Saturday, May 12, 2018

Ada Riang di Gunung Kembang

"Sini, kuredakan lelahmu dengan kopi hitam buatanku.
Kesukaaanmu.
Lalu mari bertukar kabar,
Tentang mimpimu dan rinduku..."

-----------------------------------

6 Mei 2017

Sekitar jam 06.30 pagi, kami sampai di Taman Plaza Wonosobo. Turun dari bis Dieng Indah yang membawaku dan TJ dari Jakarta ke kota yang terkenal akan keindahan negeri di atas awannya. Desi, seorang sahabat yang  tinggal di kota ini,  menjemput kami berdua ke rumahnya di daerah Mangli. 

Terakhir kali ke rumah Desi mungkin sekitar setahun lalu, saat naik ke Gunung Bisma. Setelah berulang kali re-schedule karena alasan cuaca, sekarang kami bakal reunian lagi. Kali ini giliran Gunung Kembang yang akan didaki. 

Yup, Gunung Kembang. Meskipun keberadaan Gunung Kembang sebenarnya berdekatan dengan Gunung Sindoro dan Sumbing (bahkan disebut sebagai anak dari kedua gunung tersebut), tetapi nama Gunung Kembang masih cukup asing terdengar di telinga, nggak tahu kenapa. Satu hal yang cukup unik dari gunung ini adalah karena kabarnya ia terus "bertumbuh kembang" alias bertambah tinggi. Tercatat  ketinggian Gunung Kembang sekarang adalah 2370 mdpl alias dua kali lipat bila dibandingkan dengan tingginya pada satu dekade silam. Aktivitas vulkanik dari gunung di sebelahnya, diperkirakan menjadi penyebab bertambahnya ketinggian gunung ini. 

Setelah puas sarapan Sate Kertek yang rasanya endes sekali, sekitar jam 10 pagi kami siap berangkat. Oh ya, selain kami bertiga, Desi juga mengajak Herni dan Salim, dua pemuda perkasa harapan bangsa yang siap membawa carrier dengan beban sebanyak-banyaknya. Peace, bro! 


Menggunakan 3 motor menuju ke Desa Lengkong Kecamatan Garung yang berjarak sekitar 10 kilometer dari rumah Desi. Desa Lengkong merupakan salah satu titik awal pendakian Gunung Kembang. Berhubung di desa ini belum ada basecamp pendakian, maka kami menitipkan motor ke rumah kenalan Desi. 

Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke lereng gunung, melewati jalanan desa berbatu dengan pemandangan pekebunan sayur di kanan kiri. Sebenarnya bisa naik motor juga sih setidaknya sampai ke persimpangan tempat paralayang di atas sana. Tapi ngeri-ngeri sedap juga kondisi jalannya. Tak apalah, anggap saja pemasanasan kaki dan nafas yang sudah lama absen dari dunia ketinggian. Hah, tuh kan? Belum apa-apa sudah ngos-ngosan, wkwk!

Sesampainya di simpang jalan, kami mengambil jalan ke kiri. Jalanan lurus datar, hingga ketemu dengan persimpangan selanjutnya yang berujung dengan dua jalan setapak. Desi memilih arah ke kanan, ke jalan setapak yang rimbun tertutup pepohonan paku-pakuan. Hmm, tampaknya tempat ini jarang sekali dilewati orang.

“Iya, ini jalurnya. Tapi sekarang kok sudah tertutup begini?” kata Desi, sebagai satu-satunya orang dalam rombongan ini yang pernah mendaki Gunung Kembang sebelumnya.

Kami memutuskan beristirahat sejenak. Desi dan Herni lalu memotong-motong tali rafia yang akan diikatkan ke pohon-pohon sebagai penanda jalur perjalanan ketika lewat jalan setapak yang rimbun itu nanti.


Ini masih di awal, perjalanan masih jauh ciin...!

Jalur pendakian kelihatan rimbun dan cenderung tertutup di awal namun semakin ke atas jalan semakin terbuka tapi kemudian rapat lagi. Banyak kami temukan tumbuhan kantong semar dalam ukuran yang cukup besar di beberapa titik perjalanan. Jalur pendakian Gunung Kembang ini sejatinya berupa jalur air, semacam selokan yang mengalirkan air dari puncak sana hingga ke lereng. 

Alamak, nanjak terus ini. Nggak ada bonusnya sama sekali. Nafas tambah ngos-ngosan, dengkul kiri mulai berderit-derit. Faktor U memang tak bisa bohong, wkwk! Tuh lihat Herni dan Salim, generasi muda harapan bangsa yang meskipun memanggul kulkas dua pintu tapi jalannya masih secepat rusa. Sementara aku terseok-seok dan banyak minta berhentinya.

