Tuesday, July 11, 2017

"Pembangunan" Ini Punya Siapa?

Sejatinya, saya ingin tulisan-tulisan dalam blog ini "jauh-jauh" dari urusan politik walaupun tentu saja saya punya preferensi dalam hal pilihan politik. Lebih enak nulis tentang puisi galau atau cerita perjalanan ala-ala saya. Tapi terus terang ngilu tangan saya untuk, tidak menuliskannya. Sejak Pilpres 2014 lalu, negeri ini memang "terkubu" menjadi dua bagian. Hingga sekarang, rasanya susah untuk kembali "normal" seperti dulu baik di dunia nyata apalagi dunia maya. Dampaknya ternyata kronis sekali. 

Kali ini aku cukup "tersentil" dengan sebuah tulisan panjang kali lebar yang muncul di timeline media sosial yang membahas tentang "pembangunan". Sejak Jokowi menjabat, berita hingar-bingarnya pembangunan memang marak dilakukan terutama di luar Jawa. Klaim tentang siapa sebenarnya "pemilik pembangunan" itu tiba-tiba membahana seantero jagad raya. Kemudian muncul komentar miring bahwa sebenarnya pembangunan tersebut sudah digagas dan direncanakan sejak era-era sebelumnya, komentar bahwa proyek di era sebelumnya yang mangkrak ataupun pendapat bahwa jika cuma menggagas semuanya pasti bisa tapi yang sulit adalah mengeksekusi rencana tersebut.


Apa sih tujuan pembangunan? Bagi-bagi proyek? Atau untuk kesejahteraan masyarakat? Siapapun presidennya, jika ada yang namanya "pembangunan berkelanjutan" ya harusnya semuanya fine-fine saja. Sayangnya tidak begitu. Jika ganti presiden maka dipastikan bakal ganti semua arah kebijakannya. Sayangnya lagi, perbedaan pembangunan (terutama infrastruktur) antara Jawa dan luar Jawa sudah semakin signifikan.

Indonesia sudah nyaris 72 tahun merdeka, dan sila ke-5 Pancasila yaitu "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" masih berlaku...

Saya bersyukur lahir dan tumbuh besar di Jawa. Pulau dengan tingkat pembangunan dan "kemudahan" paling joss se-Indonesia Raya. Dulu, pekerjaan menuntut saya sering pergi ke luar Jawa. Tapi hingga sekarang, saat punya rezeki dan waktu untuk halan-halan, saya lebih suka piknik ke pelosok Indonesia. Eropa atau Afrika cukup menggoda, tapi sudut-sudut Indonesia lebih seksi di mata saya. Bukan karena saya kebanyakan uang, saya piknik juga dengan cara yang semurah mungkin kok. Negeri saya indah, negeri saya perlu diperhatikan. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Oke, kembali ke laptop. Tentang "pembangunan" ini milik siapa? Mungkin cerita saya tidak runut, tapi tenang saja, semua saya tulis berdasarkan fakta, bukan cuma hasil guglingan apalagi bersumber portalpuyengan ataupun posmetro, ups!

Februari 2015, saya menjejak Papua. Bukan piknik ke Raja Ampat tapi ke Wamena Kabupaten Jayawijaya. Kota yang menjadi semacam "hub" bagi daerah pegunungan tengah Papua. Melihat Bandara Wamena? Sumpah mirip kandang ayam (maaf, tapi demikianlah adanya). Itu bandara sementara sebenarnya (karena bandaranya kebakaran beberapa tahun silam) tapi kemudian menjadi sementahun. Bandara pengganti sedang dalam proses pengerjaan. Ngono mbok ngono tapi yo ojo ngono. Bandara daruratnya parah sekali. 

