kembali dilanjutkan. Tapi kira-kira sepuluh meter-an dari warung itu, ternyata kami menemukan SPBU. Walah, sialan! Tahu gini kan kami beli bensin di SPBU saja! Hah!

Dengan sisa asa yang masih ada, akhirnya kami sampai juga di pertigaan yang dimaksud. Panji pernah kerja di daerah sini, jadi dia lumayan ngertilah. Jika ambil jalan lurus bakal sampai di Tanah Grogot, ibukota Kabupaten Paser. Kami mengambil arah ke kanan, jalan raya ke arah Batu Kajang. 

Jalanan semakin naik dengan view yang makin keren dan menyejukkan mata hati. Dengan melewati pemandangan seperti ini di sepanjang jalan, maka ekspetasiku tentang Goa Tengkorak menjadi sangat tinggi. Terbayang sebuah goa di atas tebing, ber-aura seram dan berada di tengah hutan yang perawan, haha!


Pemandangan di sebuah jalan 

By the way,  lagu-lagu yang terputar di mobil masih playlist-nya si Sam alias lagu-lagu religi. Tiba-tiba Panji nyeletuk "Aduh tolong dong lagunya diganti. Males banget deh dengernya, masa ada kata-kata malaikat mencabut nyawa gitu." Kami semua tertawa! Akhirnya ada yang protes juga setelah lama terpendam dalam dada! Wkwkw! Kali ini, tak ada lagi lagu-lagu religi itu, playlist-nya sudah menjelma menjadi lagu pop masa kini! Huahaha!  

Kami melewati bukit-bukit dimana orang menyebutnya sebagai Gunung Rambutan. Di tepi jalan kami juga melewati sebuah sebuah air terjun. Ah, nanti pulang dari Goa Tengkorak, kami harus berhenti di situ!

Lalu Goa Tengkoraknya dimana sih? Masih jauh nggak ya? Daripada tersesat di jalan dan susah mencari jalan pulang, mari kita bertanya saja. 

"Adek, tau Goa Tengkorak nggak? Masih jauhkah?" aku bertanya pada seorang anak kecil yang sedang bermain dengan sepedanya.
"Iya tahu. Jalan lurus terus, nanti ada Masjid besar, lalu belok kanan." jawab anak kecil itu.
"Terima kasih, adek"

Oke ciiin, lanjut lagi ciin...! 

Dari jauh, akhirnya kelihatan juga sebuah kubah masjid. Itulah Masjid Batu Sopang yang dimaksud anak kecil yang kami tanya di jalan tadi. Berarti kami harus belok kanan. Dan betul terdapat sebuah papan petunjuk bertuliskan  "Objek Wisata Goa Tengkorak & Goa Loyang". Akhirnya! 

Setelah mengikuti jalan ke arah Goa Tengkorak, akhirnya kami sampai juga di dekat sebuah sungai. Parkir mobil dulu. Terlihat di atas tebing di seberang sungai sanalah Goa Tengkorak itu berada. Yeah, akhirinya!


Jembatan di atas sungai menuju Goa Tengkorak

Kami sebrangi sungai itu. Ah, kenapa jembatan ini di-cat dengan warna ungu sih? Aneh saja menurutku. Tapi sudahlah, apa arti sebuah warna, hehe! Setelah menyeberan sungai, tampak di depan kami seperti sebuah taman wisata, ada danau lengkap dengan bebek-bebekan di sana. Oalah, kenapa sudah ramai seperti ini? Nggak ada serem-seremnya sama sekali, tempat ini sudah sangat terbuka dan menjadi tempat wisata.

Kami berjalan ke arah Goa Tengkorak yang berada dalam satu kompleks dengan tempat wisata itu. Goa itu ada di atas tebing, mungkin tingginya sekitar 20 meter-an. Ada tangga kayu yang harus kita naiki. Dan lagi-lagi...tangga itu juga berwarna ungu! Bahkan tulisan "Objek Wisata Goa Tengkorak" yang berada di dekat mulut goa itu juga berwarna ungu. Sumpah ini nggak ada unsur seram seperti yang ada dalam bayanganku.

Di atas tebing sono Goa Tengkorak berada
Capek manjat kah Ciin...?
Setelah naik sampai atas, ah...kami hanya temukan sebuah cerukan atau lubang di atas tebing, tinggi cerukan sekitar 1,5 meter, panjang 3 meteran dan lebar 2 meter.  Di dalamnya memang ada tumpukan tengkorak dan tulang belulang manusia. Tengkorak beneran sih karena katanya tengkorak dan tulang belulang tersebut berasal dari nenek moyang daerah sana yang memang diletakkan di tempat tersebut. Agak kotor kondisi goa-nya dengan sampah di sana-sini. Dan you know what...Goa Tengkorak ini nggak ada serem-seremnya blas. Biasa saja! Nggak ada aura menakutkan sama sekali. Rasanya kecewa banget, setelah hampir lima jam lebih di jalan, hanya seperti inikah Goa Tengkorak itu? Hiks! Goa Tengkorak tak se-seram namanya! Mungkin dengan cara melihatnya dengan mata kepala sendiri seperti ini maka kita bisa menemukan hal yang sebenarnya, hehe!


