Saturday, October 31, 2015

Menyoal Tentang "Buruh"

Foto: www.viva.co.id

Ini tulisan serius, sungguh! Bukan puisi melo mendayu, apalagi catatan perjalanan alay.

Buruh kembali demo, menuntut penolakan terhadap formulasi pengupahan baru yang digagas pemerintah. Bukan sekali ini para buruh demo, biasanya mereka demo menyoal tuntutan kenaikan upah, UMR, UMP atau apalah namanya. Terakhir kubaca, buruh di DKI Jakarta menuntut minimum upah sebesar 3,4 juta rupiah/bulan.

Sejak dulu sebenarnya saya merasa agak-agak absurd tentang istilah buruh. Siapa sebenarnya yang disebut buruh? Perspektif secara umum, masyarakat menyebut buruh seolah-olah hanya pada mereka yang bekerja di pabrik saja. Tapi apakah secara makna harfiah memang demikianlah definisi buruh? Mari kita lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, "buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja". Oke, berarti bisa dikatakan bahwa buruh adalah sama dengan pekerja. Baiklah, coba kita googling tentang pekerja di KBBI (lagi). Pekerja adalah "orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan"  Nah, berarti buruh sama dengan karyawan. Kita lanjut mencari lagi arti kata karyawan. Masih menurut KBBI, karyawan adalah "orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor,perusahaan dsb) dengan mendapat gaji (upah); pegawai; pekerja." Muncul lagi kata pegawai, mari kita telusuri lebih lanjut. Berdasarkan KBBI lagi, pegawai adalah "orang yang bekerja pada pemerintah, perusahaan dsb". Maka jika disimpulkan (kuharap ini bukan ilmu cocoklogi) maka secara kata, buruh sama dengan pekerja, sama dengan karyawan, sama dengan pegawai. 

Mari kita tengok peraturan yang ada. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003), tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 

Buruh baik menurut arti kata maupun secara undang-undang/peraturan jelas bermakna sangat umum sekali. See, tak ada kata "pabrik" sama sekali. Terus, mengapa seolah-olah yang paling heboh dan paling memiliki soal perburuhan, kesannya adalah para karyawan yang bekerja di "pabrik"? Well, saya sebut saja pabrik, karena yang namanya pabrik tentu macam-macam berdasarkan apa yang dihasilkannya. 

Maaf, saya memang protes. Kesan "teraniaya" para pekerja pabrik cenderung lebay lalu demo mengerahkan ribuan massa dan menuntut aneka macam tuntutan tiap tahunnya atas nama hak buruh. 

"Ah, kamu kan kerja di sektor migas, beda dengan kami". Mungkin akan ada anggapan seperti itu. Tapi yang jelas saya juga buruh. Mau apapun kerjanya, selama saya bekerja untuk orang lain dan menerima upah, maka saya termasuk buruh. Saya juga tidak ujug-ujug kerja seperti ini. Jadi kuli pabrik pernah, kuli di tambang pernah, sekarang kebetulan saja saya jadi kuli di migas. 

Seperti yang telah saya tulis di atas, saya pernah bekerja di pabrik. Saya pernah merasakan sistem pengupahan ala pabrik. Dan waktu itu saya masih merasa beruntung mendapatkan penghasilan yang cukup dibandingkan menjadi...Guru. Ya, guru! Mengapa tiba-tiba saya menclok ke soal guru (dan tentu saja gajinya)? Karena kedua orang tua saya adalah guru, tepatnya guru SD. Meski keduanya PNS, tapi saya sangat tahu berapa gaji mereka. Saya bisa bilang bahwa para buruh pabrik itu bergaji lebih tinggi dibanding kedua orang tua saya yang menjadi PNS guru puluhan tahun!. Oke, mungkin sekarang sudah ada program sertifikasi guru dimana guru akhirnya mendapatkan tambahan tunjangan yang lumayan, tapi bagaimana dengan gaji para guru honorer? Tahukah Anda bagaimana skema gaji guru honorer, padahal rata-rata guru honorer berpendidikan Sarjana? Gajinya sangat menyedihkan! Sungguh keterlaluan kalau saya bilang!

Ini kisah riil, karena kemudian adik saya mengikuti jejak kedua orang tua kami menjadi pendidik. Meskipun saat ini dia masih menjadi guru honorer di sebuah SMP di kampung halaman sana.

Sini saya ceritakan. Semisal si Fulan menjadi guru honorer di sebuah sekolah. Tugasnya adalah mengajar pelajaran Matematika. Untuk pelajaran Matematika sendiri, si Fulan mengajar selama 10 jam seminggu. Honornya mengajar adalah Rp. 14.000,- per jam. Jadi 10 jam x 14.000,- menjadi Rp. 140.000,-. Itu gaji yang didapatkan si Fulan selama sebulan. Iya, sebulan! Bukan kemudian Rp. 140.000,- tadi dikalikan 4 (karena sebulan terdiri dari 4 minggu). Melainkan hitungan seminggu-nya itu adalah hitungan gajinya sebulan! Yup, slip gaji si Fulan setiap bulannya adalah Rp. 140.000,- (itu mungkin belum termasuk potongan ini-itu). Bandingkan penghasilannya dengan UMR, kawan! Jauuuhhhh! Dan si Fulan adalah seorang Sarjana, seorang guru, yang bertanggungjawab mendidik generasi penerus bangsa!

Apa arti uang seratus empat puluh ribu di zaman sekarang? Cukupkah untuk hidup sebulan? Saya tak perlu menulisnya, membayangkannya saja saya tak mampu.

Maka sejujurnya saya ingin protes sekerasnya mengapa sektor pendidikan menjadi sangat mengenaskan, kalah dibanding tuntutan para buruh (pabrik) yang seolah paling menderita dan teraniaya! Sejujurnya perasaan saya nggak jelas juntrungannya melihat kondisi yang nggak adil ada di depan mata kepala saya. Karena guru tentu saja masuk definisi buruh, setidaknya kasih hak atas nama buruh, termasuk gaji standar UMR, bukan skema gaji aneh nan menyedihkan!

Pak Anies Baswedan nggak mungkin membaca blog ini, tapi saya ingin mengutip ucapan beliau bahwa kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah manusianya, bukan kekayaan alamnya. Pertanyaannya adalah bagaimana cara "membesarkan" manusianya? Saya yakin 100% bahwa pendidikan adalah salah satu kuncinya dan itu tidak terlepas dari peran para guru, termasuk guru honorer. Lalu bagaimana seorang guru bisa bekerja dengan baik, jika setiap harinya ia masih memikirkan periuk di dapur dengan penghasilan kurang dari dua ratus ribu rupiah setiap bulannya?

