Monday, July 11, 2011

Me & Ujung Mimpi

Kereta yang kutumpangi berhenti di stasiun Bekasi. Banyak penumpang yang turun. Pedagang asongan berebut naik. Penjual minuman, koran, asesoris hape, sampai gunting kukupun masuk ke gerbong kereta. Ramai. Tapi ada dua hal yang nyebelin tiap kali kereta ini berhenti di stasiun Bekasi sebelum akhirnya menuju stasiun terakhirnya di Pasar Senen. Pertama adalah beberapa ABG dengan dandanan ala punk yang suka jadi "tukang sapu" di gerbong. Sumpah nyebelin banget. Kereta ini sudah cukup bersih karena sudah ada petugas cleaning service-nya, dan para ABG dengan dandanan yang nggak jelas dan malah bikin aku ngeri kalau nggak ngasih duit. Satu hal lagi adalah anak-anak kadang juga ABG lagi yang mengedarkan amplop kecil dengan tulisan di atasnya yang isinya meminta uang sekedarnya untuk biaya keperluan sekolah. Entahlah, sudah ratusan kali aku naik kereta api dan aku masih menjumpai wajah-wajah pengedar amplop yang sama.

Tapi sore itu ada pemandangan baru di gerbongku. Seorang Ibu dan anak kecil perempuan yang mungkin masih berumur dua tahun. Sang Ibu membawa alat musik ala kadarnya yang terbuat dari tutup botol dan kayu yang kemudian ditepuk-tepuknya untuk mengiringi nyanyiannya. Si kecil membawa plastik bekas kemasan permen yang sepertinya untuk tempat duit bagi penumpang yang akan memberi. Mulanya hanya si Ibu yang bernyanyi, aku tahu itu lagunya Rhoma Irama. Tapi ketika refrainnya...alamak, anak kecil yang sepertinya baru belajar bicara itupun ikutan jadi backing vocalnya. Lucu tapi miris mendengarkan si kecil itu mengikuti ibunya menyanyikan ini :

"Langit sebagai atap rumahku
Dan bumi sebagai lantainya
Hidupku menyusuri jalan
Sisa orang yang aku makan"

Ya Tuhan, anak ini belum bisa bicara lancar...tapi lagu apa yang ia nyanyikan? Lagu berjudul Gelandangan by Rhoma Irama? Bukankan anak sekecil itu seharusnya bernyanyi balonku, satu-satu aku sayang ibu, atau lagu naik kereta api tut tut tut? Bukan ikut ibunya mengamen di atas kereta, ikut bernyanyi yang bercerita tentang nasib dan kemudian dengan fasihnya kaki kecilnya berjalan dari satu tempat duduk ke tempat duduk lainnya sambil mengedarkan plastik untuk tempat recehan.

Kuusap rambut anak itu ketika ia menuju tempat dudukku. Kelenjar air mataku berproduksi lagi...

Entah kenapa akhir-akhir ini aku kerap menangis ketika di depanku tersuguh pemandangan yang berbau anak kecil...

Beberapa hari yang lalu. Di Musholla dekat rumahku. Seorang anak kecil laki-laki ikut sholat bareng ibunya di shaf perempuan. Lucu banget. Baru belajar sholat sepertinya. Aku tepat berada di belakangnya hingga semua gerak geriknya terpantau oleh mataku. Ketika sholat berakhir, si ibu mendudukkan anak laki-laki itu ke pangkuannya dan berujar begini; " Ayo, kita berdoa untuk kedua orang tua". Dengan cedalnya dia mengikuti ibunya "Robbighfirli waliwaalidayya war ham huma kamaa robbayaani soghiro, amin..."

Dan ya...kelenjar air mataku juga berproduksi dengan derasnya kala itu. Hingga aku memutuskan pulang duluan meski sang Imam belum selesai memimpin doa bersama selesai sholat. Aku nggak kuat melihat pemandangan surgawi sang ibu bersama anak kecil itu.

Esok pagi ku kan terbang ke Balikpapan, memulai kebali siklus hidupku yang tidak "normal" . Tapi aku sedang berpikir untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang semoga akan menjadikan hidupku normal seperti cita-citaku dulu sebelum terantuk pada sesuatu bernama tantangan.

Jiwaku sedang mulai berbenah. Bayangan buramku sudah mulai cerah. Aku sudah bersama Ujung Mimpiku. Untuk merangkai harapan baru...

(@Buar 56, 8 Juli 2023)