Wamena dan pegunungan tengah Papua adalah daerah dengan kondisi geografis bergunung-gunung dan hanya bisa dijangkau oleh transportasi udara. Semua kebutuhan logistik, mulai dari BBM, bahan makanan, bahan bangunan dll (intinya kebutuhan primer, sekunder, hingga tersier) harus diangkut menggunakan pesawat. Tak heran jika harga kebutuhan di sana menjadi luar biasa mahalnya. Waktu saya ke sana, harga bensin sekitar 50 ribu per liter. Sementara itu di Jawa? Yaelah, naik 200 perak aja demonya kek udah mau mau menduduki istana negara saja.

Masih di Wamena, gas untuk masak juga tidak tersedia (karena gas elpiji tidak dapat diangkut oleh pesawat), semua masak pakai kayu dan minyak tanah (dengan harga minyak tanah sekitar 25 ribu per liter). Harga semen 1 juta per sak, harga Aqua 600 ml bisa mencapai 25 ribu. Ini baru kebutuhan sehari-hari loh dan ini di Wamena. Bagaimana dengan harga di Kabupaten sekitarnya dimana semua kebutuhan logistik tersbeut harsu diangkut lagi dengan jalan darat yang jalan dan tingkat keamanan juga masih rawan. Kasihan, miris. Dan sampai kapan ini akan terjadi? Jika jalan tembus dari Jayapura atau Merauke, pokoknya terhubung dengan pelabuhan, tetap tak dibangun maka selamanya daerah Pegunungan Tengah Papua akan menjadi daerah dengan harga-harga yang parah tak terhingga. Dan saya yakin Pak SBY (atau presiden-presiden sebelumnya) telah memikirkan ini. Nyatanya saat saya ke sana, jalan transpapua dari Wamena hingga ke Danau Habema sudah ada, pun ke beberapa Kabupaten sekitarnya sudah ada meskipun dalam kondisi apa adanya. Tugas Pak Jokowi ya meneruskan pembangunan itu hingga seluruh wilayah Papua terhubung oleh jalan darat. Kalau bisa dikebut sekarang, ya hajar! Demikian pula kebijakan  "BBM 1 harga" yang mencoba dilakukan meski banyak aral melintang. Eh, cerita tentang Papua di atas masih soal ekonomi lho ya, belum ke segi pendidikan dan lain sebagainya. 

Mei 2016, saya menjejak Pulau Miangas, pulau yang terletak di ujung paling utara Nusantara yang bahkan lebih dekat ke Filipina dibanding ke ibukota Kabupatennya sendiri. Transportasi ke sana sungguh Masya Allah susahnya karena hanya bisa dijangkau dengan kapal-kapal perintis dengan jadwal yang tak menentu. Pulau itu kecil saja dan penghuninya hanya sekitar 700 orang. Tapi apa kemudian dicuekin begitu saja? Mereka masih Indonesia loh! Saat saya ke sana, senyum saya bisa lebar sedikit karena bandara Miangas sedang dibangun. Miangas tak lagi "terisolasi" oleh negerinya sendiri. Sejak awal tahun 2017, penerbangan komersil sudah beroperasi di sana, meskipun jadwalnya baru seminggu sekali. 

November 2016, saya ke Long Apari desa di Kabupaten Mahakam Ulu Kaltim. Ini adalah desa terujung di hulu Sungai Mahakam yang wilayahnya nyaris berbatasan dengan Malaysia. Tak mudah menuju tempat ini karena bisa dibilang bertaruh nyawa dan biayanya mahal pula. Satu-satunya cara adalah menggunakan kapal dan harus melewati jeram-jeram yang mengerikan. Entah berapa kali telah terjadi kecelakaan di sana. Harga kebutuhan masyarakat juga otomatis menjadi mahal. Sama dengan saat menginjak Wamena, maka saya merasakan perasaan miris yang sama.