Walah, mendung yang menggelayut sedari awal perjalanan, kini mulai berubah menjadi hujan. Bahkan jas hujan yang kami pakai tampaknya tak bisa melindungi tubuh kami karena hujan sedemikian derasnya. Tambah parah karena suara guntur dan sesekali kilatan petir juga terlihat. Jalur yang berupa “selokan” itu otomatis dipenuhi aliran air dari atas yang berwarna coklat dan lumpur. Kami serasa berjalan di tengah kubangan air sambil terus mendaki. Hanya satu yang kutakutkan, bagaimana jika bukit ini longsor? Bagaimana jika pohon-pohon di sekitar ini tumbang! Ah, tetiba ngeri membayangkannya.

Ah, sudahlah. Bismillah, dibawa happy saja. Kami bahkan ketawa-tawa saja di sepanjang jalan. Lha mau gimana. Hujan nggak bisa kita suruh berhenti. Puncak juga masih jauh. Sementara baju dan badan kami sudah basah semua. Sepatu telah keisi air semua. Mana jalur pendakian terus menanjak tak ada hentinya. Komplit euy penderitaan ini, ye kaan?

Salim sudah ngacir duluan. Maklum, anak muda. Pasti nggak sabar nunggu jalannya nenek-nenek yang tertatih ini, yang selalu saja kerap minta berhenti, wkwk! Sementara Herni masih betah berjalan di belakang kami para cewek ini.

Hari semakin sore. Sudah nggak ngitung lagi berapa jam kami telah berjalan. Hujan perlahan-lahan reda tapi langit tetap nggak ada aura cerahnya sama sekali.

Selain kami berlima, aku tak menemukan pendaki lain sejauh ini. Gunung ini sepi sekali. Apa karena cuaca yang cenderung buruk akhir-akhir ini, atau karena belum dikelola dan jalurnya belum jelas, atau malah karena aroma mistis di gunung ini? Yoi, Desi sempat bercerita, alih-alih untuk dinikmati keindahan alamnya, gunung ini malah sering dijadikan sebagai tempat semedi untuk tujuan tertentu.

"Banyak sesajen di atas, di Bimo Pengkok" kata Desi yang kemudian menjelaskan sedikit tentang legendanya, bahwa konon di situlah Bimo pernah jatuh kepengkok (dalam posisi terduduk).

Oke, mari lanjut lagi. Hadeuh, puncak mana sih? Ini kaki sudah teyol begini.

"Lah, hutannya mana ya, harusnya setelah ini ada hutan yang cukup lebat. Kok sudah nggak ada. Apa habis karena kebakaran dulu itu ya?" Desi seperti mengingat-ingat sesuatu tentang jalur ini.

Hampir gelap saat kami tiba di dekat sebuah pondok berdinding dan beratapkan terpal . Nah, setelah menemukan pondok ini, berarti puncak semakin dekat. Tinggal menembus ilalang untuk menuju ke puncak, kira-kira 15 menitan lagilah berjalan kaki.

Akhirnya, ya...akhirnya saudara-saudara! Kulirik jam tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore lebih. Berarti kami menghabiskan 5 jam pendakian untuk sampai ke puncak, Iya, 5 jam bo! Hah, tepar rasanya seluruh badan ini. Kulepas carrier dari punggungku dan ndlongsor sempurna di atas rerumputan. Alhamdulillah wa syukurillah..

Area datar di puncak Gunung Kembang ini tak begitu luas, ilalang di sekitar juga cukup tinggi. Keburu malam, kami segera mendirikan dua buah tenda. Langit hitam, tak ada bintang, rintik hujan masih tersisa. Ah, untung kami membawa bekal makanan berupa Sate Kertek (again? Haha!) untuk menu makan malam. Langsung makan, tak perlu bersusah payah lagi masak malam ini, apalagi kondisi cuacanya parah begini.

Nasi, lauknya sate dan lontong? Heh?

"Sayang nih, nggak dapet ceker sama kepala ayamnya" ungkap TJ dengan kecewa, apalagi dia sudah ngidam banget pengen makan semua itu di Sate Kertek khas Wonosobo ini.

Baiklah, perut sudah terisi. Tak ada acara jeprat-jepret langit malam karena gerimis mengundang lagi. Mari meringkuk dalam sleeping bag saja, sambil curhat-curhatan seputar persoalan kehidupan. Halah! 

7 Mei 2017 

Selamat pagi!  Selamat pagi dari puncak Gunung Kembang yang terus bertumbuh kembang.