Inilah interior Goa Tengkorak 

Wajah-wajah kosong nan kecewa, haha!

Auw...tengkoraknya bangun ciiin...!

Kami nggak ngabisin waktu lama di Goa Tengkorak, nggak ada yang dinikmati lagi. Tempat wisata ini mungkin cocok untuk wisata keluarga, tapi bukan wisata untuk kami yang memang sengaja nyari horor-hororan, wkwk! Nggak mungkin juga  kami naik bebek-bebekan di danau bawah sana, hahaha! Mungkin hanya Donny yang bahagia di sini, karena bisa tukeran nomor hp dengan penjaga Goa Tengkorak. Wkwkw, sadar Ciin...sadar!


Taman Wisata di area Goa Tengkorak

Yo wis cabut pulang saja. Sempat kepikiran untuk ke Goa Loyang yang berada tak jauh dari Goa Tengkorak, tapi informasi yang kami dapatkan sepertinya Goa Loyang juga biasa saja. Ya sudahlah, kami juga kehabisan passion untuk jalan ke sana. Tepatnya sih, males kecewa untuk kedua kali, haha!

Kami lewati lagi jalan yang sama seperti saat berangkat tadi. Lagu-lagu religi tak terdengar lagi di mobil. Hahaha, sorry bingit Sam, kami masih terlalu banyak dosa, jadi panas dan berasap kuping ini mendengarnya.

Waktu sudah menunjukkan sekitar jam 4 sore ketika kami sampai di air terjun yang berada di pinggir jalan itu. Berhenti istirahat dulu yuk sambil main-main air sebentar.


Main air lebih asyik dibanding liat tengkorak ;p

"Langgar Musyafir" demikian tertulis pada mushola di dekat air terjun itu

Ketika mobil ini melewati bukit-bukit di sekitar Gunung Rambutan, kami terkesima dengan sebuah pohon besar  yang terletak di pinggir jalan dekat sebuah tikungan. Dari tempat yang berada di area yang cukup tinggi itu, kami bisa melihat hamparan tanah beserta isinya di bawah sana. Keren! Jeprat-jepret dulu dong ah!


Aku tahu, Tuhan telah merawatmu...

Lompat lagi ciin....! Yang tinggi!


Perjalanan kembali di lanjutkan. Aku baru memperhatikan dengan seksama kalau hampir semua bangunan kantor pemerintah, sekolah dan lain-lain di Kabupaten Paser ini warnanya ungu semua, baik tembok maupun pagarnya. Bahkan sampai trotoar dan pot bunga pun berwarna ungu cuy! Oh, dan objek wisata Goa Tengkorak tadi juga pernuh warna ungu! Ada apa dengan warna ungu di Kabupaten Paser ini? Pengen geleng-geleng kepala tapi sekaligus penasaran banget!

Saking penasarannya, maka saat menuliskan catatan perjalanan ini, aku bela-belain googling tentang "serba ungu" di Kabupaten Paser itu. Dan ternyata oh ternyata, hal ini bahkan diatur dalam Peraturan Bupati, tepatnya Peraturan Bupati Paser No. 48 Tahun 2013. Wow!




Isi Peraturan Bupati, semua tentang "per-ungu-an"  d Kabupaten Paser


Kecamatan Long Ikis sepertinya menjadi daerah yang areanya paling panjang dan lama kami lewati. Perasaan sudah jalan jauh, tapi masih Long Ikis lagi...Long Ikis lagi. Halah-halah! Donny, kuat-kuatin nyetir ya? Nggak ada yang nggantiin kamu soalnya, hehe!

Oh ya, playlist di mobil sudah ganti dengan playlist lagu-lagu favorit-nya Panji.

"Nah, enak-enak kan lagunya. Semua bisa menikmati juga." kata Panji.

Semua tertawa. Iya, playlist-nya Panji sama sekali tidak mengingatkan tentang neraka soalnya, wkwk! Hahaa, apapun itu yang penting bisa menemani perjalanan pulang ke Balikpapan yang kian melelahkan ini.

Jam delapan malam lebih, akhirnya kami sampai di Pelabuhan Ferry Penajam. Setelah memasukkan mobil ke ferry, kami naik ke deck penumpang. Tepar semua! Haha!

