"Mencintai tanah air adalah merasakan bahwa
tak ada negeri lain yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup,
bekerja dan terutama untuk mati"
(Goenawan Mohamad)
--------------------------------------------------------------------------------
5 April 2015
Jam 12 siang, pesawat Lion Air jurusan Tarakan itu akhirnya terbang dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Jika aku terbiasa bolak-balik setiap bulannya ke Balikpapan Kaltim karena memang kerja di sana, maka ini pertama kalinya aku pergi ke wilayah Kalimantan Utara. Ya sudah, mari kita mulai liburan days off-ku kali ini dengan melakukan perjalanan absurd seorang diri ;p
Tujuanku adalah Pulau Sebatik di Kabupaten Nunukan. Untuk menuju Sebatik, dari Tarakan nanti aku harus menyeberang lagi ke arah timur. Pulau itu hanya seluas 247-an km persegi saja dan bisa dibilang tak ada objek wisata yang terkenal seantero negeri. Tapi ada yang menarik di pulau ini. Sebatik adalah satu pulau dengan dua negara. Pulau Sebatik memang terbagi menjadi dua wilayah yaitu Indonesia dan Malaysia. Inilah salah satu pulau terdepan alias beranda Indonesia.
 |
Letak Pulau Sebatik (Sumber : www.jurnalmaritim.com) |
Dalam pesawat menuju Tarakan, duduk di sebelahku seorang Bapak. Yang bikin aku jadi tersenyum sendiri adalah ternyata tas selempang yang dipakai si Bapak itu persis sama dengan tas yang kupakai sekarang.
"Wah, tas kita samaan ternyata, Pak" kataku memulai obrolan. Si Bapak tersenyum.
"Iya Mbak, dari tadi saya juga memperhatikan. " jawabnya sambil tertawa.
"Turun dimana Mbak? Balikpapan atau Tarakan?" tanyanya
"Tarakan, Pak" jawabku
"Tarakannya dimana?"
"Mmm, sebenarnya saya mau ke Pulau Sebatik"
"Oh mau ke Sebatik. Kerja di sana?"
"Enggak. Saya hanya jalan-jalan saja. Mau melihat perbatasan Indonesia-Malaysia."
"Mbak dari media apa?"
"Saya bukan dari media, Pak. Ini hanya jalan-jalan saja" terangku
"Wah, jarang-jarang orang pergi ke Pulau Sebatik hanya untuk jalan-jalan, apalagi hanya untuk melihat perbatasan. Suka backpackeran ya, Mbak?"
"Wah, saya hanya wisatawan saja, Pak"
"Iya, wisatawan dengan minat khusus". Ujarnya sambil tertawa.
Si Bapak ini kemudian bercerita bahwa dia adalah lulusan Arkeologi yang sekarang bekerja di Dinas Pariwisata Propinsi Kalimantan Utara. Maka sederatan nama-nama tempat wisata di Kalimantan Utara beliau sebut dan iklanlah padaku. Aduh Pak, jangan racuni diriku dengan destinasi-destinasi indah itu. Pusing pala berbi jadinya, wkwk!
Pesawat yang aku tumpangi transit sebentar di Balikpapan, kemudian lanjut ke Tarakan. Perjalanan Balikpapan ke Tarakan mungkin hanya 30 menit, singkat saja.
Aku pamit ke Bapak (Ups, yang aku lupa menanyakan namanya), segera setelah turun dari pesawat. Tak ada bagasi, jadi aku langsung ngacir saja keluar dari tempat kedatangan di Bandara Juwata Tarakan. Tadinya sih rencananya mau jalan kaki saja ke luar bandara untuk mencegat angkot atau ojek menuju hotel, tapi ternyata si Bapak yang duduk satu deretanku (yang duduk di sebelah Bapak Dinas Pariwisata itu) yang sepanjang perjalanan Balikpapan-Tarakan kulihat sangat terlelap dalam tidurnya, menawarkan tumpangan padaku sampai ke hotel tempatku menginap. Lumayan dah, rejeki anak salikhah ini namanya, hehe!
