Saturday, July 18, 2015

Goreng Terus, Sampai Hangus!

Tepat di hari raya Idul Fitri 17 Juli 2015 kemarin, beredar kabar tentang pembakaran sebuah mushola di Tolikara Papua saat warga muslim melangsungkan Sholat Ied di sana. Seiring dengan peristiwa itu lalu beredar pula sebuah surat edaran dari sebuah gereja di sana tentang pelarangan masyarakat muslim melaksanakan perayaan Idul Fitri di daerah tersebut. Dunia sosial media di negeri ini begitu hingar memberitakannya. Dan seperti biasa, isu SARA (terutama agama) memang sangat menggemaskan untuk dibumbui kemudian digoreng sampai hangus.

Ada yang berniat pergi jihad ke sana? Nggak usah jauh-jauh ke Palestina kan ya. Tapi tiket ke Papua mahal lho, kakak! Apalagi untuk menuju Tolikara di daerah Pegunungan Tengah Papua.

Pembakaran mushola tepat saat warga muslim melaksanakan sholat pada hari raya jelas merupakan tindakan biadab, begitupun dengan pelarangan warga untuk merayakan hari besarnya. Tapi tetaplah berpikiran jernih dan dewasa dalam menyikapi hal-hal seperti ini. Terlalu banyak cerita dari berbagai versi tentang kasus ini yang kesahihannya kita nggak tahu. Sepengetahuanku yang awam ini, nggak pernah ada konflik agama di Papua, kalau perang antar suku memang sering! Isu SARA (di tambah bumbu politik) memang tambah seksi. Para provokator doyan banget hal beginian. Jangan hanya gara-gara ulah para oknum yang tidak bertanggung jawab maka rusak kerukunan dan kedamaian umat beragama di Indonesia ataupun Papua khususnya.

Jangan pula kemudian menggeneralisasi bahwa seluruh warga Papua dan seluruh warga yang beragama non-muslim di Papua bertindak intoleran terhadap penduduk muslim di sana yang notabene merupakan kaum minoritas. Apa yang terjadi di Tolikara bukanlah representasi dari seluruh warga Papua atau seluruh warga non-muslim Papua apalagi non-muslim Indonesia. Mengutip sebuah cuitan di twitter dari seorang aktivis NU yang bunyinya kurang lebih seperti ini "Jika masjidku dibakar, aku akan menuntut dan mengejar pelakunya. Tapi tidak keluarganya, teman sekampungnya atau yang seiman dengannya." 

Saya muslim dan bersuku Jawa, kurang apa coba mayoritasnya di Indonesia ? Tapi saya paling suka kalau diajak piknik ke timur Indonesia sana. Terlepas dari keindahan alamnya yang luar biasa, sebenarnya saya juga ingin merasakan atmosfer yang berbeda. Ya, atmosfer yang secara umum di Indonesia dianggap "minoritas". Piknik ke sana akan membuat pikiran lebih terbuka tentang keberagaman bangsa kita. Beneran!

Maka sejujurnya saya tak suka dengan kata mayoritas atau minoritas. apalagi jika diterapkan dalam ranah agama. Dikotomi seperti itu nggak pas saja menurutku dalam konteks hubungan antar umat beragama. Oleh para pendiri bangsa, saya percaya bahwa negara ini dibangun untuk seluruh rakyatnya, apapun sukunya, apapun agamanya, apapun rasnya, apapun golongannya. Ya, kita semua, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote!

Cukup sudah menggoreng kasus ini, angkatlah dan jangan biarkan hangus lalu tiriskan minyaknya. Biarkan pihak-pihak yang berwenang dibantu tokoh-tokoh agama dan adat menyelesaikan kasus ini dengan baik.

Meskipun saya nggak sempat mengunjunginya waktu piknik ke Pegunungan Tengah Papua, tapi saya yakin alam Tolikara pasti seindah tempat lainnya di Pegunungan Tengah sana. Dan meski hanya seminggu saya tinggal di Pegunungan Tengah Papua, saya bisa merasakan bahwa tak ada masalah dengan toleransi di sana. 

Dan kini, semua mata tertuju pada Tolikara....!

Pikniklah saudara-saudara, khususnya ke Pegunungan Tengah Papua. Dan rasakan atmosfer yang berbeda... :-)


- Tolikara -
sumber : www.toliwone.wordpress.com


No comments:

Post a Comment