Goa Tengkorak memang tak sesuai harapan. Namun pada akhirnya semua bukanlah tentang sebuah destinasi, tapi tentang perjalanan dan kebersamaan :-)



Friday, May 15, 2015

Mengintip Perbatasan Negeri di Pulau Sebatik

"Mencintai tanah air adalah merasakan bahwa 
tak ada negeri lain yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, 
bekerja dan terutama untuk mati"
(Goenawan Mohamad)

--------------------------------------------------------------------------------

5 April 2015

Jam 12 siang, pesawat Lion Air jurusan Tarakan itu akhirnya terbang dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Jika aku terbiasa bolak-balik setiap bulannya ke Balikpapan Kaltim karena memang kerja di sana, maka ini pertama kalinya aku pergi ke wilayah Kalimantan Utara. Ya sudah, mari kita mulai liburan days off-ku kali ini dengan melakukan perjalanan absurd seorang diri ;p

Tujuanku adalah Pulau Sebatik di Kabupaten Nunukan. Untuk menuju Sebatik, dari Tarakan nanti aku harus menyeberang lagi ke arah timur. Pulau itu hanya seluas 247-an km persegi saja dan bisa dibilang tak ada objek wisata yang terkenal seantero negeri. Tapi ada yang menarik di pulau ini. Sebatik adalah satu pulau dengan dua negara. Pulau Sebatik memang terbagi menjadi dua wilayah yaitu Indonesia dan Malaysia. Inilah salah satu pulau terdepan alias beranda Indonesia. 


Letak Pulau Sebatik (Sumber : www.jurnalmaritim.com)

Dalam pesawat menuju Tarakan, duduk di sebelahku seorang Bapak. Yang bikin aku jadi tersenyum sendiri adalah ternyata tas selempang yang dipakai si Bapak itu persis sama dengan tas yang kupakai sekarang. 

"Wah, tas kita samaan ternyata, Pak" kataku memulai obrolan. Si Bapak tersenyum.
"Iya Mbak, dari tadi saya juga memperhatikan. " jawabnya sambil tertawa.
"Turun dimana Mbak? Balikpapan atau Tarakan?" tanyanya
"Tarakan, Pak" jawabku 
"Tarakannya dimana?"
"Mmm, sebenarnya saya mau ke Pulau Sebatik"
"Oh mau ke Sebatik. Kerja di sana?"
"Enggak. Saya hanya jalan-jalan saja. Mau melihat perbatasan Indonesia-Malaysia."
"Mbak dari media apa?"
"Saya bukan dari media, Pak. Ini hanya jalan-jalan saja" terangku
"Wah, jarang-jarang orang pergi ke Pulau Sebatik hanya untuk jalan-jalan, apalagi hanya untuk melihat perbatasan. Suka backpackeran ya, Mbak?"
"Wah, saya hanya wisatawan saja, Pak"
"Iya, wisatawan dengan minat khusus". Ujarnya sambil tertawa.

Si Bapak ini kemudian bercerita bahwa dia adalah lulusan Arkeologi yang sekarang bekerja di Dinas Pariwisata Propinsi Kalimantan Utara. Maka sederatan nama-nama tempat wisata di Kalimantan Utara beliau sebut dan iklanlah padaku. Aduh Pak, jangan racuni diriku dengan destinasi-destinasi indah itu. Pusing pala berbi jadinya, wkwk!

Pesawat yang aku tumpangi transit sebentar di Balikpapan, kemudian lanjut ke Tarakan. Perjalanan Balikpapan ke Tarakan mungkin hanya 30 menit, singkat saja. 

Aku pamit ke Bapak (Ups, yang aku lupa menanyakan namanya), segera setelah turun dari pesawat. Tak ada bagasi, jadi aku langsung ngacir saja keluar dari  tempat kedatangan di Bandara Juwata Tarakan. Tadinya sih rencananya mau jalan kaki saja ke luar bandara untuk mencegat angkot atau ojek menuju hotel, tapi ternyata si Bapak yang duduk satu deretanku (yang duduk di sebelah Bapak Dinas Pariwisata itu) yang sepanjang perjalanan Balikpapan-Tarakan kulihat sangat terlelap dalam tidurnya, menawarkan tumpangan padaku sampai ke hotel tempatku menginap. Lumayan dah, rejeki anak salikhah ini namanya, hehe! 

Hotel yang kutuju memang tak begitu jauh dari Bandara Juwata. Sudah ku-browsing hotel yang menyediakan kelas backpacker di Tarakan dan ketemulah dengan hotel ini. Meski berada di Tarakan, tapi hotel ini bernama Hotel Jakarta, haha! Aku memang harus menginap semalam di Tarakan karena speedboat ke Pulau Sebatik baru tersedia besok pagi. Baiklah, kini kunikmati atmosfer Tarakan seorang diri (melasne nduk...;p)

6 April 2015

Aku nggak tahu jam berapa tepatnya speedboat jurusan Sebatik itu ada dan berangkat berapa kali dalam sehari. Hasil googling cuma nemu sedikit informasi. Daripada terlambat, akhirnya aku check out dari hotel sekitar jam 06.30 pagi dan langsung capcus naik ojek ke Pelabuhan Tarakan.