Hotel yang kutuju memang tak begitu jauh dari Bandara Juwata. Sudah ku-browsing hotel yang menyediakan kelas backpacker di Tarakan dan ketemulah dengan hotel ini. Meski berada di Tarakan, tapi hotel ini bernama Hotel Jakarta, haha! Aku memang harus menginap semalam di Tarakan karena speedboat ke Pulau Sebatik baru tersedia besok pagi. Baiklah, kini kunikmati atmosfer Tarakan seorang diri (melasne nduk...;p)
6 April 2015
Aku nggak tahu jam berapa tepatnya speedboat jurusan Sebatik itu ada dan berangkat berapa kali dalam sehari. Hasil googling cuma nemu sedikit informasi. Daripada terlambat, akhirnya aku check out dari hotel sekitar jam 06.30 pagi dan langsung capcus naik ojek ke Pelabuhan Tarakan.
Tukang ojek menurunkanku di tempat penjualan tiket. Ternyata speedboat dari Pelabuhan Tarakan ke Pelabuhan Sungai Nyamuk di Pulau Sebatik hanya dua kali dalam sehari yaitu jam 09.30 dan 14.00. Siplah, aku ambil yang jam 09.30 saja. Berarti masih sekitar dua jam ke depan baru berangkat. Sebenarnya ada alternatif lain, yaitu naik speedboat dulu ke Nunukan lalu lanjut speedboat lagi ke Pulau Sebatik. Tapi aku males gonta-ganti kapal euy!
 |
Satu pagi di Pelabuhan Tarakan
|
 |
Suasana di Terminal Keberangkatan Pelabuhan Tarakan |
Sekitar jam 09.00, speedboat Sinar Baru Express merapat untuk menaikkan penumpang. Sembari menunggu penuh, aku ngobrol saja dengan dua orang kru kapal itu.
"Berapa lama perjalanan ke Sebatik, Mas?" tanyaku
"Sekitar 3 jam, Mbak"
"Wah, lumayan lama juga ya."
"Ya. Mbak kerja di Sebatik?"
"Nggak, mau jalan-jalan saja ke sana, mau lihat perbatasan."
"Sudah ada yang jemput di sana?"
"Belum ada, Mas. Tapi ada ojek kan ya di sana?"
"Ada Mbak. Kalau mau, nanti saya hubungi tukang ojek yang biasa bawa tamu untuk keliling-keliling perbatasan."
"Mantap. Makasih banyak ya, Mas."
See, pepatah bahwa Tuhan memang selalu bersama para pejalan, lagi-lagi terbukti adanya!
 |
Sebatik...Sebatik.. ayo naik-naik.!!!
|
 |
Kru Speed Boat Sinar Baru Express yang Ingin Eksis :-) |
Jam 09.30, speedboat itupun berangkat. Gelombang agak besar, speedboat bergerak kencang menembus ombak dan membuat perut terkocok-kocok. Maka bau balsem dan minyak angin memenuhi seisi speedboat berkapasitas sekitar 50 orang ini. Untungnya aku cukup kuat, mungkin gara-gara lima tahun kerja di offshore membuatku kebal terhadap goyangan kapal dan gelombang, halah! Eh, pelampung mana pelampung? Sip, kulihat tumpukan pelampung warna orange ada di pojokan. Aman!
Tak ada laut biru yang kuseberangi dari Tarakan ke Sebatik. Airnya cenderung coklat dan keruh. Tapi apapun itu, rute perjalanan ini adalah baru buatku. Sayang jika hanya kulewatkan dalam tidur ;p
Setelah nyaris tiga jam aku terombang-ambing di atas kapal, maka tampaklah dermaga Sungai Nyamuk itu. Wow, itulah Pulau Sebatik!
 |
And here you go...Dermaga Sungai Nyamuk - Pulau Sebatik
|
 |
Welcome to Sebatik, Kakak :-) |
Kondisi Pelabuhan Sungai Nyamuk bisa dibilang sangat mengenaskan. Dermaganya berkonstruksi kayu. Tampak bekas Pos Imigrasi dan Karantina Pelabuhan yang sudah tak difungsikan lagi. Dulu kita bisa naik kapal dari pelabuhan ini menuju Tawau Malaysia. Namun sejak tahun 2013, pemerintah negera bagian Sabah Malaysia tidak menerima lagi kapal-kapal yang berasal dari Sungai Nyamuk karena rawan terhadap penyelundupan barang dan manusia. Kini Malaysia hanya berkenan mendaratkan kapal-kapal yang berasal dari Pelabuhan Tunontaka di Nunukan.