Entahlah, apakah saya harus bertanya juga pada rumput yang bergoyang....

Gambar : www.radaronline.co.id

Saturday, October 24, 2015

Mangente Maluku (Bag. 7) - Memburu Pulau Buru

"Aku ke happy land somewhere.
Konon ke Pulau Buru Maluku..."

(Pramoedya Ananta Toer)

-------------------------------------------------------------------------------------

28 Agustus 2015

Hari masih pagi saat mobilnya Indra dan Indira, dua pejalan yang kami kenal di Pulau Saparua, mengedrop kami di Pelabuhan Ferry Galala Ambon. Terima kasih, kawan! Sampai jumpa lagi.

Ferry menuju Pelabuhan Namlea di Pulau Buru baru akan berangkat jam 8 malam nanti. Masih lama. Maka daripada manyun dan nggak produktif, aku dan Kakak Dame memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di Kota Ambon. Ransel gembolan kami titipkan ke kru kapal ferry KM. Temi yang sudah sandar di Pelabuhan Galala. 

Di antara banyak tempat yang menarik di Ambon, kami memilih untuk mengunjungi landmarknya saja yaitu Lapangan Merdeka, Taman Pattimura dan Gong Perdamaian yang letaknya sangat berdekatan. Dari depan Pelabuhan Galala, kami naik angkot ke Pegadaian, lalu tinggal jalan kaki menuju lapangan tersebut. Tak disangka, pagi itu Lapangan Merdeka dan sekitarnya sedemikian ramainya. Surprise rasanya!

Di Taman Pattimura, sebelah Lapangan Merdeka, tempat dimana salah satu icon Kota Ambon yaitu patung Pattimura setinggi 5 meter yang tegak berdiri, tampak kemeriahan lomba dalam rangka perayaan hari ulang tahun PGM (Persatuan Gereja Maluku). Aku dan Kakak Dame tentu saja tak melewatkan acara itu. Kami menuju Taman Pattimura, menyaksikan lomba HUT PGM itu, tepatnya lomba Dansa Poco-Poco. Panas terik tak menyurutkan minat para penonton untuk melihat para Nona perwakilan dari Jemaat Gereja berdansa dengan hebohnya. Ada satu peristiwa yang sangat menarik yang terjadi pagi itu di depan mata kepalaku. 

"Ada grup yang sangat spesial. Tadi mereka mendaftar dan bilang apakah mereka boleh ikut lomba walaupun bukan dari perwakilan gereja. Tentu saja boleh. Tidak ada dis untuk mereka. Kapanpun mereka siap, maka silahkan maju" demikian MC mengumumkan, setelah beberapa kali memanggil beberapa grup tapi tak kunjung muncul hingga akhirnya di-diskualifikasi.

Dan benar, saat MC memanggil nomor grup yang katanya "spesial" itu, muncullah nona-nona dan dua diantaranya menggunakan jilbab. Wow! Mereka bukan dari perwakilan gereja manapun, tetapi kumpulan nona-nona beragama islam yang ingin berpartisipasi dan memeriahkan HUT Persatuan Gereja Maluku. Penonton begitu riuhnya, termasuk aku tentunya. Maluku pernah berdarah-darah. Tapi itu dulu. Kini, tepat di bawah Patung Pattimura, aku melihat indah dan damainya warna-warni Indonesia.

Patung Pattimura

Aku bergeser ke Lapangan Merdeka, sebuah lapangan luas yang terletak di depan Kantor Gubernur Maluku, lengkap dengan tulisan besar "Ambon Manise" itu telah bersiap menyambut pertandingan sepakbola persahabatan dalam rangka Mangente Ambon 2015, antara tim Nyong Ambon keturunan Maluku yang tinggal di Belanda dan beberapa klub sepakbola di Kota Ambon. 

Ambon Manise di Lapangan Merdeka

Pembukaan Pertandingan Persahabatan

Foto-foto sebentar di Gong Perdamaian di seberang sana, lalu nyebrang lagi bermaksud menyambangi sebuah benteng, tempat dimana Pattimura digantung Belanda. Yup, Benteng Victoria. Sayangnya kami tak bisa masuk ke dalamnya, meskipun minta izin dulu sama petugasnya. Benteng itu terletak di dalam kompleks TNI dan nggak bisa sembarang orang masuk ke dalam kompleks TNI itu kecuali mendapatkan izin yang dikeluarkan oleh atasannya. Baeklah, Pak.

Gong Perdamaian

Hari sudah beranjak sore saat kami memutuskan untuk kembali ke Pelabuhan Galala. Naik angkot 2x dari Lapangan Merdeka. 

Meskipun ferry menuju Pulau Buru baru akan berangkat jam 20.30 nanti, ternyata sudah banyak penumpang di dalamnya. Akhirnya kamipun meneparkan diri di atas kasur/tempat tidur sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Ah...! 

Semacam alarm bersuara nyaring (yang mengingatkanku pada fire drill di rig/barge) menandakan kapal ferry KM Temi berangkat ke Pulau Buru. Delapan jam perjalanan menempuh lautan. Aih, laut lagi, laut lagi... :-(

KM Temi siapa berlayar ke Pulau Buru

Kami membeli tiket bisnis, setidaknya ada tempat kami merebahkan diri dan tidur walau sangat seadanya. Sejenak berbincang dengan penumpang lain di sekitar kami. Nyaris semuanya bersuku/keturunan Jawa, meski tak semuanya pernah menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Mereka tinggal di Unit, sebutan untuk lokasi transmigrasi di Pulau Buru. Suku Jawa mungkin mendominasi populasi penduduk di Pulau Buru, ini mungkin berawal dari sebuah kisah di masa lalu. Sudahlah, tak perlu kuceritakan apa yang terjadi. Toh penguasa dulu telah menulis sejarahnya sendiri. Kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Bergegas memasuki kapal

Suasana di dalam kapal

Penumpang anak-anak dalam kapal

Ayunan gelombang cukup membuatku terlelap. Berbantal life jacket yang memang sengaja kubawa dari rumah untuk menemani perjalanan Maluku yang dipenuhi aroma lintasan laut ini. Bau minyak angin dan sejenisnya serasa memenuhi udara. Gelombang memang cukup galak malam itu, mungkin banyak yang sea sick alias mabuk laut.

