Wednesday, November 05, 2014

Mencintai Hujan (Part 16)

Ketukan pintu di tengah deras hujan, samar terdengar. Malas beranjak sebenarnya. Ketukan itu mengganggu saja. Mengganggu kenikmatan egoisku menatap derai hujan lewat kaca jendela. 

"Hai.." 

Sebuah suara yang sangat kukenal meski jarang kudengar. Berdiri di hadapanku sosok yang sangat kukenal meski  jarang bertemu. Basah kuyup, tanpa jas hujan.

"Kamu. Masuklah."

Ya, dia pulang. Kepulangan ya kutahu pasti hanya sebentar.

Sebatang rokok ia nyalakan. Kuhirup asapnya dalam. Kukotori lagi paru-paru. Dia tersenyum, kali ini terlihat seperti senyum paling getir sedunia.

"Aku ingin bercerita, dan kamu... jadilah pendengar yang baik, seperti biasa."

Maka jadilah aku pendengar yang baik seperti yang ia minta. Dia hanya butuh bercerita, itu saja. Dan berceritalah ia, dengan latar belakang suara hujan yang makin mereda. Kadang berhenti sebentar untuk menghisap rokok, atau menyalakannya. Maka jadi lah aku penghisap asap rokok yang baik pula.

"Aku mungkin akan istirahat sebentar dari jalanan, mungkin agak lama, entahlah." Ujarnya di penghabisan enam batang rokoknya.

"Semoga bisa membayar kerinduan banyak orang..." Lanjutnya.

Ada desir bahagia membuncah dalam dada. Berharap ini nyata...

"Sudah nggak hujan. Ayo keluar sebentar. Kita lihat langit. Bulan belum penuh. Akan ada banyak bintang di atas. Aku akan pilihkan bintang untukmu. Kita cari yang paling terang, paling dekat."

"Dan aku akan pilihkan bintang untukmu, yang paling redup dan paling jauh" kataku.

"Tidak. Kali ini kita akan melihat bintang yang sama, yang paling terang, yang paling dekat." 

Kami bergandengan menuju sebuah bukit di dekat rumah, tempat kami biasa bermain waktu kecil dulu. Menapak jalan tikus dan bau humus yang segar tersiram hujan. Di atas sana, bulan setengah lingkaran.

Aku memang mencintai hujan. Tapi tolong jangan hujan. Tuhan, kau dengar harapanku bukan? Karena malam ini terlalu indah untuk dilewatkan...

(@TS Barge - West Seno)






No comments:

Post a Comment