Sunday, November 06, 2016

A Weekend Getaway: Melinjo Island

"Everybody's got a place they go
When the old battery gets running low
I'm a sucker for the sand and sea
If I had my way, hey I'd always be

Way up high in a coconut tree
Laying how, just my baby and me
Sunny sky as far as I can see
High up in a coconut tree.."

(Coconut Tree - Kenny Chesney)

------------------------------------------------------

Karena naik gunung itu capek, maka mari ke pantai saja. Pantai di pulau yang dekat dengan Jakarta, Kepulauan Seribu tentunya. Tapi bukan kami namanya kalau nyari pulaunya yang mainstream saja, haha!

Genk Miangas reunian lagi, tapi minus Dian dan Kusuma. Kini pesertanya aku, Dame, Yuni dan Ester. Tapi ketambahan Rifki temen satu kampungku di Pekalongan serta Kirey, temennya Rifki dari Balikpapan. 

Kami berencana camping di Pulau Melinjo. Salah satu pulau di Kepulauan Seribu yang kabarnya masih jarang dikunjungi dan tidak berpenghuni (tapi ada penjaganya ding). Setidaknya pulau ini tidak sepadat pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu yang sering disambangi para pejalan. Melinjo bisa menjadi tempat mencari sepi. Kami tak banyak googling mengenai pulau itu, selama sepi dan tak berpenghuni... tampaknya akan menjadi tempat camping yang cozy. Itu saja! 


8 Oktober 2016

Selepas shubuh, dari rumah Yuni di kawasan Tomang, aku, Yuni dan Dame meluncur ke Pelabuhan Kali Adem di Muara Angke. Tinggal nanti ketemu dengan Ester, Rifki dan Kirey di meeting point yang sudah disepakati. 

Di Pelabuhan Kali Adem, kami bertemu dengan Pak Asrul, petugas kapal jurusan Pulau Harapan. Yup, kami memang nggak bisa langsung menuju Pulau Melinjo dari pelabuhan Kali Adem. Dari Kali Adem kami dapat menggunakan kapal reguler menuju Pulau Harapan terlebih dulu baru kemudian menyewa kapal ke Pulau Melinjo. Ester telah mengatur urusan perkapalan dengan menghubungi Pak Jabu, pemilik kapal di Pulau Harapan. 

Aku dan Dame naik kapal duluan. Nge-tag tempat ceritanya, sambil nungguin teman-teman yang belum datang. Sengaja kami memilih tempat di deck atas. Langit tak biru, mentari pagi tertutup awan mendung.

Prakiraan cuaca BMKG memang memperkiraan wilayah Jakarta dan Kepulauan Seribu akan mengalami hujan ringan sampai sedang pada hari ini. Ombak juga cukup tinggi. Tapi adakah yang bisa menghalau kerinduan kami akan laut ini? 

Kapal penuh. Kami berlima telah kumpul semua. Apa kabar Rifki, long time no see! Salam kenal juga untuk Kirey, cewek yang ternyata bocor juga ;p

Ngobrol tentang banyak hal dan baru berhenti setelah rasa kantuk menyerang. Kami tidur tergeletak di deck seperti ikan pindang. Ombak tak bersahabat, sangat terasa goyangannya. Ada yang perlu antimo? Atau butuh plastik kresek? Haha! 

Tiga jam menerjang laut, bak nenek moyang (apaan sih!), akhirnya kami sampai di Pulau Harapan. Pulaunya rame banget. Sesampai di Harapan, kami bertemu Pak Jabu, pemilik kapal yang akan membawa kami ke Pulau Melinjo. Naruh gembolan carrier ke kapal Pak Jabu dulu sebelum nyari makan siang untuk dibawa ke pulau. Eh, di Pulau Harapan ini ternyata lagi musim jajanan berupa campuran adonan yang ditusuk pakai tusukan sate dan dicelupkan ke dalam adonan telur lalu digoreng. Macem-macem jenisnya dan  cukup enak rasanya. Apalagi kalau dapat gratisan, pasti ada rasanya. Rasa(h) mbayar, haha! 

