Friday, October 09, 2015

Mangente Maluku (Bag. 6) - Menjejak Saparua

"Travelling, the road less known is where I want to be
My compass directing, electing an open road with golden trees
But there's an old man in need on the ground, I try not to make a sound.
He holds out his hand as I walk way, I hear him say
Please don't be a stranger in my place..."

(Travelling - Paper Lions)

---------------------------------------------------------------------------------------

27 Agustus 2015


Hujan menyiram Waai Ambon pagi itu. Waai yang sendu, bau khas petrichor dan pemandangan Gunung Salahutu. Mama Kala dan Pak Agus Manuputty mengantarkan kami ke jalan raya besar sampai mendapatkan angkot ke Pelabuhan Tulehu. Terima kasih tak terhingga untuk Mama Kala sekeluarga yang sudi menampung kami semalam di rumah kalian. Danke! Sampai jumpa lagi! 

Sesampai di Pelabuhan Tulehu, kami masih menunggu loket kapal cepat ke Saparua buka. Masih cukup lama, karena kapal baru berangkat sekitar jam 9 pagi nanti. Saat duduk di ruang tunggu, kami sempat berkenalan dengan Kak Haikal, seorang pemilik Tour & Travel yang sedang mengantarkan tamunya di Pelabuhan Tulehu. Dia menyapa kami terlebih dulu saat kami susah payah menurunkan ransel segede gaban dari punggung ;p

"Backpackeran, Mbak? Mau kemana?" tanyanya
"Mau ke Saparua, Kak" jawab kami. 
"Kenapa tidak ke Ora saja? Ini saya sedang mengantarkan tamu ke Pantai Ora" 
"Kami sudah ke sana tiga hari lalu". 
"Pakai tour apa ke Ora?"
"Nggak pake tour apapun, arrange sendiri saja" jawab kami

Maka berceritalah kami tentang perjalanan di Sawai dan Pantai Ora beberapa hari lalu yang jujur saja kurang berkesan dan jauh dari harapan. Sekarang kami akan ke Saparua, menggantikan destinasi Banda Neira yang gagal kami kunjungi karena alasan transportasi udara yang sudah penuh ataupun jadwal kapal yang tak pas. Mengapa pilih Saparua? Entahlah, tiba-tiba terlintas saja di kepala untuk pergi ke sana. Transportasi ke sana juga ada setiap hari. Lagipula, Saparua adalah tempat kelahiran Pattimura. Tak lengkap rasanya mengunjungi Maluku tanpa sowan ke rumah kelahiran pahlawannya yang ternama. 

"Kami sedang mengeksplore destinasi lain yang belum banyak didatangi orang. Salah satunya Pulau Buru" kata Kak Haikal.
"Lusa kami juga mau ke Pulau Buru!" jawabku dan Kakak Dame kompak.

Hohoho, Kak Haikal tampak surprise dengan jawaban kami. Pulau Buru memang masih jarang didatangi wisatawan, padahal punyak potensi untuk dikembangkan, kata Kak Haikal. Dia menunjukkan beberapa foto-foto dari Hpnya tentang beberapa spot di Pulau Buru. Lumayan. 

"Kalian harus ke sini, namanya Pantai Jikumerasa." kata Kak Haikal
"Tapi destinasi Pulau Buru masih belum masuk di website tour kami, masih perlu kami kemas dengan lebih bagu lagi. Oh ya, lebih baik kalian pakai motor saja untuk jalan-jalan di Pulau Buru. Lebih mudah sewa motor saja dari Ambon nanti lalu naik ferry ke Buru. Susah nyari persewaan motor di sana." lanjutnya

Sip, terima kasih informasinya Kakak! Kami siap memburu Pulau Buru lusa nanti. 

Sekitar jam 08.30 pagi, Kapal Express Bahari telah siap memberangkatkan kami ke Pulau Saparua. Jarak dari Pulau Ambon ke Saparua tak begitu jauh, hanya dua jam perjalanan laut.

Mau kemana, Kakak?

Mendung dan gerimis menyapa kami saat sampai di Pelabuhan Haria. Selamat datang di Saparua! Sebuah pulau kecil yang termasuk bagian dari Kepulauan Lease, selain Pulau Haruku dan Pulau Nusa Laut. Dengan ojek kami menuju tempat menginap tepatnya di Hotel Perdana.

