Monday, July 27, 2015

Pada Suatu Siang

Pada suatu siang yang tak lengang. Suara adzan memanduku menuju sebuah masjid. Sebejat-bejatnya aku, ternyata aku masih risih jika meninggalkan sholat. Bukan soal balasan surga atau neraka. Aku hanya sadar diri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Dzat yang Maha Berkuasa. Bentuk pasrahku mungkin...

Masjid yang tanpa rambu besar di pintu gerbang bertuliskan "Wajib Menggunakan Pakaian Muslimah". Jujur aku nggak suka jika ada tulisan seperti itu terpajang nyata di muka. Bagiku yang belum menggunakan baju muslimah (secara umum didefinisikan sebagai memakai jilbab), maka aku merasa terdiskriminasi, seolah tak berhak menghadap Tuhanku sendiri. Bahkan sudah ditolak mentah-mentah sebelum masuk ke dalamnya.

Entah berapa kali aku terpaksa mundur teratur dan tahu diri jika membaca tulisan seperti itu di pintu gerbang tempat ibadah. Kaos dan jeans atau celana pendek selutut tentu bukanlah kriteria busana muslimah. Maka aku akan berjalan lagi, menyusur gang-gang kecil hingga menemukan mushola atau masjid yang memperbolehkanku masuk dengan penampilan ini.

Kini aku bisa bernafas lega ketika memasuki masjid ini yang tak memampangkan syarat tertentu. Memanjatkan doa yang sama yang telah terucap tak terhingga. Maaf Tuhan, doaku masih sama. Semoga Engkau tak pernah bosan mendengar putar ulangnya. 

Berjalan kembali di tengah siang yang terik. Sungguh aku merindukan petrichor. 

Ya, aku masih berjibaku dengan mimpi...

Monday, July 20, 2015

Siapa Suruh Datang Kerinci (Bag. 3) - Merengkuh Danau Gunung Tujuh

"Pergilah keluar. Nikmatilah alam ini. 
Dan gunung bisa menjadi guru yang baik"
(Junko Tabei)

-----------------------------------------------------------------------------------------

3 Juni 2015

Kuintip pagi lewat jendela penginapan. Cuaca cerah. Mungkin langit sudah lelah menumpah ruahkan hujan semalam. Yes, ini berarti aku dan Mas Heru bakal berangkat ke Danau Gunung Tujuh. Sebuah daypack kecil saja kubawa karena kami nggak berniat camping di sana.

Saat menunggu angkot di depan penginapan, kami bertemu dengan beberapa orang yang sempat ketemu pas mendaki Kerinci dua hari yang lalu. Mereka juga masih mengenali kami.

"Mau kemana Mas & Mbak?" tanya mereka
"Ke Danau Gunung Tujuh. Kalian sudah ke sana?"
"Iya, kemarin langsung hajar ke sana"
"Wah hebat, kaki masih pegel banget banget. Gimana treknya?"
"Ya gitu deh. Bisa nyasar karena nggak ada penunjuk jalannya. Pokoknya kalau sudah sampai kubangan air ambil kiri ya." 
"Oke sip, makasih infonya Mas!"

Kami menaiki angkot berwarna putih jurusan Pasar Pelompek. Banyak kendaraan bermotor yang berlalu lalang meramaikan jalan raya. Kupandang sekali lagi Gunung Kerinci di sebelah kiri dengan hamparan kebun teh yang hijau.

Kami sarapan dulu sesampai di Pasar Pelompek. Energi sangat dibutuhkan sebelum mendaki Danau Gunung Tujuh yang berada di ketinggian 1900 mdpl merupakan danau vulkanik tertinggi se-Indonesia bahkan Asia Tenggara. Dengan ojek kami lanjutkan perjalanan dari pasar menuju desa Sungai Jernih Kecamatan Gunung Tujuh tempat pos gerbang Taman Nasional Kerinci Seblat - Resort Danau Gunung Tujuh.


Selamat pagi, Desa Sungai Jernih...
Mari kita lihat Gunung Kerinci, sekali lagi
Selamat Datang di Danau Gunung Tujuh

Pos Resort Danau Gunung Tujuh masih tutup saat kami sampai. Tapi nggak mungkin kami menunggu pos itu buka (nggak tahu juga bukanya jam berapa) untuk melapor pendakian ini. Kami bertanya pada penghuni sebuah rumah di depan pos gerbang, ternyata buku tamunya juga tersedia di rumah itu. Sip dah, mendaki lagi kita! Eh, ada dua ekor anjing ngikutin kami. Tapi katanya biasa ngikutin pengunjung sih kata Bapaknya. 

