Wednesday, September 23, 2015

Mangente Maluku (Bag. 3) - Sebab Kuingin Ke Seram

"Barangkali rahasia kebahagiaan adalah jangan pernah berekspetasi tinggi. 
Sesuatu yang "mainstream" bukan berarti sempurna.
Tapi mungkin lebih banyak diketahui orang saja..."

--------------------------------------------------------------------------------------

 23 Agustus 2015

Sekitar jam 7 pagi lebih, pesawat Wings Air dari Langgur - Kei mendarat di Bandara Pattimura. Selamat datang kembali di Ambon, kota yang menjadi semacam "hub" untuk menuju beberapa titik dalam perjalanan di Maluku ini. 

Tempat yang ingin kami kunjungi selanjutnya adalah Pulau Seram dengan destinasi mainstreamnya yaitu Sawai dan Pantai Ora. Tempat wisata sejuta umat yang langsung muncul jika kita googling dengan key word "wisata maluku" sekalipun. Review tentang Sawai dan Pantai Ora memang sangat mengintimadasi. "I swear to God, this is heaven" sebuah judul dari tulisan di blog yang memuat review tentang Ora, ada pula "Surga Kecil yang Tersembunyi di Maluku" atau bahkan "Maldivesnya Indonesia" dan masih banyak lagi. Hampir semua judul tulisan bermajas hiperbola kalau kata Guru Bahasa Indonesia. Maka sepertinya bisa disimpulkan bahwa tempat itu luar biasa dan hukumnya menjadi fardhu ain untuk didatangi. Lagi-lagi, ekspetasi kami tentu sudah setinggi menara.

Dari Bandara Pattimura, kami naik angkot ke Pertigaan Passo. Kemudian lanjut dengan angkot lagi menuju Tulehu. Kami turun di Pelabuhan Tulehu dan naik kapal cepat jurusan Pelabuhan Amahai di Pulau Seram. Karena hari ini hari minggu, maka kapal cepat dari Tulehu ke Amahai hanya berangkat sekali dalam sehari yaitu jam 11 siang.

Suasana dalam kapal cepat bernama Cantika Torpedo ini berisik sekali, didominasi suara pedagang yang menawarkan dagangannya. Mereka baru keluar saat kapal ini beranjak meninggalkan pelabuhan. Aku terlelap, meski tak nyenyak dan melewatkan perjalanan laut selama dua jam lebih.

Sekitar jam 1 siang lebih, akhirnya kami sampai di Pelabuhan Amahai di Pulau Seram. Kapal kembali berisik, kali ini riuh ramai suara dipenuhi oleh para sopir transportasi umum ataupun penyewaan mobil yang menawarkan jasanya mengantarkan penumpang ke tujuan. Terus terang ketika sampai di Amahai ini aku agak bingung, saking banyaknya orang yang bertanya mau kemana bahkan ada yang langsung main bawa barang bawaan kami. Akhirnya pilihan kami jatuh kepada seorang supir yang lumayan sopan, haha! Let's go to Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah.

Sejak awal kami sudah bilang ke supir bahwa kami akan pergi ke Sawai. Maka kami tidak diturunkan di Terminal Binaiya (Terminal di Masohi) melainkan di seberang Toko Beta (tak jauh dari terminal), tempat ngetem travel jurusan Sawai. Tak berapa lama setelah kami turun, datang pula dua orang bule di tempat travel itu dengan tujuan sama dengan kami. Sepasang bule itu sebenarnya sudah kami lihat sejak di pelabuhan, tapi kami kira mereka nggak mungkin naik angkot seperti kami karena bawaannya bukan ransel melainkan koper, wkwk! Namanya Kemal dan Sarah, warga negara Maroko dan Tunisia, tetapi keduanya tinggal dan bekerja di Paris.

Sawai dan Pantai Ora berada di sisi utara Pulau Seram, tepatnya di teluk Sawai di Kecamatan Seram  Utara. Sawai dapat dicapai sekitar 3 sampai 4 jam perjalanan darat dari Masohi.

Letak Sawai dalam Peta

Tentu saja aku dan Kakak Dame nggak menginap di Ora Beach Eco-Resort. Kami cukup tahu diri mengingat isi kantong yang terbatas. Membayar minimal 750 ribu per kepala per malam untuk menginap di sebuah bungalow mengapung nan mewah di atas/tepi laut rasanya sayang walaupun terbersit keinginan untuk mencobanya (well, setidaknya ngerasain semalam jadi horang kayah!). Rencananya kami akan menginap di Penginapan Lisar Bahari di Sawai yang merupakan tetangga jauhnya Ora Beach Eco-Resort tapi dengan harga yang lebih murah pastinya. Review tentang Lisar Bahari juga nggak kalah bagus, bahkan sebuah artikel tentang Sawai di Majalah National Geographic Traveller edisi Agustus 2015 dimana sang penulisnya juga menginap di penginapan tersebut, semakin menguatkan pilihan kami.

Travel yang dikemudikan oleh Pak Nur ini akhirnya hanya mengangkut lima orang penumpang saja. Menyusuri Masohi, daerah entah apalagi lalu menembus Taman Nasional Manusela. Perjalanan menembus taman nasional itu yang paling keren menurutku. Jalannya berkelak-kelok naik turun, pemandangan hutan dan perbukitan hijau yang menjulang serta kabut tipis yang menutupi. Segar sekali pemandangannya meskipun jalannya rusak sana-sini. Eh, nyatanya aku bisa juga tidur dalam mobil meski kondisi medannya nggak enak banget!

Akhirnya kami tiba di Sawai sekitar jam 4 sore. Tak kusangka bahwa penginapan Lisar Bahari ternyata terletak di ujung kampung. Jadi untuk sampai ke penginapan ini, mobil harus masuk ke area perkampungan dan rumah-rumah penduduk dengan jalan-jalan yang cukup sempit dan ramai (saat itu ada lomba volley antar kampung). Aku, Kakak Dame, Kemal dan Sarah kemudian disambut oleh Pak Ali, pemilik Lisar Bahari. Tak banyak orang yang menginap hari itu, mungkin karena bukan hari libur. Jika long weekend biasanya full booked, begitu kata petugas yang mengantarkan kami ke kamar. Selesai memasukkan ransel ke kamar, mari ngopi-ngopi dan menikmati pisang goreng di beranda, sambil menikmati akuarium raksasa di bawah sana. .

Penginapan Lisar Bahari

Say cheese, Kakak Dame!

Ya, penginapan ini dibangun di atas air. Airnya bening sekali, dunia bawah airnya terlihat dengan mata telanjang. Meski berada dekat dengan pemukiman, tapi air lautnya bisa dikatakan bersih. Tapi karena terletak sangat dekat dengan perkampungan, maka bagi kalian para pencari sepi dan keheningan...tentu saja penginapan ini kurang cocok, hehe!

Kami berempat makan malam di satu meja. Sesuai aturan di penginapan, makan malam disajikan setiap jam 19.30. Hiks, itu terlalu malam untuk perut ini, kami keburu lapaaarrr! Tapi syukurnya menu makan malamnya cukup lengkap dengan porsi yang banyak pula dan rasa yang tak mengecewakan. Ternyata sore tadi Kemal dan Sarah sudah sempat jalan-jalan di Desa Sawai. Sarah begitu antusiasnya saat bercerita bahwa di kampung ini dia menemukan makanan khas dari kampung halamannya di Tunisia sana (bahkan dengan nama yang sama pula) yaitu Asida tapi tentu Asida ala Sawai tak sama persis dengan Asida di Arab sono.

"I have to call my mom! I found my asida here!" kata Sarah, setengah tak percaya.

Selesai makan malam, datanglah Pak Dino ke tempat kami. Pak Dino itu bisa dikatakan sebagai managernya Lisar Bahari. Sayangnya Pak Dino ini nggak bisa berbahasa Inggris, jadinya aku dan Kakak Dame-lah yang merangkap jadi penerjemah untuk Kemal dan Sarah. Dia menjelaskan tentang paket-paket wisata yang disediakan di Lisar Bahari. Ada paket sehari penuh ada juga yang setengah hari. Setelah berdiskusi dengan Kemal dan Sarah, kami sepakat untuk ikut paket full day dari jam 9 pagi sampai 4 sore. Dengan merekalah kami akan share cost. Paket wisata full day itu terdiri dari melihat pembuatan sagu, Pulau Jodoh dan makan siang di sana, snorkeling di dua spot serta melihat tebing batu, bisa ditambahkan pula ke Pantai Ora. Kelihatan mantap sih rencananya. Sedangkan di hari kedua rencananya kami berempat akan ikut paket trekking setengah hari.