Kru kapal Sinar Baru Express mengenalkanku dengan Pak Jamal, beliau adalah tukang ojek yang akan mengantarkanku keliling Pulau Sebatik. Sip dah! Eh, sebelum capcus keliling Sebatik, mari kita makan siang dan ngopi dulu di warung dekat dermaga sambil ngobrol dengan Pak Jamal dan kru kapal yang ikut bersantai istirahat. Ah, lagi-lagi orang menyangka-ku bekerja di media (koran/televisi) dan datang ke Sebatik untuk liputan. Hohoho! Ada yang salah dengan penampilanku?
"Kebanyakan yang datang ke sini memang dari media Mbak, atau kunjungan pejabat dari daerah maupun pusat, dari pejabat biasa sampai Presiden" terang Pak Jamal.
"Mungkin hanya malaikat saja yang belum datang ke sini" lanjut Pak Jamal sambil tertawa.
Disela menghabiskan minum, beliau bercerita bahwa banyaknya kunjungan pejabat-pejabat selama ini nyatanya tidak berdampak signifikan terhadap perubahan atau pembangunan di Pulau Sebatik.
"Sebatik masih seperti ini saja..." keluh Pak Jamal. Hal ini juga di-amini oleh beberapa orang yang duduk-duduk di warung tersebut.
"Berapa semuanya, Bu?" tanyaku pada Ibu pemilik warung, setelah menyelesaikan makan siang
"Tiga puluh ribu, Mbak" jawabnya
"Di sini masih terima rupiah ya? Saya kira hanya terima ringgit."
"Masihlah, Mbak" jawab si Ibu sambil tersenyum.
Dalam beberapa tulisan yang sempat kubaca di internet, katanya di Pulau Sebatik ini kebanyakan transaksi ekonominya menggunakan ringgit, atau bisa dibilang masyarakatnya lebih memilih ringgit dibanding rupiah. Barang-barang kebutuhan sehari-hari sebagian besar masih didatangkan dari Tawau Malaysia. Tapi syukurlah, ternyata di warung ini rupiah masih laku juga. Maka kusimpan rapat-rapat uang ringgit yang sengaja telah kusiapkan di pojokan dompet saja ;p
Hari ini, siang yang panas memanggang Pulau Sebatik. Baiklah, Pak Jamal. Ayo nyalakan motornya, dan...berangkat kita!
Motor Pak Jamal digeber melewati jetty kayu dari dermaga Sungai Nyamuk menuju daratan. Sebagian kayu itu tampak sudah lapuk dan rusak sana-sini. Menurut Pak Jamal, ada jetty baru yang sudah dibangun tak jauh dari dermaga ini, bahkan terbuat dari beton tapi belum digunakan sampai sekarang karena masih ada kendala pembebasan tanah.
Kami memasuki jalanan Sebatik yang super lengang. Tujuan pertama kami adalah Patok Nomor 1 RI-Malaysia. Sambil mengendarai motor, Pak Jamal menjelaskan tentang beberapa lokasi dan bangunan yang kami lewati. Rumah - rumah panggung ala Bugis mudah kami temukan di sepanjang jalan. Warga pulau ini memang sebagian besar adalah keturunan Suku Bugis yang telah tinggal di sini turun-temurun, termasuk Pak Jamal sendiri.