Kubuka tenda, menghirup aroma pagi di gunung sesepi ini. Lansekap indah terpampang nyata di depan kami. Mendapati Gunung Sindoro yang berdiri megah tepat di depan mata hingga konturnya demikian jelas terlihat. Di bawah, sebuah kawah mati yang ditumbuhi rerumputan hijau seakan memisahkan Gunung Sindoro dengan Gunung Kembang, itulah Bimo Pengkok. Sementara Gunung Sumbing tampak gagah di sebelah kanan Sindoro dengan sedikit awan di puncaknya, begitupun Merbabu dan Merapi yag ada di belakangnya. Sedangkan jauh di belakang kami tampak jejeran gunung-gunung di Wonosobo lainnya seperti Prau, Bisma dan Pakuwaja.

Aku tak menemukan adegan munculnya matahari yang wow karena sedikit tertutup oleh kabut. Tapi yang penting, pagi ini cerah. Tak menyesal rasanya mendaki selama 5 jam di tengah derasnya hujan demi mendapatkan pemandangan ajib seperti ini. Mari rayakan. Untuk pencapaian kita!


Sindoro, Sumbing dan Bimo Pengkok

Embun di ilalang, menyapa pagi di puncak gunung yang sunyi


Karena bosan dengan ritual di puncak gunung yang selama ini cuma itu-itu saja, katakanlah hanya menunggu sunrise dan ngopi, maka aku, TJ dan Desi memang sudah merencanakan untuk melakukan sesuatu. Kami iseng membawa kebaya dan kain untuk seru-seruan, biar tampak lebih produktif dan bertema (meskipun Hari Kartini telah lewat bulan lalu), wkwk! Jeprat-jepret selfie, adegan manis hingga pose ala-ala pertarungan Mantili dan Lasmini. Salim dan Herni pasti cuma ketawa saja melihat para nenek yang lupa umur ini, haha!


Untuk kopi pahit dan aroma pagi...

Eh, Mantili dan Lasmini? Hanya generasi jaman old dan pendengar setia sandiwara radio Saur Sepuh saja yang tahu siapa mereka. Jadi ceritanya gini, alkisah di negeri Madangkara hiduplah seorang Raja bernama Brama Kumbara, dia memiliki adik perempuan bernama Mantili. Sedangkan Lasmini adalah seorang pendekar perempuan yang mencintai Brama, padahal Brama sudah memiliki istri (dua istri malah, haha). Gugling deh tentang dua tokoh fiksi yang merupakan musuh bebuyutan itu. Seru! 

Kabut perlahan menutup puncak Sindoro, ibu dari Kembang. Satu hal yang paling nggak kusuka setelah sampai di puncak gunung adalah mau nggak mau kami harus turun lagi. Pulang. Meninggalkan segenap keindahan alam ciptaan Tuhan, kedamaian, sejenak lupa dengan pusingnya pekerjaan, dan menyiapkan perjuangan lagi. Siapa bilang turun gunung itu mudah dan tanpa perjuangan? Bagiku turun gunung itu lebih susyah dibanding naik! Ciyus!


Enak Des? Lahap amat?



Jalur yang sama seperti saat berangkat kami lewati kembali. Masih sepi, seperti kemarin. Lagi-lagi tak kujumpai orang lain selain kami. Nah, sekarang giliran jalurnya turun terus dan praktis membuat dengkul kiriku yang sudah klethak-klethuk ini semakin kepayahan. Maka acara prosotan di jalur air akhirnya menjadi andalan. Bodo amat kalau celana sobek! Dan hujan, lagi-lagi hujan menemani perjalanan kami walaupun tak separah kemarin.

Waktu tempuh turun gunung yang seharusnya bisa lebih cepat dibanding naik ternyata tidak berlaku untuk gunung ini. Terhitung dari puncak hingga ke persimpangan jalan setapak ke jalan desa, totalnya 4,5 jam! Beda 30 menit saja dibanding naiknya. Parah! Aku langsung ndlongsor dan males bangun sesampai di tempat datar di ujung jalan. Kami menertawakan sepatu kami yang sudah nggak karuan bentuknya dan ngelothok solnya juga pantat celanaku yang jangan ditanya lagi seperti apa rupanya. Eh, Salim mana? Hadeuh, nggak sopan ya ngacir duluan ninggalin tante. Jangan-jangan sudah sampai Kota Wonosobo dia!