Baiklah, kan kunikmati malam ini di tepian teluk Sawai yang menghadap laut Seram. Hmm, biasanya  juga menikmati malam di lepas pantai malah, beda tipis aja sih, wkwk! 


24 Agustus 2015

Suara adzan shubuh yang berkumandang dari masjid di Desa Sawai membangunkanku. Selamat pagi, dunia!

Sekitar jam 6 pagi, aku dan Kakak Dame sengaja jalan-jalan pagi di seputaran kampung. Suasana dan  kegiatan penduduk pada pagi hari dapat kita jumpai di sini. Ibu-ibu yang mencuci baju di sungai, anak-anak kecil yang mandi, anak-anak berseragam dan berangkat sekolah serta kapal-kapal nelayan yang memulai aktivitasnya. Geliat kehidupan yang sangat menyenangkan.


Sungai air tawar sumber kehidupan di Sawai

Desa Sawai dilihat dari atas

Kampung atas air Desa Sawai


Kami tiba kembali di penginapan dan sarapan. Menu sarapan dibanding dengan makan malam semalam seperti bumi dan langit perbedaannya, hoho! 

Selesai sarapan, kami masih menunggu hingga jam 9 pagi untuk memulai tur paketnya Lisar Bahari. Sebenarnya memulai piknik jam 9 terhitung sudah kesiangan, kenapa nggak dimulai lebih pagi saja? Tapi seperti kata Pak Dino semalam, bahwa pihak dapur harus menyiapkan menu makan siang kita yang akan dibawa ke pulau dan semuanya baru siap jam 9 pagi. Ya sudahlah, kita manut organizernya saja.

Yang ditunggu akhirnya siap juga. Kami berempat pergi meninggalkan Lisar Bahari dengan kapal bertuliskan Patroli dan dikawal oleh dua guide yaitu Pak Burhan dan Pak Iwan. Sip, kami siap bertualang menjelajah teluk Sawai!

Pagi itu cuaca mendung, gerimis turun sedikit. Bagi yang akan menikmati bawah laut nanti, cuaca seperti ini mungkin bagus, tapi tidak bagiku. Aku hanya akan nongkrong di kapal, berharap langit biru dan pemandangan cerah sehingga jepretan amatiranku bakal didukung kondisi alam yang oke.


Kami tinggalkan Desa Sawai di belakang...

Apakah yang tampak dari kejauhan itu Gunung Binaiya?

Zoom sebisanya ah!

Titanic mode on, yes?

Tujuan pertama adalah melihat proses pembuatan sagu. Pak Burhan mengarahkan kapal memasuki sungai dengan daratannya yang dipenuhi pohon sagu. Setelah mengitari sungai, kami tak jua menemukan orang-orang yang sedang membuat sagu. 

"Mungkin karena cuaca mendung seperti ini, jadi nggak ada orang yang bikin sagu" kata Pak Burhan dan diamini Pak Iwan.

Sebentar-sebentar, jadi maksudnya? Bukannya proses pembuatan sagu sudah termasuk dalam paket trip full day seperti yang dikatakan Pak Dino semalam ya? Seharusnya ada orang yang selalu standby untuk paling tidak mensimulasikan proses pembuatannya kepada para pengunjung yang membeli paket trip itu. Kalau gini caranya mah, namanya paket keberuntungan, kalau beruntung ya bisa lihat, kalau nggak ada yang sedang bikin sagu ya...maaf! Wah, ndak bener ini, sangat-sangat tidak profesional!

"Tapi kalau ingin lihat, mungkin di ujung darat sana ada, tapi agak jauh dari sini" kata Pak Iwan.

Kapal bergerak lagi, lumayan jauh menyusuri sungai hingga menemukan tempat pembuatan sagu di tepi sungai. Tapi, di situ juga kosong, alias nggak ada orang yang bikin sagu. Hmm, maaf Anda tidak beruntung!

Tapi tak lama kemudian, datang seorang bapak sambil menurunkan batang-batang sagu. Pak Burhan dan Pak Iwan lalu berbicara sebentar dengan mereka berdua.

"Jika mau lihat pembuatan sagu, bapak ini mau, tapi nanti kasih uang rokok saja ke dia"

Hohoho, ya baiklah, kami berempat sepakat. Bapak pembuat sagu itu lalu menyiapkan peralatannya dan menghidupkan mesin penggiling sagu. Tetapi apa yang terjadi saudara-saudara, mesin itu tak mau hidup meskipun sudah dicoba berkali-kali, direfill lagi oli dan bahan bakarnya dan bahkan diganti entah sparepart apanya. Kami memang tidak beruntung pagi itu!


Tempat pembuatan sagu

Batang-batang sagu yang siap digiling

Ayo Pak, tarik terus!

Lama menunggu si bapak memperbaiki mesin yang entah bakalan sembuh atau tidak, padahal waktu sudah semakin siang, akhirnya kami memutuskan untuk pamit saja dan nggak jadi melihat proses pembuatan sagu. Kapal akhirnya keluar dari area sungai dan mengarah ke lautan lepas. Waktu sudah semakin siang.

"Sekarang kita kemana, Pak?" tanyaku

"Kita ke Pulau, makan siang di sana"

Oke, setengah hari yang sangat nggak produktif untuk trip full day ala Lisar Bahari seharga Rp. 800.000,- per rombongan ini. Hah!

Kami menuju sebuah pulau, Pulau Jodoh namanya. Tak berpenghuni. Nama asli dari pulau ini adalah Sapalewa. Kenapa kemudian dinamakan menjadi Pulau Jodoh? Pak Burhan dan Pak Iwan bercerita bahwa dulu ada seorang pria bule bertemu dengan perempuan Indonesia di pulau ini, lalu menikah. Happily ever after! Aih!

Memang pulau jodoh beneran loh ;p

Pulau ini kecil saja, nggak sampai 30 menit untuk mengitari pulau ini meski sudah berjalan pelan sambil menunggu Pak Burhan dan Pak Iwan menyiapkan ikan bakar. Pulau ini juga biasa saja pemandangannya menurutku. Sekali lagi mungkin keindahan itu relatif sifatnya, tapi pulau ini ya memang biasa saja.


Bon apetite :-)

Baiklah teman, mari makan siang dulu dengan menu ikan bakar dan teman-temannya! Selamat makan!

Nyaris jam 2 siang saat kami meninggalkan Pulau Jodoh dan menuju Dangkalan. Dangkalan merupakan spot untuk snorkeling.

Hanya Kakak Dame dan Sarah yang terjun mencari kehidupan di bawah air. Kemal hanya tidur-tiduran di kapal. Aku memang nggak tertarik dengan dunia air, tapi aku nyemplung juga sekedar ingin mencicipi rasanya air laut Pulau Seram, setidaknya ngapung-ngapung saja. Tapi busyet dah airnya dingin sekali dan arusnya cukup kuat. Sebagai orang yang nggak bisa berenang, tentu saja pelampung sudah kupakai. Aku terbawa arus semakin menjauh dari kapal, tak kuasa kaki dan tangan ini  melawan arus yang lumayan kuat untuk kembali ke kapal. Walhasil, kulambaikan tangan saja ke Pak Burhan yang standby di kapal untuk menjemputku, hahaha!

Aku nggak ngerti tentang dunia bawah air, tapi Kakak Dame kemudian naik ke kapal dan bercerita bahwa karang-karangnya sudah banyak yang rusak. Banyak orang nyari ikan pakai bom, demikian penjelasan dari Pak Burhan dan Pak Iwan. Kakak Dame bertanya lagi adakah spot snorkeling lagi di sekitar sini yang mungkin lebih bagus? Mereka bilang ada, tapi terlalu dangkal dan kapal kemungkinan nggak bisa ke sana. Waktu juga menjadi alasan, bahwa kapal harus kembali ke Lisar Bahari jam 4 sore. Akhirnya Kakak Dame ditemani ditemani dengan Pak Burhan berenang ke spot snorkeling yang disebutkan tadi.

Mereka berdua tak lama, Kakak Dame kembali ke kapal dengan raut muka yang kecewa.

"Sama saja, karang-karangnya sudah pada rusak. Underwaternya biasa saja." kata Kakak Dame.

Setelah kami gagal melihat pembuatan sagu dan banyak waktu yang terbuang di sungai nggak jelas itu, ternyata dunia bawah air di Sawai juga biasa saja menurut penikmat laut. Hohoho! Sawai oh Sawai...!

Emang di bawah ada apaan sih, Kak? Demen banget nyemplung ke air?

Oke, kami selesai dengan spot snorkeling di Dangkalan ini. Next destination is...Ora Beach! Pantai dambaan jutaan para pejalan! Kapal mengarah kembali ke daratan.

Dalam perjalanan, kami menikmati pemandangan tebing-tebing batu yang tinggi, lewat doang, mampirnya nanti abis dari Pantai Ora.

Dari jauh, akhirnya aku bisa melihat bungalow-bungalow berjejer di atas pantai. Banyak foto di dunia maya yang meng-capture pemandangan itu. Yup, itulah Ora Beach Eco-Resort. Tapi ketika kami dekati, hmm...gimana ya mendeskripsikannya? Ya cuma gitu doang sih. Airnya memang jernih sekali hingga underwaternya kelihatan dengan jelas. Sementara area pantainya/pasir putihnya sepertinya nggak begitu luas. 

Jadi ketika cahaya terpantul ke Pantai Ora lalu ditangkap oleh mataku, menembus kornea dan diteruskan melalui pupil. Pupilku mengatur intensitas cahaya kemudian diteruskan menembus lensa mata. Daya akomodasi pada lensa mata mengatur cahaya agar tepat jatuh pada retina yaitu bagian bintik kuning. Pada bintik kuning, cahaya diterima oleh sel kerucut dan sel batang untuk disampaikan ke otak. Kemudian cahaya tersebut diterjemahkan oleh otakku, maka terus terang otak ini tak menerjemahkan sebuah keindahan yang wow. Adakah yang salah dalam proses itu? Wis pokoknya pelajaran biologi campur fisika biar kelihatan pintar dikit, wkwk! 

Inilah Pantai Ora, saudara-saudara!

Pak Burhan dan Pak Iwan bermaksud menyandarkan kapal ini ke jetty di Pantai Ora dan memberitahu kami untuk menyiapkan uang Rp. 25.000/orang untuk tiket masuk pantai ini karena di luar harga paketan Lisar Bahari.

"Is this Ora Beach? Seriously?" tanya Sarah.
"Yes, and we have to pay IDR 25.000 for the ticket, it is not included yet in Lisar Bahari trip package" lagi-lagi aku dan Kakak Dame akhirnya menjadi penerjemah untuk Kemal dan Sarah.
"No way! I thought Ora Beach is like...well, I don't wanna pay additional cost just for...you know...this kind of beach."

Hahaha, ternyata pemikiranku dan Kakak Dame sama seperti Kemal dan Sarah, bahwa Pantai Ora memang cenderung tidak istimewa. Kukira cuma aku dan Kakak Dame yang agak-agak anomali. Kapalpun akhirnya putar balik, kami nggak jadi merapat di Pantai Ora. Bye-bye, Ora Beach!


Pulang dah kita!

Di kapal, lagi-lagi kita ngobrolin soal Pantai Ora yang ternyata hanya seperti itu saja dalam pendangan mata, jauh di luar ekspetasi kami semua. Sarah menambahkan bahwa ketika teman-temannya tahu dia akan pergi ke Maluku, maka mereka semua kompak bilang :You must go to Ora Beach, it's beautiful". Tapi kenyatannya, ya gitu deh. Sama Sar!

Kapal kembali ke arah tebing-tebing batu yang tinggi itu. Kami bersantai ria sambil ngopi di sana. Kakak Dame nyemplung snorkelingan lagi, hati-hati...banyak bulu babi! Ada satu yang mengganggu, tebing batu itu penuh dengan tulisan/coretan dari orang-orang yang nggak bertanggung jawab!

Sang Tebing

Kreatif boleh, tapi harusnya tahu tempat :-(

Ngopio ergo sum (saya ngopi maka saya ada)

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lebih, kami capcus dari tebing batu dan kembali ke penginapan Lisar Bahari. Secara keseluruhan, terus terang trip yang diorganize oleh Lisar Bahari ini mengecewakan. Mulai dari soal gagalnya melihat proses pembuatan sagu dan cukup menghabiskan waktu di sungai, kelamaan di Pulau Jodoh tanpa kegiatan dan hanya menunggu ikan bakar matang, lalu  snorkeling di Dangkalan yang biasa saja underwaternya bahkan karang-karangnya banyak yang sudah rusak  (kata Kakak Dame sih) serta melihat Pantai Ora yang juga nggak istimewa. Entahlah, dengan membayar Rp. 800.000,- untuk aktivitas yang hasilnya seperti itu rasanya nggak rela. Kami bandingkan trip 2D/1N di Taman Nasional Komodo NTT tahun lalu, kami sewa kapal seharga 3 juta dan dibagi 3 orang saja (karena kami cuma jalan bertiga dan nggak ada barengan lain). Tapi overall kami cukup puas dengan apa yang kami dapat. Destinasinya lebih banyak dan keren, Kakak Dame ketemu dunia bawah air yang cantik, dan bagi yang bukan anak air sepertiku dan Kakak Ardyan (teman  ngetrip kami ke Flores), kami masih bisa trekking ke bukit-bukitnya. Tapi Sawai, hmm...lain cerita.

Awalnya kami berencana untuk ikut trip trekking setengah hari besok, sehingga siangnya kami bisa check out dan kembali ke Masohi. Tapi saat kami coba hubungi Pak Nur (driver travel yang kemarin), ternyata travel dari Sawai ke Masohi hanya jalan pada pagi hari saja. Waduh! Berarti kami harus menginap semalam lagi di sini dan do nothing sampai lusa pagi? Setelah menimbang dan mempertimbangkan, kami putuskan untuk check out besok pagi saja dan cancel trip trekking itu. Kami sudah terlanjur kecewa dengan trip Lisar Bahari dan tak mau mengalami untuk yang kedua kali.

Sepanjang malam, kami masih nggrundel, kecewa dengan Lisar Bahari. Sama kecewanya dengan Ngurbloat di Kei sana...

25 Agustus 2015

Kami check out dari Penginapan Lisar Bahari jam 8 pagi kurang sedikit. Meski cukup kecewa, tapi kami tetap mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa ke Pak Dino dan Pak Ali, pemilik Lisar Bahari. Hehe!

Kali ini penumpang dari Sawai penuh. Di depan ada pejabat desa, di sampingku ada Mbak-mbak dengan suami dan anaknya yang masih kecil. Satu lagi adalah seorang cowok bergaya gemulai yang ternyata seorang penata rambut di sebuah salon di Sawai, Anjas namanya.

"Aku mau ke salon yang di Masohi. Salon di Sawai lagi sepi banget. Ramainya ya pas musim durian saja." jelas Anjas dengan gaya khasnya. Ternyata penghasilan salonnya berbanding sejajar dengan musim buah di Sawai.

"Kok memilih pergi ke Sawai sih Kak? Di sini kan biasa aja keleus" tanya Anjas pada kami berdua.


Hahaha, betul Njas. Sawai ternyata memang biasa saja setelah kami buktikan dengan mata kepala sendiri! Apalagi paket tripnya Lisar Bahari itu :-(

"Anjas kan memang sudah sejak lahir di sini, ya mungkin bagi Anjas... Sawai biasa saja. Tapi bagi orang lain yang nggak tinggal di Sawai, terus melihat foto-foto Sawai dan Pantai Ora di internet, pasti jadi pengen ke sini semua."

Obrolan kami dengan Anjas terputus ketika travel ini kembali menembus Taman Nasional Manusela dengan jalan yang meliuk-liuk. Si Anjas udah pusing kepalanya, sudah minum antimo tapi belum bisa tidur juga katanya. Mbak-mbak di sebelahku malah sudah jackpot berkali-kali! Ouw...! Semoga tidak menular padakuh!

Ceritanya disingkat saja, bahwa setelah menempuh perjalanan darat yang cukup melelahkan akhirnya kami sampai di Masohi sekitar jam 12 siang. Tujuan selanjutnya? Kami akan ke Pulau Osi di Seram Bagian Barat. Entah ada apa di sana, yang jelas tak ada ekspetasi tinggi untuk Osi.

Kisah selanjutnya di Mangente Maluku (Bag. 4) - Senja Sunyi di Pulau Osi

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Angkot Bandara Pattimura - Pertigaan Passo = Rp. 10.000,-/orang
2. Angkot Pertigaan Passo - Pelabuhan Tulehu = Rp. 5000,-/orang
3. Kapal Cepat Cantika Torpedo jurusan Pelabuhan Tulehu - Pelabuhan Amahai (Kelas Ekonomi) = Rp. 125.000,-/orang
4. Angkot Pelabuhan Amahai - Masohi = Rp. 15.000,-/orang
5. Travel Masohi - Sawai = Rp. 125.000,-/orang
6. Penginapan Lisar Bahari Sawai = Rp. 300.000,-/orang/malam (sudah termasuk makan 3x)
7. Paket Full Day Lisar Bahari = Rp.800.000,/rombongan (dibagi jumlah peserta aja)
8. Travel Sawai - Masohi = Rp. 125.000,-/orang

Saturday, September 19, 2015

Mangente Maluku (Bag. 2) - Ada Apa di Kei?

"Lupakanlah tentang segala macam rencana,
Kita nikmati saja kejutan, kebetulan dan keberuntungan di depan sana...
Percayalah, bahwa Tuhan selalu bersama para pejalan..."

-----------------------------------------------------------------------------------------

20 Agustus 2015

Sekitar jam 07.30 pagi kami disambut gerimis segera setelah mendarat di Bandara Pattimura Ambon. Satu jejak kaki di bumi Maluku! Kami langsung ke bagian transit pesawat karena pada hari ini juga lanjut ke Langgur di Kepulauan Kei dengan pesawat Wings Air.

Sambil menunggu pesawat ke Langgur yang masih siang nanti, aku dan Kakak Dame bergegas menuju counter tiket Susi Air. Susi Air ini satu-satunya harapan kami menuju Banda Neira yang direncanakan akan kami kunjungi sepulang dari Kei. Penerbangan Ambon-Banda ini sifatnya masih perintis, maka sesuai informasi dari Call Center maskapai yang sudah aku hubungi beberapa hari sebelumnya menyatakan bahwa tiketnya tidak bisa dibeli online melainkan harus datang ke ticketing di Bandara Ambon. Tetapi, mimpi tinggal mimpi, tiket Ambon-Banda-Ambon sudah habis untuk bulan Agustus ini. Sementara jadwal kapal Pelni dari Ambon ke Banda dan sebaliknya tidak sesuai dengan jadwal trip kami begitupun kapal cepat yang sudah tidak beroperasi lagi. Buyar sudah semua rencana kami. Terpaksa tak ada tentang Banda Neira pada trip kali in, hiks! 

Tapi Kepulauan Maluku ini luas, seharusnya banyak pilihan untuk menggantikan Banda. Maka segepok brosur wisata yang tersedia di terminal kedatangan kami ambil semua, mau kemana-mananya dipikirkan nanti saja. Yang penting kami jalani Kepulauan Kei dulu.

Kei, apa yang ada di benak kalian bila mendengar kata Kei? Teringat akan nama seseorang? John Kei misalnya, haha! Ya, Kei pada nama John memang merujuk pada tempat kelahirannya di Kepulauan Kei. 

Kepulauan Kei (atau Kai) adalah gugusan kepulauan yang wilayahnya menjadi satu kabupaten yaitu Kabupaten Maluku Tenggara yang beribukota Langgur. Langgur masih relatif baru menjadi ibukota kabupaten karena baru diresmikan sejak tahun 2010 karena sebelumnya ibukota kabupatennya berada di Tual. Kepulauan ini terdiri dari sejumlah pulau, tercatat ada dua pulau yang cukup besar yaitu Pulau Kei Besar dan Kei Kecil. Sementara pulau-pulau kecilnya, entah berapa jumlahnya.

Letak Kepulauan Kei (Maluku Tenggara) dalam peta

Jika kita nanya ke mbah google tentang wisata di Kepulauan Kei, setidaknya ada tiga tempat yang bakal muncul seketika di layar komputer Anda. Yang pertama adalah Pantai Ngurbloat atau Pasir Panjang, sebuah pantai yang memiliki pasir sehalus tepung bahkan dinobatkan sebagai pantai dengan pasir terhalus se-Asia versi National Geographic. Selain Ngurbloat ada satu lagi pantai yang terkenal di dunia maya yaitu Pantai Ngurtafur. Pantai ini memiliki pasir pantai yang berkelok-kelok seperti ular seolah membelah lautan dan panjangnya sekitar 2 km, keren bukan? Akan tambah menakjubkan karena kabarnya banyak burung pelikan dari Australia yang nongkrong di sana. Satu lagi yang sedang happening yaitu Pulau Bair, yang katanya mirip Raja Ampat. Foto-foto tempat tadi bakalan membuat ngeces untuk mendatanginya.

Sambil ngopi-ngopi di sebuah cafe di Bandara, kami berkenalan dengan dua orang bapak yaitu Pak Aris dan Pak Devi, keduanya adalah auditor dari ASDP Pusat yang bertujuan sama dengan kami yaitu ke Langgur. Awalnya kedua bapak itu mengira kami tugas/dinas atau penelitian di sana dan nggak percaya jika alasan kami ke Langgur ya hanya murni jalan-jalan, Tapi akhirnya kami ngobrol banyak dengan mereka berdua. Eh, mereka nawarin untuk mengantarkan kami ke tempat tujuan di Kei nanti (nggak sampai tempat tujuan sih, tapi setidaknya sampai ke terminal tempat kami bisa mencegat transportasi umum ke tempat yang kami tuju). Wah, kami sih jelas yes saja kalau gretongan, hehe!

Tepat jam 12.30 siang, Wings Air membawa kami terbang dari Ambon ke Langgur. Sekitar 1 jam lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di Bandara Karel Sadsuitubun di Kei. Bandaranya masih baru, masih bau cat, haha! And yeah, here we are, Langgur di Pulau Kei Kecil, Kepulauan Kei Maluku Tenggara. 


Kepulaun Kei tampak dari jendela pesawat

Kami menumpang mobil yang menjemput Pak Aris dan Pak Devi untuk menuju kota Langgur. Bandara Langgur sendiri letaknya cukup jauh dari kota. Jalan raya dari bandara menuju kota terlihat masih baru dan mirip jalan tol saking sepinya. Kami turun di Terminal Langgur. Terima kasih, Bapak semua :-)

Tujuan pertama kami adalah ke Pantai Ngurbloat alias Pasir Panjang. Pantai yang sekali lagi berdasarkan foto, review dan catatan perjalanan orang di internet memperlihatkan sebuah pantai cantik nan bersih, bergaris pantai panjang serta  pasir putih yang katanya bertekstur sangat halus. Maka ke sanalah kami dengan ojek dari Terminal Langgur. Tadinya mau naik angkot, tapi jika sudah sore seperti waktu itu maka angkot ke Ngilngof (nama desa dimana Pasir Ngurbloat berada) sudah tidak ada lagi. 

Ternyata cukup jauh juga perjalanan dari Terminal Langgur ke Pantai Ngurbloat. Kami melewati jalan yang lengang dengan pemandangan bukit yang cukup gersang di kanan dan kiri. Akhirnya kami melihat sebuah patung dengan tulisan Selamat Datang di Pantai Ngurbloat. Ojek yang kami tumpangi terus masuk hingga sampai ke portal pos tiket. Sebenarnya aku agak-agak bingung, serius ini Pantai Ngurbloat? Karena sejak masuk dan sedikit mengobservasi pantai ini dari jauh kok sepetinya tidak merepresentasikan bayanganku tentang sosok sebuah pantai yang cantik. Tapi aku kan belum melihat ke dekat pantainya. 

Sejak awal (gara-gara foto internet tentang Pantai Ngurbloat yang super duper keren itu), kami berniat menginap semalam di dekat pantai itu. Maka kami sekalian bertanya tentang penginapan terdekat di pantai ini dan petugas penjaga pos menunjukkan kami sebuah penginapan yaitu Penginapan Delima yang terletak tak jauh dari pintu gerbang pos.