Patok Perbatasan No. 1 berada di dekat perkebunan sawit. Pagar kayu berdiri di dekatnya yang ternyata merupakan pagar pembatas dua negara juga. Nah, jika kubuka pintu pagar kayu dan melangkah, berarti aku sudah berada di wilayah Malaysia, tanpa paspor!
 |
Patok No. 1 Perbatasan RI - Malaysia
|
Kami capcus lagi. Kali ini Pak Jamal membawaku ke Tugu Perbatasan Garuda Perkasa. Sebenarnya tugu ini tidak terletak pas di garis perbatasan tapi di tempat yang kabarnya merupakan tertinggi di Pulau Sebatik, tepatnya di Desa Seberang Kecamatan Sebatik Utara. Tugu berbentuk burung garuda dengan sayap yang berkepak beserta kibaran Sang Merah Putih berdiri di atas bola dunia. Yang paling menyentuh sisi nasiomalisme adalah adanya tulisan "NKRI Harga Mati" pada tugu tersebut. Keren luar biasa!
 |
Karena NKRI Harga Mati !!! |
Entah ada berapa patok perbatasan RI - Malaysia. Yang jelas sekarang Pak Jamal mengendarai motornya ke Desa Aji Kuning dimana terdapat patok Nomor 3 Perbatasan RI - Malaysia. Jika patok No. 1 terdapat di dekat perkebunan, maka patok No. 3 ini berada di dekat pemukiman penduduk di Desa Aji Kuning. Sebuah Pos TNI penjaga perbatasan juga terdapat di sana. Ada yang unik di tempat ini yaitu sebuah rumah yang berada tepat di belakang Pos TNI. Rumah itu menjadi unik karena dibangun di atas dua negara. Ruang tamu berada di Indonesia sedangkan dapurnya termasuk wilayah Malaysia. Sayang penghuni rumah itu sedang tak ada di tempat, padahal kalau diizinkan ingin sekali aku melihat ke dalamnya.
"Pemilik rumah ini WNI, punya KTP Indonesia" kata salah satu Bapak TNI yang sedang berjaga.
 |
Di belakang Pos Perbatasan itu, rumah dengan "dua negara" itu berdiri. Ruang tamu di Indonesia, dapur di Malaysia ;)
|
 |
Sebelah kiri adalah "dapur" dari rumah "dua negara" itu dan sebuah sungai kecil melintas perbatasan. Ini sudah masuk wilayah Malaysia ;p
|
 |
"Kokohkan Merah Putih di Tapal Batas!" Tertulis di pondasi tiang bendera perbatasan. |
Kami ngobrol sejenak dengan Bapak TNI penjaga perbatasan yang tampaknya sudah kenal dengan Pak Jamal. Foto-foto dulu yes?
 |
Pak Jamal dan seorang TNI Penjaga Tapal Batas, berpose tepat di P3 alias Patok No. 3 Perbatasan RI - Malaysia |
Kami lanjut jalan lagi. Jalan aspal bagus masih kita nikmati meski treknya naik turun hingga desa Sungai Limau. Wilayah Malaysia ada di sebelah kanan kami. Dari ketinggian ini, dapat terlihat hijaunya kebun kelapa sawit. Sebuah pabrik pengolahan sawit juga ada di sana. Banyak warga Sebatik yang menjadi tenaga kerja perkebunan sawit milik Malaysia itu.
 |
Jalan Lintas Sebatik :-)
|
 |
Kebun sawit di wilayah Malaysia. Di seberang sana, itu Tawau, kota di Negara Bagian Sabah Malaysia |
Di Sungai Limau ini juga, tiba-tiba aku menerima sms dari provider SIM card yang kupakai. Bunyinya adalah bahwa layanan jaringan yang kupakai saat ini adalah jaringan Malaysia alias bakal kena roaming. Whaladalah, padahal secara geografis aku masih berada di Indonesia lho!
"Sebentar lagi kita sampai di Bukit Menangis" kata Pak Jamal
"Bukit Menangis...?" tanyaku penasaran.