Letak Saparua dalam Peta

Tak banyak waktu kami di Saparua, hari ini harus kami manfaatkan sebisanya karena esok rencananya langsung cabut dan move on ke Pulau Buru. Kami memang tak berniat lanjut ke Pulau Haruku ataupun Nusa Laut dikarenakan transportasi yang tidak reguler dari Saparua.

Istirahat sebentar sambil menunggu hujan reda lalu makan siang di sebuah rumah makan yang terletak di depan hotel. Mas pelayan rumah makan ternyata orang Demak Jawa Tengah yang sudah merantau di Saparua kurang lebih tiga tahun ini. Sekalian deh kami nanya apakah ada yang menyewakan motornya untuk keliling Saparua setidaknya sampai sore nanti. Dia menghubungi temannya yang punya motor dan nego harga dengan kami. Tapi, aih...ternyata setelah si empunya motor datang, motornya pake kopling cuy! Meneketehe ane pake motor gituan? Sempet dapat instant training sebentar, tapi tetep aja susah karena nggak biasa, haha! Maap yah, kami nggak jadi sewa kalau gini.

Si Mas masih mau membantu kita dengan menanyakan seorang Bapak ojek di depan sebuah warung kelontong tak jauh dari rumah makan. Motornya matic euy, tapi masih okelah (maklum, biasanya bawa motor pake gigi). Deal-dealan harga, dan akhirnya kita siap menjelajah Saparua!

Terus terang kami nggak sempat googling banyak tentang pulau ini, karena awalnya Saparua nggak ada di list tujuan. Berbekal sebuah brosur wisata, maka kami pilih beberapa destinasi yang cukup oke untuk dilihat di Saparua. Yang pertama adalah Desa Ouw. Mengapa kami memilih Desa Ouw? Nggak tahu, haha! Yang jelas berdasarkan brosur, di desa ini kami bisa melihat sebuah benteng (yang kondisinya sudah rusak) dan kerajinan tembikar asli Maluku.

Kupacu motor dengan kecepatan sedang saja, sambil menikmati jalanan Saparua yang sepi dengan pemandangan laut di sebelah kanan. Langit masih mendung. Tak ada tanda/rambu nama-nama tempat yang kulihat di jalanan, jadi kami harus rajin bertanya ke penduduk tentang arah menuju tujuan yang dimaksud. Kami melewati banyak desa dengan nama-nama yang sangat asing di telinga dan susah diucapkan. Ada Desa Ullath, Sirisori, Sirisori Islam, dan entah apalagi. Aih, ternyata letak Desa Ouw cukup jauh, tepatnya terletak di ujung tenggara Saparua. 

Akhirnya kami melihat sebuah gerbang desa di depan sana, gerbang dengan hiasan guci-guci tembikar. Selamat datang di Desa Ouw!

Motor kujalankan pelan-pelan saja. Maka tak jauh dari gerbang desa, di sisi kanan jalan, terlihatlah sebuah benteng yang kondisinya sudah sangat mengenaskan. Bangunannya banyak yang sudah rusak dan runtuh. Ia berdiri berdesakan diantara pemukiman penduduk. Inilah Benteng Ouw.


Benteng Ouw tampak depan
Tergilas arus zaman...

Tepat di sekitar Benteng Ouw kami jumpai rumah pengrajin gerabah. Mampir sebentar untuk melihat-lihat. Sayangnya waktu kami datangi, tak ada aktivitas pembuatan ataupun pembakarannya, tapi tak mengapalah. Gerabah yang diproduksi di desa ini berbeda dengan gerabah-gerabah di Jawa sana, dalam artian bentuk gerabah yang dibuat. Di sini sebagian besar yang dibuat adalah kuali untuk membuat papeda dan juga cetakan sagu. Ternyata untuk membakar gerabah tidak menggunakan kayu melainkan menggunakan pelepah daun sagu (mereka menyebutnya Gaba-Gaba) yang sudah kering.