Selamat Datang di NgurBloat (Ngur = Pantai, Bloat = Panjang, bahasa lokal)

Penginapan Delima, tempat kami menginap 

Selesai menurunkan ransel dan memasukkannya ke dalam kamar, kami langsung jalan ke pantai, membuktikan tentang keindahan Pantai Ngurbloat. Dalam bahasa lokal, Ngur itu artinya pasir, sedangkan bloat berarti panjang, jadilah namanya menjadi Pasir Panjang. Ekspetasi kami tentang pantai ini sudah terlanjur tinggi! Dan...hmm, jujur saja aku cukup kecewa. Pantainya biasa saja, pasirnya memang putih dan bertekstur seperti tepung, tapi cenderung kurang terjaga kebersihannya di beberapa sisi, pohon kelapa di pinggiran pantai yang seharusnya bisa menjadi tempat berteduh malah disesaki dengan saung-saung permanen dan harus membayar Rp. 30.000 jika duduk/beristirahat di dalamnya, belum lagi net-net volley yang berjajar entah berapa jumlahnya yang merusak pemandangan. Ya sih, pasirnya memang halus sekali tapi kriteria pantai yang indah tentu bukan hanya itu saja menurutku. Entahlah, mungkin keindahan itu memang relatif sifatnya karena setiap orang memiliki selera dan perspektif yang berbeda (jadi inget mata kuliah Ilmu Budaya Dasar nih jadinya, wkwk!). 


Pantai Ngurbloat

Pantai Ngurbloat sisi lainnya

Ya kawan, pasirnya memang halus sekali seperti tepung

Kembali ke penginapan, kami bertemu dengan pemiliknya yaitu Pak Benny. Harga kamar sebenarnya cukup murah, tapi kalau kita order makan...busyet mahalnya minta ampun, yaitu Rp. 45.000/orang setiap makan. Tapi tak ada pilihan lain karena nggak ada warung makan di sekitar sini. 

Kami sekalian bertanya ke beliau tentang kapal yang bisa membawa kami ke Pantai Ngurtafur di Pulau Warbal. Tiba-tiba kami tercengang karena harga sewa kapalnya mencapai 1 juta rupiah katanya! What...??? Lalu kami tanyakan alternatif tentang wisata di pulau-pulau lain di Kepulauan Kei yang bisa dijangkau dengan kapal reguler/bukan sewa, tapi Pak Benny blas nggak tahu informasi apapun tentang hal tersebut. Haish!

Dan senja...aku berharap menemukan senja yang indah di Pantai Ngurbloat ini (meskipun aku tahu, senja manapun tak bakal mengalahkan indahnya senjaku di offshore sana). Ah, kecewaku harus bertambah karena mendung menggantung di langit. Tak ada senja ataupun langit keemasan di sana. Ngurbloat dengan kesan pertamanya, benar-benar merekam hal-hal yang jauh dari istimewa. Ya sudahlah, daripada bingung mau ngapain, mari kita bercengkerama saja dengan anak-anak yang bermain di pantai sana, lebih seru rasanya...


Tak ada yang lebih renyah, dibanding tawa mereka...

Dan mereka sangat bahagia..

Kami bertemu dengan Jeanny, pejalan asal Prancis yang bekerja di London, dia sudah seminggu lebih tinggal di penginapannya Pak Benny. Ternyata kekecewaan yang aku dan Kakak Dame rasakan tentang pantai ini pun penginapan ini diamini juga oleh Jeanny. Tapi entahlah, kenapa Jeanny masih betah tinggal di sini menikmati lazy day setiap hari.

Aku dan Kakak Dame sepakat untuk check out besok pagi, toh tak ada yang menarik lagi di sini. Mau snorkeling juga spotnya jauh dan harus sewa kapal juga. Lebih baik kita segera move on ke destinasi lainnya. Informasi yang aku dapatkan dari pengunjung pantai Ngurbloat sore tadi, bahwa kami bisa menuju ke Pantai Ngurtafur melalui Pelabuhan Debut, sewa kapal dari sana ke Pantai Ngurtafur lebih murah hanya sekitar 300 ribuan katanya. Yo wis, ngapain berlama-lama di tempat ini, jika ternyata nggak bisa memanjakan mata batin kami? Well, setidaknya satu destinasi mainstream sudah kami jejak sih, halah!

21 Agustus 2015

Selamat pagi, Kei!

Pagi ini kami check out dari Penginapan Delima dan berniat pindah penginapan di Kota Langgur. Kami naik angkot jurusan Langgur yang bisa dicegat dari gang masuk Pantai Ngurbloat. Sembari nunggu angkot, kami dipersilahkan duduk-duduk di teras sebuah rumah oleh pemiliknya yaitu Ibu Gracia. Dari Ibu Gracia pulalah kami mendapatkan informasi bahwa bulan-bulan bagus untuk berkunjung ke Pantai Ngurbloat atau ke Kei secara umum adalah pada bulan Oktober, karena pada bulan itulah terjadi "Meti Kei". Meti adalah istilah lokal untuk menyatakan air laut yang surut. Meti Kei berarti air laut surut di Kei (kira-kira begitulah artinya). Pada saat "meti", maka garis pantai di Ngurbloat ini akan panjang dan luas sekali katanya sehingga bisa panen kerang dan tumbuh-tumbuhan laut lainnya. Aih, kenapa informasi semacam ini baru kami dapatkan. Bahkan mbah googlepun serasa luput memberitakan ini atau kami yang kurang menggali lebih jauh. Tapi ya sudahlah, kami sudah di Kei dan inilah keadaan Kei sekarang.

Cukup lama menunggu hingga akhirnya sebuah angkotpun datang. Tapi ternyata angkot tersebut juga nggak langsung berangkat ke Langgur melainkan terus mutar-mutar seantero Desa Ngilnof untuk mencari penumpang. Meski sudah berputar-putar puluhan kali, cuma aku, Kakak Dame dan satu nona lagi yang menjadi penumpangnya. Maka akhirnya, sang supirpun menghentikan mobilnya dan ngetem di depan sebuah gereja.

Beberapa angkotpun kemudian ngetem di tempat yang sama. Di sela-sela ngetem, sesama supir angkot bercerita tentang kondisi di beberapa wilayah Kei termasuk tentang Pantai Ngurtafur. Saat ini Pantai Ngurtafur sedang "Sasi". "Sasi" adalah istilah lokal untuk pelarangan, artinya dilarang masuk ke sana secara adat. Sekarang orang lebih memilih pergii ke Pulau Bair untuk berwisata, tapi sewa kapal ke sana juga mahal. Gubrakkk! Gimana kami nggak syok, setelah cukup kecewa dengan Ngurbloat, maka kami bahkan diperkirakan akan gagal pula melihat Ngurtafur? Edan, lha terus ngapain kami di Kei kalau gini, mana tiket kembali ke Ambon juga masih lusa?

Kami kepikiran untuk pulang ke Ambon saja pada hari itu, daripada nggak jelas di Kei. Aku telepon Call Center Lion Air untuk mengubah tiket. Namun harga penalti perubahan tiket ternyata mahal sekali alias dua kali lipat harga tiket awal. Hah! Piye iki? Akhirnya, tak ada pilihan lain selain tetep stay di Kei, entah mau kemana dan ngapain, yang penting sekarang kami ke Kota Langgur dulu.

Dalam perjalanan ke Kota Langgur, kami melewati jalan yang kemarin. Termasuk melewati bukit ke arah Bukit Masbait. Sebuah bukit tempat ziarah umat Katolik yang juga masuk ke brosur wisata. Bukit Masbait adalah bukit tertinggi di Kei yang dari sana kita bisa melihat pemandangan pulau-pulau di Kepulauan Kei. Tapi, sepertinya dari jauh bukit itu nggak begitu tinggi ah! Kami jadi nggak kepikiran juga untuk mendatanginya, karena sepertinya biasa saja dan takut kecewa untuk kedua kali, haha!

Dari pak sopir angkot, kami tahu ada satu hotel di Langgur yang cukup murah, namanya Hotel Langgur. Okelah, nanti kami nginep di sana saja.

Akhirnya angkot tersebut sampai juga di Terminal Langgur. Jalan ke luar terminal lalu bertanya di mana letak Hotel Langgur. Setelah sampai di tempat yang dituju, kami mulai ragu karena di depan Hotel Langgur terdapat penginapan lain juga yang dari luar kelihatan asri karena ada taman bunganya. Sempet bingung milih mana. Akhirnya kami milih penginapan yang ada tamannya itu, Wisma Matahari. Dan yes, kami check in di situ. Sepertinya kami memang nggak salah pilih penginapan, kelak selama kami nginep dua malam di sana, petugas penginapannya cukup membantu dan bertemu dengan Ibu Dokter Renyut sang pemilik wisma yang memberi kami banyak informasi.