Di awal perjalanan, trek memang masih datar-datar saja. Tapi kami mulai kebingungan ketika menemukan persimpangan dan sama sekali tak ada penunjuk arah menuju Danau Gunung Tujuh. Ah, pantas saja banyak yang bilang bahwa trek ke Danau Gunung Tujuh berpotensi bisa tersesat (ceileh...potensi!). Untungnya, di beberapa titik kami masih bertemu dengan penduduk yang lewat sehingga tentu saja kami bisa bertanya jalan yang benar menuju Danau Gunung Tujuh.

Lama kelamaan jalurnya mulai mendaki, meski nggak separah jalur dari shelter 2 ke shelter 3 pendakian Kerinci, hehe. Tapi berhubung pegelnya kaki belum sembuh, maka rasanya berat banget. Berkali-kali aku meminta istirahat, setidaknya duduk-duduk sebentar. Ah, jalurnya menanjak terus dan di beberapa titik akhirnya kami temui trek yang lumayan parah juga. Tak ada jalan lain selain merayap alias mbrangkang. Pandanganku selalu mengarah ke atas, berharap ini segera berhenti di puncak. Entah di mana ujungnya...


Mencari ujung jalan...
(Photo courtesy of R. Heru Hendarto)

Mbrangkang lagi kita? Oh tentu saja!

Ketika sudah pertengahan jalan seperti ini kami nggak perlu takut nyasar. Jalurnya sudah jelas, apalagi kalau nemu sampah seperti bungkus plastik bekas makanan dll di jalan, itu berarti Anda nggak kesasar! Miris euy!

Setelah dua jam lebih jalan campur mbrangkang, akhirnya kami tiba sampai di puncak bukit dengan ketinggian 2100 mdpl. Puncak itu ditandai dengan kayu besar yang roboh. Hah, ndlongsor sebentar ya! Eh, ada WA masuk. Dapat kiriman gambar dari Mas Abi dan Mas Rahmat. Mas Abi yang sedang menikmati nasi goreng di Bandara Soetta dan foto Mas Rahmat yang sedang menaiki Damri dari Bandara Soetta ke Bogor. Hmm, begitu ya! Awas, nanti kita balas dengan foto-foto Danau Gunung Tujuh yang memukau!

Tiba di puncak bukan berarti kami sampai di danau. Untuk sampai ke danau kami harus mengikuti jalan menurun yang terletak di kiri puncak. Oh tidak...turunannya naudzubillah juga ini! Aku langsung lemes karena tahu banget bahwa kakiku payah kalau diajak turun. Ya ya, baiklah...mari ngesot lagi! Panjang juga turunannya dengan trek yang nggak mudah pula. Danaunya bahkan belum kelihatan sama sekali.

Setelah sejam ngesot, maka dari kejauhan tempatku berdiri mulai tampak air berwarna biru berbingkai  rerimbunan pohon. Itu dia, Danau Gunung Tujuh!


Danau Gunung Tujuh, membingkai indahmu
Gambar bagian atas adalah penampakan Danau Gunung Tujuh dari Shelter 3 Gunung Kerinci.
Sedangkan gambar di bawah adalah Danau Gunung Tujuh saat di dekati :-)

Danau Gunung Tujuh, danau cantik yang dikelilingi tujuh gunung. Dua hari yang lalu, saat matahari terbit di Shelter 3 pendakian Kerinci, danau itu kelihatan dari jauh, magis luar biasa. Maka aku membayangkan sebuah pagi di sini, dengan warna langit keemasan, permukaan danau yang berkabut mistis serta dersik yang mengalun dingin. Aku juga membayangkan sebuah malam dengan bulan purnama yang terang benderan, menyaksikan mangata (bayangan bulan di air yang berbentuk seperti jalan) yang indah sekali dan ia memanduku dalam gelap gulita.


Danau Gunung Tujuh, di Juni yang biru...
Banyak juga yang camping di seputaran danau. Kebanyakan sih para pendaki Kerinci kemarin itu (aku masih hafal betul wajah-wajahnya). Dan lagi-lagi...banyak sampah berserakan di mana-mana, membuat pemandangan indah ini terkotori :-(

Aku tak turun ke danau, aku bukan anak air, renang juga gaya batu saja, wkwk. Jadi kunikmati saja biru airnya sambil menunggu perahu untuk keliling danau.