Tukang ojek menurunkanku di tempat penjualan tiket. Ternyata speedboat dari Pelabuhan Tarakan ke Pelabuhan Sungai Nyamuk di Pulau Sebatik hanya dua kali dalam sehari yaitu jam 09.30 dan 14.00. Siplah, aku ambil yang jam 09.30 saja. Berarti masih sekitar dua jam ke depan baru berangkat. Sebenarnya ada alternatif lain, yaitu naik speedboat dulu ke Nunukan lalu lanjut speedboat lagi ke Pulau Sebatik. Tapi aku males gonta-ganti kapal euy!


Satu pagi di Pelabuhan Tarakan 

Suasana di Terminal Keberangkatan Pelabuhan Tarakan

Sekitar jam 09.00, speedboat Sinar Baru Express merapat untuk menaikkan penumpang. Sembari menunggu penuh, aku ngobrol saja dengan dua orang kru kapal itu.

"Berapa lama perjalanan ke Sebatik, Mas?"  tanyaku
"Sekitar 3 jam, Mbak"
"Wah, lumayan lama juga ya."
"Ya. Mbak kerja di Sebatik?"
"Nggak, mau jalan-jalan saja ke sana, mau lihat perbatasan."
"Sudah ada yang jemput di sana?"
"Belum ada, Mas. Tapi ada ojek kan ya di sana?"
"Ada Mbak. Kalau mau, nanti saya hubungi tukang ojek yang biasa bawa tamu untuk keliling-keliling perbatasan."
"Mantap. Makasih banyak ya, Mas."

See, pepatah bahwa Tuhan memang selalu bersama para pejalan, lagi-lagi terbukti adanya! 


Sebatik...Sebatik.. ayo naik-naik.!!!

Kru Speed Boat Sinar Baru Express yang Ingin Eksis :-)


Jam 09.30, speedboat itupun berangkat. Gelombang agak besar, speedboat bergerak kencang menembus ombak dan membuat perut terkocok-kocok. Maka bau balsem dan minyak angin memenuhi seisi speedboat berkapasitas sekitar 50 orang ini. Untungnya aku cukup kuat, mungkin gara-gara lima tahun kerja di offshore membuatku kebal terhadap goyangan kapal dan gelombang, halah! Eh, pelampung mana pelampung? Sip, kulihat tumpukan pelampung warna orange ada di pojokan. Aman! 

Tak ada laut biru yang kuseberangi dari Tarakan ke Sebatik. Airnya cenderung coklat dan keruh. Tapi apapun itu, rute perjalanan ini adalah baru buatku. Sayang jika hanya kulewatkan dalam tidur ;p

Setelah nyaris tiga jam aku terombang-ambing di atas kapal, maka tampaklah dermaga Sungai Nyamuk itu. Wow, itulah Pulau Sebatik!


And here you go...Dermaga Sungai Nyamuk - Pulau Sebatik

Welcome to Sebatik, Kakak :-)

Kondisi Pelabuhan Sungai Nyamuk bisa dibilang sangat mengenaskan. Dermaganya berkonstruksi kayu. Tampak bekas Pos Imigrasi dan Karantina Pelabuhan yang sudah tak difungsikan lagi. Dulu kita bisa naik kapal dari pelabuhan ini menuju Tawau Malaysia. Namun sejak tahun 2013, pemerintah negera bagian Sabah Malaysia tidak menerima lagi kapal-kapal yang berasal dari Sungai Nyamuk karena rawan terhadap penyelundupan barang dan manusia. Kini Malaysia hanya berkenan mendaratkan kapal-kapal yang berasal dari Pelabuhan Tunontaka di Nunukan.

Kru kapal Sinar Baru Express mengenalkanku dengan Pak Jamal, beliau adalah tukang ojek yang akan mengantarkanku keliling Pulau Sebatik. Sip dah! Eh, sebelum capcus keliling Sebatik, mari kita makan siang dan ngopi dulu di warung dekat dermaga  sambil ngobrol dengan Pak Jamal dan kru kapal yang ikut bersantai istirahat. Ah, lagi-lagi orang menyangka-ku bekerja di media (koran/televisi) dan datang ke Sebatik untuk liputan. Hohoho! Ada yang salah dengan penampilanku?

