Tuesday, March 29, 2016

Ngelamang di Sumbawa (Bag. 8): Kulari ke Bukit, Lalu Belok ke Pantai

"If I leave here tomorrow,
Would you still remember me.
For I must be traveling on now 
'Cause there's too much places I've got to see..."
(Free Bird - Lynyrd Skynyrd)

------------------------

13 Januari 2016

Kami tinggalkan Alas pagi itu. Sekali lagi terima kasih untuk Paman dan Bibinya Yuli yang telah menampung kami bahkan telah menyiapkan sarapan yang yummy. 

Kubawa motor pelan melewati jalanan Alas ke arah Poto Tano. Saat inilah aku bisa benar-benar menikmati setiap jengkal perjalanan. Membelah perbukitan hijau setengah kekuningan dengan kondisi jalan aspal yang berkelak-kelok. Yuli bilang, aku harus berhenti di sebuah bukit, orang-orang menyebutnya sebagai Bukit Galau. Wow, kekinian sekali namanya. 

"Ambil kanan, Mbak. Sebentar lagi sampai Bukit Galau." kata Yuli 

Aku aktifkan lampu sen kanan, belok dan menepi. Ada areal cukup lapang di situ, sepertinya memang sengaja dibuat untuk tempat parkir. 

Oh, inikah Bukit Galau itu. Nggak begitu tinggi sih. Sejenak berleha-leha di gazebo yang sudah tersedia sambil menikmati pemandangan alam berupa bukit dan dataran hijau yang menghampar juga jalan raya yang berliku. Tak ada yang menggalau di sini saat ini. Ah, siapa juga yang mau menggalau di tempat ini di hari Rabu pagi yang cukup terik begini? Entah mengapa bukit ini dinamai demikian. Mungkin banyak dedek galau yang suka mengusir kegalauan di sini, atau karena bukit ini kerap menyimpan kenangan? Halah!

Yulipun juga menggalau

Mentari kian terik. Mari lanjutkan perjalanan lagi! Eh, mampir dulu ke tempatnya Komeng di Puskesmas Seteluk. Meluruskan kaki sambil ngopi-ngopi di kantin Puskesmas. 

Hmm, kemana lagi kita? Masih terlalu pagi untuk pulang ke Benete jam segini. Baiklah kita ngelayap ke pantai saja. Kami melihat ada petunjuk arah dengan tulisan "Pantai Kertasari" tak jauh dari kota Taliwang. Capcus dah! Ini bakal jadi destinasi baru juga untuk Yuli.

Tapi ternyata...Pantai Kertasari itu berada jauuuh (dengan u yang banyak) dari Taliwang. Beneran. Kami melewati banyak perkampungan, persawahan, jalan yang naik turun, jalan yang baru di aspal, dan masih belum sampai juga. Kita bahkan sempat bertanya beberapa kali ke penduduk untuk memastikan bahwa kami berada di jalan yang benar. Dan yup, akhirnya kami menemukan sebuah gapura dengan tulisan semacam Selamat Datang di Desa Kertasari. Akhirnya! 

Kami sampai di sebuah perkampungan nelayan di pinggir pantai. Terdapat juga gubuk-gubuk tempat para petani rumput laut melakukan kegiatan menjemur dan memilah-milah hasilnya. Tapi pantainya cenderung kotor di situ, banyak sisa-sisa rumput laut yang terbawa ombak sampai daratan. Pelan kujalankan motor lagi menjauh dari perkampungan, mencari pemandangan lain lagi. Kami berhenti di tepi pantai yang sepi. Laut sedemikian biru. Tampak gulungan ombak besar nun jauh di sana.


Ombak Pantai Kertasari
Masih di Pantai Kertasari
Rumput laut sedang dijemur
Sudut kampung
Petani rumput laut dan keluarga sedang memilah rumput laut

"Yul, kalau kita punya duit banyak, kita beli aja tanah di sini. Kita bangun penginapan." kataku. Iseng aja sih, lha duit dari Hongkong? Hahaha!
"Betul Mbak, pantai ini belum dikelola. Tuh lihat ombak besar di sana, bagus pasti untuk surfing" timpal Yuli.

