Monday, November 10, 2014

Mencintai Hujan (Part 17)

Seperti kata salah satu penyair favoritku : "Aku batu. Kau boleh mengembara ke langit dan laut, aku tetap saja di sini. Siapa tahu untuk selamanya." Maka sekali lagi kuantarkan kamu ke stasiun.

Matamu nanar menatap rel kereta, menandakan jiwamu tak sabar untuk segera berkelana. Tapi kereta tak juga datang, terlambat dua jam kata petugasnya. Maafkan aku teman, jika hatiku bersorak kegirangan. Sementara kamu, bersungut, tak tahu harus berbuat apa.

Duduklah, teman. Ajak aku berbicara, tentang apa saja. Dua jam begitu berharga. Aku tak pernah tahu kapan kamu pulang. Karena mencintaimu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. 

Letakkan ranselmu kembali, kawan. Kereta belum datang. Dan izinkan aku menyandarkan kepala ke pundakmu sebentar. 

Di depan mungkin absurd. Tapi setidaknya aku masih punya dua jam...

(@TS Barge, West Seno field)

Wednesday, November 05, 2014

Mencintai Hujan (Part 16)

Ketukan pintu di tengah deras hujan, samar terdengar. Malas beranjak sebenarnya. Ketukan itu mengganggu saja. Mengganggu kenikmatan egoisku menatap derai hujan lewat kaca jendela. 

"Hai.." 

Sebuah suara yang sangat kukenal meski jarang kudengar. Berdiri di hadapanku sosok yang sangat kukenal meski  jarang bertemu. Basah kuyup, tanpa jas hujan.

"Kamu. Masuklah."

Ya, dia pulang. Kepulangan ya kutahu pasti hanya sebentar.

Sebatang rokok ia nyalakan. Kuhirup asapnya dalam. Kukotori lagi paru-paru. Dia tersenyum, kali ini terlihat seperti senyum paling getir sedunia.

"Aku ingin bercerita, dan kamu... jadilah pendengar yang baik, seperti biasa."

Maka jadilah aku pendengar yang baik seperti yang ia minta. Dia hanya butuh bercerita, itu saja. Dan berceritalah ia, dengan latar belakang suara hujan yang makin mereda. Kadang berhenti sebentar untuk menghisap rokok, atau menyalakannya. Maka jadi lah aku penghisap asap rokok yang baik pula.

"Aku mungkin akan istirahat sebentar dari jalanan, mungkin agak lama, entahlah." Ujarnya di penghabisan enam batang rokoknya.

"Semoga bisa membayar kerinduan banyak orang..." Lanjutnya.

Ada desir bahagia membuncah dalam dada. Berharap ini nyata...

"Sudah nggak hujan. Ayo keluar sebentar. Kita lihat langit. Bulan belum penuh. Akan ada banyak bintang di atas. Aku akan pilihkan bintang untukmu. Kita cari yang paling terang, paling dekat."

"Dan aku akan pilihkan bintang untukmu, yang paling redup dan paling jauh" kataku.

"Tidak. Kali ini kita akan melihat bintang yang sama, yang paling terang, yang paling dekat." 

Kami bergandengan menuju sebuah bukit di dekat rumah, tempat kami biasa bermain waktu kecil dulu. Menapak jalan tikus dan bau humus yang segar tersiram hujan. Di atas sana, bulan setengah lingkaran.

Aku memang mencintai hujan. Tapi tolong jangan hujan. Tuhan, kau dengar harapanku bukan? Karena malam ini terlalu indah untuk dilewatkan...

(@TS Barge - West Seno)






Sunday, November 02, 2014

Mencintai Hujan (part 15)

"Sudah lama nggak hujan..."

Kubaca pesan pendek itu. Dari dia...

"Rindu hujan..."

Kubaca pesan pendek kedua. Kubalas sekenanya 

"Itu karena kamu kebanyakan dosa". Send...

"Maaf, gara-gara dosaku, maka Tuhan malah menyiksamu. Hahaha!" Isi pesannya.

"Dasar! Bahkan hanya menjadi temanmu saja, aku ikut terkutuk!" Balasku.

"Mungkin aku sedang menyandera hujanmu, pecinta hujan. Kamu kan tahu aku lebih suka musim panas, debu kering, pohon meranggas, padang ilalang menguning, eksotisnya tanah yang merekah dan...jemuran kering ;p"

"Kembalikan hujanku!"

"Ya ya, baiklah. Kupotong hujan, kumasukkan amplop lalu kukirim untukmu. Seperti senja untuk Alina..."

Alina lagi. Aku bukan Alina. Hujanku tak sama dengan senja-nya Alina.

"Aku butuh skenario lain, bosan dengan cerita Alina. Dan senja bukanlah hujan."

"Baiklah, kutampung pake botol air mineral, lalu kuguyurin ke kepalamu."

"Itu lebih bagus. Berarti kamu harus pulang karena kamu harus mengguyur kepalaku ;p"

Tak ada balasan. Kutunggu. Lalu kikirim pesan sekali lagi.

"Jadi kapan pulang, teman?"

Tak ada balasan. Tak ada jawaban. Lagi-lagi. Ya, kamu ngilang lagi...

Aku ketiduran di sela penantian. Terbangun saat gelegar petir yang nyaris memecah kaca jendela. Dengan jelas aku melihat hujan turun dengan derasnya.
Kuambil hp, kudapati pesan darinya. 

"Hujanmu sudah tak kusandera lagi. Atau mungkin, Tuhan sudah memaafkan dosaku. Ayo keluar, hujan-hujanan. Jadi aku tak perlu pulang untuk mengguyurkan air hujan ke kepalamu."

Sial. Kenapa harus hujan? Aku mencintai hujan, tapi...

"Pulanglah. Tak apa aku meranggas bersama musim panasmu..."

Send...gagal, kukirim lagi dan lagi...tapi  pesan itu tak pernah sampai.  

Nyatanya hujan hanya turun sekali. Sudah itu, mati.

(@ TS Barge - West Seno)