Sunday, June 14, 2015

Siapa Suruh Datang Kerinci (Bag. 1) - Menggapai Atap Sumatra 3805 mdpl

"Kau mungkin jalan setapak yang menanjak ini
Yang menjulur dari mimpi 
menembus hutan basah, lorong-lorong dan ranting-ranting cantigi.
Barangkali kau adalah pasir, kerikil dan batu-batu itu
Yang kerap menghempaskan kakiku
sebelum sampai ke puncakmu..."

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kubalas sebuah email di milist indobackpacker yang dikirim Mas Heru tentang ajakan mendaki Gunung Kerinci, pada satu hari di bulan Februari lalu. Aku tertarik ikut, kebetulan rencana pendakiannya bertepatan dengan jadwal off-ku pada bulan Mei dan Juni nanti. Meski awalnya agak ragu apakah dengkul tua ini bisa mendaki gunung setinggi itu, tapi toh masih cukup waktu untuk latihan fisik menurutku. Latihan fisik? Serius lu, Len? Lari-lari sepuluh putaran di helideck rig saja sudah ngos-ngosan! Wkwk!

Singkat cerita terbentuklah sebuah grup di Whatsapp yang beranggotakan para calon pendaki Kerinci guna mempermudah koordinasi. Penantian pendakian Kerinci ini juga diwarnai berita tentang masih ditutupnya pendakian sejak awal tahun dan juga hilangnya seorang pendaki asal Bekasi beberapa bulan lalu. Seiring berjalannya waktu, ternyata pesertanya tumbang satu persatu. Hanya empat orang saja yang tersisa  yaitu Mas Heru, Mas Rahmat, Mas Abi dan aku sendiri. Oke teman-teman, sampai ketemu di Bandara Soekarno Hatta Jakarta tanggal 30 Mei nanti :-)

30 Mei 2015

Penerbangan Lion Air jam 05.50 pagi membawa kami berempat terbang menuju Bandara Minangkabau Padang. Gunung Kerinci termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang meskipun secara administratif terletak di Propinsi Jambi tetapi aksesnya lebih dekat dari Padang Sumatra Barat. Satu jam lebih di udara, sepertinya cukup untuk terlelap sebentar.

Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Minangkabau Padang. Selesai ambil bagasi dan ngisi perut seadanya di sebuah cafe di pojokan bandara, kami berempat segera menunggu tempat penjemputan travel yang sudah disepakati. Jauh-jauh hari, Mas Abi sudah mengkontak travel Sahabat Kerinci jurusan ke Desa Kersik Tuo yang merupakan desa terdekat untuk pendakian Kerinci.

Travel yang menjemput kami adalah sebuah mobil APV. Bawaan kami berupa empat carrier yang segede-gede gaban agaknya nggak bisa termuat di bagasi belakang. Sang supir mengatakan bahwa kami harus beli bangku satu lagi agar bisa memuat seluruh carrier. Dengan membeli bangku satu lagi travel ini juga bisa langsung jalan karena tidak akan mengangkut penumpang lagi, imbuhnya. Setelah nego harga bangku, akhirnya kami sepakat jalan. Sayangnya sang supir yang bernama Rafael itu gagal kami rayu untuk bisa jalan sebentar ke kota Padang, setidaknya melewati satu landmarknya dengan alasan jauh dan macet kalau jalan ke kota :-(

Nggak tahu kenapa, Bang Rafael ini gayanya nggak asyik banget. Apalagi cara nyetirnya, whaladalah sumpah, lupain deh yang namanya aspek keselamatan di jalan. Ngebut di jalanan yang ramai lalu ngerem tiba-tiba, nyalip kendaraan sambil ngebut, telpon dan nerima telpon sambil nyetir dan entah apalagi. Aku yang duduk di sebelahnya, walhasil hanya bisa pegangan handle atas pintu/dekat kaca, memejamkan mata sambil dzikir sepanjang jalan. Pengen complain, tapi kelihatan banget gayanya yang sengak. Perjalanan ini tambah nggak asyik karena lagu-lagu yang diputar di mobil dengan hingar bingarnya adalah playlist-nya si supir semua yang nggak sesuai dengan selera kami. Tiap kali playlist tadi mutar lagu barat yang keren, e...langsung di-skip, berganti dengan lagu dugem atau alay yang nggak jelas. Hanya Mas Rahmat yang beberapa kali berani negur ke supir untuk mengecilkan volume suara karena HP-nya kerap berdering sepanjang jalan, panggilan "demi sesuap nasi" katanya, haha!