Saat perjalanan pulang, ternyata saya satu kapal dengan rombongan Kementrian Pekerjaan Umum. Mereka sedang melakukan survei pembangunan jalan. Akan dibangun jalan tembus bahkan hingga Kalimantan Utara dan pembangunan kembali jalan-jalan yang putus. Membangun dari pinggiran, begitulah intinya. Pak Bosnya bahkan sempat "mewawancarai dan memvideokan" saya dan teman ngetrip saya waktu itu, mengenai kesan dan harapan tentang Mahakam Ulu. Aneh katanya, ada orang niat halan-halan sampai sana. Halah, biasa aja kali Pak, hehe! Tapi ada satu cerita yang bikin saya terharu, sebuah cerita dari salah satu rombongan itu. Bapak itu cerita ia bertemu dengan seorang nenek yang menangis karena untuk pertama kali dalam hidupnya ia melihat mobil masuk ke desanya. Mobil cuy, iya mobil. Mobil biasa yang kita lihat hambur-hambur di jalan itu. Maafkan negara ini ya, Nek...

Januari 2017, dengan mata kepala sendiri saya menyaksikan PLBN (Pos Batas Lintas Negara) di Motaain Atambua NTT yang berbatasan dengan Batugade Timor Leste. Gila, edan megahnya! Demikian pula dengan PLBN Wini di Insana Utara yang berbatasan dengan Oecussi Timor Leste yang saat saya ke sana sedang dalam proses finishing sebelum diresmikan. Yang ini juga megah sekali! Kontras dengan bangunan lama (yang pernah saya lihat di internet) yang cukup mengenaskan. Kenyataanya PLBN bisa dibilang sebagai "representasi" negara. Kini Indonesia patut bangga, serius!

Itu sekilas perjalanan saya ke beberapa tempat di Indonesia yang bikin saya makjleb bahwa tak mudah mengejar ketertinggalan pembangunan (antara Jawa dan Luar Jawa), tapi bukan berarti tidak bisa. Mau siapapun presidennya, saya nggak peduli, yang penting tidak korupsi dan kebijakannya mampu mensejahterakan rakyat Indonesia yang memberikan keadilan bagi warganya, bukan hanya di Jawa tapi dari Sabang Merauke, Miangas hingga Rote serta memberikan rasa "pride" menjadi WNI.

Ngapain banyak membangun kalau modalnya dari hutang? Hutang akan ditanggung oleh seluruh rakyat kabarnya. Ada yang salah dengan hutangkah? Emangnya era-era sebelumnya nggak hutang? Mending hutang tapi hasilnya jelas daripada hutang tapi dikorupsi untuk kepentingan sendiri. Ibarat orang tua yang lagi butuh duit untuk nyekolahin anak-anaknya dengan cara hutang, dimana pendidikan adalah investasi masa depan. Ibaratnya lagi saya adalah anak tertua yang sudah sukses, maka sayapun diminta tolong oleh orang tua untuk membantu adik-adik saya dengan cara membayar pajak. Mau Indonesia cuma tinggal nama karena hanya tersisa Jawa, sedangkan pulau-pulau lainnya minta merdeka karena tak diperhatikan dan disejahterakan? Simpel saja pemikiran saya, ngapain riweh mikirin utang negara. Toh udah ada menteri-menteri yang ngurusin soal hutang dan jajarannya, yang udah digaji tinggi untuk ngurusin itu.

Jangan nyinyir, mari piknik! Kalau sudah piknik tapi masih nyinyir, maka mungkin piknikmu kurang jauh. Kalau sudah piknik jauh tapi masih nyinyir juga, mungkin kamu salah gaul dan salah milih bahan bacaan. Kalau gaulnya dan bahan bacaannya bener tapi nyinyirnya nggak ilang-ilang juga, maka itulah "jahatnya politik" karena mampu membutakan mata dan jiwa.

Saya bukan siapa-siapa, saya hanya warga negara biasa yang prihatin dengan keadaan bangsa. Salam lemper, eh...

4 comments:

  1. Aku seneng nemu blog ini. Sip bener bacanya. Kena di ati. Lanjutkan...salam merdeka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Maria. Untuk semua apresiasinya. Merdeka!!!

      Delete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete