Monday, March 07, 2016

Ngelamang di Sumbawa (Bag. 7) : Agal & Bungin, Here We Come!

"Bila kita tak segan mendaki lebih jauh lagi
Kita akan segera rasakan
betapa bersahabatnya alam
Setiap sudut seperti menyapa
Bahkan teramat akrab
Seperti kita turut membangun
Seperti kita yang merencanakan..."
(Ebiet G. Ade - Senandung Pucuk-Pucuk Pinus)

-----------------------------------------------------------------------

12 Januari 2016

Pagiku yang kesekian hari di Benete. Pagi yang selalu disuguhi pemandangan bukit hijau di belakang rumah Yuli. 

Pukul 07.00 WITA, aku dan Yuli memulai perjalanan piknik hari ini. Dengan motor matic Suzuki Nex kami lalui jalanan Benete, melewati Jereweh, Taliwang hingga Seteluk. Jalanan yang sama yang kami lewati saat menuju Poto Tano dua hari yang lalu. Komeng yang sudah standby di Puskesmas Seteluk, siap menjadi teman sekaligus guide trip kami ke Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa. Kami akan pergi ke Air Terjun Agal di Marente serta Pulau Bungin. Perjalanan yang cukup jauh!

Yuli mbonceng Komeng dan aku bersolo motor sendiri. Lagi-lagi melewati jalanan yang sama seperti saat ke Poto Tano, tetapi di sebuah pertigaan (sebelum pelabuhan) kami ambil arah kanan. Aku terhenyak dengan pemandangan keren yang kulewati menuju Alas ini. Jalanan aspal bagus yang sepi, membelah perbukitan hijau semi kekuningan. Ingin rasanya aku mengendarai motor ini dengan pelan sekali dan menikmati tiap jengkal keindahan yang menghampar. Tapi Komeng ngebut banget sehingga mau nggak mau aku yang di belakangnya juga harus mengimbangi dengan kecepatan sama biar nggak ketinggalan jauh.

Maka setelah berjibaku di atas motor sekitar 30 km melewati jalanan yang tentu saja baru pertama kusambangi, kami sampai di Alas. Tujuan pertama kami adalah ke Desa Marente, tempat dimana air terjun Agal berada. Desa ini berada sekitar 6 km dari pusat Kecamatan Alas.

Jalan aspal mulai berubah menjadi jalanan desa berbatu. Pemandangan pegunungan juga nampak hijau di depan. Kami sudah berada di Desa Marente. Mampir ke rumah Bang Erik, warga desa kenalan Komeng, sekaligus menitipkan motor di sana. Bang Erik juga akan menemani kami trekking ke air terjun Agal. Sebenarnya di Desa Marente ini terdapat setidaknya tiga air terjun yang masih tersembunyi di pekatnya belantara, yaitu Agal, Seketok (1 dan 2) serta Sebra. Tapi kami hanya akan ke Agal saja karena mempertimbangkan waktu tempuh dan sebagainya

Dari rumah Bang Erik, kami jalan kaki menuju sebuah sungai. Orang kampung menyebutnya sebagai sungai besar, itu saja. Arusnya cukup deras, licin dengan ketinggian sekitar lututku. Untuk menuju air terjun kami harus menyeberangi sungai besar itu.

Sekarang saatnya trekking menembus rimba raya Marente melewati jalan setapak. Treknya sesekali nanjak, berseling dengan datar. Ah, terus terang aku rindu dengan suasana seperti ini, sedap dipandang mata saking hijau dan rimbunnya. Sesekali kami beristirahat, meluruskan kaki. Ayo Yuli, kamu bisa! Haha! 

Sudut cantik di Sungai Besar

Banyak komunitas jalan-jalan di Sumbawa dan penggiat alam yang sudah mengeksplor keindahan Marente, termasuk Komunitas Ngelamang+ dimana Komeng aktif di dalamnya. Mereka bekerja sama dengan warga desa (seperti Bang Erik ini) untuk ikut mengembangkan wisata di wilayah ini.

Petunjuk arah menuju air terjun dapat kita temui di beberapa titik, tapi agak-agak rawan nyasar juga sih sebenarnya, hehe! Untuk tempat istirahat, terdapat dua  pos tempat istirahat di area yang datar dan cukup lapang. Sayangnya, masih saja ada orang yang membuang sampah seperti bekas motol minuman dan makanan sembarangan. Thanks untuk Bang Erik, yang dengan sukarela ngambilin sampah-sampah tersebut.