Kenapa kami tiba-tiba mikir gini? Karena kami berdua melihat sebuah rumah keren dari kayu yang sedang dibangun persis di depan pantai. Meski mungil, tapi eksteriornya cakep gila! Ada tamannya, terus semacam cafe outdoor, bahkan hammock! Sepertinya tempat ini dimiliki oleh bule, sekelibat kami melihat sosoknya sedang mengawasi pekerjaan para tukang. Mau ngambil foto rumah itu, tapi nggak enak euy! Haha!

Kami melanjutkan perjalanan lagi, kembali ke Taliwang. Masih ingin ngelayap lagi dan belum mau pulang. Yuli menyebutkan nama sebuah pantai lagi, Pantai Balat namanya. Pantai Balat ini terletak di pinggiran Taliwang, sudah ada papan petunjuknya dari kota, tinggal ikuti saja.

Sesampainya di Pantai Balat, tak ada retribusi, langsung masuk saja ke area pantainya. Banyak warung di pinggiran pantai, meskipun kebanyakan tutup karena mungkin akan sedikit pengunjung di hari biasa seperti ini. Untuk pantainya sendiri, aku cukup terkesan karena bersihnya. Balat adalah pantai berpasir hitam dengan bukit-bukit cantik di sisinya.


Bermain pasir di Pantai Balat
Pantai Balat yang sepi

Edisi nge-pantai belumlah selesai. Ada satu pantai lagi kata Yuli yang bisa kita sambangi sekalian pulang ke Benete, yaitu Pantai Jelengah. Yo wis, hajar sekalian saja.

Pantai Jelengah ini terletak di Kecamatan Jereweh. Jalan menuju ke sanapun cukup seru, dan lagi-lagi jalanan ini seperti milik kami saja karena praktis nggak ada orang lain yang melewatinya. Tak cuma jalanannya, tapi pantainya pun....serasa milik pribadi. Berpasir putih, bersih.

Menyusur pantai, menghidupkan kenangan
Pantai Jelengah 

Langit mendadak gelap saat kami beranjak pergi dari Pantai Jelengah, sepertinya akan hujan. Dalam perjalanan pulang, hujanpun turun. Ah, kami nggak bawa jas hujan! Maka inilah ending dari perjalanan seruku di sebagian Sumbawa. Hujan-hujanan di atas motor melewati jalanan Jereweh menuju Benete.

Besok pagi, kapal Tenggara Satu akan membawaku ke Lombok, lalu terbang ke Jakarta pada hari yang sama. Terima kasih banyak untuk Yuli dan keluarga. Juga teman-teman baru yang kukenal di sana, Wiwin, Komeng, Irwan dan Maulidin.

Satu minggu yang sungguh mengesankan! Sumbawa memang tak pernah mengecewakan. Dan kini, telah kuserak lagi kenangan. Sampai jumpa lagi, kawan!



-------------------------------THE END --------------------------

Monday, March 21, 2016

Mengintip #WonderfulEclipse di Bumi Sriwijaya

"Dua puluh tahun dari sekarang, Anda akan merasa lebih menyesal atas hal-hal yang belum dilakukan daripada hal-hal yang telah dilakukan. Maka, lepaskanlah pengikat perahumu, berlayarlah dari pelabuhan kenyamananmu. Tangkap angin yang akan mendorongmu untuk berlayar. Carilah. Mimpikan. Temukan." ~ Mark Twain ~


Masih subuh saat aku keluar dari hotel tempatku menginap yang berjarak sekitar satu kilometer dari Jembatan Ampera. Seorang tukang becak yang mangkal di depan hotel menawariku untuk mengantarkan sampai ke dekat jembatan. Dengan halus aku menolak tawarannya. Aku bisa berjalan kaki ke sana, anggap saja olahraga. Lagipula jalan menuju Jembatan Ampera telah ditutup sejak semalam.