Dengan harga seikhlasnya, aku dan Mas Heru juga beberapa pengunjung (yang sudah menunggu perahu lebih dulu dari kami) akhirnya kesampaian juga menaiki perahu Pak Syahril. Pak Syahril, pemilik perahu kayu yan sudah puluhan tahun mendayung dan mengais rezeki dari pengunjung Danau Gunung Tujuh. Beliau sebenarnya tinggal di Desa Sungai Jernih, di kaki Gunung Tujuh. Tetapi beliau baru pulang ke kampungnya sebulan sekali. Eh, percaya atau enggak ya, beliau bahkan punya kartu nama!


Pak Syahril dan perahunya
Sekitar bersepuluh kami menaiki perahu kayu itu, dan hasilnya perahu goyang nggak karuan. Deras juga euy arusnya. Air danau gampang masuk ke dalam perahu. Sebagian mendayung, sebagian lagi sibuk mengeluarkan air dengan piring. Agak ketar-ketir juga sih (terutama Mas Heru yang menenteng kamera mahalnya dan juga mengkhawatirkan keselamatanku yang nggak bisa renang dan nggak ada pelampung di perahu ini, hohoho!).

Ah, seharusnya kami bisa melihat view Gunung Kerinci dari sini, tapi sang atap Sumatera itu sedang tertutup kabut. Jadilah edisi keliling danau menggunakan perahu ini tak mendapatkan foto Gunung Kerinci yang diharapkan. Akhirnya, mengingat arus yang semakin deras jika ke tengah, maka kami putuskan untuk kembali ke darat saja.

Saatnya pulang! Sudah terbayang nanjak dan turunnya, hiks! Ya senasib dengan perjalanan berangkat tadi alias kombinasi ngesot, mbrangkang dan ndlongsor nggak karuan.

Akhirnya kami sampai kembali di Pos Resort. Niatnya sih pakai ojek untuk ke Pasar Pelompek, tapi ternyata tak ada satupun ojek yang ngetem. Ya sudah, kami jalan kaki saja.

Tapi ternyata, jalan kaki dari Pos Resort Danau Gunung Tujuh ke Pasar Pelompek itu jauhnya minta ampun! Perasaan saat berangkatnya naik ojek deket-deket aja ya. Sekarang bener-bener kerasa jauh dan capeknya. Akhirnya kami kepikir untuk numpang mobil bak terbuka yang kadang lewat di jalan itu. Setelah beberapa mobil menolak kami mintai bantuan, akhirnya ada yang berbaik hati juga. Yey, makasih Bapak!

Kami minta diturunkan di depan Masjid Pelompek, biar sekalian sholat dulu sebentar. Abis itu langsung hajar jalan ke pasar bermaksud mengganjal perut yang lapar. Tapi blas nggak ada warung makan selain warung makan tempat kami sarapan tadi pagi itu. Yo wis, kami balik saja ke Kersik Tuo saja, di sana banyak warung dengan aneka pilihan. Yup, segera setelah turun dari angkot di Kersik Tuo, kami segera menyikat Soto Padang dan Sate Padang tanpa ampun :-)


Ayo, hajar sudah!

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama perjalanan di Kerinci : Bang Levi, Mas Mono dan Mas Azis, Penginapan Family, Penginapan Subandi (terutama Pak Subandi & keluarga) dan juga Penginapan Paiman, dan lain-lain.

Hari ini adalah hari terakhirku dan Mas Heru menikmati pemandangan kaki gunung berapi tertinggi di Indonesia itu. Meninggalkan Kerinci dengan jejak yang tersepai dan segenap pengalaman serta cerita seru yang mengiringi. Esok kami berdua akan menuju Bengkulu. Satu petualangan lagi telah menunggu...


-------------------- THE END -------------------

Budget :

1. Homestay Paiman : Rp. 40.000/orang
2. Angkot Kersik Tuo - Pasar Pelompek : Rp. 7000/orang
3. Ojek Pasar Pelompek - Pos Danau Gunung Tujuh : Rp. 15.000/ojek
4. Karcis masuk Danau Gunung Tujuh : Rp. 5000/orang
3. Naik perahu di Danau Gunung Tujuh : Rp. 50.000,-
4. Angkot Pasar Pelompek - Kersik Tuo : Rp. 7000/orang


Saturday, July 18, 2015

Goreng Terus, Sampai Hangus!

