But my heart is wild and free
So am I homeless?
Or just heartless?
Did I start this? Did it start me?"
(Home - Passenger)
11 Oktober 2016
Selasa pagi di Desa Tiong Bu'u. Suara mesin kapal berderu satu per satu.
Sungai Mahakam memulai kehidupannya.
Jam
7 pagi, Waktu Indonesia Tengah. Selesai sarapan di warung Ibu Saleh di sebelah penginapan, kami segera menuju dermaga di belakang penginapan. Seperti kesepakatan dengan Pak Suadi (motorist ketinting alias Ces) dan Mas Ali kemarin, pagi ini mereka akan menjemput kami menuju Desa Long Apari.
Tapi tak kujumpai wajah keduanya di sini. Lalu di manakah mereka? Hmm, tempat bersandar kapal ternyata bukan hanya di dermaga ini. Tak jauh dari sini juga ada lagi. Jangan-jangan mereka menunggu di sana. Kemarin kami cuma janjian ketemu di dermaga belakang penginapan dan parahnya lagi kami lupa meminta nomor HP beliau. Piye iki? Ada Aqua? Haha!
Ibu-ibu siap pergi menuju ladang |
Wadah cantik tempat sirih pinang |
Tapi tak kujumpai wajah keduanya di sini. Lalu di manakah mereka? Hmm, tempat bersandar kapal ternyata bukan hanya di dermaga ini. Tak jauh dari sini juga ada lagi. Jangan-jangan mereka menunggu di sana. Kemarin kami cuma janjian ketemu di dermaga belakang penginapan dan parahnya lagi kami lupa meminta nomor HP beliau. Piye iki? Ada Aqua? Haha!
Kami
beralih ke dermaga satunya, tapi Pak Suadi juga nggak ada. Waduh! Apa
jangan-jangan di dermaga satunya lagi? Kami naik lagi ke kampung. Menyusur
jalanan desa menuju dermaga yang satunya. Saat melintas, aku melihat sebuah warung
bertuliskan Warung Dempo. Ah, ini pasti pemiliknya orang Sumatra Selatan, Pagar Alam
mungkin, tempat dimana Gunung Dempo berada. Seorang Ibu yang duduk di depan warung menyapa kami.
"Mau
kemana, Mbak?" tanya si Ibu
"Mau
ke dermaga, Bu. Kami janjian pakai Ces ke Long Apari, tapi bingung kapalnya
nunggu di dermaga yang mana. Mana kami nggak tahu nomor Hpnya" jawab
kami
"Siapa
nama motoristnya?"
"Namanya
Pak Suadi."
Ternyata Ibu
Dempo (demikian beliau minta dipanggil) mengenal Pak Suadi, yang disebutnya sebagai "Orang Bugis, berperawakan kurus dan tinggal di kampung sebelah". Ibu Dempo kemudian menghubungi istrinya Pak Suadi
dan memberitahu bahwa kami menunggu Pak Suadi di Warung Dempo.
Sambil
menunggu Pak Suadi, Ibu Dempo bercerita kalau dia sebenarnya berasal dari Jawa Timur.
Suaminya asli Pagar Alam Sumatra Selatan, itulah mengapa warungnya diberi nama Dempo.
Sudah cukup lama mereka merantau kemudian tinggal di Desa Tiong Bu'u.
Tak berapa lama ngobrol, tampak dari kejauhan Pak Suadi dan Mas Ali di depan penginapan kami. Ah, itu mereka! Ibu Dempo, makasih, kami duluan!
Tak berapa lama ngobrol, tampak dari kejauhan Pak Suadi dan Mas Ali di depan penginapan kami. Ah, itu mereka! Ibu Dempo, makasih, kami duluan!
"Tadi kami masih nyari minyak dulu" kata Pak Suadi.
Ces
atau ketinting bermesin satu itu ternyata kecil saja. Ditumpangi aku, Dame, Pak
Suadi serta Mas Ali saja rasanya sudah pas. Maksimal memang hanya lima orang
saja katanya. Baiklah. Mari Pak, antarkan kami ke Desa Long Apari, desa paling
ujung di sungai Mahakam ini.
Mas Ali, Sang Asisten (tampak belakang) |
Saia, Dame & Pak Suadi |
Debit air tergolong sedang. Air sungai tampak kehijauan, refleksi rerimbunan hijau di kanan kiri sungai. Tenang dan damai rasanya. Pemandangan juga nggak kalah dibanding perjalanan kemarin dari Long Bagun ke Tiong Ohang/Bu'u. Sesekali kami berpapasan dengan ces-ces lain yang membawa penduduk untuk berladang.