Awalnya sih Ibu Renyut menyangka kami sedang melakukan penelitian di Kei (wow, wajah-wajah kami seperti wajah peneliti ya, muka jenius dong!). Setelah kami jelaskan bahwa tujuan ke Kei hanya untuk piknik, eh si Ibu malah kemudian bercerita heboh  juga tentang masa mudanya yang suka jalan-jalan juga. Terakhir, Ibu Renyut berpesan pada kami agar mencoba makan di rumah makan di ujung sana, enak katanya. Okelah Bu, kami juga sedang lapar-laparnya ini. Capcus deh segera ke rumah makan rekomendasi si Ibu.

Kami memesan soto ayam yang menurut Ibu Renyut harus dicoba. Sambil makan di rumah makan rekomendasi Ibu Renyut ini, aku dan Kakak Dame berdiskusi tentang rencana hari ini mau ngapain. Kami sepakat akan ke Pelabuhan Debut, mencari informasi tentang kapal yang bisa membawa kami ke Pantai Ngurtafur dan juga kondisi pantai tersebut sekarang.

"Mbaknya dari Jawa ya?" Ibu pemilik rumah makan itu tiba-tiba bertanya padaku. Ah, mungkin logat jawaku masih kental sekali ;p
"Iya Bu. Saya dari Jawa Tengah, Pekalongan tepatnya. Kalau teman saya ini dari Sumatra Utara. Lha ibu asalnya darimana?" jawabku
"Saya dari Malang, Mbak. Tapi sudah lama merantau di sini, dapat orang sini juga" kata si Ibu yang dipanggil Mami Ani itu sambil tersenyum.
"Wah, gitu tho Bu"
"Iya. Lha mbak berdua mau dalam rangka apa ke Langgur?"
"Kami hanya jalan-jalan saja, Bu. Ingin melihat indahnya Kepulauan Kei."
"Beneran ini?"
"Iya Bu, kami memang hanya jalan-jalan saja, ingin melihat keindahan Indonesia. Kemarin kami sudah ke Pantai Ngurbloat. Rencananya kami mau ke Pelabuhan Debut sekarang, mau nanya-nanya harga kapal kalau ke Pantai Ngurtafur."
"Anak saya juga jalan-jalan. Dia sering jalan-jalan ke tempat yang saya malah ndak tahu meskipun sudah lama di Kei. Kebetulan, besok anak saya juga mau jalan-jalan ke pulau sama anak-anak PLN"

Wow...wow...! Rasanya seperti mendapatkan oase di tengah padang pasir. Tapi itu entah benar-benar oase atau hanya fatamorgana. Kami berhasil mendapatkan nomor hp Fanny, anak Mami Ani. Berhubung Fanny lagi kerja, maka kami kirim SMS saja. SMS terbalas, nanti malam kami diminta untuk datang ke cafenya Fanny yang berada di sebelah rumah makan Mami Ani, untuk membicarakan tentang rencana perjalanan esok. Segala kemungkinan masih bisa terjadi, tapi setidaknya mulai ada sedikit jalan terang.

Menjelang siang itu kami pamit dari rumah makan Mami Ani dan berjalan ke Terminal Langgur yang tak begitu jauh. Kami tetap akan ke Pelabuhan Debut, mencari informasi tentang kapal ke Ngurtafur. Lagian, kami juga nggak punya rencana kegiatan apapun siang ini.

Satu angkot jurusan Debut masih ngetem menunggu penumpang. Tak berapa lama setelah kami masuk ke mobil, beberapa orang Mama juga naik ke angkot dengan belanjaan masing-masing. Terminal Langgur memang bersebelahan dengan Pasar Langgur yang ramai. Setelah penumpang penuh, maka angkot berwarna hijau muda itu siap diberangkatkan.

Di dalam angkot kami ngobrol dengan para penumpang lainnya. Mereka adalah penduduk Desa Ohoira di Kecamatan Kei Kecil Barat. Kami bercerita bahwa kemarin sudah jalan-jalan ke Pantai Ngurbloat di Ngilnof, tapi pantainya tidak seindah gambar-gambar yang pernah kami lihat. Tiba-tiba, para Mama tadi nyeletuk agar pergi ke pantai di Kampung Matwaer saja, namanya Pantai Metro. Bagus kata mereka. Agak ragu sih, apakah benar-benar bagus, atau...jangan-jangan malah...

"Bagus mana Pantai di Matwaer sama Pantai Ngurbloat menurut Mama?" tanya Kakak Dame
"Bagus Matwaer!" kompak para Mama itu menjawab.
"Kalau Matwaer dibanding Ngurtafur, bagusan mana?" lanjut Kakak Dame
"Bagusan Ngurtafur" kata mereka

Haha, baiklah! Setidaknya kami bisa mendapatkan satu destinasi yang menurut penduduk lokal lebih bagus dibanding Pantai Ngurbloat. Oke Kakak, kita ngikut Mama-Mama ini saja kalau begitu.

Akhirnya angkot yang kami tumpangi sampai di penghujung yaitu Pelabuhan Debut. Aku dan Kakak Dame mengikuti para Mama itu dan ikut nyebrang menggunakan kapal kecil ke Tetoat. Tetoat sebenarnya masih satu pulau dengan Kei Kecil, tetapi dengan menyeberang dengan kapal (yang mungkin nggak sampai 10 menit) bisa shortcut perjalanan darat yang harus memutar.


Kapal dari Debut ke Tetoat

Kakak Dame terlihat bahagia...


Sampai di Tetoat, sebuah angkot sudah siap menunggu penumpang. Maka kamipun kembali mengikuti para Mama tadi ikut naik angkot jurusan Ohoira tersebut. Kami sebenarnya buta mau dibawa kemana, haha! Sepanjang perjalanan para Mama itu menjelaskan satu-satu tentang daerah yang kami lewati. Setelah Tetoat, kami memasuki Kampung Wirin, Matwad, Ohoi Badar, Wab, Watngil dan entah apalagi, nama-namanya terdengar asing dan susah diucapkan. Penduduk lokal ini sangat ramah sekali, kami beruntung bisa bertemu dengan mereka. Perjalanan seperti inilah yang membuat "nilai" sebuah acara piknik menjadi begitu istimewa.

Ketika sampai di Ohoira, kami ngikut ke rumah Mama Emi. Mama yang baik sekali. Beliau bahkan mencarikan ojek buat kami untuk menuju Pantai Metro di Kampung Matwaer. Mama Emi, terima kasih banyak!

Kakak Dame bersama Mama Emi 

Kakak Lena juga ah ;p

Kami memakai dua ojek, menyusuri jalanan kampung yang sebagian beraspal dan sebagian rusak menuju Kampung Matwaer. Aku membonceng ojek yang dikendarai oleh Pak Hengky. Dalam perjalanan aku ngobrol dengan beliau. Ternyata Pak Hengky pernah lama bekerja di daerah Wanaherang Gunung Putri Bogor dan baru kembali ke Kei sejak beberapa tahun lalu. Dulu banget, abis lulus kuliah, aku juga pernah kerja di sebuah perusahaan food & baverage di Gunung Putri Bogor sana. Maka pembicaraan tentang Gunung Putri dan sekitarnya membuatku terkenang akan masa-masa itu. Ah, dunia ini memang sempit adanya. Jauh-jauh ke Kei di Maluku Tenggara, ketemunya mantan orang Bogor juga :-)

Perjalanan dengan ojek ke Pantai Metro di Kampung Matwaer tak bisa dibilang dekat, tapi pemandangan baru selalu asyik buatku.

Akhirnya kami memasuki Kampung Matwaer dan terus lurus hingga penghujung kampung. Maka tampaklah di depan kami sebuah pantai yang...Wow!!! Pantai itu sangat luas, sangat bersih dan sepi sekali. Gila!  Lupakan tentang Ngurbloat, yang ini lebih  keren. Maka jika seorang Plato menyatakan bahwa "beauty lies in the eyes of the beholder" alias keindahan itu berada mata yang melihatnya, maka aku akan bilang bahwa Pantai Metro ini indah!


Pasir putih yang luas sekali!

Dan masih tentang pantainya yang lebih luas berkali lipat luasnya dari lapangan bola

Aku berjalan menyusuri pantai berpasir putih nan bersih itu. Sedemikian luas dan hening, hanya menyisakan suara deburan ombak yang memenuhi frekuensi udara. Ya, ibaratnya di sini hanya ada aku (Kakak Dame juga), alam dan...Tuhan!

Jejak kaki Kakak Dame...

Tas Dora-ku di atas pasir yang bersih itu!