Mendung menggantung. Buru-buru kami menuju kapal kayu milik Pak Jabu. Berangkat! Aku, Yuni, Ester dan Dame memilih duduk di buritan bersama Pak Jabu yang  kadang sibuk mengarahkan kapal. Rifki duduk di ujung haluan bersama asistennya Pak Jabu, sementara Kirey ndlongsor di deck bagian haluan juga. Pulau Melinjo harus ditempuh sekitar satu jam lebih perjalanan dari sini. Melewati pulau-pulau kecil lain yang berserak di perairan Kepulauan Seribu.

Tampak buih-buih putih di tengah laut yang menandakan ombak sedang besar. Dan benar, semakin lama kapal ini melaju, ombak memang tambah besar. Kapal kayu ini serasa di ombang-ambingkan lautan. Bahkan gelombang di depan kami terlihat begitu tinggi dan kemungkinan bisa menyapu kapal ini dalam kedipan mata! Ngeri! Yuni tampak terdiam, entah apa yang ada di pikirannya. Aku berpegangan pada tiang kapal, Ester memegang pundakku. Lha piye iki maksude? 

Tapi kulihat Pak Jabu tampak sangat berpengalaman terhadap perairan ini. Kapal kayu ini cukup bisa dikendalikan meski harus melawan alam yang sedang nggak tenang. Namun siapa yang nggak takut sih melihat gelombang segede gaban tampak nyata di depan mata? 

"Apa ganti pulau saja? Melinjo masih cukup jauh" tanya Pak Jabu setelah melihat situasi dan memperhatikan ekspresi para penumpang yang makin mengkhawatirkan.
"Ganti ke Pulau Papateo saja gimana?" Lanjut Pak Jabu.
"Papateo sudah pernah dan rada spooky..."jawab Yuni.
"Kalau Pulau Perak?" Pak Jabu kembali menawarkan alternatif pulau lain
"Udah pernah juga" ujar Yuni
"Pulau Dolphin?" tanya Pak Jabu
"Pulau Dolphin di mana, Pak?" Kini giliran Dame yang bertanya. 
"Itu, di depan sana" jawab Pak Jabu sambil menunjuk sebuah pulau, tampak tak begitu jauh.
"Kalau Pulau Melinjo?" tanya Dame
"Ada di belakang Pulau Dolphin" kata Pak Jabu
"Ya udah kalau gitu, tetap ke Melinjo aja, sudah cukup dekat berarti" kata Dame

Dengan membulatkan tekad, kapal ini tetap diarahkan menuju Pulau Melinjo. Angin semakin kencang, ombak bertambah besar. Tubuh kami beberapa kali tersiram air laut saat kapal kecil ini menerjang ombak. Terus berharap, semoga Tuhan melindungi perjalanan. Amin.

Kapal kayu ini akhirnya mendekati sebuah pulau, menuju dermaganya. Arus sedemikian kencang. Kapal merapat. Semua penumpang turun satu persatu, disusul ransel dan gembolan kami. Pak Jabu tampak buru-buru karena angin sepertinya bertambah kencang dan kapal akan susah pulang ke Pulau Harapan. Terimakasih Pak Jabu, telah mengantarkan kami ke sini. Selamat datang di Pulau Melinjo! Hah, akhirnya!

Kami disambut seorang Bapak, beliau penjaga Pulau Melinjo. Pulaunya beneran sepi. Bapak penjaga pulau mengajak kami melihat beberapa tempat yang sering digunakan untuk mendirikan tenda. Area yang cukup lapang tak jauh dari dermaga, atau di depan sana dengan pemandangan pantainya. Kondisi angin kencang dan gerimis saat itu, membuat kami memutuskan untuk pasang tenda di tempat yang cukup terlindungi tak jauh dari dermaga.

Hanya ada kami berenam (ditambah Bapak penjaga) di pulau ini. Nggak ada orang lain yang camping lagi. Dua buah tenda kami dirikan, tak jauh dari pohon-pohon besar serta sebuah sumur sumber air tawar. 

Lapar? Yuk, makan siang dulu dengan pecel ayam yang sudah dibeli di Pulau Harapan dengan tambahan teri medan yang dibawa Kakak Dame dari Siantar, serta secangkir kopi panas siang ini. Eh iya, di dekat dermaga terdapat meja dan kursi-kursi kayu, serasa punya restoran pribadi. 

Cuaca yang tak bersahabat juga membuat para penggemar air tak bisa nyemplung dengan nyaman. Peralatan snorkling yang teman-teman bawa juga terpaksa dianggurkan. Maka daripada nggak produktif,  maka di tengah desau angin dan gerimis, kami kelilingi pulau "pribadi" ini. Masuk ke hutan melalui jalan setapak lalu belok ke pantai berpasir putih. Sesekali kulari ke hutan kemudian menyanyiku, kulari ke pantai kemudian teriakku, sepi...dan sepi aku benci...(haha, AADC-1 mode on). Oke, fokus! Pantainya berpasir putih, bersih. Meski di bibir pantainya banyak sampah yang terdampar entah dari mana asalnya, mulai dari cangkir hingga sandal. Rifki yang nggak bawa sendal akhirnya memanfaatkan sandal berbeda warna yang ditemukan untuk digunakannya selama di pulau. Lumayan ;p

Pulaunya tak begitu besar. Dalam waktu yang singkat, kami sampai di titik semula. Tapi banyak spot menarik di tempat ini. Pantai tentunya, pohon-pohon besar dan jalan setapak menyusuri hutan yang cukup instagrammable, pohon mangrove yang tumbuh, serta ilalang dan bunga rumput tinggi yang katanya serasa bak ada di Korea (kata warga negara republik Korea sih, a.k.a Yuni dan Kirey). 


Pura-pura di Korea


Tak ada semburat senja sore ini. Langit sedemikian mendungnya. Ombak jedar-jeder menghantam dermaga. 

Malam menjelang. Sungguh suasana camping yang nyaris sempurna andai saja cuacanya bagus. Tapi sekali lagi aku suka sepinya. Teringat beberapa bulan lalu, saat aku dan Yuni sempat camping di Pulau Pari (masih bagian dari Kepulauan Seribu) yang berbeda 180 derajat suasananya dibanding ini. Kami buka tenda saat itu, tapi musik ajib-ajib terdengar dari warung-warung di pinggir pantai, suara speaker teriakan orang-orang yang sedang outbound di pinggir pantai serta lampu neon yang menyala terang persis di depan tenda kami. Aih! 

Aku sangat menikmati suasana ini dan nggak merasakan hal yang aneh-aneh. Meskipun kulihat Rifki minta ditemani Yuni dan Kirey saat mencari kayu bakar untuk bikin api unggun, juga Yuni dan Rifki selalu pergi berdua saat ke sumur untuk ambil air wudhu dan saling tunggu untuk sholat serta selalu ramai-ramai jika ada yang mau pergi ke "toilet" darurat. Semuanya terlihat baik-baik saja di mataku. Wajar saja karena nggak ada listrik di pulau ini, sehingga suasana gelap sekali. Tak ada langit cerah malam ini, bintang dan rembulan bersembunyi. Angin masih kencang, gerimis turun serta daun-daun kelapa yang bergerak mengikuti angin.

Dua senter kami ikatkan ke pohon sebagai lampu penerangan. Hammock dipasang lebar-lebar, dijadikan semacam pelindung di atas bale-bale bambu yang kami gunakan untuk menyiapkan makan malam. Yoi, dapur pindah ke sini. Kami masak besar malam ini. Ada ayam lada hitam, cumi dan ikan asin cabe ijo serta sop kami masak malam ini. Chef Yuni is in the house, youw!!! 




Menelan malam, menghayati sepi...

Maka inilah kami berenam. Makan malam di sebuah pulau nan sunyi, jauh dari hingar bingar negeri, yummy sekali. Sambil ngobrol ini itu, membunuh sepi pada sebuah malam yang tak berbintang. 

Malam beranjak larut. Sebenarnya aku dan Kirey pengen pasang hammock dan tidur di luar tenda. Tapi lokasi tenda cukup jauh dari pepohonan untuk memasang tali webbingnya. Masa harus bongkar tenda dan ndeketin ke pohon kelapa sih? Ribet kan! Tapi Ester segera beranjak dari tempat duduk kemudian bergerak menuju tenda. Yo wis, ayo sudah! Kami bongkar rame-rame lalu memindahkannya ke dekat pepohonan kelapa, tempat nanti dua hammock akan dipasang. 

Tenda sudah berdiri berhadap-hadapan di lokasi yang baru. Hammock juga terpasang meski harus dikencengin bolak-balik karena kendor melulu. Ah, bahkan Kirey sempat terjatuh, wkwk! 

Yuni, Ester dan Dame tidur dalam tenda hijau yang cukup besar. Rifki sendiri tidur di tenda kuning yang lebih kecil. Aku dan Kirey tidur di atas hammock masing- masing. Kami pasang bersebelahan seperti kembar siam. Aku berhasil lelap dalam dekapan sleeping bag. 

Selamat istirahat, teman-teman! Mimpi indah ya...

Entah jam berapa, saat aku terbangun. Angin tampaknya semakin kencang bertiup. Pohon kelapa tepat berada di atasku. Gerakan nyiurnya mrmbuatku khawatir bisa kejatuhan ranting-ranting atau buahnya. Istilah safety-nya, aku sedang berada di line of fire, hehe! 

"Kirey, masih aman? Pindah ke tenda aja yuk?" kutanya Kirey di sebelahku. Sepertinya dia masih masih terjaga atau terbangun.

Kami segera turun dari hammock lalu bergerak menuju tenda kuning. Mengusir Rifki yang sedang tertidur, agar ia pindah ke tenda hijau. Rifki bisa tidur di vestibule tenda hijau yang tertutup. 

Aku nyenyak sampai pagi...

9 Oktober 2016

Selamat pagi, Pulau Melinjo. Pagi yang cukup cerah. Cuaca agak mendingan dibanding kemarin. Angin tak lagi kencang, meski warna langit juga tak biru. 

Kami duduk-duduk di dermaga. Obrolanpun dimulai. Dan...jreng-jreng! Satu persatu teman-temanku bercerita tentang banyak hal aneh yang dialaminya kemarin. Mulai dari aura-aura yang menyeramkan, perasaan aneh ketika berada di beberapa tempat, melihat berbagai penampakan dan lain-lain. Tenda dipindahkan juga karena alasan itu! Haah? Gubraak! Aku kan nggak bisa melihat hal-hal gituan! Boro-boro melihat, merasakanpun aku nggak bisa. Jadi kalian pada diam dan menyembunyikan semua itu hingga pagi ini? Ya Alloh! Semalam aku bahkan sempat tidur di luar tenda hingga dinihari!

Lalu pikiranku mulai membayangkan yang enggak-enggak. Imajinasiku menjadi liar! Untung ini sudah terang-benderang, coba semalam! Huahahaha! Waduuh, payah nih. Giliran camping di pulau yang sepi dan asyik gini, ada bumbu-bumbu menyeramkan pula! Haishhh! 

Wis ah, sarapan sik karena mendengarkan cerita seram juga butuh energi. Haha! Eits, margarin di meja bambu dipatok ayam euy! Bahan makanan lain sih masih aman-aman saja. Menu sarapan? Cukup dengan mie rebus, pasta serta telur orak-arik. Kenyang! 

Kami bongkar tenda, packing segala peralatan dan barang-barang pribadi. Kapal Pak Jabu akan menjemput kami jam delapan nanti. 

Pamit dulu, Melinjo! Akankah kami kembali? Hmm, kita lihat aja nanti. 

Kutengok dermaga sekali lagi, sebelum kapal Pak Jabu beranjak pergi. Dan....ah sudahlah! 


----------THE END--------


Budget:
1. Kapal Pelabuhan Kali Adem - Pulau Harapan (sekali jalan)  = Rp. 55.000,-/orang
2. Sewa kapal Pulau Harapan-Melinjo (PP) = Rp. 600.000/rombongan
3. Biaya camping di pulau = Rp. 25.000/orang


2 comments:

  1. Wiiih...asyiiik.... Jd pengen kemping lg..hehe..
    Salam kenal yaa...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salken juga, Mbak Mechta. Makacih sdh mampir.
      Camping yukk, di pantai ngeboom. Haha!

      Delete