Setelah dua jam jalan, Bang Rafael memarkir mobilnya di depan sebuah warung untuk istirahat sebentar. Tapi selesai ngopi, dia malah membuka bagasi belakang dan membuka kembali lipatan bangku yang di atasnya penuh dengan carrier. Si supir ini kemudian memampatkan empat carrier kami full di ke dalam bagasi. Loh? Bangku tadi kan sudah kami beli untuk tambahan bagasi! Bang Rafael bilang ada saudaranya yang mau ikut ke Kersik Tuo dengan travel ini, jadi bangku yang sudah kami beli beli tadi akan digunakan untuk saudaranya. Wa ini!

Dan benar, mobil itu menuju ke sebuah pasar tempat dia akan menjemput saudaranya. Bang Rafael kekeuh akan membawa seseorang yang disebut sebagai saudaranya tadi karena nggak ada mobil lagi katanya. Ini nggak bisa dibiarkan! Mas Abi lalu telepon ke pemilik Travel Sahabat Kerinci mengenai kelakuan supir ini, bahwa bangku yang sudah sepakat kami beli malah digunakan lagi untuk orang lain (Supir menjual bangku tersebut seharga Rp. 40.000, menurut pengakuannya). Akhirnya, dengan setengah hati, Bang Rafaelpun meng-cancel satu orang yang mau ikut tadi, takut dia sepertinya karena kelakuannya dilaporkan ke atasan. Hohoho, tahu rasa dia. Makanya jangan main-main dengan sebuah kesepakatan apalagi sudah dibayar lunas! Eh, buntutnya setelah peristiwa ini...si Abang Rafael jadi ngambek euy! Dia diam saja sepanjang jalan, kadang ngomel sendiri dengan bahasa daerah, terus kembali muter lagu dengan volume hingar-bingarnya. Ah Abang, kayak anak kecil saja kamuh...wkwkw!



Tujuh jam perjalanan ke Kersik Tuo memang tak sebentar. Duduk si samping pak supir yang giat bekerja tapi nggak asyik banget ini bener-benar siksaan tersendiri. Untung saja pemandangan di depan terutama ketika memasuki area hijau pegunungan cukup menyamarkan gundah gulana hati ini, haha bahasamu!

Di tengah jalan, sepertinya mendekati Kersik Tuo, kami mulai penasaran dimana dan seperti apa bentuk asli Gunung Kerinci. Di sebelah kiri kami memang tampak pegunungan tapi...ah sepertinya itu terlalu pendek untuk disebut atap Sumatra, haha! Lalu perlahan mulai muncul juga penampakannya dari kejauhan sana tepat di sebelah kanan kami. Oh tidak, gunungnya menjulang tinggi, tinggi sekali! Belum mendaki saja rasanya sudah capek dengkul ini :-(


Gunung Kerinci terlihat dari Simpang Tugu Macan Desa Kersik Tuo

Sekitar jam 15.30 sore kami tiba di Desa Kersik Tuo. Rencananya kami akan menginap di Homestay Family yang sudah dipesan Mas Abi beberapa waktu lalu. Agak sulit awalnya menemukan homestay ini karena ternyata letaknya bukan di jalan raya utama atau di dekat pusat desa. Tapi setelah bertanya pada penduduk, akhirnya kami sampai juga, dengan selamat tentunya.

Well, bagaimanapun juga...makasih ya Bang Rafael sudah mengantarkan kami sampai ke Kersik Tuo. Hati-hati di jalan kembali ke Padang. Eh, ada peristiwa lucu saat kami semua telah selesai mengeluarkan carrier dari bagasi. Sebagai itikad baik, Mas Abi mengulurkan tangannya untuk salaman dengan Bang Rafael, tapi apa yang terjadi coba? Bang Rafael cuek bebek saja dan pura-pura sibuk mbenerin speaker yang ada di bagasi. Haha, nggak tahu juga sih apakah sebenarnya Bang Rafael melihat uluran tangan itu dan sengaja nyuekin atau karena sibuknya memperbaiki speaker jadi nggak lihat uluran tangan Mas Abi. Ya sudahlah Mas, ikhlaskan saja ya, kadang kenyataan memang tak sesuai dengan harapan, tapi semoga niat baikmu dicatat oleh Malaikat di sana :-)

Kedatangan kami disambut wajah bingung dari seorang Ibu penjaga homestay. Lah? Bukannya Mas Abi sudah booking dua kamar untuk hari ini dan lusa? Haduh, ternyata nama-nama kami belum tercatat atau entahlah! Untungnya ada kamar kosong sehingga kami bisa menempatinya untuk malam ini. Untuk keperluan lusa (setelah turun dari Kerinci) sepertinya tinggal satu kamar saja yang ada kata si Ibu. Ya sudah nggak apa-apa, nanti bisa diatur.