Tepat di hari raya Idul Fitri 17 Juli 2015 kemarin, beredar kabar tentang pembakaran sebuah mushola di Tolikara Papua saat warga muslim melangsungkan Sholat Ied di sana. Seiring dengan peristiwa itu lalu beredar pula sebuah surat edaran dari sebuah gereja di sana tentang pelarangan masyarakat muslim melaksanakan perayaan Idul Fitri di daerah tersebut. Dunia sosial media di negeri ini begitu hingar memberitakannya. Dan seperti biasa, isu SARA (terutama agama) memang sangat menggemaskan untuk dibumbui kemudian digoreng sampai hangus.

Ada yang berniat pergi jihad ke sana? Nggak usah jauh-jauh ke Palestina kan ya. Tapi tiket ke Papua mahal lho, kakak! Apalagi untuk menuju Tolikara di daerah Pegunungan Tengah Papua.

Pembakaran mushola tepat saat warga muslim melaksanakan sholat pada hari raya jelas merupakan tindakan biadab, begitupun dengan pelarangan warga untuk merayakan hari besarnya. Tapi tetaplah berpikiran jernih dan dewasa dalam menyikapi hal-hal seperti ini. Terlalu banyak cerita dari berbagai versi tentang kasus ini yang kesahihannya kita nggak tahu. Sepengetahuanku yang awam ini, nggak pernah ada konflik agama di Papua, kalau perang antar suku memang sering! Isu SARA (di tambah bumbu politik) memang tambah seksi. Para provokator doyan banget hal beginian. Jangan hanya gara-gara ulah para oknum yang tidak bertanggung jawab maka rusak kerukunan dan kedamaian umat beragama di Indonesia ataupun Papua khususnya.

Jangan pula kemudian menggeneralisasi bahwa seluruh warga Papua dan seluruh warga yang beragama non-muslim di Papua bertindak intoleran terhadap penduduk muslim di sana yang notabene merupakan kaum minoritas. Apa yang terjadi di Tolikara bukanlah representasi dari seluruh warga Papua atau seluruh warga non-muslim Papua apalagi non-muslim Indonesia. Mengutip sebuah cuitan di twitter dari seorang aktivis NU yang bunyinya kurang lebih seperti ini "Jika masjidku dibakar, aku akan menuntut dan mengejar pelakunya. Tapi tidak keluarganya, teman sekampungnya atau yang seiman dengannya." 

Saya muslim dan bersuku Jawa, kurang apa coba mayoritasnya di Indonesia ? Tapi saya paling suka kalau diajak piknik ke timur Indonesia sana. Terlepas dari keindahan alamnya yang luar biasa, sebenarnya saya juga ingin merasakan atmosfer yang berbeda. Ya, atmosfer yang secara umum di Indonesia dianggap "minoritas". Piknik ke sana akan membuat pikiran lebih terbuka tentang keberagaman bangsa kita. Beneran!

Maka sejujurnya saya tak suka dengan kata mayoritas atau minoritas. apalagi jika diterapkan dalam ranah agama. Dikotomi seperti itu nggak pas saja menurutku dalam konteks hubungan antar umat beragama. Oleh para pendiri bangsa, saya percaya bahwa negara ini dibangun untuk seluruh rakyatnya, apapun sukunya, apapun agamanya, apapun rasnya, apapun golongannya. Ya, kita semua, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote!

Cukup sudah menggoreng kasus ini, angkatlah dan jangan biarkan hangus lalu tiriskan minyaknya. Biarkan pihak-pihak yang berwenang dibantu tokoh-tokoh agama dan adat menyelesaikan kasus ini dengan baik.

Meskipun saya nggak sempat mengunjunginya waktu piknik ke Pegunungan Tengah Papua, tapi saya yakin alam Tolikara pasti seindah tempat lainnya di Pegunungan Tengah sana. Dan meski hanya seminggu saya tinggal di Pegunungan Tengah Papua, saya bisa merasakan bahwa tak ada masalah dengan toleransi di sana. 

Dan kini, semua mata tertuju pada Tolikara....!

Pikniklah saudara-saudara, khususnya ke Pegunungan Tengah Papua. Dan rasakan atmosfer yang berbeda... :-)


- Tolikara -
sumber : www.toliwone.wordpress.com


Thursday, July 16, 2015

Yang Terlewat

Malam takbiran...

