Wednesday, September 23, 2015

Mangente Maluku (Bag. 3) - Sebab Kuingin Ke Seram

"Barangkali rahasia kebahagiaan adalah jangan pernah berekspetasi tinggi. 
Sesuatu yang "mainstream" bukan berarti sempurna.
Tapi mungkin lebih banyak diketahui orang saja..."

--------------------------------------------------------------------------------------

 23 Agustus 2015

Sekitar jam 7 pagi lebih, pesawat Wings Air dari Langgur - Kei mendarat di Bandara Pattimura. Selamat datang kembali di Ambon, kota yang menjadi semacam "hub" untuk menuju beberapa titik dalam perjalanan di Maluku ini. 

Tempat yang ingin kami kunjungi selanjutnya adalah Pulau Seram dengan destinasi mainstreamnya yaitu Sawai dan Pantai Ora. Tempat wisata sejuta umat yang langsung muncul jika kita googling dengan key word "wisata maluku" sekalipun. Review tentang Sawai dan Pantai Ora memang sangat mengintimadasi. "I swear to God, this is heaven" sebuah judul dari tulisan di blog yang memuat review tentang Ora, ada pula "Surga Kecil yang Tersembunyi di Maluku" atau bahkan "Maldivesnya Indonesia" dan masih banyak lagi. Hampir semua judul tulisan bermajas hiperbola kalau kata Guru Bahasa Indonesia. Maka sepertinya bisa disimpulkan bahwa tempat itu luar biasa dan hukumnya menjadi fardhu ain untuk didatangi. Lagi-lagi, ekspetasi kami tentu sudah setinggi menara.

Dari Bandara Pattimura, kami naik angkot ke Pertigaan Passo. Kemudian lanjut dengan angkot lagi menuju Tulehu. Kami turun di Pelabuhan Tulehu dan naik kapal cepat jurusan Pelabuhan Amahai di Pulau Seram. Karena hari ini hari minggu, maka kapal cepat dari Tulehu ke Amahai hanya berangkat sekali dalam sehari yaitu jam 11 siang.

Suasana dalam kapal cepat bernama Cantika Torpedo ini berisik sekali, didominasi suara pedagang yang menawarkan dagangannya. Mereka baru keluar saat kapal ini beranjak meninggalkan pelabuhan. Aku terlelap, meski tak nyenyak dan melewatkan perjalanan laut selama dua jam lebih.

Sekitar jam 1 siang lebih, akhirnya kami sampai di Pelabuhan Amahai di Pulau Seram. Kapal kembali berisik, kali ini riuh ramai suara dipenuhi oleh para sopir transportasi umum ataupun penyewaan mobil yang menawarkan jasanya mengantarkan penumpang ke tujuan. Terus terang ketika sampai di Amahai ini aku agak bingung, saking banyaknya orang yang bertanya mau kemana bahkan ada yang langsung main bawa barang bawaan kami. Akhirnya pilihan kami jatuh kepada seorang supir yang lumayan sopan, haha! Let's go to Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah.

Sejak awal kami sudah bilang ke supir bahwa kami akan pergi ke Sawai. Maka kami tidak diturunkan di Terminal Binaiya (Terminal di Masohi) melainkan di seberang Toko Beta (tak jauh dari terminal), tempat ngetem travel jurusan Sawai. Tak berapa lama setelah kami turun, datang pula dua orang bule di tempat travel itu dengan tujuan sama dengan kami. Sepasang bule itu sebenarnya sudah kami lihat sejak di pelabuhan, tapi kami kira mereka nggak mungkin naik angkot seperti kami karena bawaannya bukan ransel melainkan koper, wkwk! Namanya Kemal dan Sarah, warga negara Maroko dan Tunisia, tetapi keduanya tinggal dan bekerja di Paris.

