Wednesday, December 17, 2014

Menyusur Flores (Bag. 9) - Sebuah Epilog

"Well it's time to say goodbye my friend
I'm glad you stayed until the end
I hope that you've enjoyed time we spent
Though I know that I will be back again
I don't know just how soon my friend
Until we meet again..."
(White Lion - Farewell To You)

------------------------------------------------------------------------

24 November 2014

Kami packing untuk terakhir kali. Tak ada kata move on ke kota selanjutnya siang ini. Perjalanan ini telah bertepi. Tamat dalam sebelas hari tanpa halangan yang berarti.

Jika boleh merewind lagi. Kami adalah tiga orang yang bermimpi melihat indahnya satu bagian negeri. Flores terpilih menjadi mimpi kami kali ini. Dari ujung timur Larantuka hingga ujung barat di Pulau Komodo, alam Flores memang luar biasa, lengkap dengan budaya dan masyarakatnya yang ramah. Banyak cerita, layak dikenang.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama perjalanan ini yang tentu saja tak bisa kami sebutkan satu persatu saking banyaknya :-)

Petualangan TransFlores menurut mata batin Ardyan

Perjalanan TransFlores, dalam kenangan Dame 

Perjalanan TransFlores dalam kacamata Lena


Kami berpisah di Bandara Komodo Labuan Bajo siang itu. Pulang. Mungkin kembali ke rumah, mungkin ke jalan, mungkin ke gunung. Entahlah, anything can happen...

Tapi dimanapun kami berada dan apapun yang dilakukan, kami akan selalu mengingat Flores dengan senyuman. Mari ngopi dulu, kakak!

"Tidur sudah, besok bangun jam 3 pagi, kita sewa motor...!" 
(Ardyan Prima Wardhana, Dame Magdalena Sianipar,  Lena Viyantimala, November-2014)





-------------------------------------------------THE END -------------------------------------------

Tuesday, December 16, 2014

Menyusur Flores (Bag. 8) - Taman Nasional Komodo

"I'm sailing away, set an open course for the virgin sea
I've got to be free, free to face the life that's ahead of me
On board, I'm the captain, so climb aboard
We'll search for tomorrow on every shore
And I'll try, I'll try to carry on...
I look to the sea, reflections in the waves spark my memory
Some happy, some sad..."
(Come Sail Away - STYX)

-------------------------------------------------------
21 November 2014

Kami menunggu bis jurusan Labuan Bajo di depan sebuah warung di tepi jalan raya dekat pertigaan Pela sore itu. Satu bis lewat, penuh, hanya bisa muat satu orang lagi katanya. Menunggu lagi. Pela masih gerimis rintik, sisa hujan deras barusan. Akhirnya datang juga satu bis yang bisa memuat kami bertiga. Maka meluncurlah kami ke Labuan Bajo ibukota Manggarai Barat. 

Perjalanan kami menyusur Flores tinggal dalam hitungan hari.

Akumulasi dari trekking Wae Rebo pulang pergi ditambah pegelnya naik ojek berjam-jam serta hujan-hujanan membuat kami terpekur lesu di bis . Pemandangan di sepanjang Pela - Labuan Bajo sebagian terlewat dalam kantuk pun tidur. Biarkanlah, raga ini mungkin perlu istirahat sebentar.

Menjelang Labuan Bajo, baru sadar kalau kami belum tahu bakal nginep dimana malam ini. Baca itinerary, ternyata baru kutandai dengan tanda tanya saja, hehe sorry pren! Buka segepok file wikitravel yang dibawa Ardyan, kami menemukan beberapa nama hotel. Beberapa penumpang di bis juga merekomendasikan sebuah hotel di dekat pelabuhan, Hotel Pelangi begitulah namanya. Baiklah, kita lihat saja nanti.

Sopir bis bertanya, kami mau turun di mana? Kami jawab saja, turunkan kami di dekat pelabuhan Labuan Bajo. Menurut referensi, di sana banyak hotel. Benar, kami diturunkan di dekat pelabuhan di depan kantor polisi Labuan Bajo sekitar jam 7 malam. Daripada bingung nyari penginapan, maka kami menuju kantor polisi itu untuk bertanya. 

Seorang polisi menawarkan bantuan untuk mengantarkan kami ke hotel yang terletak di belakang kantor polisi, ternyata itulah Hotel Pelangi yang tadi sempat disebutkan oleh beberapa penumpang bis ke Labuan Bajo. Beliau bilang akan membantu juga untuk mencarikan kapal yang bisa disewa keliling Taman Nasional Komodo dengan catatan Pak Polisi itu ingin ikut jalan-jalan bareng kami. Harga sekitar 2,5 juta untuk trip sehari. Kami dijanjikan bisa menginap di Desa Komodo dan sebagainya. 

Bapak itu beneran mengantarkan kami sampai hotel yang dimaksud. Sampai disana beliau menanyakan bagaimana tentang kapalnya. Bingung ngasih keputusan, maka kami bilang mau mandi dulu sebentar. Kami janji akan mendatangi Pak Polisi di kantornya untuk membahas lebih lanjut rencana jalan ke TN Komodo.  