Bukan malam takbiran pertama jauh dari keluarga. Mungkin ini untuk ketiga kalinya. Sekarang aku berada di sebuah rig lepas pantai di Selat Makassar.

Banyak yang terlewat. Mungkin hanya momen-momen sederhana yang kupunya, tapi membuatku selalu rindu pulang saat lebaran.

Membuat kue bersama Ibu, ya memang hanya kue-kue sederhana, tapi rasanya seru saja. Ikut sibuk memasak ketupat dan opor ayam. Ah, ketupat bikinan ayahku dan opor buatan ibuku memang selalu juara!

Malam takbiran...

Kali ini bukan gema suara takbir dari masjid dekat rumah yang kudengar, melainkan suara bising mesin rig yang beroperasi.

Inilah aku, bersama banyak orang yang bekerja dan terpaksa jauh dari keluarga dan melewatkan perayaan Idul Fitri bersama.

Ibu dan Ayah, maafkan anakmu yang melewatkan sekali lagi sungkem secara langsung padamu. Maafkan segala kesalahanku dan keegoisanku. Maafkan anakmu yang belum bisa membahagiakanmu.

Dari tengah samudra, aku hanya bisa memanjatkan doa. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan dan perlindungan. Amin.

Allahu akbar Allahua akbar
La ilaaha ilallah huwallahu akbar
Allahu akbar wa lillahil hamd.

(@Ray Rig, Attaka field)

Sunday, July 12, 2015

Siapa Suruh Datang Kerinci (Bag.2) - Secangkir Teh Kayu Aro

"Konon bumi ini adalah milik mereka yang mau berhenti sejenak untuk melihat-lihat lalu meneruskan perjalanan..."
(Anonim)

2 Juni 2015

Selamat pagi, Kersik Tuo! Pagi yang cerah di kaki Gunung Kerinci.

Tidurku nyenyak sekali, seakan membalas malamku kemarin saat nenda di gunung sana. Tapi bangun-bangun, kaki ini sakit semua, menjalar sampai paha, bahkan untuk berjalan saja sakitnya luar biasa.


Selamat pagi, Kerinci

Hari ini kami nggak tahu mau ngapain. Dengan kondisi kaki yang parah begini, nggak mungkin kami langsung mendaki lagi ke Danau Gunung Tujuh. Baiklah, mari menjemur sepatu dan beberapa peralatan camping yang basah di halaman penginapan. Tapi hasil ngobrol-ngobrol dengan Stefan seorang bule half Asian yang kebetulan menginap di homestay ini (yang sengaja nggak ikut teman-temannya ke Danau Gunung Tujuh karena kakinya masih sakit sehabis nanjak Kerinci), kami dapat ide untuk jalan-jalan ke pabrik teh kayu aro dan Sungai Penuh ibukota Kabupaten Kerinci. Dengan menyewa mobil milik Pak Subandi (pemilik homestay) lengkap dengan supirnya, maka pergilah aku, Mas Heru, Mas Rahmat dan Mas Abi ditambah si Stefan tadi.

Aow...bahkan untuk naik ke mobil saja, kaki ini bener-bener sakit sekali!

Menuju Pabrik Teh Kayu Aro, kami disuguhi hamparan kebun teh ribuan hektar di sepanjang jalan dan udara yang segar sekali. Perkebunan teh Kayu Aro ini katanya adalah perkebunan teh terluas di dunia. Selain kebun teh, kami juga disuguhi pemandangan baliho dan spanduk pemilihan Gubernur Jambi. Wajah-wajah calon gubernur itu tampak tersenyum optimis lengkap dengan jargon-jargon yang berisi penyemangat pembangunan. Eh, ternyata ada artis  sebut saja inisialnya ZZ (artis atau mantan artis yak?) yang ikutan nyalon. Aih, wajah charmingnya...bagaimana aku bisa mengabaikannya? Wkwkw!

Oke cukup tentang ZZ, mari kita kembali ke masalah pabrik. Pak Supir membawa kami ke pintu samping pabrik, jika lewat depan lebih ribet prosedurnya katanya. Seorang gadis muda menyambut kami dengan tiket yang harus dibeli dan mengenalkan kami pada seorang mandor pabrik yang akan menjadi guide untuk melihat-lihat proses produksi pembuatan teh. 