Banyak kendaraan terparkir di sepanjang jalan hingga Masjid Agung Palembang. Jalan raya sudah sedemikian ramainya meskipun pagi buta. Orang berduyun-duyun menuju Jembatan Ampera yang telah disiapkan sebagai pusat berkumpulnya masyarakat untuk menyaksikan Gerhana Matahari Total (GMT). Benar saja, jembatan yang merupakan tengara terkenal di Palembang ini telah riuh dipenuhi warga dan media. 

Entah berapa banyak manusia yang tumpah ruah menyaksikan gerhana di tempat ini dari berbagai usia dan bangsa. Beberapa stasiun televisi tampak sibuk menyiapkan liputannya. Para fotografer lengkap dengan lensa telenya sudah berjajar di tepian jembatan memastikan mereka bisa menangkap momen gerhana di titik yang sempurna.

Mengapa aku memilih Palembang di antara 11 kota lainnya di Indonesia yang dilewati gerhana matahari total pada tanggal 9 Maret 2016 ini? Alasan pertama adalah karena aku belum pernah ke Palembang. Alasan lainnya adalah karena Pemerintah Daerah Palembang kelihatannya sangat merencanakan kegiatan ini dengan baik. Menyiapkan festival hingga menunjuk titik utama pengamatan gerhana yaitu di atas Jembatan Ampera. Pas sudah!


Jembatan Ampera, 9 Maret 2016, sebelum GMT

Langit pagi mulai terang. Semoga cerah. Dari atas Ampera, Sungai Musi terlihat sibuk dengan aktivitasnya. Kapal-kapal bergerak mengangkut orang, logistik bahkan batubara. Tak hanya jembatan saja yang dipenuhi masyarakat yang ingin melihat gerhana. Di Benteng Kuto Besak di seberang hilir jembatan juga tak kalah ramainya. Magnet gerhana matahari total mampu menyihir semua orang untuk menyaksikannya. Tak perlu takut melihat gerhana, inilah relasi manusia dengan alam semesta.

Aku duduk di pinggir trotoar, membaur dengan warga. Kulihat beberapa orang telah menyiapkan kacamata gerhana beraneka bentuk dan warna. Tapi kuakui bahwa masyarakat kita memang sangat kreatif. Selalu ada jalan untuk menggantikan kacamata gerhana keluaran pabrik yang harganya cukup mahal. Ada yang menggunakan hasil foto rontgen besar yang mereka persiapkan sebagai pelindung mata. Bukan saja foto rontgen, bahkan klise foto jaman dulu juga hadir kembali tapi beralih fungsi. Berderet momen human interest di sekitarku ini benar-benar istimewa!

Nak, kan kutunjukkan satu fenomena alam padamu...
Menikmati gerhana dari balik foto rontgen
Melihat gerhana dari balik klise foto

"Mana gerhananya, Ayah?" tanya seorang anak kecil kepada ayahnya. Mereka duduk di sebelahku. 
"Sebentar lagi. Nanti pakai ini ya saat melihat gerhana." kata si Ayah.

Sang Ayah memberikan sebuah kotak karton kecil pada putrinya. Kotak pinhole kurasa.

"Bikin sendiri, pak?" tanyaku membuka obrolan. 
"Ya, mbak. Lumayan, jadi nggak usah beli kacamata gerhana"  jawabnya

Mana gerhananya, Ayah? 

Sesuai perkiraan, proses gerhana matahari total di Kota Palembang ini dimulai sekitar pukul 06.20 WIB. Dari balik kacamata gerhana, sempat kulihat proses saat bulan sedikit demi sedikit menutupi matahari. Tapi sayangnya hanya bisa dinikmati sebentar saja. Langit di sekitar Ampera berselimut awan. Sesekali awan pergi namun datang kembali. Begitu seterusnya. Banyak yang kecewa, termasuk aku. Padahal tempat ini digadang-gadang sebagai lokasi yang bagus untuk menyaksikan gerhana. Orang-orang kemudian menunjuk cerobong asap pabrik Pusri yang tampak mengeluarkan asap nun jauh di sana. Entahlah, aku tidak dapat menyimpulkan apakah hal tersebut turut berkontribusi terhadap tertutupnya matahari pagi ini.