"Kebanyakan yang datang ke sini memang dari media Mbak, atau kunjungan pejabat dari daerah maupun pusat, dari pejabat biasa sampai Presiden" terang Pak Jamal.
"Mungkin hanya malaikat saja yang belum datang ke sini" lanjut Pak Jamal sambil tertawa.

Disela menghabiskan minum, beliau bercerita bahwa banyaknya kunjungan pejabat-pejabat selama ini nyatanya tidak berdampak signifikan terhadap perubahan atau pembangunan di Pulau Sebatik.

"Sebatik masih seperti ini saja..." keluh Pak Jamal. Hal ini juga di-amini oleh beberapa orang yang duduk-duduk di warung tersebut.

"Berapa semuanya, Bu?" tanyaku pada Ibu pemilik warung, setelah menyelesaikan makan siang
"Tiga puluh ribu, Mbak" jawabnya
"Di sini masih terima rupiah ya? Saya kira hanya terima ringgit."
"Masihlah, Mbak" jawab si Ibu sambil tersenyum.

Dalam beberapa tulisan yang sempat kubaca di internet, katanya di Pulau Sebatik ini kebanyakan transaksi ekonominya menggunakan ringgit, atau bisa dibilang masyarakatnya lebih memilih ringgit dibanding rupiah. Barang-barang kebutuhan sehari-hari sebagian besar masih didatangkan dari Tawau Malaysia. Tapi syukurlah, ternyata di warung ini rupiah masih laku juga. Maka kusimpan rapat-rapat uang ringgit yang sengaja telah kusiapkan di pojokan dompet saja ;p

Hari ini, siang yang panas memanggang Pulau Sebatik. Baiklah, Pak Jamal. Ayo nyalakan motornya, dan...berangkat kita!

Motor Pak Jamal digeber melewati jetty kayu dari dermaga Sungai Nyamuk menuju daratan. Sebagian kayu itu tampak sudah lapuk dan rusak sana-sini. Menurut Pak Jamal, ada jetty baru yang sudah dibangun tak jauh dari dermaga ini, bahkan terbuat dari beton tapi belum digunakan sampai sekarang karena masih ada kendala pembebasan tanah.

Kami memasuki jalanan Sebatik yang super lengang. Tujuan pertama kami adalah Patok Nomor 1 RI-Malaysia. Sambil mengendarai motor, Pak Jamal menjelaskan tentang beberapa lokasi dan bangunan yang kami lewati. Rumah - rumah panggung ala Bugis mudah kami temukan di sepanjang jalan. Warga pulau ini memang sebagian besar adalah keturunan Suku Bugis yang telah tinggal di sini turun-temurun, termasuk Pak Jamal sendiri.

Patok Perbatasan No. 1 berada di dekat perkebunan sawit. Pagar kayu berdiri di dekatnya yang ternyata merupakan pagar pembatas dua negara juga. Nah, jika kubuka pintu pagar kayu dan melangkah, berarti aku sudah berada di wilayah Malaysia, tanpa paspor!


Patok No. 1 Perbatasan RI - Malaysia


Kami capcus lagi. Kali ini Pak Jamal membawaku ke Tugu Perbatasan Garuda Perkasa. Sebenarnya tugu ini tidak terletak pas di garis perbatasan tapi di tempat yang kabarnya merupakan tertinggi di Pulau Sebatik, tepatnya di Desa Seberang Kecamatan Sebatik Utara. Tugu berbentuk burung garuda dengan sayap yang berkepak beserta kibaran Sang Merah Putih berdiri di atas bola dunia. Yang paling menyentuh sisi nasiomalisme adalah adanya tulisan "NKRI Harga Mati" pada tugu tersebut. Keren luar biasa!


Karena NKRI Harga Mati !!!

Entah ada berapa patok perbatasan RI - Malaysia. Yang jelas sekarang Pak Jamal mengendarai motornya ke Desa Aji Kuning dimana terdapat patok Nomor 3 Perbatasan RI - Malaysia. Jika patok No. 1 terdapat di dekat perkebunan, maka patok No. 3 ini berada di dekat pemukiman penduduk di Desa Aji Kuning. Sebuah Pos TNI penjaga perbatasan juga terdapat di sana. Ada yang unik di tempat ini yaitu sebuah rumah yang berada tepat di belakang Pos TNI. Rumah itu menjadi unik karena dibangun di atas dua negara. Ruang tamu berada di Indonesia sedangkan dapurnya termasuk wilayah Malaysia. Sayang penghuni rumah itu sedang tak ada di tempat, padahal kalau diizinkan ingin sekali aku melihat ke dalamnya.

"Pemilik rumah ini WNI, punya KTP Indonesia" kata salah satu Bapak TNI yang sedang berjaga.