Jam empat pagi, kapal ferry itu akhirnya merapat di Pelabuhan Namlea Pulau Buru. Selamat datang di happyland somewhere, mengutip kata Om Pramoedya. Jam empat pagi, masih terlalu pagi untuk keluar dari kapal. Mari kita tidur lagi, nunggu diusir ABK saja, haha!

Penumpang nyaris habis, mungkin tinggal beberapa gelintir termasuk aku dan Kakak Dame. Sekitar jam setengah tujuh pagi, kami memutuskan keluar dari kapal. Kami tak berniat bermalam di Pulau Buru. Kapal ferry yang sama akan kembali ke Ambon malam nanti dan kami langsung bisa kembali. Jadi sekali lagi kami titipkan carrier besar kami ke salah satu ABK.

Sarapan dulu di sebuah warung dalam kompleks pelabuhan sambil mencari informasi tentang apakah ada transportasi umum menuju tempat-tempat yang ingin kami tuju atau penyewaan motor di sini. Tapi kami malah dirubung tukang ojek, menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami dan tetap tak mau lepas kunci untuk menyewakannya pada kami. Setelah cukup alot bernegosiasi harga, akhirnya kami sepakat pakai ojek saja. Dua ojek tepatnya, yang dikendarai oleh Pak Imam dan Pak Rohim. Hmm, tahu gini kami menyewa motor dari Ambon saja (jatuhnya beda tipis saja, dan kami bisa lebih fleksibel mengatur perjalanan), seperti apa yang dikatakan oleh Kak Haikal, pemilik sebuah Tour & Travel yang kami kenal di Pelabuhan Tulehu dan sempat ngobrol tentang destinasi wisata di Pulau Buru. Ya sudahlah!

Pulau ini cukup luas. Untuk wilayah Propinsi Maluku, Pulau Buru merupakan pulau terluas nomor dua setelah Pulau Seram. Sebenarnya banyak tempat wisata di Pulau Buru yang termuat di brosur wisata produksi Dinas Pariwisata Maluku, tapi banyak tempat yang sepertinya masih susah terjangkau apalagi kami hanya punya waktu sehari. Kami memilih Pantai Jikumerasa sebagai destinasi pertama.

Pantai Jikumerasa berada di utara Namlea, Ibukota Kabupaten Buru. Sekitar 30 menit naik motor melewati jalanan aspal bagus yang sangat lengang. Aku disuguhi pemandangan alam yang cukup gersang dan ladang/kebun yang dipenuhi tanaman kayu putih.

Pohon kayu putih di pinggir jalan

Jalanan di Namlea

Akhirnya kami tiba di sana, Pantai Jikumerasa. Terletak di tepi jalan besar dan aku tak menemukan pos tiket, alias silahkan masuk saja. Sepi, tak ada orang lain selain kami berdua serta dua ojek yang mengantarkan ini. Berpasir putih dengan gradasi air berwarna biru dan toska, bersih dan cantik. Snorkeling? Sepertinya nggak bisa kalau di pinggir pantai karena banyak karangnya. Jadi harus naik perahu sampai tengah dulu. Jadi, simpen peralatan tempurnya dulu ya, Kakak Dame. Kita berjalan menyusuri pantai saja. Kelihatannya cukup romantis berpayung langit biru, wkwk! Ah, lagi-lagi setengah nggak percaya bahwa akhirnya kami bisa nyasar sampai ke Pulau Buru!

Pantai Jikumerasa
Apa yang kurasa di Jikumerasa?

Entah apakah ada spot yang menarik lainnya di bibir-bibir pantai sebelah sana.  Sepertinya masih banyak. Atau, pasti seru kalau bisa naik ke bukit di sana dan melihat pemandangan pantai dari atasnya. Tapi mengingat hari semakin siang dan kami masih punya tujuan berikutnya yaitu ke Desa Savanajaya.

Dalam perjalanan ke Desa Savanajaya, kami mampir sebentar di tempat pembuatan minyak kayu putih tradisional.  Daerah Namlea di Pulau Buru memang terkenal menjadi sentra produksinya. Mari kita tengok sebentar proses pembuatannya.

Daun kayu putih yang siap diproses

Tungku tempat memproses kayu putih

Buru yang sepi tapi panas, sangat menyengat. Jalanan berdebu. Masih dengan ojek, kami akan menuju ke Desa Savanajaya. 

"Buru sekarang berbeda dengan beberapa tahun lalu. Saat ditemukan emas, aktivitas penambangan ramai sekali dan hal tersebut tentu berdampak pada kehidupan masyarakatnya. Banyak orang datang ke sini mencari emas. Banyak pula yang meninggal gara-gara emas. Lima orang masuk lubang, kadang hanya dua orang yang bisa keluar dengan selamat." kata tukang ojek kami

Penambangan emas di Pulau Buru sangat booming pada tahun 2011 saat ditemukan emas dengan kandungan tinggi di Gunung Botak Kecamatan Waepo. Sejak itu, jumlah penambang melonjak menjadi berkali lipat dengan kedatangan banyak orang dari luar pulau. Ekonomi Buru menggeliat maju. Tapi hal itu juga berdampak negatif pada lingkungan karena penambangan dilakukan secara tradisional dan tidak mempertimbangkan dampak dari bahan-bahan kimia yang dipakai. Angka kriminalitas meningkat dan juga merebaknya prostitusi di lingkar tambang. Ya, semua menjadi seperti efek domino. Tapi kini, emas tak lagi menjadi primadona seiring makin menipisnya cadangan yang ada.

Ternyata Desa Savanajaya itu jauh sekali dari Namlea. Aku yang cuma mbonceng saja pegelnya minta ampun apalagi yang pegang setang motor pastinya. Tapi kami harus ke sana.

Jalan raya yang sedang diperbaiki

Mungkin tak ada yang istimewa di desa itu sekarang. Tapi dulu semasa pemerintahan Orde Baru sekitar tahun 60/70-an, tempat menjadi saksi bisu sebuah noktah perjalanan negeri ini. Ribuan orang dari Pulau Jawa dibuang ke Pulau Buru (tanpa pernah melalui proses pengadilan), dengan alasan yang mungkin tak pernah mereka mengerti hingga kini. Label tahanan politik eks PKI mereka sandang seumur hidup bahkan turun dari generasi ke generasi. Para tahanan politik tersebut dipaksa untuk membuka lahan pertanian di tengah belantara Lembah Waepo Pulau Buru.