"Penduduk di sini menyebutnya bukit menangis karena jalannya menanjak dan rusak parah." terang beliau
Benar saja, jalan yang kami lewati di daerah tersebut memang rusak parah. Jalannya belum diaspal pula. Mungkin tambah parah dalam kondisi hujan. Berkali-kali motor Pak Jamal nyaris terperosok. Ternyata kendaraan roda dua juga ikut meraung dan menangis, hahaha!
 |
Jalan menuju Bukit Menangis
|
 |
Ayo Pak Jamal, geber lagi motornya! Saya mbantu do'a :-) |
Yuhuu, akhirnya dengan selamat dan sentosa, motor Pak Jamal berhasil melalui Bukit Menangis. Kini kami dihadapkan kembali dengan jalanan aspal mulus. Di beberapa titik, kulihat ada beberapa Pos-Pos TNI. Tiap kali melewatinya, maka Pak Jamal akan membunyikan klakson dan melambaikan tangan kepada Bapak-Bapak TNI yang berjaga. Kami akan menuju Dermaga Bambangan, tempat kapal-kapal dari dan ke Pelabuhan Tunontaka Nunukan bersandar.
Aktivitas di Pelabuhan Bambangan ini cukup ramai. Di samping mengangkut penumpang dari dan ke Nunukan, di sini banyak kapal yang mengangkut barang kebutuhan sehari-hari.
 |
Jetty Pelabuhan Bambangan
|
 |
Kapal-kapal yang berlabuh |
Panasnya siang kian menggantang, perjalanan harus diteruskan, tapi motor Pak Jamal sudah kehausan. Kami berhenti dan istirahat sebentar di sebuah toko. Sang pemilik toko tenyata masih saudara dengan Pak Jamal. Kubeli sebuah minuman dingin dan ternyata made in Malaysia. Gampang sekali menemukan produk Malaysia di toko ini maupun toko-toko lain di Sebatik, termasuk deretan tabung gas kapasitas 25 kg yang bermerk Shell atau Petronas. Tak ada tabung gas berwarna biru milik Pertamina. Hiks...!
 |
Tak ada tabung gas made in Pertamina Indonesia :-( |
Cukup istirahat, kami pamit. Melanjutkan geberan motor ke arah Pelabuhan Binalawan, satu lagi pelabuhan yang ada di Pulau Sebatik. Pelabuhan kecil ini melayani kapal-kapal dari dan ke Pelabuhan Sei Jepun di Nunukan.
 |
Pelabuhan Binalawan |
Hari telah sore, saatnya pulang. Lumayan juga hasil keliling pulau hari ini. Pak Jamal mengantarkanku sampai Hotel Queen, tempat aku menginap semalam di sana. Besok masih ada satu destinasi lagi yang akan aku tuju, sebelum pulang kembali ke Tarakan.
 |
Perkampungan di pinggir jalan
|
 |
Pondok Pesantren "Mutiara Bangsa", adalah Pondok Pesantren yang khusus didirikan untuk anak-anak TKI yang orang tuanya bekerja di Malaysia |
Aku bingung menghabiskan sore hingga malam ini. Jika cuma nongkrong di hotel rasanya nggak produktif sama sekali. Maka kulangkahkan kaki ke luar hotel dan jalan kaki ke Dermaga Sungai Nyamuk. Sepertinya oke juga melewatkan senja di sana.
 |
Menunggu senja di Pelabuhan Sungai Nyamuk |
Ah, cukup jauh juga jalannya! Tapi jetty kayu itu mulai terlihat juga. Sepi, mungkin karena hari telah sore dan tak ada aktivitas lagi di Pelabuhan Sungai Nyamuk. Aku sibuk dengan kameraku, jeprat sana-sini. Kulewati sebuah Pos TNI-AL.
"Sedang apa, Mbak?" tanya Bapak TNI penjaga
"Lagi foto-foto saja, Pak" jawabku sambil tersenyum.
Ah, aku kan hanya foto-foto senja dan dermaga saja, pikirku. Tapi tampaknya Bapak TNI tadi cukup "curiga" dengan keberadaanku. Dia kemudian memanggilku.
"Mbak, bisa tolong ke sini sebentar!" teriak Bapak itu
Tentu saja aku bisa, aku berpikiran positif saja.