Setelah naruh carrier, beres-beres dan mandi, kami berempat pergi nyari makan, bekal cemilan untuk pendakian dan lain-lain. Satu lagi, tentu saja menikmati Gunung Kerinci yang gagah sekali, berlatar kebun teh Kayu Aro nan luas...


Sore itu, Kerinci tertutup awan ... :-(

Jam 20.00 malam, Bang Levi datang ke homestay untuk koordinasi pendakian ke Kerinci. Bang Levi adalah anak Basecamp Jejak Kerinci, yang biasa menjadi guide pendakian. Atas kesepakatan bersama, kami akan menggunakan dua orang porter yang akan membawa keperluan grup seperti tenda dan logistik. Porter tersebut bisa sekaligus menjadi guide pendakian. Tapi kami baru tahu kalau porter perlu satu carrier lagi untuk mengangkut barang-barang itu. Akhirnya, Mas Rahmatpun dengan rela mengorbankan carriernya untuk dipakai porter. Nggak apa-apa Mas, kan enak tinggal bawa daypack saja plus kamera DSLR full frame yang segede gaban itu ya? Wkwkw, mirrorless mana mirorless!

Waktu kian beranjak malam. Esok pagi kami akan bangun, menatap dan mendaki Kerinci, gunung berapi tertinggi di Indonesia...sang atap Sumatra...

31 Mei 2015

Pagi yang cerah, sumpah! Saatnya mengepak barang-barang pribadi yang akan dibawa ke gunung, sedangkan yang tidak diperlukan selama pendakian kami titipkan di homestay.  Jam 07.30, Bang Levi menjemput kami berempat. Dengan mobilnya, ia mendrop kami di ujung jalan aspal jalan aspal di dekat baliho besar bertuliskan "Selamat Datang di Area Wisata Gunung Kerinci". Bang Levi nggak ikut nanjak karena ada urusan keluarga tapi kami dipertemukan dengan Mas Mono dan Mas Azis yang akan menjadi porter selama pendakian Kerinci. Salam kenal Mas-Mas...


Selamat datang para pendaki Kerinci

Sebelum memulai perjalanan, kami berempat beserta Mas Mono dan Mas Azis berdiri melingkar, menundukkan kepala dan memanjatkan do'a. Ya, siapalah kami, hanya empat orang biasa, anggota Purpala (Pura-Pura Pecinta Alam), yang mencoba mengetest dengkul yang tak muda lagi dan mencapai puncak gunung tinggi sana...maka kami awali perjalanan ini dengan memohon kemudahan dan keselamatan selama perjalanan hingga pulang nanti. Berdoa dimulai...

Dari gerbang dengan baliho besar tadi kami lanjutkan perjalanan ke Pintu Rimba. Tepat jam 09.00 pagi kami resmi mendaki. Cuaca cerah, energi masih sangat segar, penuh dengan semangat menggelora. Cita-cita awal adalah kami akan camping di Shelter 3. Dengan camping di sana, maka perjalanan ke puncak akan semakin dekat.



Trek dari Pintu Rimba ke Pos 1 masih dikatakan biasa, nggak begitu nanjak, hanya batang-batang pohon roboh yang harus lompati di jalurnya. Tipikal hutan basah Sumatra. Jalan setapak itu juga nggak becek. Maka sekitar satu jam jalan santai, kami sampai di Pos 1 (Pos Bangku Panjang) di ketinggian 1889 mdpl.


Katanya itu adalah cemilan khas Pendaki ;p

Kami terus menembus hutan. Jalan dari Pos 1 ke Pos 2 masih lumayan meski sudah mulai agak gimana gitu. Yang jelas terus menanjak. Istirahat dulu yuk di Pos 2 alias Pos Batu Lumut yang terletak di 2020 mdpl.