Sewaktu menuruni jalan desa yang berbatu, jalanku sudah miring-miring nggak jelas, mirip orang habis sunat! Hayati sudah lelah, Bang! Bodo amat deh diketawain sama Desi, TJ dan Herni. Allahuakbar, untung ada dewa penolong yaitu Bapak petani setempat yang sedang naik motor dan menawarkan nganterin sampai rumah tempat kami menitipkan motor di Desa Lengkong. Tentu saja aku yess! Wkwk!

Belum banyak gunung yang kudaki, tapi setiap gunung pasti memiliki ceritanya sendiri. By the way, video tentang perjalanan kami di Gunung Kembang bisa disimak di link video youtube berikut ini. Jangan lupa di-subscribe ya Kakak :)




21 comments:

  1. Hayati lelah naik turun gunung. Tapi semua terbayar dengan keindahannya. Salut.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, yoi Mbak. Thanks sudah mampir :)

      Delete
  2. iya nih, gak terkenal nama gunungnya,, malah baru denger wkwkwk..

    Itu kok ekstrim ya jalurnya sampai sepatu rusak-rusak begitu.. mana sepi bgt lagi...

    -Traveler Paruh Waktu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha! Tapi gunung yang kurang terkenal seperti ini malah enak banget untuk didaki, sepi! Serasa hanya ada aku, alam dan Tuhan, halah ;p
      Sepatu rusak gegara hujannya parah dan jalurnya adalah kubangan air sih itu. Semua lemnya jebol! Tapi memang sudah saatnya ganti sepatu sih, wkwkw!
      Btw, thanks sudah mampir :-)

      Delete
  3. Hoo.. Ini baru nii..
    Gunung Kembang emang disebut anaknya Gunung Sindoro... Baru lihat foto-fotonya di sono ni.. hehe

    Nggak sekalian ke Sindoronya..? Yang lebih tinggi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pengennya sih bisa marathon, tp ada daya dengkul sudah nyerah, Mas. Kembang bikin gagal dengkul, hahaha!

      Delete
    2. Kayaknya meski pendek, tapi jalurnya cukup menantang ya...

      Delete
    3. Jalurnya lumayan sih, Mas. Nanjak terus, kagak ada bonus. Bagi saia yg cuman pendaki abal-abal gini, gunung ini sukses bikin gagal dengkul, haha!

      Delete
  4. Kak, jujur aku baru dengar nama gunung Kembang ini,kak.
    Padahal gunung Sumbing dan gunung Sindoro itu terlihat dari rumah keluargaku.

    Seruuu ya trip kalian..
    Foto2nya juga tak kalah seru .. terutama foto pertarungan Mantili vs Lasmini jaman noow ... hahahaa ..
    Mantaaaaap 😅👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gunung Kembang memang masih jauh dari riuh dan hiruk-pikuk pendakian, Mas. Tapi biarlah begitu, biar tetap sepi dan ekosistem terjaga. Sedih kalau lihat gunung2 jaman now yg penuh sampah krn para pendaki yg katanya pecinta alam itu ternyata belum benar2 mencintai alam, hiks!

      Alhamdulillah klw mendaki sama temen2 yg seru maka perjalanannya jd ikutan seru hingga kadang muncul ide2 yg absurd spt adegan pertarungan itu, hehe!

      Thanks sudah mampir di blog saia, Mas :)

      Delete
    2. Sama-sama, kak Lena.
      Betul juga kata kak Lena, banyak pendaki yang tidak taat untuk tidak membuang sampah sembarangan.
      Keasrian alam jadi tercemari banyaknya sampah.

      Semoga selanjutnya tidak terjadi lagi !.

      Delete
  5. mendaki gunung kayaknya asik juga ya..

    ReplyDelete
  6. Keren viewnya di gunung kembang, baru dengar dan tahu ini gunung. Jarang di eksplore kali ya jak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih jarang diexplore memang nih gunung. Sepi, enak, nggak crowded. Waktu kami ke sana jalur pendakiannya memang belum dikelola, belum ada kalau boleh dibilang. Tapi minggu lalu ada 1 jalur resmi pendakian yg sudah dibuka untuk ke gunung ini.

      Delete
    2. Wah syukurlah kak, klo sudah di buka jalur pendakiannya, tinggal di promosikan saja terus menerus, hehe

      Delete
  7. Mbak boleh minta no dari basecampnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waktu saya ke Kembang via Lengkong, di sana blm ada basecamp resminya kak

      Delete
  8. Andai mamak ku kek ginih. Senang nya aku . Wkwkwkw ajibb bner dah... 😍😍

    ReplyDelete
  9. Desss petakilan kawet cilik tekan Tua salam generasi 2000

    ReplyDelete