Buka pintu kamar hotel, berharap dapat tempat istirahat yang enak. Tapi, ekspektasi kami terlalu tinggi. Harganya nggak sesuai dengan fasilitas. Sebuah kamar tua, seprai kotor yang tampaknya belum dibersihkan (mak, ane bisa gatel-gatel!), serta toilet yang susah dideskripsikan dengan kata-kata. Padahal brosur harga kamar di front office-nya kan tertulis : kamar standar, fasilitas fan & fun. See, ada kata fun-nya! Harusnya kami having fun dong ah, bukan cemberut gini. Hah! 

Kami sempat diskusi sebentar tentang tawaran Pak Polisi itu. Sebuah tawaran yang aneh, ngapain pula Pak Polisi itu mau ikut jalan-jalan keliling TN Komodo. Kita kan jadi nggak nyaman nantinya. Terus rencana esok bagaimana? Ah, kami bahkan nggak bisa mikir dengan jernih. Mungkin karena kami sudah terlalu lelah setelah menggelandang 9 hari di jalanan Flores...

Aku temukan Ardyan sedang klepas-klepus di depan hotel. Kubagi skenario yang sudah kususun di kepala untuk  menolak tawaran Pak Polisi tadi ke Ardyan. Intinya kami akan menolak tapi dengan cara yang sehalus mungkin dan tidak menyinggung perasaan si Bapak. 

Dan benar, tiba-tiba si Pak Polisi  ndatengin kami. "Saya tunggu di kantor kok nggak datang-datang, makanya saya ke sini" katanya.

Whaladalah, malah ke sini dianya. Yah, ambil kursi pula dari teras hotel dan dibawanya ke sini. 

"Bagaimana?" tanya Pak Polisi lagi.

"E, nganu, e...sepertinya kami nggak bisa jalan-jalan besok ke Komodo bareng Bapak. E...ada teman baru datang ke Labuan Bajo dan ngajak kami jalan. E...." jelasku dengan terbata-bata. A..e..a..e...! Aduh maaf, aku nggak biasa bohong, aku kan anak jujur, baik hati dan tidak sombong ;p

Dengan lancarnya Ardyan nambahin. "Begini Pak, Iya ada teman kami baru aja landing di Labuan Bajo. Barusan aja dia telpon. Dia ngajak kami untuk ikut jalan dengan mereka. Mereka rombongan. Cuma satu orang sih yang kami kenal, itupun lewat Facebook. Ini masih nunggu info lebih lanjut dari dia. Kami nggak tahu rencana dia dan rombongannya besok seperti apa. Jadi besok kami nggak bisa jalan sama Bapak. Nomor hp Bapak berapa, siapa tahu nanti kami perlu."

Busyet dah, lancar bener penjelasan Ardyan. Ekspresi mukanya itu lho, muka serius meyakinkan, datar dengan mimik tak berdosa. Pake acara minta nomor hp dan di-misscall pula. Sadis! 

"Ini nomornya ya? Adik siapa namanya?" tanya Pak Polisi

"Ardyan"

"Iya dik Ardyan. Sebenarnya besok saya nggak dinas, jadi ingin ikut jalan-jalan bersama kalian. Sudah lama saya nggak jalan-jalan ke Komodo. Kebetulan saya kan punya kenalan yang punya kapal dan kenal dengan banyak orang di Desa Komodo. Saya biasa bawa tamu"

"Iya, Pak. Tapi ya... itu tadi. Rokok, Pak?".

"Oh ya, terima kasih"

Ardyan...Ardyan! Level seorang Polisi saja bisa lancar kamu bohongin dan gombalin dengan suksesnya. Bagaimana dengan cewek-cewek lugu di luaran sana? Wkwk! Bisa meleleh geng!  

Dame datang ikut nimbrung sebentar, lalu aku dan dia balik ke kamar hotel. Ardyan masih melanjutkan obrolannya dengan Pak Polisi. Lanjutkan saja gombalanmu dan klepas-klepusmu dengan Bapak Polisi, obrolan sesama lelaki. 

"Susah Pak kalo jalan bareng sama cewek. Jadi maklumin aja kita sebagai cowok. Bapak pasti pahamlah karena kita sesama lelaki. Yang satu begini, yang satu lagi begitu. Susah!"  curhat gombal Ardyan ke Pak Polisi

Huhuhu, kejam kamu Kakak Ardyan! Kamu jadikan aku dan Dame sebagai alasan juga untuk menolak tawaran Pak Polisi itu?  Hiks! Tapi jika gombalan itu makin meyakinkan Pak Polisi untuk percaya padamu, ya sudahlah. Setidaknya kita bisa lepas dari tawaran bantuan geje dari Bapak Polisi ini.

Kenyataannya, esok masih nggak jelas. Mungkin kami akan jalan-jalan saja di seputaran Labuan Bajo atau mencari informasi di travel agent untuk keliling TN Komodo. Lelah sudah membuncah. Yang  penting besok nggak perlu bangun jam 3 pagi seperti yang telah kami lakukan dalam 3 hari berturut-turut ini....

Istirahat dulu teman, di Hotel Pelangi yang tak seindah pelangi di matamu. Wkwk, ketularan gombal juga jadinya! 