Pos 2 ke Pos 3 (Pos Pondok Panorama, ketinggian 2225 mdpl) mulai kurasakan berat jalurnya. Tanjakannya sudah mulai kurang ajar, namun begitu banyak godaan setan yang terkutuk di tengah jalan. Yang kumaksud sebagai godaan adalah adanya dataran yang cukup lebar dan datar untuk istirahat. Yup, setiap kali kami melewati tempat dengan kriteria semacam itu maka kami akan tergoda untuk duduk dan beristirahat. Setelah lama duduk, kami lupa berdiri dan jadi malas jalan lagi, hehe!  Tapi kami tetap melanjutkan meski pelan.

Entah bagaimana awalnya penamaan pos-pos di Kerinci ini, yang jelas setelah sampai di Pos 3 namanya bukan Pos 4 tapi menjadi Shelter 1.


Para pendaki melarung lelah di Pos 3

Sekitar jam 12 siang lebih, akhirnya kami sampai di Shelter 1 tepatnya di ketinggian 2504 mdpl. Akhirnya nemu juga tempat istirahat yang super lapang! Makan siang dulu ditambah segelas kopi hitam sambil menyelonjorkan kaki, rasanya sesuatu sekali.


Makan siang dulu, Kakak! Sekalian ngopi yak ;p

Di Shelter 1 juga penuh dengan para pendaki yang beristirahat. Banyak sekali yang mendaki hari itu, mungkin karena banyak yang ambil cuti karena ada hari kecepit nasional. Istilahnya, gunung ini (meskipun menjadi gunung berapi tertinggi di Indonesia, yang notabene punya jalur pendakian yang nggak mudah) juga ikut-ikutan ramai seperti cendol. Kabarnya di Shelter 2 dan 3 juga full tenda. Waduh!


Duo Porter aka Mas Mono dan Mas Azis. Sebatang dulu boleh? 

Di sela makan siang, kami sempat ngobrol dengan beberapa pendaki yang usianya tidak muda lagi yang sudah muncak pagi tadi. Salah satunya berusia ekitar 60 tahun lebih. Wuih, hebat euy! Dengan usia seperti itu sepertinya aku bakalan milih ngopi-ngopi cantik di teras rumah dibanding naik gunung apalagi Kerinci pula, hehe!

Cukup istirahat, pendakian dilanjutkan kembali ke Shelter 2. Trek makin parah, saudara-saudara! Tanjakan yang kurang ajar berubah menjadi tanjakan yang sangat nggak tahu diri! Kalau cuma jalan nanjak aja sih mending, tapi kami dihadapkan dengan trek yang tegak lurus, harus merayap dan berpijak dan berpegangan pada batang atau akar pohon. Apalagi ditambah gembolan carrier di punggung yang rasanya semakin berat! Ampun...! Perjalanan ini semakin lama karena kami kerap istirahat manakala melewati dataran yang cukup lebar dan agak datar. Trek ini juga nggak ada bonusnya, yang ada juga tambah parah. Kami mulai mikir, bisakah sampai dan nge-camp di Shelter 3 dengan situasi seperti ini? Embuhlah! Aduh, siapa suruh datang Kerinci cuy!


Pura-pura capek ah...


Dalam perjalanan tiba-tiba ada yang nyeletuk "Ini rasanya seperti anaknya Mas Rahmat nonton film HOS Cokroaminoto ya, selalu nanyain kok nggak selesai-selesai". Wkwkw, kami sontak tertawa! Iya, kami ingat cerita Mas Rahmat kemarin soal anaknya yang diajak nonton film itu, bosan dan menanyakan kapan filmnya selesai. Seperti kami sekarang, mendaki...tapi nggak sampai-sampai, hehe!

Mas Mono dan Mas Azis, dua orang porter itu terus menyemangati kami. Mereka selalu bilang, sebentar lagi sampai, setengah jam lagi sampai dan lain-lain. Haha, setengah jam jalannya siapa? Ini dengkul sudah soak mengarungi jalan terjal berliku ini namanya...

Sesekali kami bertemu dengan pendaki-pendaki yang turun gunung. Dengan gampangnya mereka selalu berucap "Ayo, semangat Mbak!" Haduh, betapa mudahnya bibir mengatakan itu, wkwk! 

