Friday, September 30, 2011

Cerita dari Bromo

Maka Gunung Bromo-lah menjadi tujuan perjalananku dan Nia sahabatku kali ini. Tak ikut EO travel apapun dan hanya bermodal searching di internet tentang perjalanan ke sana. Bersyukur betapa informasi yang luar biasa banyaknya berhasil aku dapatkan di dalamnya.

Berangkat pagi-pagi dari Kost Pule Residence tercinta. Sudah niat harus naik ojeng dari depan gang untuk menuju Terminal Kampung Rambutan untuk mengejar Bis Damri jurusan Bandara Soekarno Hatta yang jam 5. Bolak-balik ngintip ke depan gang tetapi tak satupun tukang ojeg yang biasanya mangkal di situ ada. Ah, mungkin karena masih terlalu pagi, bahkan adhan subuhpun belum berkumandang. Dan benar, selesai adhan barulah muncul tukang ojeg di depan gang, itupun Cuma satu padahal kami berdua. Alhasil, kami berdua membonceng dengan hanya 1 ojeg. Jangan bicara safety, karena sama sekali nggak safety. Bahkan aku yang membonceng paling belakangpun duduk dengan posisi yang sangat tidak ergonomis. Tapi masih lebih parah Nia, karena naik ojeg pagi-pagi buta malah membuatnya jet lag dan agak-agak kurang sadar…(ha3x, piss Ni…!)

Bis Damri yang berangkat jam 5 pagipun terlewat sudah. Kami yang berangkat jam setengah enam. Kami nggak mungkin terlambat pesawat jam 06.50, pikir kami, karena Lion sudah sangat terkenal dan berkali-kali kurasakan delay-nya. Tapi ternyata di luar dugaan, ternyata pagi itu Lion terbang sesuai jadwal dan kami mesti lari terbirit-birit dari ke pesawat terbang untuk boarding. Sialnya lagi, aku dan Nia tidak duduk bersebelahan meski kami check in bareng. Maka jadilah kami duduk terpisah sepanjang perjalanan Jakarta ke Surabaya, menikmati dunia dan langit masing-masing selama kurang lebih 1,5 jam.

Sampailah kami Bandara Juanda Surabaya. Hmm, ini kali kedua aku injakkan kakiku di Bandara ini. Sesuai catatan rute, maka kami akan naik Bis Damri jurusan Terminal Bungurasih.

Rasa lapar melanda karena kami belum sarapan. Kami memilih untuk sarapan sebentar di warung soto di kompleks terminal. Busyet dah, seperti inikah soto daging khas Surabaya? Alamak…dagingnya besar-besar dan banyak pula, mana langsung dicampur dengan nasinya. Eh, ada yang salah pesen teh. Ha3x, ini bukan Jakarta yang mesti harus bilang teh manis kalau mau pesen teh dengan gula. Tahukah berapa rupiah kami habiskan untuk 2 mangkuk soto daging dan 2 gelas teh hangat? Rp. 50.000 bos, mahalnya! Ya sudahlah, mau apalagi, nasi sudah kadung masuk lambung, wkwkwk!

Kami melanjutkan perjalanan ke Probolinggo dengan menggunakan bis ekonomi. Perjalanan rasanya begitu ternikmati karena kami sama-sama baru melihat pemandangan sepanjang Surabaya-Probolinggo. Ah, seandainya kami bisa turun sebentar saja di tanggul lumpur Lapindo dan melihat isinya.

Setelah perjalanan sekian jam, tibalah kami di Terminal Bayu Angga Probolinggo. Nanya sana-sini tentang angkutan yang menuju Bromo, ternyata angkutan tepatnya minibus tersebut berada di area luar terminal. Minibus masih kosong, sang supir meminta kami untuk menunggu. Entah sampai berapa lama minibus tersebut dapat full dan segera beranjak menuju Bromo. Dan yeah, berjam-jam kami seperti dua orang aneh yang menunggu sesuatu yang tak pasti. Duduk di depan warung bakso dan tukang buah. Nggak enak Cuma numpang duduk, akhirnya Nia berinisiatif untuk membeli buah jeruk, yang mesti agak asem tapi lumayan membuat rasa nggak enak kami pada penjual buah tebayar. Menunggu, masih menunggu. Ditemani lagu “Cinta Satu Malam” yang mengalun keras dari warung soto/bakso, akhirnya aku keluarkan jurus pemusnah rasa bosa, alias kamera dan tripod. Lalu seperti orang gila, kami sibuk foto-foto nggak jelas.

Ups, ada yang terlewat dalam cerita (sorry, Nia). Datanglah seseorang, raut muka Asia tapi bukan Indonesia, dengan rucksack besarnya menuju minibus. Sepertinya dia juga akan ke Bromo. Cerita selanjutnya dengan orang Jepang yang ternyata bernama Yuki ini, sepertinya sangat membekas di hati Neng Nia (ehm…).

Akhirnya, setelah ada 8 penumpang, minibus yang bertuliskan “Ambisi” di sisi kanan bodinya itu meluncur penuh ke Bromo. Wahai sesuatu yang telah lama terindukan…here I come!!!