Zaman bergerak dan Desa Savanajaya dan sekitarnya yang menjadi lokasi trans atau mereka sebut sebagai Unit (entah ada berapa unit, banyak banget yang jelas, dan letaknya jauh-jauh), kemudian berkembang menjadi sentra pertanian di Pulau Buru. Hijaunya sawah dapat dengan mudah kita jumpai di kawasan ini. Sangat mirip dengan Jawa, aku teringat kampung halaman.

Lalu adakah yang tersisa dari sejarah kelam masa lalu itu? Jangan harap bisa mendapatkan banyak hal, semisal camp tahanan, rumah Pram, mesin ketik Pram dan lain-lain. Kami hanya menemukan sebuah bangunan meyerupai aula yang sepertinya baru dipugar. Dulu, bangunan itu adalah tempat berkumpulnya para tahanan politik untuk berkreasi kesenian. Kami berhenti di sana.

Ah, imajinasiku tetiba menjadi liar membayangkan kisah masa lalu...

Aula tempat berkumpulnya para tapol pada zamannya dan tugu peresmian Desa Savanajaya

"Sejarah Bangsaku" Kami temukan banyak chart di dalam aula tempat berkumpulnya para tapol pada zaman dulu. Chart hasil diskusi yang masih tampak baru.

Kami melanjutkan perjalanan lagi , kali ini ke Unit 5, yang jauhnya naudhubillah. Ada sebuah patung yang terus terang aku nggak tahu dia siapa, patung itu tanpa lengan. Gara-gara googling tentang Pulau Buru, dan patung itu kerap muncul di "image", tapi googling yang sifatnya seadanya sehingga luput informasi detailnya. Maka setelah sampai di tempat yang dituju, kami sontak tertawa. Apa pasal? Patung tanpa lengan itu tak terawat dan berdiri begitu saja di tengah persawahan Desa Wanakarta, letaknya di pinggir jalan raya penghubung menuju Kabupaten Buru Selatan. Tertera di bawah patung tersebut bahwa ia adalah "Pelda Panita Umar yang gugur dalam menjalankan tugas demi pengabdian kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila". Kabarnya, dia dibunuh oleh para tahanan politik dan ditemukan tewas dalam kondisi lengan yang terputus.

Patung Pelda Panita Umar

Kami kembali ke Pelabuhan Namlea. Panas kian menyengat tanpa ampun.
Pulau Buru masih terlalu luas untuk diburu. Tapi setidaknya, jejak kaki ini sudah ada di sini, di satu pulau di tanah air beta, di happy land somewhere...

Senja di Pelabuhan Namlea

Kapal ferry ke Ambon baru nanti malam berangkat. Ada lelah yang membuncah. Perjalanan di Maluku ini nyaris berakhir di garis finish...

"Pada beberapa tempat yang kami datangi, mungkin tak sesuai ekspektasi. Tapi kemudian terbayar dengan beberapa hal yang di luar ekspektasi di tempat lainnya. Pada akhirnya, semua adalah tentang menikmati sebuah perjalanan. Indonesia terlalu indah, kawan!"
(Lena Viyantimala & Dame Magdalena Sianipar, Agustus 2015)


------------------ THE END ----------------

Budget :
1. Angkot Pelabuhan Galala Ambon - Pegadaian (Lapangan Merdeka) = Rp. 3000,-/orang
2. Angkot Lapangan Merdeka - Pasar Mardika = Rp. 2500,-/orang
3. Angkot Pasar Mardika - Pelabuhan Galala Ambon = Rp. 3000,-/orang
4. Tiket Kapal Ferry Galala - Namlea Pulau Buru = Rp. 120.000,-/orang
5. Ojek Keliling Pulau Buru = Rp. 100.000,-/ojek
6. Tiket Kapal Ferry Namlea - Pelabuhan Galala Ambon = Rp. 120.000,-/orang



Friday, October 09, 2015

Mangente Maluku (Bag. 6) - Menjejak Saparua

"Travelling, the road less known is where I want to be
My compass directing, electing an open road with golden trees
But there's an old man in need on the ground, I try not to make a sound.
He holds out his hand as I walk way, I hear him say
Please don't be a stranger in my place..."

(Travelling - Paper Lions)

---------------------------------------------------------------------------------------

27 Agustus 2015


Hujan menyiram Waai Ambon pagi itu. Waai yang sendu, bau khas petrichor dan pemandangan Gunung Salahutu. Mama Kala dan Pak Agus Manuputty mengantarkan kami ke jalan raya besar sampai mendapatkan angkot ke Pelabuhan Tulehu. Terima kasih tak terhingga untuk Mama Kala sekeluarga yang sudi menampung kami semalam di rumah kalian. Danke! Sampai jumpa lagi! 

Sesampai di Pelabuhan Tulehu, kami masih menunggu loket kapal cepat ke Saparua buka. Masih cukup lama, karena kapal baru berangkat sekitar jam 9 pagi nanti. Saat duduk di ruang tunggu, kami sempat berkenalan dengan Kak Haikal, seorang pemilik Tour & Travel yang sedang mengantarkan tamunya di Pelabuhan Tulehu. Dia menyapa kami terlebih dulu saat kami susah payah menurunkan ransel segede gaban dari punggung ;p

"Backpackeran, Mbak? Mau kemana?" tanyanya
"Mau ke Saparua, Kak" jawab kami. 
"Kenapa tidak ke Ora saja? Ini saya sedang mengantarkan tamu ke Pantai Ora" 
"Kami sudah ke sana tiga hari lalu". 
"Pakai tour apa ke Ora?"
"Nggak pake tour apapun, arrange sendiri saja" jawab kami

Maka berceritalah kami tentang perjalanan di Sawai dan Pantai Ora beberapa hari lalu yang jujur saja kurang berkesan dan jauh dari harapan. Sekarang kami akan ke Saparua, menggantikan destinasi Banda Neira yang gagal kami kunjungi karena alasan transportasi udara yang sudah penuh ataupun jadwal kapal yang tak pas. Mengapa pilih Saparua? Entahlah, tiba-tiba terlintas saja di kepala untuk pergi ke sana. Transportasi ke sana juga ada setiap hari. Lagipula, Saparua adalah tempat kelahiran Pattimura. Tak lengkap rasanya mengunjungi Maluku tanpa sowan ke rumah kelahiran pahlawannya yang ternama. 

"Kami sedang mengeksplore destinasi lain yang belum banyak didatangi orang. Salah satunya Pulau Buru" kata Kak Haikal.
"Lusa kami juga mau ke Pulau Buru!" jawabku dan Kakak Dame kompak.