Sebenarnya banyak momen dan ekspresi lucu saat kami merayap alias mbrangkang pada tanjakan-tanjakan nggak jelas itu, saat kami ndlongsor dan terpekur kelelahan, serta kejadian-kejadian seru lainnya jika ditangkap dengan bidikan kamera. Tapi rasanya untuk mengeluarkan kamera saja aku sudah males tak berdaya. Mas Heru aja yang poto'in kita ya, haha!


Akhirnya kami tiba di Shelter 2 Bayangan. Hah, baru bayangan cuy! Di depan sebuah tenda (ada satu grup yang mau turun tapi sengaja nenda dulu di situ, bahkan sedang menggoreng kentang goreng serta kripik, yang tentu saja aku cicipi, haha!) akhirnya kami berempat sepakat untuk nge-camp di Shelter 2 saja (yang katanya Mas Mono tinggal setengah jam lagi dari Shelter 2 Bayangan) dan nggak jadi di Shelter 3 dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi. Ya, kami sudah terlalu lelah dan hari telah semakin sore. Apalagi katanya trek dari Shelter 2 ke Shelter 3 luar biasa parahnya. Yo wis! Mas Mono lalu segera bergegas ke Shelter 2, duluan meninggalkan kami agar bisa nge-tag tenda di sana, khawatir nggak kebagian tempat tentu saja.

Sekitar jam 17.00 sore, setelah melalui perjalanan berat nan melelahkan hari itu dan asa yang tersisa kami sampai di Shelter 2. Kalian tahu berapa jam yang kami habiskan total dari Pintu Rimba hingga Shelter 2? Nyaris delapan jam bok! Lamanya! Tapi kami masih beruntung karena cuaca sepanjang hari ini benar-benar cerah. Aku nggak ngebayangin jika terjadi hujan, mungkin pendakian ini bisa berlipat kali tingkat kesusahannya.

Kondisi Shelter 2 sudah penuh dengan tenda-tenda. Kami dapat tempat di pojokan, cukup untuk mendirikan dua tenda plus satu tenda lagi untuk Mas Mono dan Mas Azis. Ingin rasanya segera meluruskan kaki dan menggeletakkan badan ini.

Tapi ada yang mengganggu pandangan mata, yaitu sampah! Banyak sampah yang berserakan di Shelter 2 ini, dibuang seenaknya. Miris sekali!

Bulan nyaris purnama dan bintang bertaburan dengan kelap-kelip sempurna di ketinggian 2950 mdpl ini. Indah sekali. Nasi, berteman sop sayur, mie rebus, abon, kripik serta wedang jahe menjadi menu makan malam kami. Enak sekali rasanya. Mungkin kami kelaparan, haha!


Makan malam terenak sedunia ;p
Tenda-tenda di Shelter 2

Selesai makan kami koordinasi sebentar dengan para porter untuk summit attack besok. Rencananya kami akan mulai mendaki lagi dari Shelter 2 ini sekitar jam 4 pagi. Cukup membawa daypack kecil saja ke puncak dan satu orang porter yang menemani, sedangkan satu porter lagi akan menjaga tenda. Kami tidak mengejar sunrise di puncak, yang penting sampai puncak saja jam berapapun itu kami sudah sangat Alhamdulillah :-)

Malam kian larut. Tapi malam hari di Shelter 2 adalah sebuah malam yang dingin sekali, entah berapa suhunya tapi dinginnya serasa menembus tulang. Jaket tebal, bahkan celana dobel yang kupakai, kaos kaki dobel, sarung tangan dobel dan sleeping bag serta matras di bawah rasanya tak cukup menghangatkan tubuh ini.  Masih kudengar Mas Mono dan Mas Azis yang ngobrol dengan grup pendaki yang nenda di sebelah. Aku belum bisa tidur! Kucoba pejamkan mata, kupanjatkan do'a, meringkuk bersembunyi di dalam sleping bag, tapi saking dinginnya aku tetep nggak bisa tidur. Aku terjaga sepanjang malam. Yo wislah, mau dipaksa gimana ritme tubuh ini, semoga esok nggak ngantuk dan fisik ini cukup kuat untuk menuju puncak 3805 mdpl.

Selamat istirahat, para pendaki Kerinci...