"Ada apa, Pak?" tanyaku
"Bisa tolong minta Identitasnya?" jelas Bapak TNI ini
Bapak TNI tersebut menjelaskan bahwa kegiatan memotret di sekitar Pos Perbatasan TNI-AL itu tidak diperkenankan karena Pos tersebut termasuk simbol keamanan negara. Jika nanti ada apa-apa dan disebabkan karena foto tersebut, saya bisa kena dampaknya. Harus izin dulu jika mengambil foto simbol-simbol keamanan negara seperti di Pos Perbatasan ini. Gubrakkk!
"Maaf Pak, saya tidak tahu peraturan tersebut. Saya hanya mengambil foto-foto dermaga dan jetty saja, tanpa bermaksud mengambil foto pos TNI ini. Baiklah, saya delete saja foto-foto saya barusan yang ada Pos TNI nya" kataku.
Haduh, kenapa aku sampai berurusan dengan tentara perbatasan ini! Kartu Identitasku diminta dan difotokopi. Aku diinterogasi macam-macam. Dari mana asalku, aku kerja dimana, dari media apa, ngapain ke Pulau Sebatik, mengapa aku jalan sendiri ke Sebatik dan lain-lain. Alamakk!
"Saya hanya jalan-jalan saja ke Sebatik Pak, atas nama pribadi bukan perusahaan. Saya bukan dari media apapun." aku berusaha menjelaskan sejujurnya.
"Jarang orang ke Sebatik hanya untuk jalan-jalan, apalagi seorang perempuan, sendirian." komentar Bapak TNI yang bernama Pak Nurman ini.
"Tapi saya ke sini memang hanya untuk jalan-jalan. Mengunjungi Pulau Sebatik, melihat perbatasan. Begitu, Pak"
Ya Allah, semoga penjelasanku bisa diterima. Atau jangan-jangan, Bapak TNI ini mulai curiga karena takutnya aku mau nyelundup ke Malaysia? Disangka human trafficking? Hah, entahlah!
Dua motor memasuki Pos TNI-AL. Waduh, urusan dengan Bapak Nurman belum kelar, datang lagi dua tentara. Mampus aku!
Mereka menyapaku. Tersebutlah namanya adalah Pak Janadi dan Pak Anang. Mereka kembali menanyakan darimana asalku, kerja dimana, ngapain ke Sebatik dan lain-lain. Aku jelaskan persis sama dengan apa yang telah kujelaskan ke Bapak Nurman di awal tadi.
"Om saya kerja di Balikpapan, Mbak. Beliau kerjanya ke lepas pantai terus. Namanya Widiyanto. Mbak kenal nggak?" kata seorang Bapak TNI yang bernama Pak Anang, setelah aku menyebutkan nama perusahaan tempat aku bekerja di Balikpapan.
"Bagian apa ya, Pak?" tanyaku
"Wah, ndak tahu. Tapi kerjanya ke laut terus. Asalnya dari Blitar."
"Hmm, Blitar? Jangan-jangan Pak Widi - Surveyor ya?"
Ya, tiba-tiba aku ingat Pak Widi, sering ketemu beliau kalau lagi Rig Move di lepas pantai. Satu-satunya orang asal Blitar dengan nama Widiyanto yang kukenal. Tapi apa mungkin beliau ya? Di antara banyaknya karyawan yang kerja di offshore, sebenarnya probabilitas nama Widi yang dimaksud bisa saja kecil sekali!
"Sebentar, Mbak. Saya telepon beliau dulu"
Wuih beneran, Pak Anang mengeluarkan hp-nya dan menghubungi Om-nya yang bernama Widiyanto itu.
"Halo, Om Widi. Lagi nang ndi, Om? Iki aku Anang." kata-kata Pak Anang mengawali obrolannya dengan Om-nya via telp.
"Om, kenal yang namanya Mbak Lena ndak?"
"Oh kenal tho, ini orangnya lagi di sini, sedang jalan-jalan di Sebatik".
Pak Anang lalu menyerahkan telepon genggamnya ke aku.
"Halo, ini Pak Widi - Surveyor?"