Tapi waktu berjalan, kami tak bisa lebih lama di sini, di sebuah destinasi yang nggak pernah bayangkan akan kami datangi. Tempat yang belum masuk brosur wisata ataupun tulisan tentang hidden paradise in Kei Islands or something. Semoga kondisi Pantai Metro tetap seperti ini, tetap indah, tetap sepi...

Kakak Dame bersama dua Nona kecil dari Kampung Matwaer

Kembali menaiki ojek, aku dan Kakak Dame langsung bablas ke Tetoat. Tak lupa mampir sekali lagi ke rumah Mama Emi dan mengucapkan terima kasih banyak padanya serta pada beberapa orang di sebuah warung di pojokan kampung yang sudah membantu mencarikan ojek buat kami.


Bila Anak Diare Beri Oralit itu Bahasa Kei-nya adalah "Fel Kot Kot Ra Dong Kasi Ya Ren Oralit"

Suasana salah satu kampung yang kami lewati

Satu gerbang desa

Pak Hengky memacu motor dengan kecepatan sedang saja. Kami kembali ngobrol. Beliau bercerita tentang alasannya kembali ke kampung halaman dan bagaimana istrinya yang asli Purwodadi Jawa Tengah harus beradaptasi dengan kehidupan baru di sebuah desa kecil di Kei.

"Sulit awalnya memutuskan kembali ke kampung, apalagi ditambah peristiwa kerusuhan di Maluku dulu yang juga merambat sampai Kei yang terjadi beberapa tahun silam. Tapi lama-kelamaan saya lihat kondisi Maluku kembali membaik."

Meski tak berada di Maluku pada saat kerusuhan tahun 1998/1999, peristiwa itu sangat membekas di benak Pak Hengky.

"Yang senang tentu saja provokator. Sementara kami hanya bisa menyesal setelah semuanya terjadi. Banyak korban jiwa, rumah-rumah hancur, keluarga tercerai-berai. Sebenarnya kami ini hidup rukun walaupun berbeda agama, karena pada dasarnya baik pemeluk Kristen maupun Islam di Maluku itu berasal dari satu nenek moyang."

Ba'da ashar, kami sampai di Tetoat. Terima kasih, Pak Hengky dan Kakak ojek satunya lagi (siapa namanya ya Kakak Dame?) telah mengantarkan kami sampai sini. Sampai bertemu lagi! Aku dan Kakak Dame kembali menyeberang menggunakan kapal kecil ke Pelabuhan Debut di depan sana.


Kualitas foto ini memang nggak bagus. Tapi coba perhatikan baik-baik,. Sebuah gereja (tampak di sebelah kiri) yang berada satu frame dengan sebuah masjid, terletak tak jauh dari Pelabuhan Debut. Hidup berdampingan dengan rukun itu indah :-)

Kami naik angkutan umum dari Debut ke Terminal Langgur. Di dalam angkot, kami bertemu dengan sebuah keluarga yang berasal dari Warbal, tempat dimana Pantai Ngurtafur berada. Iseng kami menanyakan tentang kapal ke sana, kebetulan di Bapak punya kapal yang biasa disewakan. Dan hohoho, si Bapak ini menyatakan harga sewa kapalnya adalah satu juta rupiah, dan itu belum termasuk jaminan bisa masuk ke Pantai Ngurtafur yang sedang "Sasi". Hadeuh, makasih deh Pak. Kalau harganya segitu mah di luar jangkauan kami pejalan kere ini. Ya, tinggal satu harapan kami...Fanny!

Singkat cerita, sekitar jam 7 malam, kami menuju cafe-nya Fanny. Cafe-nya cukup ramai malam itu. Fanny dan Mami Ani sendiri ternyata yang melayani plus masak, mereka kelihatan sangat sibuk. Maka setelah para pengunjung mulai lengang, kami baru punya waktu untuk berbincang dengan Fanny. Dan...yess! Besok pagi, kami dan Fanny serta kawan-kawannya sepakat untuk jalan-jalan ke pulau tepatnya Gugusan Pulau Warbal dan piknik ke Pantai Ngurtafur. Memang sedang ada "Sasi" di sana, tapi katanya cukup bayar 50 ribu rupiah saja ke penduduk yang jaga. Siip markusip!

22 Agustus 2015

Jam 07.30 pagi kami berkumpul di tempat Fanny. Kami berlima, yaitu aku, Kakak Dame, Fanny dan tiga orang kawannya yaitu Surya, Yopie dan Cakril. Ada juga Pak Willy, kawannya Papanya Fanny yang akan menemani kami. Yup, Mami Ani dan Papanya Fanny juga ikutan sibuk menyiapkan bekal untuk piknik ini. Uhuy, meluncur kita ke Pelabuhan Debut!

Sampai di Debut, kami bertemu dengan Pak Oje, si empunya kapal yang akan membawa kami bertualang ke pulau-pulau di sebelah barat pulau Kei Kecil. Kapalpun akhirnya bergerak membelah ombak yang cukup bersahabat. Pulau Warbal adalah tujuan pertama.

Cuaca agak mendung, langit tak biru. Kapal terus melaju. Ombak menggempur semakin besar.

Bertemu dengan teman-teman baru! Yopie (di ujung kapal), Pak Willy (pose tampak punggung), Surya (sebelah kiri, berkacamata) dan Kakak Dame tentunya

Perkenalkan teman-teman baru kami! Pak Oje (di belakang), Fanny (bertudung merah) dan Cakril

Setelah lama digoyang gelombang, akhirnya kami sampai di Pantai Ngurtafur. Sepanjang sisi pantainya (yang panjang dan berpasir putih itu) sudah banyak patok-patok kayu berjajar (sepertinya untuk mengembangkan agar-agar/rumput laut). Seorang petani agar-agar tampak berada di sana. Dengan bahasa daerah, Pak Oje bercakap dengannya, sepertinya bertanya tentang bagaimana cara masuk ke Pantai Ngurtafur ini. Menurutnya, kami harus turun dulu ke kampung untuk bertemu dengan Ketua Adat untuk meminta izin. Jika beliau memberi izin, maka Ketua Adat akan ikut bersama kami ke Ngurtafur. Setelah kami sampai di Ngurtafur, maka Ketua Adat tadi harus diantar pulang kembali ke Warbal. Busyet dah! Ngapain sih pakai acara Sasi-Sasian segala? Entahlah! Tapi ya sudahlah, kita ikuti saja aturannya.

Kapalpun memasuki jetty di Kampung Warbal. Ada peristiwa lucu saat kapal mau merapat dan menyandar di samping sebuah kapal lainnya. Sepertinya Yopie pengen buru-buru keluar dari kapal tapi kapalnya masih bergerak. Jadinya tubuhnya malah tengkurep mencoba menahan dengan tangan berpegangan pada kapal di samping sementara kakinya masih ada di kapal kami. Dan karena kapalnya terus bergerak...ya kecebur dah! Wkwk!

Jetty di Kampung Warbal

Kami semua turun ke Kampung Warbal untuk menemui Ketua Adat. Seorang bapak yang usianya sudah sepuh dan sepertinya nggak bisa berbahasa Indonesia. Pak Oje yang akhirnya menjadi penerjemah. Intinya adalah Pantai Ngurtafur ditutup untuk pengunjung karena "Sasi" atau pelarangan secara adat. Kami diizinkan masuk asal membayar "Sasi". Di awal, kami hanya mengira biaya "Sasi" maksimal cuma 100 ribu, tak lebih. Tetapi...tahu nggak berapa harga "Sasi" yang diminta Sang Ketua Adat? 300 ribu bok! Alamak! 300 ribu hanya untuk sebuah pantai Ngurtafur? Yang tadi sudah kami lihat sepintas (dan aku nggak melihat burung pelikan sama sekali! Padahal iklan tentang Ngurtafur di internet kan selalu menyertakan tentang pelikan yang kerap nongkrong si pantai itu!). Aih, enggak dah!

Sesuai kesepakatan bersama, kami nggak jadi ke Ngurtafur, tapi mending ke pulau-pulau lainnya di Gugusan Pulau Warbal dan Gugusan Pulau Sepuluh . Ya, banyak pulau kecil di perairan sebelah barat pulau Kei Kecil ini. Tetapi masalahnya, BBM plus oli untuk kapalnya Pak Oje terbatas dan nggak bakal cukup kalau kita keliling ke pulau lainnya. Mencoba mencari BBM dan oli di Kampung Warbal ternyata juga susah. Beruntung kami bertemu dengan seorang nelayan atau petani agar-agar/rumput laut tak jauh dari Kampung Warbal yang kemudian membawa kami ke tempat budi daya mutiara untuk mengambikan BBM dan oli dari sana. Wow, kami bahkan dapat bonus melihat cara budi daya mutiara. Sekali lagi, Tuhan memang bersama para pejalan!