Hohoho, Kak Haikal tampak surprise dengan jawaban kami. Pulau Buru memang masih jarang didatangi wisatawan, padahal punyak potensi untuk dikembangkan, kata Kak Haikal. Dia menunjukkan beberapa foto-foto dari Hpnya tentang beberapa spot di Pulau Buru. Lumayan. 

"Kalian harus ke sini, namanya Pantai Jikumerasa." kata Kak Haikal
"Tapi destinasi Pulau Buru masih belum masuk di website tour kami, masih perlu kami kemas dengan lebih bagu lagi. Oh ya, lebih baik kalian pakai motor saja untuk jalan-jalan di Pulau Buru. Lebih mudah sewa motor saja dari Ambon nanti lalu naik ferry ke Buru. Susah nyari persewaan motor di sana." lanjutnya

Sip, terima kasih informasinya Kakak! Kami siap memburu Pulau Buru lusa nanti. 

Sekitar jam 08.30 pagi, Kapal Express Bahari telah siap memberangkatkan kami ke Pulau Saparua. Jarak dari Pulau Ambon ke Saparua tak begitu jauh, hanya dua jam perjalanan laut.

Mau kemana, Kakak?

Mendung dan gerimis menyapa kami saat sampai di Pelabuhan Haria. Selamat datang di Saparua! Sebuah pulau kecil yang termasuk bagian dari Kepulauan Lease, selain Pulau Haruku dan Pulau Nusa Laut. Dengan ojek kami menuju tempat menginap tepatnya di Hotel Perdana.

Letak Saparua dalam Peta

Tak banyak waktu kami di Saparua, hari ini harus kami manfaatkan sebisanya karena esok rencananya langsung cabut dan move on ke Pulau Buru. Kami memang tak berniat lanjut ke Pulau Haruku ataupun Nusa Laut dikarenakan transportasi yang tidak reguler dari Saparua.

Istirahat sebentar sambil menunggu hujan reda lalu makan siang di sebuah rumah makan yang terletak di depan hotel. Mas pelayan rumah makan ternyata orang Demak Jawa Tengah yang sudah merantau di Saparua kurang lebih tiga tahun ini. Sekalian deh kami nanya apakah ada yang menyewakan motornya untuk keliling Saparua setidaknya sampai sore nanti. Dia menghubungi temannya yang punya motor dan nego harga dengan kami. Tapi, aih...ternyata setelah si empunya motor datang, motornya pake kopling cuy! Meneketehe ane pake motor gituan? Sempet dapat instant training sebentar, tapi tetep aja susah karena nggak biasa, haha! Maap yah, kami nggak jadi sewa kalau gini.

Si Mas masih mau membantu kita dengan menanyakan seorang Bapak ojek di depan sebuah warung kelontong tak jauh dari rumah makan. Motornya matic euy, tapi masih okelah (maklum, biasanya bawa motor pake gigi). Deal-dealan harga, dan akhirnya kita siap menjelajah Saparua!

Terus terang kami nggak sempat googling banyak tentang pulau ini, karena awalnya Saparua nggak ada di list tujuan. Berbekal sebuah brosur wisata, maka kami pilih beberapa destinasi yang cukup oke untuk dilihat di Saparua. Yang pertama adalah Desa Ouw. Mengapa kami memilih Desa Ouw? Nggak tahu, haha! Yang jelas berdasarkan brosur, di desa ini kami bisa melihat sebuah benteng (yang kondisinya sudah rusak) dan kerajinan tembikar asli Maluku.

Kupacu motor dengan kecepatan sedang saja, sambil menikmati jalanan Saparua yang sepi dengan pemandangan laut di sebelah kanan. Langit masih mendung. Tak ada tanda/rambu nama-nama tempat yang kulihat di jalanan, jadi kami harus rajin bertanya ke penduduk tentang arah menuju tujuan yang dimaksud. Kami melewati banyak desa dengan nama-nama yang sangat asing di telinga dan susah diucapkan. Ada Desa Ullath, Sirisori, Sirisori Islam, dan entah apalagi. Aih, ternyata letak Desa Ouw cukup jauh, tepatnya terletak di ujung tenggara Saparua. 

Akhirnya kami melihat sebuah gerbang desa di depan sana, gerbang dengan hiasan guci-guci tembikar. Selamat datang di Desa Ouw!

Motor kujalankan pelan-pelan saja. Maka tak jauh dari gerbang desa, di sisi kanan jalan, terlihatlah sebuah benteng yang kondisinya sudah sangat mengenaskan. Bangunannya banyak yang sudah rusak dan runtuh. Ia berdiri berdesakan diantara pemukiman penduduk. Inilah Benteng Ouw.


Benteng Ouw tampak depan
Tergilas arus zaman...

Tepat di sekitar Benteng Ouw kami jumpai rumah pengrajin gerabah. Mampir sebentar untuk melihat-lihat. Sayangnya waktu kami datangi, tak ada aktivitas pembuatan ataupun pembakarannya, tapi tak mengapalah. Gerabah yang diproduksi di desa ini berbeda dengan gerabah-gerabah di Jawa sana, dalam artian bentuk gerabah yang dibuat. Di sini sebagian besar yang dibuat adalah kuali untuk membuat papeda dan juga cetakan sagu. Ternyata untuk membakar gerabah tidak menggunakan kayu melainkan menggunakan pelepah daun sagu (mereka menyebutnya Gaba-Gaba) yang sudah kering.


Tempat Cetakan Sagu 
Kuali untuk membuat Papeda 

Kujalankan motor lagi, mencari sesuatu di sudut-sudut desa yang mungkin cukup menarik. Dan kami temukan tugu-tugu, baileo dan meriam yang teronggok dalam satu kompleks di dekat Kantor Kepala Desa Ouw (atau tertulis di plang nama adalah "Kantor Raja Negeri Ouw"). Tak ada siapapun di tempat ini yang bisa ditanya tentang sejarah tugu-tugu tersebut.

Kantor Raja Negeri Ouw
Tertulis "Monumen - Panas Gandong Ouw-Seith"
Dibangun pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa masyarakat Ouw dan Seith berjanji akan mempertahankan adat dan budaya dari kepunahan dan pengaruh budaya lain yang dapat merusak citra negeri, bangsa dan negara

Tertulis "Tugu Peringatan - bahwa rakyat Ouw dan Seith merajakan pela persaudaraan dan semoga Allah melindungi rakyat dan pemerintahan. Dibangun pada tahun 1956"

Tampaknya kami selesai dengan Negeri Ouw. Motor kami balikkan arah dan menyusuri rute yang sama seperti berangkat tadi. Kami akan berhenti jika menemukan sesuatu yang unik-unik. Seperti Baileo atau rumah adat yang kami jumpai di pinggir jalan. Ada satu Baileo yang unik, setiap tiangnya tertulis nama-nama marga orang Maluku.