"Heh, ini Mbak Lena? Piye kabare, Mbak? Kok sampai jauh-jauh ke Sebatik"
"Walah, dunia sempit banget ya Pak. Biasanya kita ketemu di Rig. Lha, sekarang malah ketemu ponakan Bapak di Pulau Sebatik."
Suasana di Pos TNI-AL Pelabuhan Sungai Nyamuk itu akhirnya cair. Syukur Alhamdulillah! Plong rasanya. Sungguh, nggak ngira bakal ada kejadian seperti ini di Sebatik. Aku, Pak Anang, Pak Janadi dan Pak Nurman akhirnya ngobrol santai. Ngobrol tentang pulau ini, kondisi pembangunan di Sebatik dan banyaknya pejabat-pejabat yang telah mengunjungi pulau ini sejak dulu dan dampaknya hingga saat ini dan juga suka duka bertugas di daerah perbatasan. Sepiring gorengan pisang tersedia di atas meja untuk kami nikmati bersama. Ending yang manis akhirnya, haha!
7 April 2015
Jam 08.00 pagi, aku check out dari Hotel Queen. Pak Jamal telah siap mengantarkanku ke Pos Perbatasan TNI-AL di Sei Pancang pagi itu.
Pos Perbatasan Sei Pancang adalah pos perbatasan laut yang terletak di ujung timur Pulau Sebatik. Di sana terdapat menara pos pengawas yang semakin terkenal karena Presiden Jokowi pernah menaikinya sekitar bulan Desember 2014 lalu.
Sampai di sana, aku dan Pak Jamal minta izin dulu ke petugas, apakah boleh aku naik ke menara pengawas itu. Izin itu penting, jangan sampai kejadian seperti kemarin sore di Pos Perbatasan Sungai Nyamuk terulang kembali, hehe. Alhamdulillah, petugas Pos Sei Panjang welcome saja :-)
"Hati-hati ya, Mbak. Tangga kayunya banyak yang sudah lapuk" pesan Bapak petugas.
"Sip, Pak, terima kasih banyak!"
Yess! Aku diizinkan naik ke menara itu! Menara itu tingginya sekitar 30 meter. Konstruksinya dari kayu. Dan seperti pesan petugas pos perbatasan sebelum aku naik tadi, tangga kayunya memang banyak yang sudah lapuk. Dan...inilah aku, berada di puncak tertinggi Pulau Sebatik, di salah satu titik perbatasan Indonesia-ku!
 |
Menara Pengawas di Pos Perbatasan Sei Pancang |
Setelah turun dari menara, Pak Jamal berkelakar
"Setahu saya, hanya ada dua orang yang pernah naik menara ini. Satu Pak Jokowi, satu lagi Mbak Lena, hehe!"
Aku tertawa
"Pak Jamal bisa saja. Terima kasih, Pak. Saya sudah diantar keliling pulau ini."
Tak terasa jam sudah mendekati angka 9 pagi. Saatnya aku pamit pada Pulau Sebatik. Jam 09.30 nanti, speedboat Sadewa Express akan membawaku ke Tarakan. Perjalananku di Sebatik memang singkat sekali.
Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu selama aku "mengintip" perbatasan negeri di utara Kalimantan, salah satu beranda terdepan nusantara. Memang tak ada pantai indah berpasir putih atau gunung tinggi yang gagah untuk didaki di Sebatik. Tapi ada deru nasionalisme yang menderu, saat kujejakkan kaki di pulau itu.
Semoga Sebatik menjadi lebih sejahtera, bagaimanapun ini masih Indonesia. Semoga kelak tak ada lagi kata "Garuda di dadaku, Malaysia di perutku". Sekali lagi, NKRI Harga Mati !!!
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Budget :
1. Hotel Jakarta di Tarakan = Rp. 150.000/kamar
2. Ojek dari Hotel ke Pelabuhan Tarakan = Rp. 20.000
3. Speedboat Tarakan - Sungai Nyamuk (Sebatik) = Rp. 240.000
4. Ojek Keliling Pulau Sebatik = Rp. 200.000
5. Hotel Queen Pulau Sebatik = Rp. 150.000/kamar
6. Speedboat Pulau Sebatik - Tarakan = Rp. 240.000