"Berapa
jam sampai ke Long Apari, Pak?" tanyaku
"Sekitar
tiga jam" sahut Pak Suadi yang ternyata beristrikan orang asli
Kampung Long Apari. Hari ini, beliau sekalian mengunjungi keluarga
iparnya di sana.
Semakin
ke hulu rasanya semakin sepi. Hanya kami yang membelah sunyi Mahakam pagi ini.
Aku serasa bertualang di negeri antah berantah ala-ala film dokumenter NatGeo.
Perjalanan kali ini berbeda sekali. Maka lupakan tentang pekerjaan, lupakan tentang Jakarta. Abaikan ibukota dengan segala hiruk-pikuknya.
Dua
jam berlalu...
Arus
sungai mulai parah saat melewati bebatuan. Mesin ces menderu dipaksa kerja
keras. Di satu titik, Pak Suadi menyuruh kami turun. Kami akan melewati sebuah
riam/jeram. Sebuah riam yang dikenal dengan nama "Riam 611". Sebenarnya 611 itu adalah
nama kesatuan TNI. Beberapa tahun lalu, kapal yang ditumpangi oleh anggota TNI
Kesatuan 611 penjaga pos perbatasan, mengalami kecelakaan saat melewati riam tersebut. Kapal pecah dan
beberapa penumpangnya meninggal dunia. Begitulah sebuah kisah pilu yang melatarbelakangi pemberian nama riam ini.
Maka aku, Dame dan Mas Ali turun, menyisakan Pak Suadi di Ces. Terlalu berisiko jika seluruh penumpang ikut berada dalam Ces saat melewati riam. Pak Suadi meminta kami untuk berjalan saja menyusur tepian sungai berbatu dan kita akan ketemu selepas jeram 611. Belum hilang ingatanku tentang riam-riam yang kami lewati sepanjang Long Bagun hingga Tiong Bu'u kemarin, sekarang kami harus dihadapkan dengan jeram yang lain lagi.
Ayo turun semua! |
![]() |
Ibu Dame selpih dulu ;p |
Maka aku, Dame dan Mas Ali turun, menyisakan Pak Suadi di Ces. Terlalu berisiko jika seluruh penumpang ikut berada dalam Ces saat melewati riam. Pak Suadi meminta kami untuk berjalan saja menyusur tepian sungai berbatu dan kita akan ketemu selepas jeram 611. Belum hilang ingatanku tentang riam-riam yang kami lewati sepanjang Long Bagun hingga Tiong Bu'u kemarin, sekarang kami harus dihadapkan dengan jeram yang lain lagi.
Pak Suadi membawa kapalnya
agak ke belakang, bersiap melaju melawan arus jeram di
depan. Bismillah, semoga beliau berhasil dengan selamat. Sangat menegangkan
menjadi saksi perjuangan itu. Pak Suadi memilih jalur, mengarahkan kapalnya ke
titik yang sudah diperhitungkan. Perahu melintas riam, bagian haluan Ces
bahkan tampak terangkat. Dan...yes! Alhamdulillah, Pak Suadi berhasil melewati
riam 611 dengan aman tak kurang suatu apapun. Bravo, Pak!
Terjang! |
Terjang lagi! |
Lagi-lagi, dibalik keindahan Hulu Mahakam. Ia menyimpan bahaya bagi para pelintasnya. Tak heran, biaya untuk menembus Hulu Mahakam sangatlah mahal.
Kami
kembali naik perahu. Tak ada lagi riam. Hulu Mahakam kembali menyuguhkan
pemandangan yang menakjubkan. Aroma perkampungan-perkampungan Dayak sudah mulai
nampak. Dermaga-dermaga kecil dan gerbang-gerbang kampung.
Sebentar lagi kami tiba di kampung terakhir di hulu sungai Mahakam. Pak Suadi merapatkan Ces ke salah satu dermaga. Kami sudah sampai di tempat yang dituju. Long Apari...
Kapal-kapal di dermaga Desa Long Apari |
Sebuah toko bahan bangunan dan toko kelontong besar berjajar tak jauh dari dermaga. Rumah-rumah penduduk yang rata-rata berupa rumah panggung yang terbuat dari papan tertata rapi dengan jalanan semen di antaranya. Antena parabola menghiasi beberapa rumah. Panel-panel tenaga surya tampak beberapa di tepi jalan. Meskipun merupakan desa yang terletak di perbatasan, dengan akses yang tak mudah, bisa kubilang kampung ini tak setertinggal yang kubayangkan.
Sejujurnya kami juga nggak punya tujuan jelas di sini, selain menjejakkan kaki di kampung paling ujung di hulu Sungai Mahakam yang "nyaris" berbatasan dengan Malaysia ini. Kami hanya menyusuri kampung.