Istirahat lagi, kakak

Nyaris sampai di Pos 2 ketika sepatu kets yang dipakai Yuli solnya lepas! Sepatunya sudah minta pensiun karena lelah dimakan zaman, Yul! Haha! Untungnya Yuli membawa sandal yang disimpan di dalam ranselnya, meski itu hanya berupa sandal jepit dan berwarna merah jambu pula! Hati-hati aja, Yul. Licin pastinya pakai sandal begitu melewati jalanan begini. Ini tandanya kamu perlu beli sandal gunung ya, kan sudah mulai doyan trekking :-)

Kami berjalan lagi menembus hutan. Sesekali melewati sungai-sungai kecil. Suara gemuruh air terjun mulai sayup terdengar.

Setelah trekking hampir dua jam, akhirnya sebuah air terjun megah, tinggi sekali, dengan aliran air yang deras serta bertingkat terpampang nyata di depan mata kami. Inilah air terjun Agal. Cantik sekali! Cantik dan sepi. Yakin dengan pasti bahwa aku bisa betah berlama-lama di sini. Sederhana saja, duduk di atas batu sambil menikmati riuh sunyi suara alam sekitar. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam....

By the way, selamat Yul! Meski dengan sandal imut warna pink itu kamu berhasil menembus sampai air terjun Agal, ckck!


Jepretan untuk Agal (1)

Jepretan untuk Agal (2)

Jepretan untuk Agal (3)

Jepretan untuk Agal (4)

Diawali gerimis yang kemudian berubah menjadi hujan akhirnya membuat kami harus segera meninggalkan Agal. Agal dengan segenap kesunyiannya...

Kami telusuri lagi jalan yang sama saat berangkat tadi. Jika tadi trekking nyaris dua jam, kini cukup satu jam saja untuk turun. Ya iyalah, kan turun! Sepanjang jalan, hujan tak kunjung berhenti bahkan semakin deras. Ah, kami harus menyeberangi sungai besar itu lagi!

Kulari ke hutan, lalu kusebrang sungai ;p


Kami istirahat sejenak di sebuah pondok di tepi sungai. Ceritanya pengen nunggu hujan reda. Tapi hujan semakin menjadi. Kondisi kami sudah basah begini, ya sekalian sajalah. Maka kami putuskan tetap pulang kembali ke rumah Bang Erik sambil hujan-hujanan lagi.

Marente masih tetap hujan saat kami pamit pulang ke Bang Erik dan meneruskan perjalanan lagi. Masih ada satu tempat yang akan kami kunjungi yaitu Pulau Bungin yang terletak di bagian utara Alas. Tapi hal yang paling bikin nyesek adalah...sesampai di Alas malah nggak hujan sama sekali. Maka kami bertiga pasti tampak seperti tiga manusia yang aneh sekali, kondisi basah kuyup di atas motor tetapi melewati jalanan ke arah Pulau Bungin yang kering kerontang!

Sedikit cerita tentang Pulau Bungin. Pulau kecil ini masih bagian dari Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa. Hampir seluruh penduduk di pulau tersebut berasal dari Suku Bajo Sulawesi Selatan yang telah hidup di pulau itu secara turun temurun. Pulau ini dijuluki sebagai pulau terpadat di dunia, hampir tak ada lahan yang tersisa karena daratannya dipenuhi oleh rumah-rumah penduduk. Kepadatan penduduk jugalah yang membuat pulau ini tak memiliki garis pantai karena sepanjang pesisirnya dibangun menjadi tempat tinggal. Bahkan warga yang hendak membangun rumah baru harus menguruk lautan dengan karang, ya semacam reklamasi jadinya. Hal ini menjadikan luas Pulau Bungin menjadi bertambah luas seiring bertambahnya rumah.

Satu hal yang bikin aku ngebet banget ke Bungin adalah kabarnya karena saking padatnya pulau, bahkan kambing-kambing di pulau itu sampai makan kertas karena tak ada rumput sama sekali di pulau karang tersebut. Gila!


Padatnya Pulau Bungin (sumber: www.kompas.com)

Dari Pasar Kecamatan Alas menuju Bungin ternyata masih cukup jauh, jalannya berupa jalan tanah yang dipadatkan. Aduh Komeng, kenapa kamu ngebut banget sih bawa motornya? Aku jadi kepontal-pontal mengejar laju motormu, mana jalannya nggak rata pula! Komeng bilang sekarang sudah ada jalan kecil yang menghubungkan Pulau Sumbawa dengan Pulau Bungin, jadi nggak perlu pakai perahu untuk menyeberang ke pulau itu.

Finally, pemandangan berupa rumah-rumah penduduk di seberang sana mulai kelihatan. Sebuah jalan besar dengan gerbang bertuliskan "Selamat Datang di Pulau Bungin" menanti di depan kami. Bungin yang sekarang ternyata sudah berbeda. Laut di sekitar pulau telah direklamasi dengan cukup luas sehingga Bungin sepertinya tak cocok lagi jika disebut pulau karena ia menjadi tak terpisah dengan Pulau Sumbawa. Hasil dari reklamasi itu sendiri menjadikan tempat ini punya cukup luas lahan kosong di sekitar area gerbang. Tapi mari kita lihat bagian dalamnya, Bungin yang sebenarnya! Dan Kambing yang makan kertas pastinya :-)

Bungin sudah kelihatan!