1 Juni 2015

Jam 04.00 pagi di hari pertama bulan Juni kami terbangun dan bersiap untuk summit attack. Setengah jam kemudian kami sudah siap meninggalkan Shelter 2 dengan headlamp terpasang di dahi kami masing-masing. Udara masih sangat dingin, tapi kami harus melangkah, melanjutkan ke Shelter 3 lalu menuju puncak tertinggi itu. Mas Mono menemani kami sementara Mas Azis menjaga tenda dan barang-barang kami. Dan Mas Mono...hanya menggunakan sandal jepit saja! Benar-benar ya, orang kalau sudah ratusan kali naik gunung, mau medannya seperti apa juga rasanya seperti main-main di halaman rumah saja!

Dalam kegelapan malam, kami melewati medan yang parahnya naudzubillah. Trek dari Shelter 2 menuju Shelter 3 sebagian besar berupa lorong-lorong jalur air yang sempit sekali yang tingginya bahkan melebihi tinggi badanku, tanjakan-tanjakan tegak lurus tanpa pijakan dan kadang hanya bertahan  dan bergelantungan pada ranting atau akar-akar, kaki harus lompat sana-lompat sini mencari tempat berpijak, ah pokoknya susah dideskripsikan dengan kata-kata. Gila! Untung saja kami memutuskan untuk nge-camp di Shelter 2. Coba kalau kami jadi nge-camp di Shelter 3, aku nggak bisa membayangkan menderitanya melewati jalur ini dengan gembolan carrier segede gaban di punggung kami plus kelelahan tingkat tinggi yang mendera. Sumpah treknya hancur banget...!

Matahari mulai menampakkan sinarnya saat kami mendekati Shelter 3 di ketinggian 3200 mdpl. Batas cakrawala tampak jelas di depan mata. Dan Danau Gunung Tujuh, danau vulkanik tertinggi di Indonesia bahkan Asia Tenggara itu tampak indah terlihat di kejauhan sana. Pagi di Shelter 3 adalah pagi yang berhasl membuatku tersenyum bahagia...

Matahari terbit di Shelter 3. Danau Gunung Tujuh tampak di kejauhan sana

Satu pagi di batas cakrawala

Tapi perjalanan masih panjang. Di depan sana, tampak jalan menuju puncak Kerinci yang masih jauh dan tak mudah. Kombinasi tanjakan pasir, kerikil dan bebatuan tentu saja. Bersama kami banyak pendaki lain yang senasib denganku alias berjuang menuju puncak atau yang telah turun dari puncak dengan wajah cerianya.

Bayangan Puncak Kerinci...

Warna-warni dunia di Shelter 3

Aku berjalan tertatih, pelan sekali. Semakin sering mendongak ke atas semakin menyadari bahwa puncak masih sangat jauh. Lagi-lagi jalanan pasir, kerikil dan bebatuan itu seringkali longsor saat kupijak. Berkali-kali aku terduduk lesu di atas batu atau apapun. Berat rasanya untuk melangkahkan kaki lagi. Mas Abi sudah berjalan jauh di depanku. Kutengok ke belakang, masih ada Mas Heru dan Mas Rahmat.


Diantara lelah yang membuncah, ternyata ada yang sempat-sempatnya update status, wkwk!


Dengan sisa-sisa asa, akhirnya aku sampai juga ke Tugu Yudha. Sebuah dataran yang cukup luas sebelum tanjakan terakhir menuju puncak Kerinci. Di sana terdapat sebuah memoriam kecil yang dibuat  untuk mengenang seorang pendaki bernama Yudha Senthika yang hilang di Gunung Kerinci pada tahun 1988 silam dan jasadnya belum ditemukan hingga sekarang. Di dekat Tugu Yudha juga ada satu memoriam lagi. Sebuah memoriam bertuliskan ""Di sini jejakmu tertinggal. Namun jiwa kstariamu selalu bersama kami" untuk mengenang Adi Permana Atje, seorang pendaki yang meninggal di Gunung Kerinci pada tahun 1983. Kedua memoriam itu kembali mengingatkanku bahwa sejatinya puncak Kerinci itu bukanlah  tujuan akhirku melainkan kembali pulang dengan selamat.


Memoriam untuk Adi Permana Atje

Memoriam untuk Yudha Senthika

Hampir 5 jam aku mendaki dari Shelter 2 hingga tempat ini. Nafasku mengalir satu-satu. Puncak sang atap Sumatra itu semakin dekat....

Akhirnya aku berhasil menapak 3805 mdpl itu pada jam 09.10 pagi. Alhamdulillah! Sumpah, rasanya nggak percaya! Kujabat tangan Mas Abi yang sudah sampai di puncak duluan. Tinggal menunggu Mas Heru dan Mas Rahmat yang masih berjuang sedikit lagi.