22 November 2014.

Pagi, Labuan Bajo! Masih malas bangun. Bukan karena kasur yang empuk, tapi karena semalam memang nggak bisa tidur. 

Ardyan sudah nyari infomasi ke beberapa travel agent di sekitar pelabuhan Labuan Bajo. Harganya? Jantung bisa lepas dengernya, 1 juta per orang untuk paket 1 hari saja! Alamak, sebegitu mahalnya kah untuk menikmati keindahan Indonesia timurku? 

Tiba-tiba Dame inget satu travel agent yang suka ngadain trip sailing komodo yang pernah dihubunginya beberapa waktu lalu. Dia telpon, nego harga dan deal. Tiga juta rupiah untuk tiga orang - paket keliling pulau di TN Komodo selama 2 hari 1 malam. Huhuhu, biaya termahal dalam perjalanan Flores ini! Elus ATM lagi. Tapi dielus saja juga nggak bakal keluar duitnya, hahaha!  Ya sudahlah, kalau nggak sekarang kapan lagi!. 

Segera packing dan check out dari hotel geje ini. Tak ada kata sampai jumpa untukmu, wkwkw! Tinggal nunggu pihak travel agent  menjemput kami.    

Urus-urus masalah keuangan di kantor travel agent sebentar. Langsung capcus ke pelabuhan. Rute pelayaran kita adalah ke Pulau Rinca, Pink Beach main air, Pulau Komodo Manta Point, Pulau Kanawa, Pulau Bidadari, apalagi ya? Tapi nggak bisa ke Pulau Padar, karena alasan jauh dan arus (harus ikut trip yang paket 3 hari baru bisa ke sana). Yo wislah, kita berlayar saja! Kemana saja kau bawa aku, wahai kapten kapalku!

Tujuan pertama kami adalah ke Pulau Rinca. Untuk sampai Pulau Rinca membutuhkan waktu  sekitar 4 jam berlayar, demikian kata kapten kapalnya. 


Peta Taman Nasional Komodo
Warung Bu Dame ;p

Betapa tersiksanya tidur di atas kasur (meski tipis seperti ini).
Saya bukan pecinta kasur, saya telah berkomitmen untuk mencintai papan!

Mari turun dari kapal kakak, kita so sampai di Pulau Rinca! Pulau Rinca termasuk salah satu pulau di TN Komodo dimana kita bisa menyaksikan komodo. Selain itu, di Pulau Rinca juga terdapat populasi babi hutan, kerbau dan beberapa spesies burung. Pulau ini memiliki luas sekitar 198 kilometer persegi. 

Kapten kapal mengantar kami sampai ticket office di Loh Buaya. Petugas tiketnya agak alay, gayanya nggak nguatin, maunya dipanggil Uncle Luis. Ayo Kakak Dame, gombalin aja! Wkwkw! 

Trekking di Pulau Rinca akan dimulai dari ticket office di Loh Buaya. Tersedia beberapa pilihan trek. Trek pendek hanya sekitar 30 menit. Trek sedang dengan jarak tempuh 1,5 jam serta trek panjang dengan waktu 2 jam. Tapi mau apapun treknya, kita nggak dijamin bisa lihat komodo! Yach...penonton kecewa! Rangernya juga bilang kalau panas-panas begini, komodonya pada ngumpet. Yach, komodo takut hitam juga kah? 

Gerbang TN Komodo di Pulau Rinca 


Lubang tempat komodo menyimpan telur-telurnya

Kami memang tak menemukan komodo selama trekking meski sudah bermandi keringat naik turun bukit . Tapi tak perlu kecewa, karena jika tujuan kita ke Rinca hanya ingin melihat komodo saja maka ada beberapa komodo yang suka standby di dekat dapur, tidak begitu jauh dari ticket office. 

Inilah Varanus komodoensis, alias Komodo!

Selesai sudah dengan Pulau Rinca. Mari berlayar lagi ke Pink Beach atau Pantai Merah. Lokasi Pantai Merah ini ada di Pulau Komodo. Pantainya memiliki warna pink karena terdiri dari campuran antara pasir putih dan pasir merah yang terbentuk dari potongan-potongan Foraminifera (organisme bersel tunggal yang hidupnya secara akuatik, mempunyai satu atau lebih kamar yang terpisah satu sama lain oleh sekat yang ditembusi oleh banyak lubang halus (foramen). Menurutku, warna pink-nya dapat terlihat jelas ketika ombak menyapu pantai dengan mendapatkan sinar matahari yang pas. Dame bilang, warna pink-juga sangat terlihat sangat jelas dari atas bukit yang kita daki. 

Bagi yang nggak suka main air, tenang saja karena kita nggak bakal mati gaya. Kita bisa trekking ke bukit di dekat pantai. Ah, bukankah pantai kelihatan lebih cantik dari atas sana? 

Kulari ke hutan, lalu belok ke pantai...?

Pink Beach

Aku akan menjelma awan-awan hati  mendaki bukit untuk menghujanimu... 

Aku duduk saja di sini, di antara ilalang panjang dan bunga rumput....

The lonesome tree on the lonely hill...

Pink Beach Underwater (Courtesy of Dame Sianipar)

Pink Beach Underwater (Courtesy of Dame Sianipar)

Hari telah sore. Saatnya kembali ke tempat peraduan di sebuah kapal. Kami akan bermalam di sana, di tepi dermaga Desa Komodo. 

Kami sempat mendarat sebentar di Desa Komodo. Seorang Bapak mengikuti kami dan meminta Ardyan untuk mengisi buku tamu di kantor desa. Setelah mengisi buku tamu, Bapak ini masih terus mengikuti kami saat jalan-jalan di sekitar rumah penduduk. Ternyata, memang ada tujuannya. Beliau minta sumbangan, untuk pembangunan desa katanya. Yah!  
Satu sudut di Desa Komodo

Menunggu pagi di kapal entah apa yang akan kami lakukan. Mari kita dengarkan saja acara komedi/guyonan lucu yang sedang di-setel kru kapal. Atau mari kita ngobrol saja dengan wisatawan bule di kapal yang tertambat di sebelah....

Aku, si anak pulau
Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam...

23 November 2014

Selamat pagi, Desa Komodo! 

Pagi yang cerah dan senyum di bibir merah. *Gombal

Mari nyarap dan ngopi dulu, biar hidup agak entengan dikit 

Secangkir kopi (entah Kopi Flores, Tugu Buaya atau Kapal Api) dan roti jadi menu sarapan kami pagi ini, sumber energi untuk trekking di Pulau Komodo. 

Pulau Komodo merupakan pulau paling barat di propinsi NTT. Memiliki luas 390 kilometer persegi. Di Pulau Komodo, hewan komodo ini hidup dan masih berkembang biak dengan baik. 

Kami datang pagi-pagi sekali ke ticket office-nya. Berharap ketemu komodo yang masih menikmati sinar matahari pagi yang sehat karena banyak mengandung Vitamin D. Tapi apa daya, ternyata kantor baru buka jam 7 pagi. Yaelah, komodonya nanti sudah pada ngumpet  seperti di Pulau Rinca kemarin, Om!

Gerbang TN Komodo di Loh Liang - Pulau Komodo

Sebelum trekking,  Pre Job Safety Meeting dulu dengan Ranger :-)

Sama seperti di Pulau Rinca, trekking di Pulau Komodo ini juga menyediakan banyak trek dari yang pendek sampai kelas petualangan dengan menginap. Kami pilih trek sedang saja, mengingat sang Ranger bilang bahwa mereka nggak menjamin akan menemukan komodo selama trekking apapun jenis treknya. Yach, peserta kecewa lagi!.

Belum ada komodo yang kami lihat di sepanjang trek ini. Hanya sisa-sisa jejaknya saja yang kelihatan di tanah. Mungkin pagi-pagi tadi mereka berkeliaran di sini, kata kakak Ranger. Nah, kan kita sudah tiba di Pulau Komodo pagi-pagi sekali, tapi kantornya belum buka. Piye tho? 

Di tengah jalan, ada sesuatu yang bergerak. Itu komodo kecil! Hei, jangan lari-lari sayang! Haduh, namanya juga anak-anak!


Si Komodo Kecil

Ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput...

Hatiku selembar daun yang jatuh ke rumput...

Sama seperti di Pulau Rinca, jika kita tidak menemukan komodo saat trekking, maka sebagai pelipur lara ada beberapa ekor komodo yang selalu stand by di dekat mess, hehe!


Yach, dia tidur. Apakah kamu sudah lelah? 

Hari ini masih panjang. Cukup sudah kita mencari komodo. Ayo lanjut ke pulau lain lagi. Kami kembali ke kapal. Tujuan selanjutnya adalah ke Manta Point. Kabarnya banyak manta atau ikan pari di sana. 

Dame sudah siap dengan peralatan tempurnya. Kami berada di sekitar Manta Point ketika tiba-tiba seorang kru kapal berteriak dengan histerisnya : "Ibu...Manta Ibu...Manta Ibu...ayo loncat Ibu...loncat Ibu...!"  Kami kaget luar biasa, sungguh. Dan teriakan histeris itu tidak cuma sekali tapi berulang. Hahaha, Dame memang suka main air, tapi kan sebenarnya dia juga nggak bisa berenang seperti aku dan Ardyan! Aduh Bapak, jangan suruh langsung loncat-loncat gitu dong!. Peralatan tempurnya biar dipake dulu, ditemani juga loncatnya biar ada yang men-guide, ini dalem tauk ;p

Sekitar Manta Point
Itu Manta Ibu...Manta Ibu! (Courtesy of Dame Sianipar)

Kami selesai dengan soal per-Manta-an. Dame-pun begitu senang telah melihat Sang Manta :-)

Yuk ah, capcus ke pulau seberang lagi, Pulau Kanawa. Dari jauh, terlihat bungalow-bungalow yang berjajar rapi di tepian pantainya. Sementara sebuah bukit gersang tampak menjadi latarnya. Pulau ini menyendiri. Tentu saja kami tidak menginap di pulau itu. Kami sudah keburu merinding kalau melihat bungalow cantik di pulau terpencil seperti ini, merinding dengan harga sewanya pastinya, hehe! 