Gumpalan awan menutupi matahari

Pukul 07.20 WIB, menjelang matahari benar-benar berada segaris dengan bulan, langit perlahan berubah menjadi gelap. Lampu Jembatan Ampera tiba-tiba menyala. Suasana pagi yang awalnya terang benderang terlihat seperti waktu maghrib. Suhu udara mendadak menjadi dingin. Sungguh sebuah perubahan yang dahsyat! Orang-orang berteriak, bersorak, sebagian bertakbir dan bertasbih. Mulutku tercekat. Aku terpaku selama hampir dua menit menyaksikan itu. Segala puji bagi-Mu, Tuhan Semesta Alam!


Jembatan Ampera, 9 Maret 2016, pukul 07.20 pagi!!!
Mengabadikan kegembiraan

Awalnya cukup kecewa dengan proses gerhana dan korona yang tak bisa terlihat, padahal aku sudah jauh-jauh datang ke Palembang khusus demi ini. Tapi peristiwa selama dua menit tadi telah membayar lunas semua. Momen merasakan sensasi perubahan terangnya pagi menjadi seperti malam, bersama ribuan pasang mata di atas Jembatan Ampera, wow...luar biasa! Ini tak terlupakan!

Gerhana berlalu. Jembatan Ampera kembali menggeliat dipenuhi lalu lalang kendaraan yang lewat. Di bawahnya, mengalir Sungai Musi, nadi kehidupan kota ini. Aku pulang dengan membawa banyak kenangan dan tentu saja...Pempek Palembang!


Jembatan Ampera dan aktivitas Sungai Musi

Monday, March 07, 2016

Ngelamang di Sumbawa (Bag. 7) : Agal & Bungin, Here We Come!

"Bila kita tak segan mendaki lebih jauh lagi
Kita akan segera rasakan
betapa bersahabatnya alam
Setiap sudut seperti menyapa
Bahkan teramat akrab
Seperti kita turut membangun
Seperti kita yang merencanakan..."
(Ebiet G. Ade - Senandung Pucuk-Pucuk Pinus)

-----------------------------------------------------------------------

12 Januari 2016

Pagiku yang kesekian hari di Benete. Pagi yang selalu disuguhi pemandangan bukit hijau di belakang rumah Yuli. 

Pukul 07.00 WITA, aku dan Yuli memulai perjalanan piknik hari ini. Dengan motor matic Suzuki Nex kami lalui jalanan Benete, melewati Jereweh, Taliwang hingga Seteluk. Jalanan yang sama yang kami lewati saat menuju Poto Tano dua hari yang lalu. Komeng yang sudah standby di Puskesmas Seteluk, siap menjadi teman sekaligus guide trip kami ke Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa. Kami akan pergi ke Air Terjun Agal di Marente serta Pulau Bungin. Perjalanan yang cukup jauh!

Yuli mbonceng Komeng dan aku bersolo motor sendiri. Lagi-lagi melewati jalanan yang sama seperti saat ke Poto Tano, tetapi di sebuah pertigaan (sebelum pelabuhan) kami ambil arah kanan. Aku terhenyak dengan pemandangan keren yang kulewati menuju Alas ini. Jalanan aspal bagus yang sepi, membelah perbukitan hijau semi kekuningan. Ingin rasanya aku mengendarai motor ini dengan pelan sekali dan menikmati tiap jengkal keindahan yang menghampar. Tapi Komeng ngebut banget sehingga mau nggak mau aku yang di belakangnya juga harus mengimbangi dengan kecepatan sama biar nggak ketinggalan jauh.

Maka setelah berjibaku di atas motor sekitar 30 km melewati jalanan yang tentu saja baru pertama kusambangi, kami sampai di Alas. Tujuan pertama kami adalah ke Desa Marente, tempat dimana air terjun Agal berada. Desa ini berada sekitar 6 km dari pusat Kecamatan Alas.