Selamat dating di Pulau Bungin

Beriringan motor, kami memasuki kampung. Beneran ternyata, pulau ini padat sekali. Rumah-rumah berdiri berhimpitan. Rata-rata berupa rumah panggung. Beberapa di antaranya bahkan bukan berdiri di atas tanah, melainkan dibangun di atas tumpukan karang. Untungnya, masih terdapat jalan utama yang menghubungkan tiap sudut kampung. Kami memarkir motor di dekat pelabuhan penyeberangan yang masih difungsikan sampai saat ini sebagai pelabuhan bagi nelayan.

Dengan berjalan kaki kami mengelilingi kampung. Tampak anak-anak kecil berlarian, remaja tanggung main bola di sebuah lapangan kecil di sebelah masjid (untung masih ada lapangan ya!), Bapak-Bapak yang sedang main catur di depan rumah serta Ibu-Ibu yang berkumpul di dekat warung. Denyut kehidupan warga tampak normal di sini. Mataku tergoda oleh kilatan warna pisang goreng yang dijual di sebuah warung di pinggir jalan. Tapi nggak jadi beli gara-gara tetiba mikir bagaimana masyarakat di sini beraktivitas di sebuah pulau reklamasi karang tanpa sumber air bersih dan drainase yang.. ya gitu deh :-(

Kami berhenti sejenak di depan sebuah warung. Ngobrol dengan Ibu pemilik warung yang tampak wah dengan perhiasan emas kuning yang hampir memenuhi telinga, leher dan tangannya. Eh, ada kambing-kambing pula di dekat warung ini, pas sudah! Mari kita buktikan apakah kambing-kambing di sini memang beneran doyan sama kertas.

"Jika saya menggeletakkan buku sembarangan, bisa habis dimakan kambing" kata si Ibu sambil menunjukkan segepok buku tulis baru.
"Tak hanya kertas, tapi uang juga dimakan" tambah si Ibu.

Waduh, serius? Bahaya ini! Komeng segera mengeluarkan uang kertas seribuan dari dompetnya. Mau ngetes dia! Tapi apa yang terjadi saudara-saudara? Kambing-kambing itu menolak mentah-mentah! Lalu si Ibu mengeluarkan uang kertas dua puluh ribu, dan...kambing-kambing itu segera mendekat dan nyaris memakan uang dua puluhan ribu itu jika si Ibu tidak cepat-cepat menariknya! Sialan, ternyata kambingpun tahu harga mata uang, wkwk!

Sudut Bungin

Para penggemar Gudang Garam Merah

Masih ngemut Gudang Garam Merah

Kami lalu menyodorkan kertas bungkus rokok (entah merk apa) yang teronggok di dekat dinding warung. Para kambing tampak cuek saja dan tak tergoda. Tapi ketika kami sodorkan kertas bungkus rokok Gudang Garam merah, wow... kambing-kambing itu saling berebutan! Kertas bungkus selop rokok gudang garam memang baunya agak lain, lanjut si Ibu. Wkwk, ada-ada saja.

"Meskipun makan kertas, kambing-kambing di sini sehat-sehat saja" terang si Ibu.

Aku tinggalkan Pulau Bungin dengan banyak tanda tanya. Entahlah. Peradaban manusia telah membuat kambing di Bungin beradaptasi atau bahkan ber-evolusi terhadap jenis makanannya serta sistem pencernaannya. 

Hari sudah semakin sore. Kami temui senja di jalanan Alas. Yuli menyarankan untuk menginap di rumah Paman dan Bibinya di Kecamatan Alas karena perjalanan pulang ke Benete masih sangat jauh dengan kondisi jalanan yang gelap dan sepi. Aku sih yess saja. Sudah terlalu capek juga.

Komeng pulang ke Seteluk malam itu setelah Paman dan Bibinya Yuli menyuguhi kami makan malam dengan menu khas Sumbawa yang lezat sekali. Makasih ya Meng, sudah nemenin kami ngetrip seharian ini. Makasih tak terhingga juga untuk Paman dan Bibi yang sudah menampung aku dan Yuli malam ini :-)

Aku tepar, tapi masih kuingat betul cantiknya Agal dan uniknya Pulau Bungin....

Kisah selanjutnya di Ngelamang di Sumbawa (Bag. 8): Kulari ke Bukit, Lalu Belok ke Pantai

No comments:

Post a Comment