Kita cukup jadi visitor saja kalau begitu. Trekking ke bukit. Selesai trekking, maka Dame akan snorkling, aku molor sementara Ardyan akan sibuk di dunia media sosialnya ;p

Dermaga Pulau Kanawa
Resort Pulau Kanawa
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan...

...dan karena hidup ini indah!

Pulau Kanawa Underwater (Courtesy of Dame Sianipar)

Pulau Kanawa Underwater (Courtesy of Dame Sianipar)

Masih belum begitu sore, setidaknya dunia masih terang. Kapal-kapal masih berlalu lalang. Inilah destinasi terakhir kami di Taman Nasional Komodo yaitu Pulau Bidadari, sejalur dengan arah pulang ke Labuan Bajo.

Yach, pulaunya datar , sama sekali nggak ada bukit, nggak ada yang bisa didaki. Aku dan Ardyan mati gaya dan lebih memilih tidur di kapal sementara Dame kembali sibuk dengan dunia bawah airnya. Ya, tak ada yang bisa kuceritakan tentang pulau ini. 

Akhirnya, kami selesai dengan Taman Nasional Komodo yang juga merupakan tujuan akhir dari perjalanan overland Flores ini.  Tiba-tiba ada sesuatu yang berdesir, entahlah, mungkin perasaan enggan mengakhiri sebuah petualangan...

Tiba kembali di Labuan Bajo, kami check in di sebuah hostel yang terletak di dekat travel agent trip komodo ini. Kebanyakan bule yang menginap di sini, mungkin hanya kami bertiga yang pribumi. Harganya juga murah meriah dengan fasilitas yang lumayan.

The Cool Corner - Backpacker Hostel


Dan esok, kami akan pulang. Kembali ke kenyataan, karena kemarin hanya perlintasan saja...


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Budget :
a. Bis Pela - Labuan Bajo = Rp. 50.000/orang
b. Hotel Pelangi Labuan Bajo = Rp. 200.000/kamar
c. Trip Keliling TN Komodo = Rp. 3.000.000/kapal (Paket 2 hari 1 malam,  termasuk makan, biaya masuk TN Komodo, Ranger, Snorkling & Kamera) 
d. Hostel Cool Corner Backpacker Labuan Bajo = Rp. 50.000/bunk

Monday, December 15, 2014

Menyusur Flores (Bag. 7) - Wae Rebo

"It's not how fast you can go
The force goes into the flow
If you pick up the beat
You can forget about the heat
More than just survival
More than just a flash
More than just a dotted line
More than just a dash..."

(Marathon - Rush)

----------------------------------------------------------------

20 November 2014.

Next destination...Wae Rebo di Kabupaten Manggarai.


Wae Rebo dalam Peta Flores.
Sumber : www.waerebopower.com


Lagi-lagi kami harus ngumpulin nyawa sejak jam 3 pagi karena jam 4 nya kami mesti check out dari hotel dan berangkat ke Ruteng. Kami menyewa mobil karena harus pergi pagi-pagi bener dari Bajawa untuk bisa mengejar angkot ke Denge. Denge adalah desa terdekat dari Wae Rebo. Angkot ke Denge kabarnya berangkat jam 9 pagi dari terminal Ruteng. Jika kami naik bis umum dari Bajawa, positif akan ketinggalan angkot karena bis baru berangkat jam 8 pagi. Baiklah, terpaksa bengkak lagi budget kami :-(

Ruteng sendiri berjarak sekitar 167 km dari Kota Bajawa. Ruteng adalah ibukota Kabupaten Manggarai. Oya perkenalkan, driver kami kali ini bernama Kak Noh. Hei, pelan-pelan saja Kakak, biarkan kami menikmati siluet Inerie di langit Bajawa yang nyaris sunrise itu. Cantik sekali! Lagi males ngeluarin kamera tapinya, jadi cukup direkam dalam memori batin saja ;p

Ada tempat lain yang bisa dihampiri sebelum sampai Ruteng? Ada, namanya Danau Ranumese. 



Menepi sejenak, menikmati Danau Ranumese dari jauh


Sekitar jam 8 pagi kami sampai di terminal Ruteng.  Angkot ke Denge sudah tersedia di tempat. Hmm, tepatnya bukan angkot sih tapi semacam truk yang dimodifikasi. Orang sini menyebut truk ini dengan Oto Kayu. Bangku penumpangnya berupa lempengan kayu yang dipasang/lepas/geser. Ada sekitar 7 baris bangku di di dalamnya dimana tiap bangku lempengan kayu tersebut bisa memuat 5 sampai 6 orang (itu belum termasuk barang-barang atau bahkan hewan ya ;p). Jarak antar bangku sempit sekali. Jadi bagi yang merasa memiliki kaki panjang, harap bersabar atas ketidaknyamanan ini, hehe! 



