Bukit ini dipenuhi ilalang dan beberapa pohon besar di puncaknya. Ayahmu (orang yang biasa kupanggil paman) membangun sebuah pondok kecil di puncak dengan dataran yang cukup luas itu. Sebuah ayunan dari ban bekas dikaitkan pada pohon di samping pondok. Benar-benar sebuah tempat bermain yang sempurna. Kita tak ingat waktu, bercerita tentang apa saja. Berlarian tanpa kenal bosan. Masa kecil kita sangat bahagia dalam ranah ingatanku
Masih kuingat jelas indahnya pemandangan kampung terlihat dari atas dengan sungai meliuk nan jernih di kaki bukit ini. Gemintang yang memenuhi langit menjadi suguhan menakjubkan saat malam. Dan tempat ini hanya milik kita.
Seiring berjalannya waktu, kamu mulai mengajak orang lain ke bukit ini. Teman-temanmu, pacar-pacarmu. Tempat ini menjadi tak rahasia lagi, bukan milik kita berdua lagi. Sesungguhnya aku ingin protes, tapi...aku tak pernah berani.
Tapi bukit ini kemudian benar-benar kau tinggalkan sejalan kau tinggalkan kampung halaman. Kamu mulai doyan bertualang (dan pekerjaan memang menuntutmu demikian). Maka nyaris tak pernah kudaki lagi bukit ini sejak itu, kupandang saja ia dari balik jendela rumah. Bukit ini akan kelihatan hijau royo-royo saat musim penghujan, sebaliknya akan gersang kecoklatan saat kemarau. Apa kabar pondok dan ayunan kecil di puncaknya? Seringkali aku rindu untuk mendakinya lagi. Tapi untuk apa, hanya membangkitkan kenanganmu saja.
Sesekali kamu memang pulang, meski sangat singkat. Lalu dengan binar kau ceritakan perjalanan-perjalananmu. Seru sekali ceritamu dan aku berandai jika saja aku menjadi bagian dari perjalanan itu. Tapi bukit ini mungkin benar-benar telah kamu lupakan. Bisa saja ia kalah indah dibanding tempat-tempat yang sudah kamu singgahi.
Tak mudah menunggu kepulanganmu, tapi siapalah aku yang hanya teman masa kecilmu. Sementara petualanganmu telah banyak terisi dengan orang-orang dari seluruh penjuru negeri yang pasti hebat, luar biasa, beberapa diantaranya pasti menarik hatimu, atau bahkan...ah sudahlah. Maka aku hanya bisa bermimpi dan selalu menyelipkan namamu dalam doa-doaku.
Tak mudah menebak kapan kamu akan kembali. Mungkin kamu sibuk, atau kamu sudah tertawan oleh hal yang lain. Aku hanya berharap kamu merindukan rumah, keluargamu dan kampung halamanmu (serta aku).
Aku ingat, dua tahun lalu, terakhir kamu pulang. Kujemput kamu di stasiun kecil tak jauh dari kantor kecamatan. Kamu kelihatan berantakan saat turun dari kereta dengan ransel besar di punggungmu. Kamu bilang baik-baik saja saat kutanya kabar, hanya lelah katamu. Kamu tak seperti biasanya. Biasanya banyak cerita, kali ini kamu banyak diam. Malamnya tiba-tiba kamu mengajakku untuk mendaki bukit ini. Tapi di tengah jalan, kamu mengajakku pulang. "Percuma, langit mendung, tak ada bintang yang terlihat di puncak sana" katamu.
Kau pergi lagi, sesekali masih kirim kabar tentang keberadaanmu dan cerita perjalananmu. Dan aku tetap menunggu kepulanganmu.
Sejengkal lagi aku sampai puncak bukit ini. Kuhela nafas panjang. Ilalang gersang tampak di hadapan. Pondok kecil di puncak bukit ini entah kemana, mungkin terkikis waktu menua. Sekelebat kenangan terunggah, masa kecil kita.
Aku duduk bersimpuh di depan sebuah gundukan tanah basah. Entah kenapa kamu memilih tempat ini menjadi peristirahatan terakhirmu, tapi begitu pesanmu pada ayahmu.
Ya, kamu pulang. Kamu tak pergi-pergi lagi. Setiap hari aku bisa mengunjungimu di bukit ini. Kini giliranku yang bercerita tentang hari-hariku yang membosankan, tentang kampung ini dan penduduknya. Tak ada kisah tentang indahnya gunung, birunya laut, atau bersahajanya budaya dan kearifan lokal di belahan lain negeri ini, seperti kisah-kisah petualanganmu.
Sejujurnya aku tak suka keadaan ini. Aku lebih memilih kamu pergi dan biarkan aku menanti dengan sukacita, beserta mimpi-mimpi yang kurancang sendiri. Tapi bukan pergi selamanya...
Tuhan, jangan hujan hari ini. Ada sahabatku (dan orang yang sangat kucintai - meski tak pernah terkatakan) terbaring damai di tanah ini menuju-Mu. Dan ia tak pernah mencintai hujan. Aku tak mau ia menggigil kedinginan...
(Madiun, 19 Dec 2015)
---- the end ---