Pabrik Teh Kayu Aro didirikan pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1925 dan masih beroperasi hingga saat ini. Teh hitam kualitas nomor 1 dihasilkan di pabrik ini untuk diekspor ke Eropa, beberapa negara Asia dan Timur Tengah. Bahkan kabarnya, ratu-ratu Belanda dan Inggris sana doyan banget sama teh made in Kayu Aro ini. Tapi teh Kayu Aro iyang dijual di pasaran Indonesia ya tentu saja yang kelas-kelas di bawahnya :-(

Ya sudah, mari kita berkeliling dan melihat aktivitas pabrik ini.


Daun teh segar melalui proses pelayuan di dalam bak-bak yang di bawahnya dialiri udara panas
Setelah layu, daun-daun itu dibawa dengan lori gantung ke tempat penggilingan

Proses Penggilingan
Proses Fermentasi & Pemilahan
Proses Pengemasan
Penghargaan yang sudah diraih oleh Pabrik ini (Nihil Kecelakaan Kerja, Proper, dll)
Satu sudut pabrik
Kebun bunga di belakang pabrik :-)

Sebelum pulang, iseng kami menanyakan apakah bisa mencicipi teh Kayu Aro kelas 1 yang diekspor ke luar negeri. Ternyata Pak Mandornya bilang bisa, tinggal ganti ongkos gula saja katanya. Wuih, mari kita nikmati jamuan teh ala Raja dan Ratu Belanda ini. Hmm, menurutku rasa tehnya sih biasa, tapi segar banget. 


Hmm....
Pagi itu, di Kayu Aro itu...

Dari Pabrik Teh Kayu Aro, kami lanjut ke Sungai Penuh. Nggak tahu mau lihat apaan, yang jelas jalan saja daripada bengong di penginapan, hehe. Lagi-lagi, wajah charming Bapak ZZ memenuhi pinggiran jalan dan menyapa para pejalan dengan senyumnya. 

Oh ya, kami sempat berhenti di sebuah rumah makan dendeng batokok untuk makan siang. Baru pertama kalinya aku makan menu itu. Dan rasanya, alamak...maknyus top markotop sip markusip!

Setelah dua jam perjalanan, kami sampai di Kota Sungai Penuh ibukota Kabupaten Kerinci. Tak ada sungai yang penuh di Sungai Penuh. Praktis Pak Supir hanya membawa kami putar-putar kota saja karena kami memang nggak punya tujuan jelas. Tapi sebagai bukti bahwa kami sudah sampai di Sungai Penuh Ibukota Kabupaten Kerinci, maka kami berfoto di lapangan luas (alun-alun?) yang pastinya merupakan ikon kota ini :-)


Cari-cari tulisan yang ada unsur kata "Kota Sungai Penuh"
Satu sudut kota Sungai Penuh
Di alun-alun Sungai Penuh. Kami memandang masa depan yang masih absurd...
Nemu ginian di jalan :-)

Kami sampai kembali ke Kayu Aro pada sore hari. Mas Abi dan Mas Rahmat packing untuk bersiap meninggalkan Kayu Aro dan kembali ke Jakarta via Padang malam nanti. Rayuanku tentang indahnya Danau Gunung Tujuh dan Bengkulu yang akan aku sambangi esok dan lusa ternyata tak mempan bagi mereka, wkwk! Baiklah. Sementara Mas Abi dan Mas Rahmat berkemas, aku dan Mas Heru juga ikutan beres-beres untuk pindahan penginapan karena homestay Pak Subandi sudah penuh dibooking malam ini. Ya sudah,  Mas Abi dan Mas Rahmat...hati-hati di jalan dan sampai ketemu lagi. Kapan-kapan Gank Purpala harus reuni lagi, entah ngesot dan mbrangkang di gunung mana, wkwk! Salam untuk Abang Rafael ya karena siapa tahu dapat driver travel dia lagi ;p

Hujan deras tak kunjung berhenti di Kayu Aro...

Aow....kaki ini masih sakit sekali. Alamat bakal ngesot dan mbrangkang session 2 ke Danau Gunung Tujuh esok hari. Tapi lihat besok deh. Kalau besok pagi hujan, ya mending tidur selimutan saja di kasur, haha!

Cerita selanjutnya di Siapa Suruh Datang Kerinci (Bag. 3) - Merengkuh Danau Gunung Tujuh

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Homestay Pak Subandi = Rp. 60.000/orang
2. Sewa mobil untuk ke Pabrik Teh & Sungai Penuh = Rp. 500.000
3. Tiket masuk pabrik teh = Rp. 10.000/orang
4. Tips untuk guide (keliling pabrik) & minum teh = Rp. 50.000