"Sudah lama nggak hujan..."
Kubaca pesan pendek itu. Dari dia...
"Rindu hujan..."
Kubaca pesan pendek kedua. Kubalas sekenanya
"Itu karena kamu kebanyakan dosa". Send...
"Maaf, gara-gara dosaku, maka Tuhan malah menyiksamu. Hahaha!" Isi pesannya.
"Dasar! Bahkan hanya menjadi temanmu saja, aku ikut terkutuk!" Balasku.
"Mungkin aku sedang menyandera hujanmu, pecinta hujan. Kamu kan tahu aku lebih suka musim panas, debu kering, pohon meranggas, padang ilalang menguning, eksotisnya tanah yang merekah dan...jemuran kering ;p"
"Kembalikan hujanku!"
"Ya ya, baiklah. Kupotong hujan, kumasukkan amplop lalu kukirim untukmu. Seperti senja untuk Alina..."
Alina lagi. Aku bukan Alina. Hujanku tak sama dengan senja-nya Alina.
"Aku butuh skenario lain, bosan dengan cerita Alina. Dan senja bukanlah hujan."
"Baiklah, kutampung pake botol air mineral, lalu kuguyurin ke kepalamu."
"Itu lebih bagus. Berarti kamu harus pulang karena kamu harus mengguyur kepalaku ;p"
Tak ada balasan. Kutunggu. Lalu kikirim pesan sekali lagi.
"Jadi kapan pulang, teman?"
Tak ada balasan. Tak ada jawaban. Lagi-lagi. Ya, kamu ngilang lagi...
Aku ketiduran di sela penantian. Terbangun saat gelegar petir yang nyaris memecah kaca jendela. Dengan jelas aku melihat hujan turun dengan derasnya.
Kuambil hp, kudapati pesan darinya.
"Hujanmu sudah tak kusandera lagi. Atau mungkin, Tuhan sudah memaafkan dosaku. Ayo keluar, hujan-hujanan. Jadi aku tak perlu pulang untuk mengguyurkan air hujan ke kepalamu."
Sial. Kenapa harus hujan? Aku mencintai hujan, tapi...
"Pulanglah. Tak apa aku meranggas bersama musim panasmu..."
Send...gagal, kukirim lagi dan lagi...tapi pesan itu tak pernah sampai.
Nyatanya hujan hanya turun sekali. Sudah itu, mati.
(@ TS Barge - West Seno)