Sawai dan Pantai Ora berada di sisi utara Pulau Seram, tepatnya di teluk Sawai di Kecamatan Seram  Utara. Sawai dapat dicapai sekitar 3 sampai 4 jam perjalanan darat dari Masohi.

Letak Sawai dalam Peta

Tentu saja aku dan Kakak Dame nggak menginap di Ora Beach Eco-Resort. Kami cukup tahu diri mengingat isi kantong yang terbatas. Membayar minimal 750 ribu per kepala per malam untuk menginap di sebuah bungalow mengapung nan mewah di atas/tepi laut rasanya sayang walaupun terbersit keinginan untuk mencobanya (well, setidaknya ngerasain semalam jadi horang kayah!). Rencananya kami akan menginap di Penginapan Lisar Bahari di Sawai yang merupakan tetangga jauhnya Ora Beach Eco-Resort tapi dengan harga yang lebih murah pastinya. Review tentang Lisar Bahari juga nggak kalah bagus, bahkan sebuah artikel tentang Sawai di Majalah National Geographic Traveller edisi Agustus 2015 dimana sang penulisnya juga menginap di penginapan tersebut, semakin menguatkan pilihan kami.

Travel yang dikemudikan oleh Pak Nur ini akhirnya hanya mengangkut lima orang penumpang saja. Menyusuri Masohi, daerah entah apalagi lalu menembus Taman Nasional Manusela. Perjalanan menembus taman nasional itu yang paling keren menurutku. Jalannya berkelak-kelok naik turun, pemandangan hutan dan perbukitan hijau yang menjulang serta kabut tipis yang menutupi. Segar sekali pemandangannya meskipun jalannya rusak sana-sini. Eh, nyatanya aku bisa juga tidur dalam mobil meski kondisi medannya nggak enak banget!

Akhirnya kami tiba di Sawai sekitar jam 4 sore. Tak kusangka bahwa penginapan Lisar Bahari ternyata terletak di ujung kampung. Jadi untuk sampai ke penginapan ini, mobil harus masuk ke area perkampungan dan rumah-rumah penduduk dengan jalan-jalan yang cukup sempit dan ramai (saat itu ada lomba volley antar kampung). Aku, Kakak Dame, Kemal dan Sarah kemudian disambut oleh Pak Ali, pemilik Lisar Bahari. Tak banyak orang yang menginap hari itu, mungkin karena bukan hari libur. Jika long weekend biasanya full booked, begitu kata petugas yang mengantarkan kami ke kamar. Selesai memasukkan ransel ke kamar, mari ngopi-ngopi dan menikmati pisang goreng di beranda, sambil menikmati akuarium raksasa di bawah sana. .

Penginapan Lisar Bahari

Say cheese, Kakak Dame!

Ya, penginapan ini dibangun di atas air. Airnya bening sekali, dunia bawah airnya terlihat dengan mata telanjang. Meski berada dekat dengan pemukiman, tapi air lautnya bisa dikatakan bersih. Tapi karena terletak sangat dekat dengan perkampungan, maka bagi kalian para pencari sepi dan keheningan...tentu saja penginapan ini kurang cocok, hehe!

Kami berempat makan malam di satu meja. Sesuai aturan di penginapan, makan malam disajikan setiap jam 19.30. Hiks, itu terlalu malam untuk perut ini, kami keburu lapaaarrr! Tapi syukurnya menu makan malamnya cukup lengkap dengan porsi yang banyak pula dan rasa yang tak mengecewakan. Ternyata sore tadi Kemal dan Sarah sudah sempat jalan-jalan di Desa Sawai. Sarah begitu antusiasnya saat bercerita bahwa di kampung ini dia menemukan makanan khas dari kampung halamannya di Tunisia sana (bahkan dengan nama yang sama pula) yaitu Asida tapi tentu Asida ala Sawai tak sama persis dengan Asida di Arab sono.

"I have to call my mom! I found my asida here!" kata Sarah, setengah tak percaya.