Di belakang Pos Perbatasan itu, rumah dengan "dua negara" itu berdiri.
Ruang tamu di Indonesia, dapur di Malaysia ;)

Sebelah kiri adalah "dapur" dari rumah "dua negara" itu dan  sebuah sungai kecil melintas perbatasan. Ini sudah masuk wilayah Malaysia ;p

"Kokohkan Merah Putih di Tapal Batas!"
Tertulis di pondasi tiang bendera perbatasan.
 

Kami ngobrol sejenak dengan Bapak TNI penjaga perbatasan yang tampaknya sudah kenal dengan Pak Jamal. Foto-foto dulu yes?


Pak Jamal dan seorang TNI Penjaga Tapal Batas, berpose tepat di P3 alias Patok No. 3 Perbatasan RI - Malaysia

Kami lanjut jalan lagi. Jalan aspal bagus masih kita nikmati meski treknya naik turun hingga desa Sungai Limau. Wilayah Malaysia ada di sebelah kanan kami. Dari ketinggian ini, dapat terlihat hijaunya kebun kelapa sawit. Sebuah pabrik pengolahan sawit juga ada di sana. Banyak warga Sebatik yang menjadi tenaga kerja perkebunan sawit milik Malaysia itu.

Jalan Lintas Sebatik :-)

Kebun sawit di wilayah Malaysia. Di seberang sana, itu Tawau, kota di Negara Bagian Sabah Malaysia

Di Sungai Limau ini juga, tiba-tiba aku menerima sms dari provider SIM card yang kupakai. Bunyinya adalah bahwa layanan jaringan yang kupakai saat ini adalah jaringan Malaysia alias bakal kena roaming. Whaladalah, padahal secara geografis aku masih berada di Indonesia lho!

"Sebentar lagi kita sampai di Bukit Menangis" kata Pak Jamal
"Bukit Menangis...?"  tanyaku penasaran.
"Penduduk di sini menyebutnya bukit menangis karena jalannya menanjak dan rusak parah." terang beliau

Benar saja, jalan yang kami lewati di daerah tersebut memang rusak parah. Jalannya belum diaspal pula. Mungkin tambah parah dalam kondisi hujan. Berkali-kali motor Pak Jamal nyaris terperosok. Ternyata kendaraan roda dua juga ikut meraung dan menangis, hahaha!

Jalan menuju Bukit Menangis

Ayo Pak Jamal, geber lagi motornya! Saya mbantu do'a :-)

Yuhuu, akhirnya dengan selamat dan sentosa, motor Pak Jamal berhasil melalui Bukit Menangis. Kini kami dihadapkan kembali dengan jalanan aspal mulus. Di beberapa titik, kulihat ada beberapa Pos-Pos TNI. Tiap kali melewatinya, maka Pak Jamal akan membunyikan klakson dan melambaikan tangan kepada Bapak-Bapak TNI yang berjaga. Kami akan menuju Dermaga Bambangan, tempat kapal-kapal dari dan ke Pelabuhan Tunontaka Nunukan bersandar.

Aktivitas di Pelabuhan Bambangan ini cukup ramai. Di samping mengangkut penumpang dari dan ke Nunukan, di sini banyak kapal yang mengangkut barang kebutuhan sehari-hari.


Jetty Pelabuhan Bambangan

Kapal-kapal yang berlabuh

Panasnya siang kian menggantang, perjalanan harus diteruskan, tapi motor Pak Jamal sudah kehausan. Kami berhenti dan istirahat sebentar di sebuah toko. Sang pemilik toko tenyata masih saudara dengan Pak Jamal. Kubeli sebuah minuman dingin dan ternyata made in Malaysia. Gampang sekali menemukan produk Malaysia di toko ini maupun toko-toko lain di Sebatik, termasuk deretan tabung gas kapasitas 25 kg yang bermerk Shell atau Petronas. Tak ada tabung gas berwarna biru milik Pertamina. Hiks...! 


Tak ada tabung gas made in Pertamina Indonesia :-(

Cukup istirahat, kami pamit. Melanjutkan geberan motor ke arah Pelabuhan Binalawan, satu lagi pelabuhan yang ada di Pulau Sebatik. Pelabuhan kecil ini melayani kapal-kapal dari dan ke Pelabuhan Sei Jepun di Nunukan.


Pelabuhan Binalawan 

Hari telah sore, saatnya pulang. Lumayan juga hasil keliling pulau hari ini. Pak Jamal mengantarkanku sampai Hotel Queen, tempat aku menginap semalam di sana. Besok masih ada satu destinasi lagi yang akan aku tuju, sebelum pulang kembali ke Tarakan.