Long Apari di siang hari tampak lengang sekali. Anak-anak kecil melintas, beberapa orang tampak duduk-duduk santai. Tak banyak aktivitas warga yang kami lihat. Kami sempat berbincang sebentar dengan sekumpulan orang di depan sebuah rumah sambil menyaksikan dua orang Bapak membuat parang secara tradisional.
Long Apari di siang hari tampak lengang sekali. Anak-anak kecil melintas, beberapa orang tampak duduk-duduk santai. Tak banyak aktivitas warga yang kami lihat. Kami sempat berbincang sebentar dengan sekumpulan orang di depan sebuah rumah sambil menyaksikan dua orang Bapak membuat parang secara tradisional.
"Malaysia
sudah tidak jauh lagi dari sini, tapi kalau jalan kaki mungkin bisa dua
hari." kata seorang Bapak sambil menunjuk ke arah utara.
"Sekarang sedang dibangun jalan dari Tiong Ohang yang akan terhubung
sampai sini" lanjutnya
Membuat parang secara tradisional |
Men-cat bodi kapal |
Sungguh senang mendengar bahwa jalan darat dari ibukota kecamatan di Tiong Ohang sana bahkan dari Long Bagun (ibukota Kapubaten Mahakam Ulu) akan segera terhubung sampai ke desa ini. Akan ada alternatif lain menuju tempat ini. Logistikpun bisa menjadi lebih murah.
Wilayah perbatasan memang selalu punya cerita. Meskipun kondisi desa ini selintas sudah cukup baik (dari segi fisik), tetapi terus
terang aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup di tempat ini. Desa
yang jauh dari mana-mana. Yang ke sinipun hanya bisa dijangkau dengan
transportasi sungai yang mahal serta melewati jeram-jeram nan mengerikan dan menantang maut serta tergantung debit air. Hal itu tentu saja berimbas pada harga-harga kebutuhan pokok serta BBM yang tinggi.
Bagaimana jika ada penduduk yang sakit dan
membutuhkan pertolongan medis secepatnya? Bagaimana dengan masalah pendidikan? Masih banyak PR pemerintah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kami mampir ke rumah adat Lamin di desa ini, bertemu serta ngobrol sejenak dengan ketua adat setempat. Rumah Lamin adalah identitas masyarakat Dayak di Kalimantan Timur. Sebagian bangunannya tampak sudah dipugar, sebagian lagi tampak masih asli. Tiang dan beberapa ukiran di dalamnya keren sekali.
Rumah Lamin Desa Long Apari |
Interior Rumah Lamin |
Sebuah gereja tua berada di sebelah kiri Lamin. Sementara Kantor Kepala Desa dan sebuah lapangan berada tepat di depan Lamin. Tepat di seberangnya terdapat sebuah jembatan gantung yang menghubungkan desa ini dengan Pos Pengamanan Perbatasan RI-Malaysia. Mencium aroma pos perbatasan selalu membuat senyumku menjadi sumringah sekali, haha!
Gereja di Desa Long Apari |
Kantor Kepala Desa (sebelah kanan) |
Sudut kampung |
Pos Pamtas (Pengamanan Perbatasan) RI-Malaysia ini berada di dataran yang terpisah dengan Desa Long Apari. Di dataran itulah, Mahakam seolah bercabang. Di sebelah kanan, Mahakam terus mengalir hingga Malaysia. Sedangkan sebelah kiri adalah Sungai Apari.
Kami disambut suara-suara ayam yang berkokok bersahutan di dalam area Pos. Aha, ternyata ada kandang ayam di dalam area Pos Pamtas. Seorang anggota TNI tampak tersenyum melihat kedatangan kami.
"Ayo, mari masuk saja, mbak!"
Kami duduk di sebuah kursi kayu di halaman yang penuh dengan tanaman. Tak ada rasa kaku ala militer di area Pos Pamtas. Friendly sekali. Para anggota TNI tampak berpakaian santai, beberapa di antaranya sibuk mengurus ayam-ayam peliharaan. Anak-anak kampung Long Apari juga bermain di pekarangan.
"Kami memelihara ayam untuk nyari kesibukan, mbak. Bosen juga kalau tidak ada kegiatan." terang Mas Adit, salah satu anggota TNI asal Banjarmasin Kalimantan Selatan yang menemani kami ngobrol.