Selesai makan malam, datanglah Pak Dino ke tempat kami. Pak Dino itu bisa dikatakan sebagai managernya Lisar Bahari. Sayangnya Pak Dino ini nggak bisa berbahasa Inggris, jadinya aku dan Kakak Dame-lah yang merangkap jadi penerjemah untuk Kemal dan Sarah. Dia menjelaskan tentang paket-paket wisata yang disediakan di Lisar Bahari. Ada paket sehari penuh ada juga yang setengah hari. Setelah berdiskusi dengan Kemal dan Sarah, kami sepakat untuk ikut paket full day dari jam 9 pagi sampai 4 sore. Dengan merekalah kami akan share cost. Paket wisata full day itu terdiri dari melihat pembuatan sagu, Pulau Jodoh dan makan siang di sana, snorkeling di dua spot serta melihat tebing batu, bisa ditambahkan pula ke Pantai Ora. Kelihatan mantap sih rencananya. Sedangkan di hari kedua rencananya kami berempat akan ikut paket trekking setengah hari.

Baiklah, kan kunikmati malam ini di tepian teluk Sawai yang menghadap laut Seram. Hmm, biasanya  juga menikmati malam di lepas pantai malah, beda tipis aja sih, wkwk! 


24 Agustus 2015

Suara adzan shubuh yang berkumandang dari masjid di Desa Sawai membangunkanku. Selamat pagi, dunia!

Sekitar jam 6 pagi, aku dan Kakak Dame sengaja jalan-jalan pagi di seputaran kampung. Suasana dan  kegiatan penduduk pada pagi hari dapat kita jumpai di sini. Ibu-ibu yang mencuci baju di sungai, anak-anak kecil yang mandi, anak-anak berseragam dan berangkat sekolah serta kapal-kapal nelayan yang memulai aktivitasnya. Geliat kehidupan yang sangat menyenangkan.


Sungai air tawar sumber kehidupan di Sawai

Desa Sawai dilihat dari atas

Kampung atas air Desa Sawai


Kami tiba kembali di penginapan dan sarapan. Menu sarapan dibanding dengan makan malam semalam seperti bumi dan langit perbedaannya, hoho! 

Selesai sarapan, kami masih menunggu hingga jam 9 pagi untuk memulai tur paketnya Lisar Bahari. Sebenarnya memulai piknik jam 9 terhitung sudah kesiangan, kenapa nggak dimulai lebih pagi saja? Tapi seperti kata Pak Dino semalam, bahwa pihak dapur harus menyiapkan menu makan siang kita yang akan dibawa ke pulau dan semuanya baru siap jam 9 pagi. Ya sudahlah, kita manut organizernya saja.

Yang ditunggu akhirnya siap juga. Kami berempat pergi meninggalkan Lisar Bahari dengan kapal bertuliskan Patroli dan dikawal oleh dua guide yaitu Pak Burhan dan Pak Iwan. Sip, kami siap bertualang menjelajah teluk Sawai!

Pagi itu cuaca mendung, gerimis turun sedikit. Bagi yang akan menikmati bawah laut nanti, cuaca seperti ini mungkin bagus, tapi tidak bagiku. Aku hanya akan nongkrong di kapal, berharap langit biru dan pemandangan cerah sehingga jepretan amatiranku bakal didukung kondisi alam yang oke.


Kami tinggalkan Desa Sawai di belakang...

Apakah yang tampak dari kejauhan itu Gunung Binaiya?

Zoom sebisanya ah!

Titanic mode on, yes?

Tujuan pertama adalah melihat proses pembuatan sagu. Pak Burhan mengarahkan kapal memasuki sungai dengan daratannya yang dipenuhi pohon sagu. Setelah mengitari sungai, kami tak jua menemukan orang-orang yang sedang membuat sagu. 

"Mungkin karena cuaca mendung seperti ini, jadi nggak ada orang yang bikin sagu" kata Pak Burhan dan diamini Pak Iwan.

Sebentar-sebentar, jadi maksudnya? Bukannya proses pembuatan sagu sudah termasuk dalam paket trip full day seperti yang dikatakan Pak Dino semalam ya? Seharusnya ada orang yang selalu standby untuk paling tidak mensimulasikan proses pembuatannya kepada para pengunjung yang membeli paket trip itu. Kalau gini caranya mah, namanya paket keberuntungan, kalau beruntung ya bisa lihat, kalau nggak ada yang sedang bikin sagu ya...maaf! Wah, ndak bener ini, sangat-sangat tidak profesional!

"Tapi kalau ingin lihat, mungkin di ujung darat sana ada, tapi agak jauh dari sini" kata Pak Iwan.

Kapal bergerak lagi, lumayan jauh menyusuri sungai hingga menemukan tempat pembuatan sagu di tepi sungai. Tapi, di situ juga kosong, alias nggak ada orang yang bikin sagu. Hmm, maaf Anda tidak beruntung!

Tapi tak lama kemudian, datang seorang bapak sambil menurunkan batang-batang sagu. Pak Burhan dan Pak Iwan lalu berbicara sebentar dengan mereka berdua.

"Jika mau lihat pembuatan sagu, bapak ini mau, tapi nanti kasih uang rokok saja ke dia"

Hohoho, ya baiklah, kami berempat sepakat. Bapak pembuat sagu itu lalu menyiapkan peralatannya dan menghidupkan mesin penggiling sagu. Tetapi apa yang terjadi saudara-saudara, mesin itu tak mau hidup meskipun sudah dicoba berkali-kali, direfill lagi oli dan bahan bakarnya dan bahkan diganti entah sparepart apanya. Kami memang tidak beruntung pagi itu!


Tempat pembuatan sagu

Batang-batang sagu yang siap digiling

Ayo Pak, tarik terus!

Lama menunggu si bapak memperbaiki mesin yang entah bakalan sembuh atau tidak, padahal waktu sudah semakin siang, akhirnya kami memutuskan untuk pamit saja dan nggak jadi melihat proses pembuatan sagu. Kapal akhirnya keluar dari area sungai dan mengarah ke lautan lepas. Waktu sudah semakin siang.

"Sekarang kita kemana, Pak?" tanyaku

"Kita ke Pulau, makan siang di sana"

Oke, setengah hari yang sangat nggak produktif untuk trip full day ala Lisar Bahari seharga Rp. 800.000,- per rombongan ini. Hah!

Kami menuju sebuah pulau, Pulau Jodoh namanya. Tak berpenghuni. Nama asli dari pulau ini adalah Sapalewa. Kenapa kemudian dinamakan menjadi Pulau Jodoh? Pak Burhan dan Pak Iwan bercerita bahwa dulu ada seorang pria bule bertemu dengan perempuan Indonesia di pulau ini, lalu menikah. Happily ever after! Aih!

Memang pulau jodoh beneran loh ;p

Pulau ini kecil saja, nggak sampai 30 menit untuk mengitari pulau ini meski sudah berjalan pelan sambil menunggu Pak Burhan dan Pak Iwan menyiapkan ikan bakar. Pulau ini juga biasa saja pemandangannya menurutku. Sekali lagi mungkin keindahan itu relatif sifatnya, tapi pulau ini ya memang biasa saja.


Bon apetite :-)

Baiklah teman, mari makan siang dulu dengan menu ikan bakar dan teman-temannya! Selamat makan!

Nyaris jam 2 siang saat kami meninggalkan Pulau Jodoh dan menuju Dangkalan. Dangkalan merupakan spot untuk snorkeling.

Hanya Kakak Dame dan Sarah yang terjun mencari kehidupan di bawah air. Kemal hanya tidur-tiduran di kapal. Aku memang nggak tertarik dengan dunia air, tapi aku nyemplung juga sekedar ingin mencicipi rasanya air laut Pulau Seram, setidaknya ngapung-ngapung saja. Tapi busyet dah airnya dingin sekali dan arusnya cukup kuat. Sebagai orang yang nggak bisa berenang, tentu saja pelampung sudah kupakai. Aku terbawa arus semakin menjauh dari kapal, tak kuasa kaki dan tangan ini  melawan arus yang lumayan kuat untuk kembali ke kapal. Walhasil, kulambaikan tangan saja ke Pak Burhan yang standby di kapal untuk menjemputku, hahaha!

Aku nggak ngerti tentang dunia bawah air, tapi Kakak Dame kemudian naik ke kapal dan bercerita bahwa karang-karangnya sudah banyak yang rusak. Banyak orang nyari ikan pakai bom, demikian penjelasan dari Pak Burhan dan Pak Iwan. Kakak Dame bertanya lagi adakah spot snorkeling lagi di sekitar sini yang mungkin lebih bagus? Mereka bilang ada, tapi terlalu dangkal dan kapal kemungkinan nggak bisa ke sana. Waktu juga menjadi alasan, bahwa kapal harus kembali ke Lisar Bahari jam 4 sore. Akhirnya Kakak Dame ditemani ditemani dengan Pak Burhan berenang ke spot snorkeling yang disebutkan tadi.

Mereka berdua tak lama, Kakak Dame kembali ke kapal dengan raut muka yang kecewa.

"Sama saja, karang-karangnya sudah pada rusak. Underwaternya biasa saja." kata Kakak Dame.

Setelah kami gagal melihat pembuatan sagu dan banyak waktu yang terbuang di sungai nggak jelas itu, ternyata dunia bawah air di Sawai juga biasa saja menurut penikmat laut. Hohoho! Sawai oh Sawai...!

Emang di bawah ada apaan sih, Kak? Demen banget nyemplung ke air?

Oke, kami selesai dengan spot snorkeling di Dangkalan ini. Next destination is...Ora Beach! Pantai dambaan jutaan para pejalan! Kapal mengarah kembali ke daratan.

Dalam perjalanan, kami menikmati pemandangan tebing-tebing batu yang tinggi, lewat doang, mampirnya nanti abis dari Pantai Ora.

Dari jauh, akhirnya aku bisa melihat bungalow-bungalow berjejer di atas pantai. Banyak foto di dunia maya yang meng-capture pemandangan itu. Yup, itulah Ora Beach Eco-Resort. Tapi ketika kami dekati, hmm...gimana ya mendeskripsikannya? Ya cuma gitu doang sih. Airnya memang jernih sekali hingga underwaternya kelihatan dengan jelas. Sementara area pantainya/pasir putihnya sepertinya nggak begitu luas. 

Jadi ketika cahaya terpantul ke Pantai Ora lalu ditangkap oleh mataku, menembus kornea dan diteruskan melalui pupil. Pupilku mengatur intensitas cahaya kemudian diteruskan menembus lensa mata. Daya akomodasi pada lensa mata mengatur cahaya agar tepat jatuh pada retina yaitu bagian bintik kuning. Pada bintik kuning, cahaya diterima oleh sel kerucut dan sel batang untuk disampaikan ke otak. Kemudian cahaya tersebut diterjemahkan oleh otakku, maka terus terang otak ini tak menerjemahkan sebuah keindahan yang wow. Adakah yang salah dalam proses itu? Wis pokoknya pelajaran biologi campur fisika biar kelihatan pintar dikit, wkwk! 

Inilah Pantai Ora, saudara-saudara!

Pak Burhan dan Pak Iwan bermaksud menyandarkan kapal ini ke jetty di Pantai Ora dan memberitahu kami untuk menyiapkan uang Rp. 25.000/orang untuk tiket masuk pantai ini karena di luar harga paketan Lisar Bahari.