Jalan aspal mulai berubah menjadi jalanan desa berbatu. Pemandangan pegunungan juga nampak hijau di depan. Kami sudah berada di Desa Marente. Mampir ke rumah Bang Erik, warga desa kenalan Komeng, sekaligus menitipkan motor di sana. Bang Erik juga akan menemani kami trekking ke air terjun Agal. Sebenarnya di Desa Marente ini terdapat setidaknya tiga air terjun yang masih tersembunyi di pekatnya belantara, yaitu Agal, Seketok (1 dan 2) serta Sebra. Tapi kami hanya akan ke Agal saja karena mempertimbangkan waktu tempuh dan sebagainya

Dari rumah Bang Erik, kami jalan kaki menuju sebuah sungai. Orang kampung menyebutnya sebagai sungai besar, itu saja. Arusnya cukup deras, licin dengan ketinggian sekitar lututku. Untuk menuju air terjun kami harus menyeberangi sungai besar itu.

Sekarang saatnya trekking menembus rimba raya Marente melewati jalan setapak. Treknya sesekali nanjak, berseling dengan datar. Ah, terus terang aku rindu dengan suasana seperti ini, sedap dipandang mata saking hijau dan rimbunnya. Sesekali kami beristirahat, meluruskan kaki. Ayo Yuli, kamu bisa! Haha! 

Sudut cantik di Sungai Besar

Banyak komunitas jalan-jalan di Sumbawa dan penggiat alam yang sudah mengeksplor keindahan Marente, termasuk Komunitas Ngelamang+ dimana Komeng aktif di dalamnya. Mereka bekerja sama dengan warga desa (seperti Bang Erik ini) untuk ikut mengembangkan wisata di wilayah ini.

Petunjuk arah menuju air terjun dapat kita temui di beberapa titik, tapi agak-agak rawan nyasar juga sih sebenarnya, hehe! Untuk tempat istirahat, terdapat dua  pos tempat istirahat di area yang datar dan cukup lapang. Sayangnya, masih saja ada orang yang membuang sampah seperti bekas motol minuman dan makanan sembarangan. Thanks untuk Bang Erik, yang dengan sukarela ngambilin sampah-sampah tersebut.


Istirahat lagi, kakak

Nyaris sampai di Pos 2 ketika sepatu kets yang dipakai Yuli solnya lepas! Sepatunya sudah minta pensiun karena lelah dimakan zaman, Yul! Haha! Untungnya Yuli membawa sandal yang disimpan di dalam ranselnya, meski itu hanya berupa sandal jepit dan berwarna merah jambu pula! Hati-hati aja, Yul. Licin pastinya pakai sandal begitu melewati jalanan begini. Ini tandanya kamu perlu beli sandal gunung ya, kan sudah mulai doyan trekking :-)

Kami berjalan lagi menembus hutan. Sesekali melewati sungai-sungai kecil. Suara gemuruh air terjun mulai sayup terdengar.

Setelah trekking hampir dua jam, akhirnya sebuah air terjun megah, tinggi sekali, dengan aliran air yang deras serta bertingkat terpampang nyata di depan mata kami. Inilah air terjun Agal. Cantik sekali! Cantik dan sepi. Yakin dengan pasti bahwa aku bisa betah berlama-lama di sini. Sederhana saja, duduk di atas batu sambil menikmati riuh sunyi suara alam sekitar. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam....

By the way, selamat Yul! Meski dengan sandal imut warna pink itu kamu berhasil menembus sampai air terjun Agal, ckck!


Jepretan untuk Agal (1)

Jepretan untuk Agal (2)

Jepretan untuk Agal (3)

Jepretan untuk Agal (4)

Diawali gerimis yang kemudian berubah menjadi hujan akhirnya membuat kami harus segera meninggalkan Agal. Agal dengan segenap kesunyiannya...