Perbincangan tentang kegiatan sehari-hari mereka dan warga Long Apari, bagaimana suka-duka menjadi anggota TNI yang bertugas di perbatasan, susahnya mencapai Desa Long Apari, kisah Riam 611, mahalnya harga kebutuhan pokok di sini, isu bahwa masyarakat sini ingin pindah menjadi warga negara Malaysia dan lain-lain, menjadi bahan obrolan seru kami siang ini.
"Anggota TNI juga sering bantu-bantu mengajar di SD. Jarang guru yang mau ditempatkan di Desa Long Apari." cerita Mas Adit.
Cukup miris mendengar cerita tentang pendidikan di tempat ini. Dengan lokasi "sesulit" ini, menempatkan tenaga pengajar (dengan program yang berkelanjutan) tentu menjadi tantangan tersendiri.
Sebenarnya Pos Pamtas RI-Malaysia ini tidak terletak persis di perbatasan dua negara, tapi di sinilah desa terakhir di hulu Sungai Mahakam. Jika ditarik garis lurus kabarnya batas Malaysia hanya tinggal 70 km saja. Namun dengan kondisi grografis yang ada, maka untuk melihat atau mencapai patok perbatasannya kita harus melewati sungai dengan jeram-jeram yang lebih dahsyat kemudian berjalan menembus hutan belantara hingga 2 hari 2 malam. Tak ada PLBN (Pos Lintas Batas Negara) ataupun Kantor Imigrasi, hanya sebuah patok penanda di tengah belantara.
"Patok perbatasan RI sering bergeser setiap kali kami survei" demikian lanjut Mas Adit menceritakan perjalanannya.
Sudah jam 1 siang lebih. Akhirnya aku dan Dame harus pamit pada Mas Adit dan rekan-rekannya. Terima kasih telah menerima kami. Tetaplah menjadi garda terdepan penjaga kedaulatan NKRI di perbatasan Long Apari.
"Ayo, mari masuk saja, mbak!"
"Kami memelihara ayam untuk nyari kesibukan, mbak. Bosen juga kalau tidak ada kegiatan." terang Mas Adit, salah satu anggota TNI asal Banjarmasin Kalimantan Selatan yang menemani kami ngobrol.
Kami di depan Pos Pamtas RI-Malaysia |
Pos Pamtas RI-Malaysia di Desa Long Apari (lengkap dengan kandang ayamnya ;p) |
Perbincangan tentang kegiatan sehari-hari mereka dan warga Long Apari, bagaimana suka-duka menjadi anggota TNI yang bertugas di perbatasan, susahnya mencapai Desa Long Apari, kisah Riam 611, mahalnya harga kebutuhan pokok di sini, isu bahwa masyarakat sini ingin pindah menjadi warga negara Malaysia dan lain-lain, menjadi bahan obrolan seru kami siang ini.
"Anggota TNI juga sering bantu-bantu mengajar di SD. Jarang guru yang mau ditempatkan di Desa Long Apari." cerita Mas Adit.
Cukup miris mendengar cerita tentang pendidikan di tempat ini. Dengan lokasi "sesulit" ini, menempatkan tenaga pengajar (dengan program yang berkelanjutan) tentu menjadi tantangan tersendiri.
Sebenarnya Pos Pamtas RI-Malaysia ini tidak terletak persis di perbatasan dua negara, tapi di sinilah desa terakhir di hulu Sungai Mahakam. Jika ditarik garis lurus kabarnya batas Malaysia hanya tinggal 70 km saja. Namun dengan kondisi grografis yang ada, maka untuk melihat atau mencapai patok perbatasannya kita harus melewati sungai dengan jeram-jeram yang lebih dahsyat kemudian berjalan menembus hutan belantara hingga 2 hari 2 malam. Tak ada PLBN (Pos Lintas Batas Negara) ataupun Kantor Imigrasi, hanya sebuah patok penanda di tengah belantara.
"Patok perbatasan RI sering bergeser setiap kali kami survei" demikian lanjut Mas Adit menceritakan perjalanannya.
Sudah jam 1 siang lebih. Akhirnya aku dan Dame harus pamit pada Mas Adit dan rekan-rekannya. Terima kasih telah menerima kami. Tetaplah menjadi garda terdepan penjaga kedaulatan NKRI di perbatasan Long Apari.
Pak Suadi kembali menghidupkan mesin Ces. Meninggalkan Desa Long Apari, desa di ujung Mahakam ini. Kami pulang. Menembus lagi riam-riam di sepanjang perjalanan...
They say home is where the heart is
But my heart is wild and free...
So am I homeless?
-----------------------------------------------------------
Budget:
1. Sewa Ces Tiong Bu'u - Long Apari (PP) = Rp. 1.500.000,-
aduh aduhsuasananya asik bangett
ReplyDeleteCocok dibikinin puisi tuh, mbak 😃
DeleteLihat interiornya jadi pengen buka toko on line khas Rumah Lamin.
Delete@Djangkaru Bumi: Sekalian bikin miniaturnya dong, ntar saia beli atu, diskon yg buanyak yah! ;D
Deleteoh my god your trip looks so amazing. anyway tempat sirih si ibu lucu ya #salahfokus hehehhe
ReplyDeleteHahaha!
DeleteTempat sirihnya mmg lucuk.
Makasih sdh mampir, mbak turiscantik :-)
Disana buat taruh sirih, di kota buat taruh berlian :)
Delete@Djangkaru Bumi: bukannya utk naruh koin? Wkwk!
DeleteWaaah emejing banget...
ReplyDeleteBenar benar AMAZING, saya semakin ingin pulang ke kaltim nih klau begini..
bagaimna ya kabar Samarinda skrang,, kangen ih..
Cepetan pulang, Mas.
DeleteKaltim penuh tempat2 yg luar biasa. Klw msh mau diexplore, kabarnya msh byk spot2 keren di hulu mahakam. Sayang, waktu saia cuma sebentar. Jika ada waktu & rejeki, pasti mau banget ke sana lg.
Bener sekali,, rencana bulan ramadhan ini mau pulang ke samarinda..
DeleteMau minum air makahakamn lagi,,
Tapi.., istri saya lagi hamil belum tau bisa atau tidak perjalanan jauh..
hiks hiks..
Wah, selamat menyongsong dedek bayi klw begitu.
DeleteHulu mahakam tak akan kemana kok, ia msh di sana dg jeram2nya... 😃
Pak Suadi sungguh luar biasa itu, kalau aku dijamin sudah wasalam disana. Ah takut jika mau kesana, pesawat belum terjamak kah ?
ReplyDeleteKalau dilihat dari photo enak ya hidup disana, tampak adem ayem atinya. Beda dengan di kota, panas luar dalam.
Ya ,kalau ada gratisan bolehlah aku diajak kesana :D
Halo mas, makasih udah mampir.
DeleteBeneran adem ayem sih desanya, cocok utk menyepikan diri. Pesawat blm sampe situ, tp enggak ke hulu mahakam namanya jika nggak menikmati jeram2nya. Aih, saia jg mau klw ada yg gratisan ke sanaaa...;p
TOP banget nih, .... dulu saya juga pernah main-main ke sungai Mahakam ... tapi kok belum kembali lagi ia ... haaa
ReplyDeleteJgn hanya main2, tp hrs minum airnya, biar bisa balik! Hehe! Trims sdh mampir ke blog saia 😜
Deletesungainya eksotis banget, masih agak jernih ya mbak daripada di tempat saya
ReplyDeleteHai2, iya di hulu mahakam msh jernih, jernih banget malah di bbrp area. Btw, tempat mbak di mana? Trims udah mampir btw 😃
DeleteWiw...untuk capai lokasi, gak semudah cek harga via priceza.co.id tapi seru banget yah. Apalagi setiba di Long Apari, pemandangannya indah banget! Walau dari kayu, bangunan di sana kokoh dan rapi. Elegan... Gak heran pelosok Indonesia patut dan wajib dikunjungi.
ReplyDeleteBanget, mbak.
DeleteDitunggu kedatangannya di sana
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeletebaca blog ini gara2 iseng nyari ujung Mahakam di google... ternyata cerita buat menuju kesana bisa seru banget ya...
ReplyDeleteHai, terima kasih sudah mampir. Iya, perjalanan ke hulu mahakam memang seru gila ;p
DeleteMf mba baru buka google eehhh malah ad foto in. Dari 2016 lalu baru in 2020 tgl 6 Juni aku buka in mba. Sya adit mewakili tmn2 pos pamtas (pengamanan perbatasan ) tahun 2016-2017 mengucapkan bnyk terimakasih mba
ReplyDeleteSalam NKRI Harga Mati, Mas! Selamat menjalankan tugas negara utk rekan2 pengamanan perbatasan. Semoga sehat selalu.
Deleteseru perjalan nya mbak... salute......
ReplyDeletemas adit mohon info terkini donk untuk jalur darat tiong ohang ke tanjung lokang bablas putussibau... apakah sdh tembus dan bisa di lintasi sepeda motor..... ada rencana mau ngelintas mas... trims sebelumnya mas...
jual-seng-gelombang-berkwalitas
ReplyDeletesupplier-keramik-papua
jual-kawat-duri
jual-harmonika
distributorpipamurah
alatberatmurah
sewa-lct-ambon-maluku
jasa-pengiriman-barang-menggunakan-kapal-lct