Ini penampakan Oto Kayu bermerk Rita Lux, jurusan Ruteng - Denge 

Update status Cynnn... "On the way to Wae Rebo -_-"

Masih menunggu penumpang.
jadi, tidurlah yang nyenyak kawan! Sebelum kita disiksa tak berdaya dalam oto kayu ini nanti ;p

Sebuah rambu di pojok terminal. Saya suka anjuran itu :-)

Oto kayu tersebut ternyata baru berangkat sekitar jam 10-11 siang. Penuh dengan penumpang dan barang. Bahkan beberapa sak semen turut ditaruh di bagian bawah truk dan terpaksa kami injak-injak. Sebuah spring bed juga ikut nangkring santai di atas sana. Oke kakak, kita berangkat! Oto kayunya full musik cuy! 


Interior dalam Oto Kayu. Lengkap dengan sak-sak semen yang akan dibawa ke Denge ;p

Dari Ruteng ke Denge kurang lebih membutuhkan waktu 5 jam. Itu berarti selama 5 jam pula kami akan duduk di bangku lempengan kayu yang tidak ergonomis, sempit dan berhimpit. Jangan tanya aspek safety dari oto kayu semacam ini yang kemudian melaju di jalanan sempit , berkelok dan rusak. Inilah satu gambaran transportasi umum di timur Indonesia... :-(

Dua kata untuk perjalanan di atas oto kayu ini, sangat melelahkan! Perjalanan bis dari Ndao ke Mbai saja ternyata masih kalah ganas dibanding yang ini!

Cerita lucu di perjalanan? Tentu ada! Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada satu bangku kayu yang patah dan bunyi patahnya cukup mengagetkan (awalnya kukira itu bangku deretannya Kakak Dame). Ah, mungkin bangku kayu itu sudah lelah, haha!  Atau Ardyan yang beberapa kali berdiri karena kakinya pegel dan memilih duduk di pinggiran bak truk sambil nundukin kepala takut kejeduk atap truk (kasihan dia...). Atau seorang Ibu yang naik dari entah desa apa, dan malah maksain duduk di bangku yang sebenarnya sudah penuh karena satu penumpang di bangku yang sebenarnya agak kosong  tidak mau bergeser. Keadaan itu disambut teriakan beberapa penumpang "Bolo...bolo...!" Hah? Bolo-Bolo? Jadi inget lagunya Tina Toon yang begini : "Mama...bolo-bolo. Papa, bolo-bolo, Nenek bolo-bolo, Kakek bolo-bolo..*sing!" Wkwkw! Usut punya usut ternyata bolo-bolo adalah bahasa daerah situ yang berarti "geser-geser". Ya, berinteraksi dengan penumpang di oto kayu itu lumayan menghibur dan mereka kelihatan ikhlas menjelaskan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kami. 

Jam 15.30 sore akhirnya kami sampai desa Denge. Waduh, bisakah kami langsung trekking ke Waerebo jam segini? Kami menuju rumah Pak Blasius yang merupakan pengelola Pusat Informasi Wae Rebo. Seorang pemuda bernama Kak Reihan menyambut kedatangan kami di rumah itu, lengkap dengan welcome drink berupa kopi sehingga membuat hidup lebih hidup (eh, salah ya slogannya). Tak berapa lama kemudian datanglah Kak Marcel, masih saudara sama Pak Blasius. Maka ngobrol-lah kami tentang Wae Rebo sambil nunggu Pak Blasius pulang dari kebun.

Pak Blasius datang. Obrolan berlanjut. Kami tidak direkomendasikan trekking ke Wae Rebo saat itu karena hari telah sore. Trekking cukup jauh sekitar 9 km atau 3 jam-an, dan sering ada ular di jalan/hutan yang akan dilewati. Penduduk yang tinggal di Wae Rebo-pun juga belum siap jika kami datang pada malam hari. Jika tadi datang maksimal jam 2 siang, mungkin masih bisa langsung ke Wae Rebo, jelasnya. Ya sudahlah, pupus sudah harapan kami untuk bisa bermalam di rumah kerucut Wae Rebo. Akhirnya kami menginap di rumah Pak Blasius yang memang menyediakan homestay untuk tamu. Nama homestay-nya adalah Wejang Asih. Lha kok seperti bahasa Jawa? Tapi ternyata itu bahasa lokal/Manggarai yang artinya tempat istirahat. 

Obrolan dengan Pak Blasius berlanjut hingga malam. Beliau adalah seorang guru SD (SD-nya ada di dekat homestay) dan juga merupakan warga asli suku Wae Rebo. Bisa dibilang beliau merupakan salah satu perintis upaya pelestarian Wae Rebo. Buku-buku tentang Wae Rebo tersedia lengkap di ruang tamu rumahnya. Nah, buku-bukunya ini harus di-iqra' ya :-)

Masyarakat suku ini percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau. Wae Rebo merupakan tempat persinggahan terakhir mereka dari kehidupan yang berpindah-pindah. Leluhur mereka telah menciptakan 7 rumah adat yang bernama Mbaru Niang. Kehidupan yang semakin modern membuat masyarakat kemudian meninggalkan rumah adat mereka dan di tahun 90-an tinggal beberapa rumah adat saja yang tersisa. Beliau bercerita bahwa ia membawa foto-foto rumah Wae Rebo (yang tersisa) ke sebuah hotel di Ruteng sekitar awal tahun 2000-an. Dari sanalah kegiatan semacam promosi berawal. Dan siapakah wisatawan yang pertama kali datang ke Wae Rebo? Ah, ternyata wisatawan bule! Hiks, kok bukan domestik sih? Sungguh ironis!