Kami telusuri lagi jalan yang sama saat berangkat tadi. Jika tadi trekking nyaris dua jam, kini cukup satu jam saja untuk turun. Ya iyalah, kan turun! Sepanjang jalan, hujan tak kunjung berhenti bahkan semakin deras. Ah, kami harus menyeberangi sungai besar itu lagi!

Kulari ke hutan, lalu kusebrang sungai ;p


Kami istirahat sejenak di sebuah pondok di tepi sungai. Ceritanya pengen nunggu hujan reda. Tapi hujan semakin menjadi. Kondisi kami sudah basah begini, ya sekalian sajalah. Maka kami putuskan tetap pulang kembali ke rumah Bang Erik sambil hujan-hujanan lagi.

Marente masih tetap hujan saat kami pamit pulang ke Bang Erik dan meneruskan perjalanan lagi. Masih ada satu tempat yang akan kami kunjungi yaitu Pulau Bungin yang terletak di bagian utara Alas. Tapi hal yang paling bikin nyesek adalah...sesampai di Alas malah nggak hujan sama sekali. Maka kami bertiga pasti tampak seperti tiga manusia yang aneh sekali, kondisi basah kuyup di atas motor tetapi melewati jalanan ke arah Pulau Bungin yang kering kerontang!

Sedikit cerita tentang Pulau Bungin. Pulau kecil ini masih bagian dari Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa. Hampir seluruh penduduk di pulau tersebut berasal dari Suku Bajo Sulawesi Selatan yang telah hidup di pulau itu secara turun temurun. Pulau ini dijuluki sebagai pulau terpadat di dunia, hampir tak ada lahan yang tersisa karena daratannya dipenuhi oleh rumah-rumah penduduk. Kepadatan penduduk jugalah yang membuat pulau ini tak memiliki garis pantai karena sepanjang pesisirnya dibangun menjadi tempat tinggal. Bahkan warga yang hendak membangun rumah baru harus menguruk lautan dengan karang, ya semacam reklamasi jadinya. Hal ini menjadikan luas Pulau Bungin menjadi bertambah luas seiring bertambahnya rumah.

Satu hal yang bikin aku ngebet banget ke Bungin adalah kabarnya karena saking padatnya pulau, bahkan kambing-kambing di pulau itu sampai makan kertas karena tak ada rumput sama sekali di pulau karang tersebut. Gila!


Padatnya Pulau Bungin (sumber: www.kompas.com)

Dari Pasar Kecamatan Alas menuju Bungin ternyata masih cukup jauh, jalannya berupa jalan tanah yang dipadatkan. Aduh Komeng, kenapa kamu ngebut banget sih bawa motornya? Aku jadi kepontal-pontal mengejar laju motormu, mana jalannya nggak rata pula! Komeng bilang sekarang sudah ada jalan kecil yang menghubungkan Pulau Sumbawa dengan Pulau Bungin, jadi nggak perlu pakai perahu untuk menyeberang ke pulau itu.

Finally, pemandangan berupa rumah-rumah penduduk di seberang sana mulai kelihatan. Sebuah jalan besar dengan gerbang bertuliskan "Selamat Datang di Pulau Bungin" menanti di depan kami. Bungin yang sekarang ternyata sudah berbeda. Laut di sekitar pulau telah direklamasi dengan cukup luas sehingga Bungin sepertinya tak cocok lagi jika disebut pulau karena ia menjadi tak terpisah dengan Pulau Sumbawa. Hasil dari reklamasi itu sendiri menjadikan tempat ini punya cukup luas lahan kosong di sekitar area gerbang. Tapi mari kita lihat bagian dalamnya, Bungin yang sebenarnya! Dan Kambing yang makan kertas pastinya :-)

Bungin sudah kelihatan!

Selamat dating di Pulau Bungin

Beriringan motor, kami memasuki kampung. Beneran ternyata, pulau ini padat sekali. Rumah-rumah berdiri berhimpitan. Rata-rata berupa rumah panggung. Beberapa di antaranya bahkan bukan berdiri di atas tanah, melainkan dibangun di atas tumpukan karang. Untungnya, masih terdapat jalan utama yang menghubungkan tiap sudut kampung. Kami memarkir motor di dekat pelabuhan penyeberangan yang masih difungsikan sampai saat ini sebagai pelabuhan bagi nelayan.