Perkampungan di pinggir jalan

Pondok Pesantren "Mutiara Bangsa", adalah Pondok Pesantren yang khusus didirikan untuk anak-anak TKI yang orang tuanya bekerja di Malaysia


Aku bingung menghabiskan sore hingga malam ini. Jika cuma nongkrong di hotel rasanya nggak produktif sama sekali. Maka kulangkahkan kaki ke luar hotel dan jalan kaki ke Dermaga Sungai Nyamuk. Sepertinya  oke juga melewatkan senja di sana.


Menunggu senja di Pelabuhan Sungai Nyamuk

Ah, cukup jauh juga jalannya! Tapi jetty kayu itu mulai terlihat juga. Sepi, mungkin karena hari telah sore dan tak ada aktivitas lagi di Pelabuhan Sungai Nyamuk. Aku sibuk dengan kameraku, jeprat sana-sini. Kulewati sebuah Pos TNI-AL.

"Sedang apa, Mbak?" tanya Bapak TNI penjaga
"Lagi foto-foto saja, Pak" jawabku sambil tersenyum.

Ah, aku kan hanya foto-foto senja dan dermaga saja, pikirku.  Tapi tampaknya Bapak TNI tadi cukup "curiga" dengan keberadaanku. Dia kemudian memanggilku.

"Mbak, bisa tolong ke sini sebentar!" teriak Bapak itu

Tentu saja aku bisa, aku berpikiran positif saja.

"Ada apa, Pak?" tanyaku
"Bisa tolong minta Identitasnya?" jelas Bapak TNI ini

Bapak TNI tersebut menjelaskan bahwa kegiatan memotret di sekitar Pos Perbatasan TNI-AL itu tidak diperkenankan karena Pos tersebut termasuk simbol keamanan negara. Jika nanti ada apa-apa dan disebabkan karena foto tersebut, saya bisa kena dampaknya. Harus izin dulu jika mengambil foto simbol-simbol keamanan negara seperti di Pos Perbatasan ini. Gubrakkk!

"Maaf Pak, saya tidak tahu peraturan tersebut. Saya hanya mengambil foto-foto dermaga dan jetty saja, tanpa bermaksud mengambil foto pos TNI ini. Baiklah, saya delete saja foto-foto saya barusan yang ada Pos TNI nya" kataku.

Haduh, kenapa aku sampai berurusan dengan tentara perbatasan ini! Kartu Identitasku diminta dan difotokopi. Aku diinterogasi macam-macam. Dari mana asalku, aku kerja dimana, dari media apa, ngapain ke Pulau Sebatik, mengapa aku jalan sendiri ke Sebatik dan lain-lain. Alamakk!

"Saya hanya jalan-jalan saja ke Sebatik Pak, atas nama pribadi bukan perusahaan. Saya bukan dari media apapun." aku berusaha menjelaskan sejujurnya.
"Jarang orang ke Sebatik hanya untuk jalan-jalan, apalagi seorang perempuan, sendirian." komentar Bapak TNI yang bernama Pak Nurman ini.
"Tapi saya ke sini memang hanya untuk jalan-jalan. Mengunjungi Pulau Sebatik, melihat perbatasan. Begitu, Pak"

Ya Allah, semoga penjelasanku bisa diterima. Atau jangan-jangan, Bapak TNI ini mulai curiga karena takutnya aku mau nyelundup ke Malaysia? Disangka human trafficking? Hah, entahlah!

Dua motor memasuki Pos TNI-AL. Waduh, urusan dengan Bapak Nurman belum kelar, datang lagi dua tentara. Mampus aku!

Mereka menyapaku. Tersebutlah namanya adalah Pak Janadi dan Pak Anang. Mereka kembali menanyakan darimana asalku, kerja dimana, ngapain ke Sebatik dan lain-lain. Aku jelaskan persis sama dengan apa yang telah kujelaskan ke Bapak Nurman di awal tadi.

"Om saya kerja di Balikpapan, Mbak. Beliau kerjanya ke lepas pantai terus. Namanya Widiyanto. Mbak kenal nggak?" kata seorang Bapak TNI yang bernama Pak Anang, setelah aku menyebutkan nama perusahaan tempat aku bekerja di Balikpapan.
"Bagian apa ya, Pak?" tanyaku
"Wah, ndak tahu. Tapi kerjanya ke laut terus. Asalnya dari Blitar."
"Hmm, Blitar? Jangan-jangan Pak Widi - Surveyor ya?"

Ya, tiba-tiba aku ingat Pak Widi, sering ketemu beliau kalau lagi Rig Move di lepas pantai. Satu-satunya orang asal Blitar dengan nama Widiyanto yang kukenal. Tapi apa mungkin beliau ya? Di antara banyaknya karyawan yang kerja di offshore, sebenarnya probabilitas nama Widi yang dimaksud bisa saja kecil sekali!

"Sebentar, Mbak. Saya telepon beliau dulu"

Wuih beneran, Pak Anang mengeluarkan hp-nya dan menghubungi Om-nya yang bernama Widiyanto itu.