Add caption
Ada Sahetapy, Lawalata...dan lain sebagainya
Anak-anak bermain di depan Rumah Adat di Desa Siri Sori

Sebuah masjid megah di Desa Siri Sori Islam
Sebuah Baileo lagi

Gerimis menemani perjalanan kami. Tujuan berikutnya adalah Desa Noloth. Sesuai yang tercantum dalam brosur wisata, di desa tersebut gereja tua dan Baileo tertua di Saparua. Kembali bertanya pada penduduk karena tak ada rambu-rambu arah menuju tempat tersebut. Jalanan Saparua benar-benar sepi. Jarak antar pemukiman juga lumayan jauh. Sesekali kami lewati jalan raya yang di kanan kirinya masih berupa hutan.

Singkat cerita akhirnya kami sampai juga di Desa Noloth. Rumah-rumahnya tertata rapi, nggak tahu kesannya bersahaja dan aku suka. Kami langsung menuju gereja tua itu. Sebuah gereja yang sebenarnya dibangun pada tahun 1860, tapi kini sudah dipugar.  Megah sekali dengan rumput hijau di depan dan pemandangan bukit di belakangnya.


Gereja "Bait Allah" di Desa Noloth


Tak jauh dari gereja, di situlah Baileo atau rumah adat paling tua di Pulau Saparua berada, ia menjadi benda cagar budaya. Rumah panggung dengan bangunan kayu tautan tanpa paku, beratap rumbia dan berlantai kayu. Aku membayangkan sebuah kehidupan di masa lalu...


Baileo Desa Noloth
Bagian dalam Baileo
Nemu pemandangan ini di jalan (Tanah lapang dengan Baileo dan Patung Pattimura)

Saparua belum berakhir, masih ada tempat yang ingin kami kunjungi meski hari sudah mulai beranjak sore. Dalam perjalanan pulang ke kota, kami melewati Gunung Saniri. Gunung Saniri adalah bukit tertinggi di Pulau Saparua. Tempat dimana Kapitan Pattimura menyiapkan penyerangan terhadap Belanda. Tempat ini akan ramai pada tanggal 15 Mei setiap tahunnya. Pada "Hari Pattimura" itu akan ada prosesi pengarakan obor dari Gunung Saniri ke Haria lalu ke Benteng Duurstede. Prosesi itu menggambarkan perjuangan Pattimura.

Masuk sekitar setengah kilometer dari jalan besar, masuk hutan untuk menuju Gunung Saniri ini. Aksesnya bisa dilalui oleh mobil ataupun motor. Tapi jalan tanahnya sangat licin dan berlumut di sana-sini. Sepi, tak ada orang lain di sini. Kami berhenti tepat di depan anak tangga. Kabarnya ada 251 anak tangga yang harus dilalui hingga menuju puncak Gunung Saniri tempat dinyalakannya obor Pattimura. Tapi tangga semen itu juga tak luput dari licin, bahkan aku sempat terpeleset. Mempertimbangkan segala hal, termasuk cuaca yang mendung sekali dan sepertinya akan hujan deras kami urungkan niat untuk naik terus sampai atas. Ya, setidaknya kami sudah sampai tempat ini, itu saja.

Gunung Saniri

Dan benar, hujan turun dengan derasnya saat kami sampai kembali ke bawah. Sempat berlindung di bawah pepohonan besar. Aku jalankan motor kembali segera setelah hujan agak reda.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Rasanya masih cukup untuk menuju Porto di Haria sana untuk mengunjungi rumah kelahiran Thomas Matulessy alias Pattimura. Kugeber kendaraan ke sana. Lagi-lagi harus bertanya pada penduduk arah menuju Desa Porto.

Sebuah rumah mungil, di pinggir kecil. Terdapat sebuah plang biru dengan tulisan "Kediaman Pattimura". Kami disambut seorang Ibu. Tak lama kemudian muncul Bapak Angky Matulessy, masih anggota keluarga Pattimura tentunya, meskipun bukan keturunan langsung Pattimura, karena pahlawan ternama itu belum menikah hingga akhir hayatnya. Dalam sebuah  kamar di rumah itu, terdapat lemari kaca yang di dalamnya masih tersimpan baju serta pedang Kapitan Pattimura.


Rumah Kediaman Pattimura
Bagian dalam Rumah Pattimura
Bapak Angky Matulessy menunjukkan lemari yang menyimpan baju dan pedang Pattimura

Kami pulang kembali ke penginapan setelah itu. Mengembalikan motor kepada pemiliknya, tak lupa membeli durian Saparua yang ternyata lagi musimnya. Kami bawa tiga buah durian itu ke Benteng Duurstede yang terletak di belakang Hotel Perdana. Kami habiskan  durian itu di salah satu sudut benteng. Rasa duriannya? Hmm, biasa saja menurutku, tak ada yang istimewa.

Benteng Duurstede ini dibangun oleh Portugis pada tahun 1676 lalu dikuasai oleh Belanda pada saat Belanda menduduki Saparua. Benteng ini berdiri tegak berlatar pantai Waisisil. Kami menikmati sore hingga senja di sana.

Benteng Duurstede tampak depan
Meriam di dalam benteng yang menghadap Pantai Waisisil

Ada lomba Egrang di depan Benteng Duurstede sore itu

Saat berniat mencari makan malam, kami bertemu dua orang pejalan yaitu Indra dan Indira yang juga menginap di Hotel Perdana. Pasangan yang hobi jalan juga hobi makan, haha! Bersama mereka, kami makan malam di Rumah Makan SS. Rumah makan yang dikelola oleh Ibu Maria Sahertian, asli Malang Jawa Timur yang kemudian dipersunting oleh pemuda Saparua, hingga akhirnya tinggal dan betah hidup di Saparua.

28 Agustus 2015

Sehabis subuh, kami check out dari penginapan. Kapal cepat dari Pelabuhan Haria ke Ambon memang berangkat pagi-pagi sekali.

Perjalanan ini belum berakhir. Ada Pulau Buru di sana yang sepertinya siap kami buru...