Pemandangan sepanjang perjalanan lumayan memukai, sayang kelihatan agak gersang karena musim kemarau atau efek dari erupsi gunung beberapa waktu lalu.

Kami berhenti tepat di depan Café Lava, hotel yang sudah kami pesan kemarin. Turis Jepang gebetannya Neng Nia nggak bisa nginep di situ karena kamar kelas ekonomi sudah penuh dan tinggal kamar kelas superior dengan harga enam ratusan ribu lebih, begitupun 3 penumpang lain yang seperjalanan dengan kami.

Udara dingin mulai berasa. Begitupun lapar yang mendera. Selesai meletakkan barang-barang di kamar kami segera pergi ke warung terdekat. Tak lupa janjian dengan si Aa’ Yuki. Dan obrolan seru Neng Nia dan Aa’ Yuki, membuatku merasa menjadi obat nyamuk saja! Ha3x.

Menikmati sunset tak boleh terlewat. Café Lava jaraknya sangat dekat dengan pintu gerbang wisata Bromo dan dengan mudahnya akses kami menikmati pemandangan gunung-gunung di depan selama senja, dilanjutkan dengan jalan menuju lautan pasir. Indah luar biasa. Meski harus ditebus dengan jalan pulang kembali yang menanjak ketika pulangnya. Efek positifnya adalah kami nyenyak tertidur sehingga nggak merasa ngantuk meski nanti harus bangun jam 2 pagi untuk persiapan melihat sunrise dari penanjakan.

Semua atribut anti dingin telah dikenakan. Jaket, sarung tangan dan penutup kepala. Jam 03.30, hardtop yang akan membawa kami menuju penanjakan telah siap di depan hotel. By the way, Yuki juga ikut serta dalam hardtop tersebut. Ehm…Neng Nia jadi tambah semangat jalannya. Anjrit, senter terlupa masih di dalam tas satunya! Terpaksa kami beli senter di tengah jalan. Perjalanan menuju Penanjakan sangat ramai waktu itu. Nggak sebegitu jauh atau menanjak sebenarnya, tapi…kaki dan nafasku sudah tak sekuat dulu, jamannya berkelana di pedalaman Wedabay dan Martabe. Ah…!

Sunrise nyaris di depan mata ketika sampai di Penanjakan. Cari spot yang terbaik untuk membidikkan kamera. Bersaing dengan ratusan orang yang sudah menjejal area tersebut dengan kamera masing-masing. Jadilah pagi itu…aku menikmati matahari Bromo serta mengabadikannya dalam kamera, pun dalam hati (halah!). Ada sedikit yang mengganggu, bahwa hijaunya Bromo yang sering kulihat dalam foto-foto tak tampak lagi. Bukit Teletubbies, yup savanna itu kelihatan gersang, hiks…sayang. Tapi bagaimanapun pemandangan di depan mata ini tetap masuk di dalam kategori luar biasa. Weits…terdengar suara anak kecil merengek. Kutengok dan…anjrit, ada bayi kecil bule lagi digendong ama Papanya. Busyet, anak sekecil itu telah melahap indahnya Bromo dalam umurnya yang masih hijau, sementara aku…halah…sudah tua begini baru ternganga dan berhasil ke Bromo padahal ini terletak di Indonesiaku tercinta…

Puas berfoto-foto, kamipun turun kembali ke tempat hardtop yang telah menunggu. Sempat terjadi incident kecil ketika kami tak menemukan hardtop yang tadinya mengantar kami ke Penanjakan. Setelah bertanya kepada driver hardtop lain, ternyata hardtop yang pagi tadi membawa kami tersebut salah orang dan bukan kami yang seharusnya dijemput. Tapi syukurlah ada hardtop lain yang telah disiapkan. Tadinya kami berangkat Cuma bertiga, kini kami turun berenam. Trip selanjutnya adalah Kawah Bromo…

Aku dan Nia menjadi dua WNI yang ada dalam hardtop tersebut. Jadilah acara ngobrol dengan Pak Sopir dapat kami lakukan dengan gampangnya. Sementara 3 bule dan 1 Jepang mungkin hanya bisa garuk-garuk kepala mendengarkan ocehan kami.

Untuk menuju Kawah Bromo dapat dilakukan dengan jalan kaki atau naik kuda sampai di bawah tangga. Pak Supir menyatakan bahwa naik kuda hanya Rp. 60.000,- pulang pergi, yang punya kuda bakal nunggu si penumpang turun dari kawah Bromo. Well, Rp. 60.000 PP tak begitu mahal dibanding membayangkan energy yang harus dikeluarkan untuk menapaki lautan pasir menuju Kawah bromo. Jadilah kami deal, meski akhirnya kami kecewa karena info dari Driver Hardtop tadi ternyata salah banget! Rp. 60.000 hanyalah naik atau turun saja, kalau pulang pergi ya jadinya Rp. 120.000. Tahu gini kan naikknya aja yang pake kuda, turunnya jalan kaki tinggal meluncur. Sial…setelah soto daging di Surabaya kini kami kena pula di masalah kuda! Halah-halah…!