Tahun 2008, dengan bantuan beberapa donatur, masyarakat Wae Rebo mulai dapat membangun kembali rumah adat mereka. Pembangunan dilakukan secara bertahap selama 3 tahun hingga kembali lengkap berjumlah 7 buah seperti sekarang. 

Tak mudah hidup di Wae Rebo, lanjut Pak Blasius. Tanah di Wae Rebo hanya cocok untuk kopi, cengkeh, jagung dan sayur-mayur.  Untuk beras dan kebutuhan makanan lainnya mereka harus membawanya dari bawah. Bayangin, trekking 3 jam sambil nggembol beras dll untuk hidup! Tapi demi mempertahankan budaya dan adat istiadat, masyarakat Wae Rebo mau melakukannya. Salut!  Oh ya, masyarakat  akan digilir untuk tinggal di rumah Wae Rebo, ya semacam jadwal/roster on - off gitu. Khusus untuk anak-anak yang masih sekolah, mereka tinggal di Kombo. 

Catatan penting bagi para pemilik hp dan aktivis media sosial yang demen update status atau ngetweet, di Denge nggak ada sinyal. Sinyal hanya sampai di Desa Dintor yang terletak sekitar 4 km sebelum Denge. Jadi, puasa alay sebentar dan tabahkan hatimu Nak ;p

21 November 2014.

Dinihari di Denge. Dan lagi-lagi kami harus bangun jam 3 pagi. Kami sudah janjian dengan Kak Marcel yang akan menjadi guide kami ke Waerebo dan memulai trekking jam 4 pagi. Wae Rebo berada di ketinggian sekitar 1200 mdpl. Akan ada 3 pos yang dilewati sebelum sampai ke Wae Rebo. 


Peta Lokasi Wae Rebo.
Sumber : www.waerebopower.com

Jalanan di desa Denge masih gelap, belum ada tanda-tanda kehidupan. Tapi langit penuh bintang. Trek awal ke Waerebo adalah jalan desa yang cukup lebar dan masih dalam proses pengerjaan penataan batu-batu guna keperluan pengaspalan. Jalan dengan batu-batu besar yang tertata itu akan berakhir di sebuah sungai di dekat Pos 1. 

Dame dan Ardyan berjalan seperti rusa. Aku ketinggalan jauh di belakang. Sebenarnya treknya sih nggak begitu ekstrim nanjak, tapi tampaknya tenagaku sudah terkuras habis di Gunung Inerie dan kini tinggal ampasnya saja. Itupun ampas reject yang nggak bisa didaur ulang, haha! Aku tertatih, terseok, ter-apalagi coba...pokoknya yang senasib dengan ketidakberdayaan! Aku terjatuh di jalanan batu, asyem...sakitnya tuh di dengkul! Lengkap sudah penderitaanku. Setelah sukses menggapai puncak Gunung Inerie kemarin, sekarang harga diriku terjun bebas di Wae Rebo, wkwk! Tapi aku masih selamat sampai Pos 1. Lumayan. 

Setelah mengambil waktu untuk istirahat, kami lanjut jalan ke Pos 2. Kondisiku masih sama. Aku ra popo, aku iso! Iso mlaku timik-timik, wkwk! Alhamdulillah, masih selamat juga sampai di Pos 2. Istirahat dulu, Kakak.

Sunrise di Pos 2 :-)
Yang pake handuk hijau di kepala nampak happy banget di sini. Kenapa ya?
Oh, ada sinyal tho di Pos 2? Pantes!

Lanjut lagi, Kakak! Saatnya ke Pos 3. Ternyata saya masih selamat juga! Sip-sip, baik-baik ya kaki. Jangan bikin masalah!  Setelah Pos 3...Nah, ini jalannya baru agak turun! Bonus namanya! Sering-sering ya bonus turunan gini, eh tapi nanti pulangnya nanjak dong berarti ? Ora uruslah, nanti ya nanti ;p

Jembatan bambu setelah Pos 3 

Sekitar jam 7 pagi, kami sudah makin mendekati Wae Rebo. Kami menuju sebuah rumah kecil semacam gerbang ke Wae Rebo. Wow, Wae Rebo dengan 7 rumah kerucutnya sudah kelihatan dari sini. Gila, ini mah indah sekali! Di rumah kecil inilah Kak Marcel memukul kentongan yang suaranya terdengar hingga Wae Rebo. Ternyata kentongan tadi menjadi pertanda bagi penduduk Wae Rebo bahwa ada tamu datang dan mereka akan segera melakukan persiapan penyambutan tamu. 


Gerbang menuju Wae Rebo

Kini kami berada di area seluas lapangan bola dengan sebuah altar berbentuk lingkaran di tengahnya serta tujuh rumah kerucut mengelilinginya. Ladies and gentlemen...this is Wae Rebo!