"Is this Ora Beach? Seriously?" tanya Sarah.
"Yes, and we have to pay IDR 25.000 for the ticket, it is not included yet in Lisar Bahari trip package" lagi-lagi aku dan Kakak Dame akhirnya menjadi penerjemah untuk Kemal dan Sarah.
"No way! I thought Ora Beach is like...well, I don't wanna pay additional cost just for...you know...this kind of beach."

Hahaha, ternyata pemikiranku dan Kakak Dame sama seperti Kemal dan Sarah, bahwa Pantai Ora memang cenderung tidak istimewa. Kukira cuma aku dan Kakak Dame yang agak-agak anomali. Kapalpun akhirnya putar balik, kami nggak jadi merapat di Pantai Ora. Bye-bye, Ora Beach!


Pulang dah kita!

Di kapal, lagi-lagi kita ngobrolin soal Pantai Ora yang ternyata hanya seperti itu saja dalam pendangan mata, jauh di luar ekspetasi kami semua. Sarah menambahkan bahwa ketika teman-temannya tahu dia akan pergi ke Maluku, maka mereka semua kompak bilang :You must go to Ora Beach, it's beautiful". Tapi kenyatannya, ya gitu deh. Sama Sar!

Kapal kembali ke arah tebing-tebing batu yang tinggi itu. Kami bersantai ria sambil ngopi di sana. Kakak Dame nyemplung snorkelingan lagi, hati-hati...banyak bulu babi! Ada satu yang mengganggu, tebing batu itu penuh dengan tulisan/coretan dari orang-orang yang nggak bertanggung jawab!

Sang Tebing

Kreatif boleh, tapi harusnya tahu tempat :-(

Ngopio ergo sum (saya ngopi maka saya ada)

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lebih, kami capcus dari tebing batu dan kembali ke penginapan Lisar Bahari. Secara keseluruhan, terus terang trip yang diorganize oleh Lisar Bahari ini mengecewakan. Mulai dari soal gagalnya melihat proses pembuatan sagu dan cukup menghabiskan waktu di sungai, kelamaan di Pulau Jodoh tanpa kegiatan dan hanya menunggu ikan bakar matang, lalu  snorkeling di Dangkalan yang biasa saja underwaternya bahkan karang-karangnya banyak yang sudah rusak  (kata Kakak Dame sih) serta melihat Pantai Ora yang juga nggak istimewa. Entahlah, dengan membayar Rp. 800.000,- untuk aktivitas yang hasilnya seperti itu rasanya nggak rela. Kami bandingkan trip 2D/1N di Taman Nasional Komodo NTT tahun lalu, kami sewa kapal seharga 3 juta dan dibagi 3 orang saja (karena kami cuma jalan bertiga dan nggak ada barengan lain). Tapi overall kami cukup puas dengan apa yang kami dapat. Destinasinya lebih banyak dan keren, Kakak Dame ketemu dunia bawah air yang cantik, dan bagi yang bukan anak air sepertiku dan Kakak Ardyan (teman  ngetrip kami ke Flores), kami masih bisa trekking ke bukit-bukitnya. Tapi Sawai, hmm...lain cerita.

Awalnya kami berencana untuk ikut trip trekking setengah hari besok, sehingga siangnya kami bisa check out dan kembali ke Masohi. Tapi saat kami coba hubungi Pak Nur (driver travel yang kemarin), ternyata travel dari Sawai ke Masohi hanya jalan pada pagi hari saja. Waduh! Berarti kami harus menginap semalam lagi di sini dan do nothing sampai lusa pagi? Setelah menimbang dan mempertimbangkan, kami putuskan untuk check out besok pagi saja dan cancel trip trekking itu. Kami sudah terlanjur kecewa dengan trip Lisar Bahari dan tak mau mengalami untuk yang kedua kali.

Sepanjang malam, kami masih nggrundel, kecewa dengan Lisar Bahari. Sama kecewanya dengan Ngurbloat di Kei sana...