Aku berdiri di sini, di puncak gunung berapi tertinggi di negeri. Dengan mata telanjangku, kupandang kawah Kerinci yang mengepulkan asap pekat, awan-awan putih di langit biru, dataran di bawah sana serta gunung-gunung lain di kejauhan sana...ah maka nikmat Tuhan yang manakah yang kau dustakan?



Sekitar jam 09.30, kami berempat komplit-plit sampai di puncak! Woohooo....!!! Langit sedemikian biru, cuaca yang cerah, hanya sedikit gerombolan awan-awan menjadi latar keberadaan kami di puncak gunung berapi tertinggi di Indonesia ini.


Kepulan asap di Kawah Kerinci

Kami cukup puas menghabiskan waktu di puncak Kerinci dan mengabadikan pencapaian ini. Setelah melewati perjuangan yang tak mudah, kini saatnya turun gunung. Kabut perlahan naik. Terus terang aku paling benci turun, nggak tahu kenapa kakiku memang payah sekali untuk urusan turun gunung! Maka aku lebih memilih ngesot dan main prosotan saja di atas pasir, kerikil dan bebatuan itu. Tapi tak semua area bisa di-ngesot-i, maka tetaplah kaki ini yang harus beraksi dan itu merupakan penderitaan tersendiri. Ampun! Rasanya dengkul ini makin soak dan berderit-derit, wkwk! Pada satu titik, aku merebahkan diriku di atas bebatuan bahkan sempat tertidur.

Kabut di Kerinci makin naik dengan cepat, mendung dan nyaris hujan. Tepat ketika aku sampai di Shelter 3, hujanpun turun, meskipun nggak begitu deras.

Saat siang dan kondisi terang seperti ini, maka jalur antara Shelter 3 ke Shelter 2 benar-benar kelihatan jelas penampakannya. Gila, ini mah parah banget!!! Jadi trek macam ini yang telah kami lewati semalam dalam kondisi gelap-gelapan? Wah...wah..ruarrr biasa edannya!



Di antara hujan, melintasi rimbunan pepohonan, menuruni gorong-gorong jalur air yang dalam, sempit dan licin, melipir di sela-sela ranting akar-akar pepohonan, aku ngesot ke Shelter 2. Lapar sangat euy! Aku perlu makan nasi, karena Beng-Beng dan teman-temannya ternyata sangat tidak mengenyangkan!

Sehabis makan siang, kami berempat packing dan bersiap meninggalkan Shelter 2. Dengan mempertimbangkan beberapa hal, kami putuskan untuk nggak perlu nge-camp lagi, tapi hajar turun sampai ke Kersik Tuo walaupun tiba di sana pada malam hari. Kami start dari Shelter 2 kira-kira pukul 14.30 siang.

Kali ini dengan gembolan carrier masing-masing, aku ngesot, tertartih dan terseok menuju Shelter 1. Tapi meskipun terseok, ketika bertemu dengan pendaki yang mau naik, masih saja aku suka nyeletuk "Ayo, semangat ke puncak Mas/Mbak" Wkwkw! Padahal untuk turun saja aku payah sekali. Aku tertinggal jauh di belakang, tapi Mas Azis salah satu porter masih menemaniku.

Dari Shelter 1 ke Pos 3, aku makin tertinggal jauh dari teman-teman. Entah beberapa orang pendaki dari grup lain yang menyalip jalan turunku, monggo saja. Tiap berapa kali melangkah, aku ndeprok untuk istirahat. Parah abis! Padahal Mas Mono yang sudah berjalan di depan sudah bilang jika nanti melewati sebuah pohon besar, kami satu grup harus berjalan beriringan. Aduh, bagaimana aku bisa menyusul mereka? Mungkin karena kelamaan nunggu, akhirnya Mas Mono menyusulku naik kembali, dan mengambil carrierku untuk dibawanya. Tapi ya itu, meski sudah nggak bawa gembolan, jalanku tetap parah!

Mas Heru, Mas Abi, dan Mas Rahmat sudah menungguku lama di Pos 3. Maaf  teman-teman, jalanku pelan. Aku terima naik tapi nggak terima turun gunung, wkwk! Akhirnya aku disuruh berjalan di belakang Mas Mono, carrierku dibawain dia juga. Tapi meski kubilang ke Mas Mono agar jalannya jangan cepat-cepat, tetap saja jalannya Mas Mono ala rusa alias kencang sekali. "Mbak, ini juga sudah pelan!" Walah-walah....!