Tangga yang konon katanya berjumlah 250 menuju kawah Bromo itu kunaiki, minus Neng Nia yang nggak mau naik. Banyak tangga yang rusak (kurasa karena pengaruh erupsi), dan debu begitu penuh memenuhi lantainya, mana berjejal pula. Sesampai di Kawah Bromo…o…lubang besar dalam mengangga di depan mata. Mengingatkanku pada area open pit di tambang Batu Hijau. Bedanya, lubang terbuka di tambang dipenuhi lalu lalang haul truck dan aktivitas manusia, kalau lubang yang ini…gelap dan serasa tak berbatas, entah apa yang ada di dalamnya. Dalam perjalanan pulang turun tangga, eh…si bayi kecil tadi muncul lagi. Tampak tertidur pulas dalam gendongan Mamanya. So sweet….

Jam 8 pagi kesepakatan kami dengan Driver Hardtop untuk kembali.

Sampai di Café Lava, sarapan dulu. Giliran nasi pecel yang jadi santapan aku dan Nia. Si Yuki mencicipi gado-gado plus nasi tambahan. Telepon hotel yang kurencanakan untuk menginap di destinasi kami selanjutnya yaitu Malang. Tetapi malangnya pula, hotel tersebut telah full book untuk hari ini. Kenapa aku jadi lalai begini, seharusnya aku menyiapkan alternative-alternatif hotel cadangan. Nia kemudian telp temannya, dan ujung-ujungnya…planning awal kami akhirnya berubah. Kami tidak menginap di Malang, tapi di Blitar di salah satu temannya Nia.

Dengan Driver minibus yang sama seperti kemarin waktu ke Bromo, kami kembali ke Probolinggo. Ternyata aku dan Nia, menjadi dua WNI lagi di antara 13 penumpang dalam minibus. Dan tidak disangka ataupun diduga, si bayi kecil yang jadi perhatianku selama di Bromo juga satu minibus dengan kami. Si kecil, mama dan papanya, dan beberapa bule lainnya. Lengkap sudah. Sayang aku dan Nia duduk di depan, coba di dekat si bayi kecil itu…ih pasti sudah kucubit-cubit dia, kalau perlu minta ijin buat nggendong “Sir, could you please let me hold your son? He’s so cute!” Hahaha…!

Minibus yang kami tumpangi menyusuri jalan yang sama seperti berangkat kemarin. Tapi kali ini tak langsung ke Terminal Probolinggo melainkan berhenti di sebuah travel agent dulu. Ternyata bule-bule di belakang mau lanjut ke Kawah Ijen. Dan satu persatu bule itupun turun…dan…eng ing eng…tampaklah satu sosok yang anjrit…aje gile di depan kaca minibus tepat di depan mata kami. Itu pamannya si kecil! Gubraxxx, tenang-tenang! Jangan kelihatan norak, wkwkkw.

Sampai di Terminal Probolinggo. Aku, Nia dan si Yuki pun turun. Langsung cabut ke Malang. Malang akan jadi tempat transitan sebelum aku dan Nia ke Blitar, sementara si Yuki memang berniat bermalam di sana. Jadilah kami berpisah di Terminal Malang. Setelah sebelumnya mengantar si Yuki ke angkot warna biru jurusan AG yang akan mengantarnya ke Hotel Pajajaran Malang. Nia, jangan sedih ya…hehe!

Lanjut ke Blitar…dan perjalanan kami di Jatim akan berakhir di Surabaya. Ceritanya dilanjut nanti ya...

Wednesday, September 07, 2011

Curhatku, Hari Ini...

Hari pertama kembali melaut. Malas rasanya kerja lagi. Mak jegagig, rasa bosanpun menyapa. "Sampai kapan terus begini, Len?" Yeah, pertanyaan yang sama, selalu. Lalu apa yang mesti kujawab dengan pertanyaan hati kecilku tersebut? Aku nggak tahu. Semakin lama mengalir, rasanya malah makin terdampar dan tenggelam (tapi masih hidup, hehe).

Ada kalanya aku menikmati ini. Tapi kelelahan jiwa kadang tak mau kompromi. Kerap aku mengeluh. Keluhan yang kusampaikan pada deburan alun, ombak, pun angin yang menderu di samudera maha luas di depanku.

Kadang membayangkan sesuatu yang indah terjadi. Melamunkan kebahagiaan. Merangkai mimpi yang tak pernah berani aku wujudkan. Lalu aku akan kembali berseru pada angin "aku capek, bantu aku..."

Aku sedang menginginkan sebuah perubahan. Tapi apa daya, aku tak pernah tahu bagaimana merealisasikannya. Aku menunggu nasib baik menyambangiku, membawaku ke langit ke tujuh. Ah, betapa bahagianya aku...

Selamat terbang, Lena...
Jangan lupa memijak bumi lagi, ketika bahan bakarmu hampir habis...