25 Agustus 2015

Kami check out dari Penginapan Lisar Bahari jam 8 pagi kurang sedikit. Meski cukup kecewa, tapi kami tetap mengucapkan terima kasih dan sampai jumpa ke Pak Dino dan Pak Ali, pemilik Lisar Bahari. Hehe!

Kali ini penumpang dari Sawai penuh. Di depan ada pejabat desa, di sampingku ada Mbak-mbak dengan suami dan anaknya yang masih kecil. Satu lagi adalah seorang cowok bergaya gemulai yang ternyata seorang penata rambut di sebuah salon di Sawai, Anjas namanya.

"Aku mau ke salon yang di Masohi. Salon di Sawai lagi sepi banget. Ramainya ya pas musim durian saja." jelas Anjas dengan gaya khasnya. Ternyata penghasilan salonnya berbanding sejajar dengan musim buah di Sawai.

"Kok memilih pergi ke Sawai sih Kak? Di sini kan biasa aja keleus" tanya Anjas pada kami berdua.


Hahaha, betul Njas. Sawai ternyata memang biasa saja setelah kami buktikan dengan mata kepala sendiri! Apalagi paket tripnya Lisar Bahari itu :-(

"Anjas kan memang sudah sejak lahir di sini, ya mungkin bagi Anjas... Sawai biasa saja. Tapi bagi orang lain yang nggak tinggal di Sawai, terus melihat foto-foto Sawai dan Pantai Ora di internet, pasti jadi pengen ke sini semua."

Obrolan kami dengan Anjas terputus ketika travel ini kembali menembus Taman Nasional Manusela dengan jalan yang meliuk-liuk. Si Anjas udah pusing kepalanya, sudah minum antimo tapi belum bisa tidur juga katanya. Mbak-mbak di sebelahku malah sudah jackpot berkali-kali! Ouw...! Semoga tidak menular padakuh!

Ceritanya disingkat saja, bahwa setelah menempuh perjalanan darat yang cukup melelahkan akhirnya kami sampai di Masohi sekitar jam 12 siang. Tujuan selanjutnya? Kami akan ke Pulau Osi di Seram Bagian Barat. Entah ada apa di sana, yang jelas tak ada ekspetasi tinggi untuk Osi.

Kisah selanjutnya di Mangente Maluku (Bag. 4) - Senja Sunyi di Pulau Osi

--------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Angkot Bandara Pattimura - Pertigaan Passo = Rp. 10.000,-/orang
2. Angkot Pertigaan Passo - Pelabuhan Tulehu = Rp. 5000,-/orang
3. Kapal Cepat Cantika Torpedo jurusan Pelabuhan Tulehu - Pelabuhan Amahai (Kelas Ekonomi) = Rp. 125.000,-/orang
4. Angkot Pelabuhan Amahai - Masohi = Rp. 15.000,-/orang
5. Travel Masohi - Sawai = Rp. 125.000,-/orang
6. Penginapan Lisar Bahari Sawai = Rp. 300.000,-/orang/malam (sudah termasuk makan 3x)
7. Paket Full Day Lisar Bahari = Rp.800.000,/rombongan (dibagi jumlah peserta aja)
8. Travel Sawai - Masohi = Rp. 125.000,-/orang

5 comments:

  1. Mahal ya, mungkin bagus ke huaulu

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. Iya, mahal bingit :-(
      Tapi saya yakin masih banyak destinasi keren lainnya di pulau seram yg msh yg tetap terjangkau.

      Delete
  2. Yah biasa aja ternyata.. padahal gambarnya oke.. laya pulai kei.. saya juga agal kecewa sih.. tp ya udah lah ya.. 😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, ya begitulah! Jaman skrg mmg jd susah mempercayai foto/gambar pun review dari tulisan2 tempat ngetrip. Tp ya sudahlah, toh selalu ada sesuatu yg menarik dlm perjalanan yg bisa dinikmati 😃

      Delete