Tempat Cetakan Sagu 
Kuali untuk membuat Papeda 

Kujalankan motor lagi, mencari sesuatu di sudut-sudut desa yang mungkin cukup menarik. Dan kami temukan tugu-tugu, baileo dan meriam yang teronggok dalam satu kompleks di dekat Kantor Kepala Desa Ouw (atau tertulis di plang nama adalah "Kantor Raja Negeri Ouw"). Tak ada siapapun di tempat ini yang bisa ditanya tentang sejarah tugu-tugu tersebut.

Kantor Raja Negeri Ouw
Tertulis "Monumen - Panas Gandong Ouw-Seith"
Dibangun pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa masyarakat Ouw dan Seith berjanji akan mempertahankan adat dan budaya dari kepunahan dan pengaruh budaya lain yang dapat merusak citra negeri, bangsa dan negara

Tertulis "Tugu Peringatan - bahwa rakyat Ouw dan Seith merajakan pela persaudaraan dan semoga Allah melindungi rakyat dan pemerintahan. Dibangun pada tahun 1956"

Tampaknya kami selesai dengan Negeri Ouw. Motor kami balikkan arah dan menyusuri rute yang sama seperti berangkat tadi. Kami akan berhenti jika menemukan sesuatu yang unik-unik. Seperti Baileo atau rumah adat yang kami jumpai di pinggir jalan. Ada satu Baileo yang unik, setiap tiangnya tertulis nama-nama marga orang Maluku.

Add caption
Ada Sahetapy, Lawalata...dan lain sebagainya
Anak-anak bermain di depan Rumah Adat di Desa Siri Sori

Sebuah masjid megah di Desa Siri Sori Islam
Sebuah Baileo lagi

Gerimis menemani perjalanan kami. Tujuan berikutnya adalah Desa Noloth. Sesuai yang tercantum dalam brosur wisata, di desa tersebut gereja tua dan Baileo tertua di Saparua. Kembali bertanya pada penduduk karena tak ada rambu-rambu arah menuju tempat tersebut. Jalanan Saparua benar-benar sepi. Jarak antar pemukiman juga lumayan jauh. Sesekali kami lewati jalan raya yang di kanan kirinya masih berupa hutan.

Singkat cerita akhirnya kami sampai juga di Desa Noloth. Rumah-rumahnya tertata rapi, nggak tahu kesannya bersahaja dan aku suka. Kami langsung menuju gereja tua itu. Sebuah gereja yang sebenarnya dibangun pada tahun 1860, tapi kini sudah dipugar.  Megah sekali dengan rumput hijau di depan dan pemandangan bukit di belakangnya.


Gereja "Bait Allah" di Desa Noloth


Tak jauh dari gereja, di situlah Baileo atau rumah adat paling tua di Pulau Saparua berada, ia menjadi benda cagar budaya. Rumah panggung dengan bangunan kayu tautan tanpa paku, beratap rumbia dan berlantai kayu. Aku membayangkan sebuah kehidupan di masa lalu...


Baileo Desa Noloth
Bagian dalam Baileo
Nemu pemandangan ini di jalan (Tanah lapang dengan Baileo dan Patung Pattimura)

Saparua belum berakhir, masih ada tempat yang ingin kami kunjungi meski hari sudah mulai beranjak sore. Dalam perjalanan pulang ke kota, kami melewati Gunung Saniri. Gunung Saniri adalah bukit tertinggi di Pulau Saparua. Tempat dimana Kapitan Pattimura menyiapkan penyerangan terhadap Belanda. Tempat ini akan ramai pada tanggal 15 Mei setiap tahunnya. Pada "Hari Pattimura" itu akan ada prosesi pengarakan obor dari Gunung Saniri ke Haria lalu ke Benteng Duurstede. Prosesi itu menggambarkan perjuangan Pattimura.

Masuk sekitar setengah kilometer dari jalan besar, masuk hutan untuk menuju Gunung Saniri ini. Aksesnya bisa dilalui oleh mobil ataupun motor. Tapi jalan tanahnya sangat licin dan berlumut di sana-sini. Sepi, tak ada orang lain di sini. Kami berhenti tepat di depan anak tangga. Kabarnya ada 251 anak tangga yang harus dilalui hingga menuju puncak Gunung Saniri tempat dinyalakannya obor Pattimura. Tapi tangga semen itu juga tak luput dari licin, bahkan aku sempat terpeleset. Mempertimbangkan segala hal, termasuk cuaca yang mendung sekali dan sepertinya akan hujan deras kami urungkan niat untuk naik terus sampai atas. Ya, setidaknya kami sudah sampai tempat ini, itu saja.