"Halo, Om Widi. Lagi nang ndi, Om? Iki aku Anang." kata-kata Pak Anang mengawali obrolannya dengan Om-nya via telp.
"Om, kenal yang namanya Mbak Lena ndak?"
"Oh kenal tho, ini orangnya lagi di sini, sedang jalan-jalan di Sebatik".

Pak Anang lalu menyerahkan telepon genggamnya ke aku.

"Halo, ini Pak Widi - Surveyor?"
"Heh, ini Mbak Lena? Piye kabare, Mbak? Kok sampai jauh-jauh ke Sebatik"
"Walah, dunia sempit banget ya Pak. Biasanya kita ketemu di Rig. Lha, sekarang malah ketemu ponakan Bapak di Pulau Sebatik." 

Suasana di Pos TNI-AL Pelabuhan Sungai Nyamuk itu akhirnya cair. Syukur Alhamdulillah! Plong rasanya. Sungguh, nggak ngira bakal ada kejadian seperti ini di Sebatik. Aku, Pak Anang, Pak Janadi dan Pak Nurman akhirnya ngobrol santai. Ngobrol tentang pulau ini, kondisi pembangunan di Sebatik dan banyaknya pejabat-pejabat yang telah mengunjungi pulau ini sejak dulu dan dampaknya hingga saat ini dan juga suka duka bertugas di daerah perbatasan. Sepiring gorengan pisang tersedia di atas meja untuk kami nikmati bersama. Ending yang manis akhirnya, haha!

7 April 2015

Jam 08.00 pagi, aku check out dari Hotel Queen. Pak Jamal telah siap mengantarkanku ke Pos Perbatasan TNI-AL di Sei Pancang pagi itu.

Pos Perbatasan Sei Pancang adalah pos perbatasan laut yang terletak di ujung timur Pulau Sebatik. Di sana terdapat menara pos pengawas yang semakin terkenal karena Presiden Jokowi pernah menaikinya sekitar bulan Desember 2014 lalu.

Sampai di sana, aku dan Pak Jamal minta izin dulu ke petugas, apakah boleh aku naik ke menara pengawas itu. Izin itu penting, jangan sampai kejadian seperti kemarin sore di Pos Perbatasan Sungai Nyamuk terulang kembali, hehe. Alhamdulillah, petugas Pos Sei Panjang welcome saja :-)

"Hati-hati ya, Mbak. Tangga kayunya banyak yang sudah lapuk" pesan Bapak petugas.
"Sip, Pak, terima kasih banyak!"

Yess! Aku diizinkan naik ke menara itu! Menara itu tingginya sekitar 30 meter. Konstruksinya dari kayu. Dan seperti pesan petugas pos perbatasan sebelum aku naik tadi, tangga kayunya memang banyak yang sudah lapuk. Dan...inilah aku, berada di puncak tertinggi Pulau Sebatik, di salah satu titik perbatasan Indonesia-ku!


Menara Pengawas di Pos Perbatasan Sei Pancang

Setelah turun dari menara, Pak Jamal berkelakar "Setahu saya, hanya ada dua orang yang pernah naik menara ini. Satu Pak Jokowi, satu lagi Mbak Lena, hehe!"

Aku tertawa "Pak Jamal bisa saja. Terima kasih, Pak. Saya sudah diantar keliling pulau ini."

Tak terasa jam sudah mendekati angka 9 pagi. Saatnya aku pamit pada Pulau Sebatik. Jam 09.30 nanti, speedboat Sadewa Express akan membawaku ke Tarakan. Perjalananku di Sebatik memang singkat sekali.

Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu selama aku "mengintip" perbatasan negeri di utara Kalimantan, salah satu beranda terdepan nusantara. Memang tak ada pantai indah berpasir putih atau gunung tinggi yang gagah untuk didaki di Sebatik. Tapi ada deru nasionalisme yang menderu, saat kujejakkan kaki di pulau itu. 

Semoga Sebatik menjadi lebih sejahtera, bagaimanapun ini masih Indonesia. Semoga kelak tak ada lagi kata "Garuda di dadaku, Malaysia di perutku". Sekali lagi, NKRI Harga Mati !!!

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :

1. Hotel Jakarta di Tarakan = Rp. 150.000/kamar
2. Ojek dari Hotel ke Pelabuhan Tarakan = Rp. 20.000
3. Speedboat Tarakan - Sungai Nyamuk (Sebatik) = Rp. 240.000
4. Ojek Keliling Pulau Sebatik = Rp. 200.000
5. Hotel Queen Pulau Sebatik = Rp. 150.000/kamar
6. Speedboat Pulau Sebatik - Tarakan = Rp. 240.000