Hari sudah gelap. Hanya head lamp yang menjadi penerang kami. Hujan turun. Dengan terbirit-birit kami mengikuti Mas Mono. Jalan setapak itu mulai dipenuhi kubangan air sana-sini. Mbuh yang penting jalan, toh sepatu ini juga sudah basah berkali-kali masuk kubangan air dan lumpur. Ternyata perjalanan turun juga nggak mudah. Dari Pos 3, aku terus ngesot turun ke Pos 2 dan Pos 1.

Pintu Rimba, akhirnya kami sampai juga! Kelap-kelip lampu rumah-rumah di Kersik Tuo sudah kelihatan. Hah...! Jam hampir menunjukkan pukul  20.30 malam.

Bang Levi sudah berhasil di hubungi untuk menjemput kami. Tak berapa lama menunggu sebuah angkot datang dan membawa kami pulang. Makan malam dulu yuk! Maka sebuah warung bakso & mie ayam di Desa Kersik Tuo milik Pak Parjiyo asal Jogja, menjadi saksi laparnya perut kami. Oh ya, jangan lupa di tambah dua gelas teh kayu aro, yang panas yak!

Selesai memanjakan perut, kami menuju Homestay Family, homestay yang sama yang kami tempati saat datang kemarin. Mas Mono dan Mas Azis pulang setelah memilah-milah isi carrier yang mereka bawa. Terima kasih banyak ya, Mas-Mas!

Tapi lagi-lagi kedatangan kami malah disambut wajah bingung si Ibu penjaga homestay. Busyet dah, miskomunikasi lagi nih! Si Ibu penjaga menyangka kami nggak bakal balik lagi ke homestay dan datang ke sana malam ini hanya untuk ambil barang-barang yang kami tinggal kemarin. Lah, pas datang kami kan sudah bilang bahwa lusa kami bakal balik lagi ke sini setelah turun dari Kerinci. Si Ibu malah membela diri bahwa ada salah satu di antara kami ada yang bilang bahwa kami nggak balik ke sana. Wah, nggak beres ini! Mana kamar di homestay penuh pula. Ampun, gagal sudah harapan kami untuk segera mandi dan merebahkan tubuh ini di kasur empuk. Kondisi kami saat ini bener-bener sudah capek, nggak karuan dan kehabisan tempat berteduh. Untungnya Pak Kumis, supir angkot yang kami tumpangi kemudian berjanji akan mengantarkan kami ke salah satu homestay, tapi saat ini dia harus menjemput orang dulu.

Pengen ngedumel tapi percuma. Mau jalan nyari homestay sambil membawa carrier segede gaban ini juga sudah nggak ada tenaga, apalagi homestay Family ini letaknya agak jauh dari pusat desa. Ya sudah, kami menunggu Pak Kumis saja. Saat menunggu, Mas Abi iseng telepon ke salah satu homestay yaitu homestay Subandi. Alhamdulillah, masih ada kamar kosong meski hanya untuk semalam saja. Artinya besok aku dan Mas Heru yang rencananya masih akan pergi Danau Gunung Tujuh lusa nanti harus nyari tempat penginapan lagi. Besok urusan besok dah, yang penting malam ini kami bisa merebahkan diri di atas kasur dan tidur dengan nyaman.

Pak Kumis mengantarkan kami ke homestay Subandi yang letaknya tak begitu jauh dari Simpang Tugu Macan. Pak Subandi dan keluarga ramah sekali, homestay yang satu ini rasanya hommy banget.

Sudah jam 22.00 malam lebih waktu Kersik Tuo. Selamat tidur, para pendaki! Selamat membingkai kenangan tentang Gunung Kerinci...

Kisah selanjutnya di Siapa Suruh Datang Kerinci (Bag. 2) - Secangkir Teh Kayu Aro

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Travel Bandara Padang - Kersik Tuo = Rp. 170.000,-/orang
2. Porter + Logistik + Simaksi (Untuk 2 porter & 2 hari pendakian) = Rp. 1.200.000,-
3. Homestay Family = mulai Rp. 110.000,-/kamar
4. Homestay Subandi = Rp. 60.000/orang