Gunung Saniri

Dan benar, hujan turun dengan derasnya saat kami sampai kembali ke bawah. Sempat berlindung di bawah pepohonan besar. Aku jalankan motor kembali segera setelah hujan agak reda.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Rasanya masih cukup untuk menuju Porto di Haria sana untuk mengunjungi rumah kelahiran Thomas Matulessy alias Pattimura. Kugeber kendaraan ke sana. Lagi-lagi harus bertanya pada penduduk arah menuju Desa Porto.

Sebuah rumah mungil, di pinggir kecil. Terdapat sebuah plang biru dengan tulisan "Kediaman Pattimura". Kami disambut seorang Ibu. Tak lama kemudian muncul Bapak Angky Matulessy, masih anggota keluarga Pattimura tentunya, meskipun bukan keturunan langsung Pattimura, karena pahlawan ternama itu belum menikah hingga akhir hayatnya. Dalam sebuah  kamar di rumah itu, terdapat lemari kaca yang di dalamnya masih tersimpan baju serta pedang Kapitan Pattimura.


Rumah Kediaman Pattimura
Bagian dalam Rumah Pattimura
Bapak Angky Matulessy menunjukkan lemari yang menyimpan baju dan pedang Pattimura

Kami pulang kembali ke penginapan setelah itu. Mengembalikan motor kepada pemiliknya, tak lupa membeli durian Saparua yang ternyata lagi musimnya. Kami bawa tiga buah durian itu ke Benteng Duurstede yang terletak di belakang Hotel Perdana. Kami habiskan  durian itu di salah satu sudut benteng. Rasa duriannya? Hmm, biasa saja menurutku, tak ada yang istimewa.

Benteng Duurstede ini dibangun oleh Portugis pada tahun 1676 lalu dikuasai oleh Belanda pada saat Belanda menduduki Saparua. Benteng ini berdiri tegak berlatar pantai Waisisil. Kami menikmati sore hingga senja di sana.

Benteng Duurstede tampak depan
Meriam di dalam benteng yang menghadap Pantai Waisisil

Ada lomba Egrang di depan Benteng Duurstede sore itu

Saat berniat mencari makan malam, kami bertemu dua orang pejalan yaitu Indra dan Indira yang juga menginap di Hotel Perdana. Pasangan yang hobi jalan juga hobi makan, haha! Bersama mereka, kami makan malam di Rumah Makan SS. Rumah makan yang dikelola oleh Ibu Maria Sahertian, asli Malang Jawa Timur yang kemudian dipersunting oleh pemuda Saparua, hingga akhirnya tinggal dan betah hidup di Saparua.

28 Agustus 2015

Sehabis subuh, kami check out dari penginapan. Kapal cepat dari Pelabuhan Haria ke Ambon memang berangkat pagi-pagi sekali.

Perjalanan ini belum berakhir. Ada Pulau Buru di sana yang sepertinya siap kami buru...

Kisah selanjutnya di Mangente Maluku (Bag. 7) - Memburu Pulau Buru

---------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :

1. Angkot Waai - Pelabuhan Tulehu = Rp. 5000,-/orang
2. Kapal Pelabuhan Tulehu - Pelabuhan Haria Saparua = Rp. 70.000,-/orang
3. Ojek Pelabuhan Haria Saparua - Hotel  = Rp. 10.000,-/ojek
4. Sewa motor = Rp. 50.000,- (belum termasuk bensin)
5. Sumbangan untuk Rumah Pattimura = Rp. 20.000,-
6. Sumbangan untuk Benteng Duurstede = Rp. 20.000,-
7. Hotel Perdana Saparua = Rp. 165.000,-
8. Ojek Hotel Perdana - Pelabuhan Haria Saparua = Rp 10.000,-/ojek

No comments:

Post a Comment