Kisah selanjutnya di Mangente Maluku (Bag. 7) - Memburu Pulau Buru

---------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :

1. Angkot Waai - Pelabuhan Tulehu = Rp. 5000,-/orang
2. Kapal Pelabuhan Tulehu - Pelabuhan Haria Saparua = Rp. 70.000,-/orang
3. Ojek Pelabuhan Haria Saparua - Hotel  = Rp. 10.000,-/ojek
4. Sewa motor = Rp. 50.000,- (belum termasuk bensin)
5. Sumbangan untuk Rumah Pattimura = Rp. 20.000,-
6. Sumbangan untuk Benteng Duurstede = Rp. 20.000,-
7. Hotel Perdana Saparua = Rp. 165.000,-
8. Ojek Hotel Perdana - Pelabuhan Haria Saparua = Rp 10.000,-/ojek

Monday, October 05, 2015

Mangente Maluku (Bag. 5) - Bertemu Keluarga Baru di Negeri Waai

"Consider each day a miracle - which indeed it is,
when you consider the number of unexpected things that could happen in each second of our fragile existence..."
(Paulo Coelho)

--------------------------------------------------------------------------------------------

26 Agustus 2015


Masih dua jam lagi Kapal Ferry dari Pelabuhan Waipirit di Pulau Seram ini akan berangkat menuju Pelabuhan Hunimua di Ambon. Aku dan Kakak Dame masih sempat untuk mengisi perut di sebuah rumah makan dalam kompleks pelabuhan. Aku lupa nama rumah makannya, tapi makanannya (waktu itu kami memesan Soto Makasar) cukup enak dan harganya wajar. Ada satu hal yang membuat rumah makan itu unik yaitu banyak souvenir khas Papua terpajang di dindingnya seperti noken, koteka, dan beberapa hiasan dinding yang terbuat dari kayu. Ingatanku melayang kembali pada perjalanan kami di Lembah Baliem Papua, bulan Februari silam. 

Siang ini sebenarnya kami masih blank mau kemana melanjutkan perjalanan ini. Dengan gagalnya Banda Neira, maka kami memang harus mencari gantinya mengingat waktu yang masih banyak tersisa. Maka tersebutlah nama Pulau Saparua. Pulau yang tidak asing di telinga bagi pemerhati sejarah Indonesia dan Maluku khususnya, tapi tidak cukup terkenal dalam dunia pariwisata. Bekal kami hanya sebuah brosur wisata tentang Kepulauan Lease dimana di dalamnya terdapat nama Pulau Saparua. Kami juga belum tahu apakah ada kapal yang reguler ke sana dari Ambon atau tidak. 

Sekitar pukul 13.30 siang, berangkatlah Ferry KMP Inelika menuju Ambon. Kami segera menuju deck atas untuk mencari tempat duduk. Meski dengan sandaran tempat duduk yang nggak memadai, aku terlelap dalam kantuk dan sama sekali tak berniat menikmati hamparan lautan yang kami lewati selama satu setengah jam ke depan.

Ferry yang membawa kami ke Ambon

Saat bangun, kami sudah hampir sampai tujuan. Kami belum tahu mau kemana. Langsung ke Saparua atau bagaimana. Tapi tubuh ini rasanya lelah sekali, maka diputuskan bahwa hari ini kami akan libur jalan dan beristirahat di Ambon saja. Tapi masalahnya, kami juga belum tahu penginapan yang murah meriah untuk kami tempati istirahat hari ini. 

Kakak Dame bertanya pada beberapa penumpang di sebelah tentang hotel murah di Kota Ambon, tapi mereka menyebutkan harga hotel dengan kisaran dua ratus ribuan. Ah, nggak ada yang lebih murah lagikah? Mungkin harapan kami didengar oleh Tuhan, tiba-tiba ada seorang Ibu yang duduk di sebelah kami menawarkan untuk tinggal di rumahnya saja. Rumahnya di Waai, tidak begitu jauh dari Pelabuhan Tulehu Ambon. Mama Kala namanya. 

Awalnya agak gimana gitu, serius ini kita mau numpang semalam di rumahnya? Tapi Mama Kala tampak ikhlas menawarkan bantuannya (mungkin melihat wajah-wajah lelah dan kusut kami berdua, hehe!). Akhirnya kami terima tawaran beliau. 

Mama Kala adalah seorang guru SD yang bertugas di Pulau Seram. Setiap akhir pekan, beliau kembali pulang ke rumahnya di Waai Ambon. 

"Tapi rumah Mama sederhana saja" kata Mama Kala

Ya ampun Mama, kami mah sudah sangat berterima kasih sekali dengan bantuan ini, maaf telah merepotkan. Maka kamipun mengikuti Mama Kala menuju rumahnya dengan naik sebuah angkutan umum. Turun di sebuah gang dan berjalan sekitar seratus meteran untuk sampai di rumah beliau.

"Mama sama siapa?" tanya beberapa warga yang rumahnya kami lewati. Pasti mereka heran, ada dua orang cewek dengan ransel segede gaban di punggung, berjalan bersama Mama Kala.

"Mereka saudara jauh saya" jawab Mama Kala

Aku tersenyum. Nggak tahu kenapa, hal-hal seperti ini yang membuat cerita dalam sebuah perjalanan begitu istimewa. Bukan cuma akhirnya kami bisa "mengirit" biaya penginapan semalam di Ambon, tapi tulusnya sebuah bantuan dari orang yang bahkan baru kita kenal adalah hal yang luar biasa.

Akhirnya kami sampai di rumah Mama Kala. Rumahnya sepi. Anak dan suaminya belum pulang. Kami bertiga ngobrol. Mama Kala bercerita tentang pekerjaannya dan juga keluarganya, kamipun bercerita tentang perjalanan di Maluku ini yang dimulai dari Kepulauan Kei hingga akhirnya nyasar ke rumah Mama Kala hari ini.

"Di Waai ini ada tempat wisata juga. Orang sini menyebutnya Morea. Besar sekali." kata Mama Kala sembari menunjukkan sebuah kalender yang bergambar Morea. Morea adalah nama lain dari belut. Dan ya, gambar di kalender tersebut memang memperlihatkan belut yang sangat besar.