7 Rumah Adat Wae Rebo

Kak Marcel membawa kami ke rumah utama yang disebut Mbaru Niang Gendang Maro untuk menemui perwakilan tetua adat. Ada semacam ritual atau penghormatan kepada leluhur di sana yang bertujuan agar tamu yang datang senantiasa diberikan keselamatan selama di Wae Rebo dan juga bisa pulang ke rumah dengan selamat. 

Selesai ritual, kami dibawa ke Mbaru Niang Gena Maro, rumah kerucut yang dikhususkan sebagai tempat singgah para tamu. Di sinilah Kak Marcel menjelaskan tentang rumah kerucut ini. Bahwa setiap bangunan Mbaru Niang memiliki lima lantai, masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Lantai pertama sebagai tempat tinggal, ada kamar-kamarnya juga yang bisa menampung 6 hingga 8 keluarga. Tingkat kedua berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang sehari-hari. Tingkat ketiga untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan. Tingkat keempat untuk menyimpan stok pangan dan tingkat kelima atau yang paling tinggi adalah tempat sesajian persembahan bagi leluhur.


Tangga Bambu untuk naik/turun tiap tingkatan dalam Mbaru Niang.
Don't try this at home, it's very dangerous!

Children of Wae Rebo

Messi of Wae Rebo

Denyut kehidupan di salah satu rumah :-)

Begini caranya menenun

Jam 10, makan siang telah siap. Wuih, makanannya lengkap dan enak. Alat makannya pun bersih dengan piring keramik kualitas bagus. Mereka benar-benar menjamu tamu. Kenyang! SMP alias Sudah Makan Pulang, hehe! Nggak juga, tapi memang waktunya pas. Kami harus turun dari Wae Rebo sekarang karena akan lanjut ke Labuan Bajo siang nanti. 

Wae Rebo, pamit dulu. Terima kasih telah menerima kami! 

Dengan jalur yang sama seperti saat berangkatnya, kami pulang kembali ke Denge. Dame dan Ardyan tetap jalan dengan ala rusa-nya. Saya?  Meskipun sudah makan banyak tadi di Wae Rebo tetap saja nggak bisa mengejar mereka. Woles saja, toh Denge nggak akan kemana, haha! 

Pos 3 kami lewati, pada nggak berhenti istirahat ya? Yo wis. Eh, ada yang jalannya lebih-lebih dari rusa cuy. Lari dia! Busyet! Aku dan Dame tertawa ketika kemudian menjumpai Ardyan sedang mojok di Pos 2 sambil pegang hp-nya. Hahaha! Iya, Ardyan lari-lari dari Pos 3 ke Pos 2 demi sinyal, seperti yang telah kami duga sebelumnya. Lanjutkan saja, Mas :-)

Kami istirahat sebentar di Pos 1. Ah, habis ini jalan batu-batu itu sampai Denge. Lanjut dah! Akhirnya kami sampai juga di homestay Pak Blasius. Langsung tepar meluruskan badan sebentar di lantai rumah. 

Aha, kami kan punya buah sawo mentega yang kabarnya sudah matang. Buah ini kami beli di sebuah warung saat bis Larantuka-Maumere yang kami tumpangi berhenti sejenak di sebuah rumah makan padang. Kami baru pertama kali melihat buah itu, bahkan sempat kami googling di internet. Buah ini bernama latin Pouteria campechiana. Masih mentah saat dibeli. Kata penjualnya akan matang dalam 2-3 hari ke depan. Nyatanya buah itu tak kunjung matang bahkan sudah terbawa overland sampai ke Maumere, Moni, Riung dan Bajawa. Dan ternyata di Wae Rebo-lah si sawo mentega ini matang. Oke, mari kita nikmati rame-rame dengan Ibu Blasius serta anak-anaknya. 

Buah Sawo Mentega
Jam 2 siang kami meninggalkan Denge. Terima kasih, Pak Blasius dan keluarga :-)

Kak Reihan beserta dua temannya akan mengantarkan kami dengan motor ke daerah Pela. Di Pela nanti  kami bisa mencegat bis jurusan Labuan Bajo. Cukup mahal bayar ongkos ojeknya. Tapi mungkin sepadan dengan medan serta jauhnya jalan yang ditempuh. Sumpah, pegel juga nih pantat mbonceng motor selama 2,5 jam dengan bonus hujan deras di tengah jalan. Komplit penderitaan ;p

Perjalanan dari Denge ke Pela
Dan di pertigaan Pela-lah kami turun. Mengucapkan selamat tinggal pada Kak Reihan dan dua temannya serta menyimpan segenap kenangan tentang Wae Rebo. 

Ya, Labuan Bajo telah menunggu...

Kisah selanjutnya di Menyusur Flores (Bag. 8) - Taman Nasional Komodo

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :

a. Sewa mobil Bajawa - Ruteng = Rp. 600.000
b. Oto Kayu Ruteng - Denge = Rp. 35.000/orang
c. Homestay Wejang Asih Denge = Rp. 175.000/orang (termasuk makan)
d. Guide Wae Rebo = Rp. 200.000
e. Sumbangan untuk ritual selamat datang di Wae Rebo = Rp. 50.000
f.  Biaya Day Trip Wae Rebo = Rp. 100.000/orang (dapat makan siang)
g. Ojek Denge - Pela = Rp. 200.000/ojek