Kesibukan di tempat budi daya mutiara

Ayo masukin ke kerangkeng!

Yes, kami aman sekarang. Urusan bahan bakar dan tetek bengeknya untuk kapal ini sudah lengkap dan kami siap berkelana menyusur pulau demi pulau di sini.

Air laut di sini keren sekali gradasi warnanya, mana langit biru pula! Cantik.


Dari jauh kami melihat pasir timbul yang cukup luas. Saat laut surut seperti sekarang, di perairan sini memang akan banyak ditemukan pulau-pulau yang berupa pasir timbul, atau pulau beneran tetapi dengan pantai yang luas atau panjang, contohnya ya Pantai Ngurtafur itu. Kami memang gagal ke Ngurtafur, tapi ternyata banyak Ngurtafur-Ngurtafur KW di sini, hehe! Lumayan kan?

Kami turun semua ke pulau berupa pasir putih timbul yang cukup luas dan panjang itu. Kata Pak Oje, tempat ini namanya Pantai Tangwain. Satu yang membuat pantai ini indah adalah...banyak burung camar di sini! Sumpah keren banget! Aku butuh model untuk jepretanku. Ayo Surya....lari! Kejar burung-burung camar itu....!

Photo Session, Kakak :-)

Puas dengan Tangwain, kami kembali menemukan pulau pasir timbul lagi, kali ini bentuknya mirip bulan sabit. Namanya Pantai Ngurbutut!


Perairan ini cantik sekali, kawan! Jika sekarang saja sudah cantik, apalagi pas Meti-Kei di bulan Oktober, pasti keren sekali karena banyak pulau-pulau pasir timbul atau pantai dengan pasirnya yang luas akan bermunculan!

Setelah baronda kian kemari, rasa lapar kian mendera. Pak Oje mengarahkan kapalnya ke Pulau Nuhu Kahai. Nuhu itu artinya pulau, sedangkan kahai artinya kecil dalam bahasa lokal. Jadi Nuhu Kahai artinya Pulau Kecil, demikian penjelasan dari Pak Willy. Kami akan makan siang di sana, dengan bekal yang sudah disiapkan oleh Mami Ani. Eit, saat kapal mendekat, kami melihat ada burung pelikan di sana. Meski cuma satu ekor tapi cukuplah membuatku terhibur. Gara-gara "Sasi", bahkan pelikanpun nggak berani datang ke Ngurtafur, terus pindah ke pulau lainnya ;p


Seekor burung pelikan di Pulau Nuhukahai
Menjejak Pulau Nuhukahai

Satu sudut Pulau Nuhukahai

Bening yak!

Selesai mengganjal perut, acara piknik dilanjutkan kembali. Kami akan menuju Pulau Nai. Tapi sebelum ke Pulau Nai, kita sambangi dulu beberapa spot snorkeling di dekat Pulau Nai. Wow, airnya jernih sekali. Tanpa nyemplung ke lautpun dengan jelas aku melihat karang-karang yang cantik dan ikan-ikan lucu yang berlalu lalang. Spot yang paling bagus ada di dekat sebuah pulau kecil di belakang Pulau Nai. Ternyata Pulau Nuhu Kahai (yang artinya pulau kecil, tempat kami makan siang tadi) bukanlah pulau terkecil, noh ini masih ada yang kecil sekali. Oke, kita sepakat menamakan pulau ini dengan Pulau Nuhu Kahai Bingit, wkwkw! Selamat nyebur, teman-teman! Seperti biasa, aku menikmati laut dari atas kapal saja, hehe!

Di Pulau Nuhu Kahai Bingit

Selamat nyebur, teman-teman!

Bukan foto underwater, tapi karang-karang meja ini terlihat dengan jelas dari permukaan :-)

Pada capek, haus? Let's go to Nai, kita nyari kelapa muda di sana! Nama pulaunya singkat amat ya, Nai. Tapi mungkin nama lengkapnya adalah Naila Hastuti, wkwk koplak! Dari banyaknya pulau-pulau di Gugusan Pulau Sepuluh, ini salah satu yang berpenghuni. Ada satu kampung di situ yang dihuni oleh beberapa keluarga petani agar-agar. Kampung tersebut bernama Kampung Nut Serean.

Kita ke Pulau Nai, nama lengkapnya ...Naila Hastuti :-)

Menunggu kelapa muda dibelah

Sejenak ngobrol dengan sebuah keluarga yang tinggal di sana yang tampak sedang menjemur agar-agar berwarna-warni. Sang Bapak menjelaskan bahwa butuh 3 hari untuk dijemur sampai kering sebelum dijual. Sedangkan waktu yang diperlukan sampai agar-agar bisa dipanen adalah sekitar 40 hari. Seminggu sekali keluarga itu pulang ke rumahnya di Debut.

"Anak pertama saya kuliah di Tual. Sebentar lagi dia akan diwisuda. Anak-anak saya bisa sekolah karena agar-agar ini" kata si Bapak dengan bangga.

Aku tersenyum. Senang dan terharu rasanya menyaksikan raut bangga si Bapak ini. Siang itu Pulau Nai sangat cerah, secerah harapan dan semangat banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya pada rumput laut ini.


Kegiatan menjemur agar-agar/rumput laut
Ayo dima'em

Kira-kira jam 3 sore-an kami beranjak pergi dari Pulau Nai dan pulang kembali ke Debut. Kapal yang kami tumpangi melawan arus, walhasil deburan air laut nyiprat semua ke arah kami. Bukan nyiprat ding, tapi mengguyur! Sebenarnya ada terpal yang tersedia untuk menutupi tubuh kami, tapi kalau tertutup rapat sama terpal, rasanya kok ndak nyaman banget!

Bye-bye Pulau Nai !

Sebuah perjalanan yang seru, yang bahkan nggak pernah aku bayangkan bakal memiliki cerita seperti ini di Kei. Terima kasih untuk Fanny, Surya, Yopie, Cakril, Pak Willy dan Pak Oje serta keluarga Fanny. Special thanks untuk Mami Ani! Terima kasih, sekali lagi. 

Ups, nyaris lupa! Jika sudah sampai di Kei, tentu jangan lewatkan kuliner khasnya. Di seberang Gota, mall terbesar di Kota Langgur, ada banyak penjual makanan khas Kei seperti Embal, Sirsir, Lad dan lain-lain, tapi sepertinya hanya buka pada malam hari. Perlu diicip-icip!

Aneka makanan khas Kei

23 Agustus 2015

Jam empat pagi waktu Langgur. Kami dijemput oleh mobil yang sudah dipesan semalam via petugas penginapan untuk mengantarkan ke Bandara Langgur. Wings Air jam 05.50 akan membawa kami kembali ke Ambon.

Kei, betapa lengkap cerita perjalanan di pulau-mu! Aku temukan banyak kejutan, kebetulan serta keberuntungan!  Percayalah bahwa Tuhan selalu bersama para pejalan...

Cerita selanjutnya di Mangente Maluku (Bag. 3) - Sebab Kuingin ke Seram

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Pesawat Ambon - Langgur = Rp. 650.000,-
2. Ojek Terminal Langgur - Pantai Ngurbloat = Rp. 50.000,-/ojek
3. Penginapan Delima di Pantai Ngurbloat = Rp. 80.000,-/kamar/malam
4. Angkot Pantai Ngurbloat - Terminal Langgur = Rp. 7000,-/orang
5. Penginapan Wisma Matahari di Langgur = Rp. 135.000,-/kamar/malam
6. Angkot Terminal Langgur - Debut = Rp. 7000,-/orang
7. Kapal penyeberangan Debut - Tetoat = Rp. 4000,-/orang
8. Angkot Tetoat - Ohoira = Rp. 15.000,-/orang
9. Ojek Ohoira - Matwaer/Pantai Metro - Tetoat = Rp. 50.000,-/ojek
10. Kapal penyeberangan Tetoat - Debut = Rp. 4000,-/orang
11. Angkot Debut - Terminal Langgur = Rp. 7000,-/orang
12. Share cost sewa kapal ke Warbal & Gugusan Pulau Sepuluh (termasuk makan siang) = Rp. 124.000,-/orang
13. Mobil/Taksi Langgur - Bandara = Rp. 150.000,-