Ah, kami jadi ingat percakapan kami dengan Yopie, teman baru kami dari Kepulauan Kei yang ikut piknik bareng ke Gugusan Pulau Warbal. Karena Yopie berasal dari Ambon, maka kami bertanya padanya tentang wisata di Ambon yang wajib dikunjungi. Yopie menyebut Morea di Waai. Pernah googling sih tentang morea, tapi aku dan Kakak Damepun merasa tak tertarik untuk ke sana jika ke Ambon, ya orang cuma belut doang. Tapi ternyata, nasib malah membawa kami ke sini, ke Waai, tempat dimana morea alias belut raksasa tersebut berada. Haha! Maka daripada bengong melewatkan sore, dengan bantuan Mama Kala yang mencarikan ojek, kami berduapun meluncur ke arah Objek Wisata Morea. 

Dua tukang ojek yang mengantarkan kami adalah Kak Yongman dan Kak Mario. Kebetulan juga ternyata Kak Yongman dan Kak Mario ini orang asli Saparua, pulau yang kemungkinan besar akan kami kunjungi besok. Dari merekalah kami bisa mendapatkan informasi tentang transportasi ke/dari Saparua dan lain-lain. Sip! Berangkat kita, menyusuri jalanan di Desa Waai yang tertata rapi dengan pemandangan Gunung Salahutu yang gagah sekali.

Sampailah kami di Objek Wisata Morea. Meski sudah sore, tempat ini masih ramai karena ternyata kolam tempat morea alias belut raksasa tersebut berada tersambung dengan sebuah sungai yang jernih sekali airnya sehingga banyak anak yang mandi dan bermain-main air. Kami di dekati kolam morea itu. Ada beberapa belut di dalamnya, besar ukurannya. Tapi ternyata ada mbahnya alias yang paling besar yang masih ngumpet di antara bebatuan. Kami tunggu agak lama, akhirnya si belut raksasa itu muncul juga. Wow, memang benar-benar besar, panjangnya satu meter lebih! Ada pawang morea di situ yang bisa memanggil dan menjinakkannya dengan telur ayam, tentu kita harus membayar (waktu itu beliau minta Rp. 56.000,- untuk memperlihatkan atraksi morea). Tapi kami ngeri ah melihat belut sebesar itu, dan lebih baik melihat dari atas saja ;p.

Jepretannya nggak bagus, tapi kira-kira itulah penampakan Morea ;p
Anak-anak Negeri Waai

Hari semakin sore. Kami lanjut ke tujuan selanjutnya yaitu ke Baileo Negeri Waai. Baileo adalah rumah adat Maluku sebagai identitas setiap negeri. Baileo berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci, tempat upacara adat sekaligus sebagai balai warga. Sampai di Baileo, kami baru tahu kalau bangunan Baileo tersebut sudah dipugar. Bangunananya tidak lagi menggunakan kayu dan atap rumbia. Baileo ini sempat terbakar pada saat kerusuhan tahun di Ambon tahun 1998, begitu kata Kak Mario. Ah, cerita sedih lagi tentang konflik masa lalu di negeri ini :-(

Bermain di depan Baileo dan Gereja di Waai
Bagian dalam Baileo

Oke, kita selesai dengan Baileo dan berniat pulang kembali ke rumah Mama Kala. Tapi di tengah jalan, Kak Yongman menawarkan untuk lanjut ke Suli dan makan rujak di sana. Suli? Di mana itu? Ah sudahlah, hajar sudah dimanapun itu!

Ternyata dari Waai ke Suli itu jauhnya minta ampun. Kami melewati Pelabuhan Tulehu dan masih lurus terus, pokoknya jauh. Motor baru agak dipelankan saat kami sampai di belokan dimana di tempat tersebut berjajar pedagang-pedagang dengan lapaknya masing-masing bertuliskan Rujak Natsepa dan kami berhenti di sana. Hah, ternyata Suli itu Natsepa? Natsepa, ya Pantai Natsepa memang termasuk destinasi yang cukup terkenal di Ambon jika kita googling tempat wisata Ambon, pun rujaknya yang khas kabarnya. Tapi kami tak mengira bahwa Suli yang dimaksud oleh Kak Yongman adalah daerah Natsepa ini. Tapi siplah, tanpa kami rencanakan, kami malah tiba di sini. Mari kita nikmati rujak Natsepa berlatar Pantai Natsepa di kala senja (nggak senja lagi ding, tapi sudah di atas maghrib).


Senja di Pantai Natsepa

Sebagai penggemar rujak, maka aku bisa bilang bahwa bumbu rujak Natsepa ini agak beda rasanya dengan bumbu rujak yang biasa kutemui di Pulau Jawa. Bukan soal kacangnya, karena kacang yang ditumbuk dengan nggak begitu halus juga biasa ada di Jawa sana. Bukan pula soal gulanya atau kuantitas bumbu yang luber-luber seisi piring plastik kecil itu. Ternyata pas kutanya sama ibu penjualnya, bumbu rujak itu diberi campuran buah pala. Nah itu dia! Ada satu lagi sebenarnya yang membuat beda, meski nggak begitu signifikan karena sebenarnya nggak dicampur/diulek pada bumbunya, yaitu gulaba. Gulaba ini semacam buah atau entah apalah (yang baru kulihat di sini) yang di dalamnya ada biji-biji kecil dan dicampurkan begitu saja ke dalam rujak Natsepa itu. Ya, bumbu rujak ini sempurna!

Rujak in progress ;p

Yang ini siap dihajar!

Ini yang namanya "Gulaba"

Mama Kala menyambut kami sesampai di rumah. Beliau khawatir ternyata karena kami jalan lama sekali, padahal tadi pamitnya hanya ke Morea saja, tapi malah terdampar sampai Natsepa. Aduh, maaf Mama. Ini Kak Yongman dan Kak Marion malah mengajak kami rujakan di Natsepa, haha! Oh ya, kami dikenalkan dengan Pak Agus Manuputty suami Mama Kala dan juga Encha putri mereka.



Malam di Waai adalah malam yang spesial bagi kami. Sambil menikmati mie telur rebus buatan Mama Kala, aku merasa bersyukur bahwa kami dipertemukan dengan keluarga yang baik dalam perjalanan di Maluku ini. Sebuah keluarga yang kini juga menjadi bagian keluarga kami. Terima kasih banyak, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati Mama Kala dan keluarga. Amin.

Cerita selanjutnya di Mangente Maluku (Bag. 6) - Menjejak Saparua

-----------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Ferry Pelabuhan Waipirit Seram - Hunimua Ambon = Rp. 16.500,-/orang
2. Angkutan Umum Pelabuhan Hunimua - Waai = Rp. 10.000,-/orang
3. Ojek Waai, Natsepa pp = Rp. 40.000,-/ojek