Dengan berjalan kaki kami mengelilingi kampung. Tampak anak-anak kecil berlarian, remaja tanggung main bola di sebuah lapangan kecil di sebelah masjid (untung masih ada lapangan ya!), Bapak-Bapak yang sedang main catur di depan rumah serta Ibu-Ibu yang berkumpul di dekat warung. Denyut kehidupan warga tampak normal di sini. Mataku tergoda oleh kilatan warna pisang goreng yang dijual di sebuah warung di pinggir jalan. Tapi nggak jadi beli gara-gara tetiba mikir bagaimana masyarakat di sini beraktivitas di sebuah pulau reklamasi karang tanpa sumber air bersih dan drainase yang.. ya gitu deh :-(

Kami berhenti sejenak di depan sebuah warung. Ngobrol dengan Ibu pemilik warung yang tampak wah dengan perhiasan emas kuning yang hampir memenuhi telinga, leher dan tangannya. Eh, ada kambing-kambing pula di dekat warung ini, pas sudah! Mari kita buktikan apakah kambing-kambing di sini memang beneran doyan sama kertas.

"Jika saya menggeletakkan buku sembarangan, bisa habis dimakan kambing" kata si Ibu sambil menunjukkan segepok buku tulis baru.
"Tak hanya kertas, tapi uang juga dimakan" tambah si Ibu.

Waduh, serius? Bahaya ini! Komeng segera mengeluarkan uang kertas seribuan dari dompetnya. Mau ngetes dia! Tapi apa yang terjadi saudara-saudara? Kambing-kambing itu menolak mentah-mentah! Lalu si Ibu mengeluarkan uang kertas dua puluh ribu, dan...kambing-kambing itu segera mendekat dan nyaris memakan uang dua puluhan ribu itu jika si Ibu tidak cepat-cepat menariknya! Sialan, ternyata kambingpun tahu harga mata uang, wkwk!

Sudut Bungin

Para penggemar Gudang Garam Merah

Masih ngemut Gudang Garam Merah

Kami lalu menyodorkan kertas bungkus rokok (entah merk apa) yang teronggok di dekat dinding warung. Para kambing tampak cuek saja dan tak tergoda. Tapi ketika kami sodorkan kertas bungkus rokok Gudang Garam merah, wow... kambing-kambing itu saling berebutan! Kertas bungkus selop rokok gudang garam memang baunya agak lain, lanjut si Ibu. Wkwk, ada-ada saja.

"Meskipun makan kertas, kambing-kambing di sini sehat-sehat saja" terang si Ibu.

Aku tinggalkan Pulau Bungin dengan banyak tanda tanya. Entahlah. Peradaban manusia telah membuat kambing di Bungin beradaptasi atau bahkan ber-evolusi terhadap jenis makanannya serta sistem pencernaannya. 

Hari sudah semakin sore. Kami temui senja di jalanan Alas. Yuli menyarankan untuk menginap di rumah Paman dan Bibinya di Kecamatan Alas karena perjalanan pulang ke Benete masih sangat jauh dengan kondisi jalanan yang gelap dan sepi. Aku sih yess saja. Sudah terlalu capek juga.

Komeng pulang ke Seteluk malam itu setelah Paman dan Bibinya Yuli menyuguhi kami makan malam dengan menu khas Sumbawa yang lezat sekali. Makasih ya Meng, sudah nemenin kami ngetrip seharian ini. Makasih tak terhingga juga untuk Paman dan Bibi yang sudah menampung aku dan Yuli malam ini :-)

Aku tepar, tapi masih kuingat betul cantiknya Agal dan uniknya Pulau Bungin....

Kisah selanjutnya di Ngelamang di Sumbawa (Bag. 8): Kulari ke Bukit, Lalu Belok ke Pantai