"Aku ke happy land somewhere.
Konon ke Pulau Buru Maluku..."
(Pramoedya Ananta Toer)
-------------------------------------------------------------------------------------
28 Agustus 2015
Hari masih pagi saat mobilnya Indra dan Indira, dua pejalan yang kami kenal di Pulau Saparua, mengedrop kami di Pelabuhan
Ferry Galala Ambon. Terima kasih, kawan! Sampai jumpa lagi.
Ferry menuju Pelabuhan Namlea di Pulau Buru baru akan
berangkat jam 8 malam nanti. Masih lama. Maka daripada manyun dan nggak produktif, aku dan Kakak Dame memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di Kota Ambon. Ransel gembolan kami titipkan ke kru kapal ferry KM. Temi yang sudah sandar di Pelabuhan Galala.
Di antara banyak tempat yang menarik di Ambon, kami memilih untuk mengunjungi landmarknya saja yaitu Lapangan Merdeka, Taman Pattimura dan Gong Perdamaian yang letaknya sangat berdekatan. Dari depan Pelabuhan Galala, kami naik angkot ke Pegadaian, lalu tinggal jalan kaki menuju lapangan tersebut. Tak disangka, pagi itu Lapangan Merdeka dan sekitarnya sedemikian ramainya. Surprise rasanya!
Di Taman Pattimura, sebelah Lapangan Merdeka, tempat dimana salah satu icon Kota Ambon yaitu patung Pattimura setinggi 5 meter yang tegak berdiri, tampak kemeriahan lomba dalam rangka perayaan hari ulang tahun PGM (Persatuan Gereja Maluku). Aku dan Kakak Dame tentu saja tak melewatkan acara itu. Kami menuju Taman Pattimura, menyaksikan lomba HUT PGM itu, tepatnya lomba Dansa Poco-Poco. Panas terik tak menyurutkan minat para penonton untuk melihat para Nona perwakilan dari Jemaat Gereja berdansa dengan hebohnya. Ada satu peristiwa yang sangat menarik yang terjadi pagi itu di depan mata kepalaku.
"Ada grup yang sangat spesial. Tadi mereka mendaftar dan bilang apakah mereka boleh ikut lomba walaupun bukan dari perwakilan gereja. Tentu saja boleh. Tidak ada dis untuk mereka. Kapanpun mereka siap, maka silahkan maju" demikian MC mengumumkan, setelah beberapa kali memanggil beberapa grup tapi tak kunjung muncul hingga akhirnya di-diskualifikasi.
Dan benar, saat MC memanggil nomor grup yang katanya "spesial" itu, muncullah nona-nona dan dua diantaranya menggunakan jilbab. Wow! Mereka bukan dari perwakilan gereja manapun, tetapi kumpulan nona-nona beragama islam yang ingin berpartisipasi dan memeriahkan HUT Persatuan Gereja Maluku. Penonton begitu riuhnya, termasuk aku tentunya. Maluku pernah berdarah-darah. Tapi itu dulu. Kini, tepat di bawah Patung Pattimura, aku melihat indah dan damainya warna-warni Indonesia.
 |
Patung Pattimura |
Aku bergeser ke Lapangan Merdeka, sebuah lapangan luas yang terletak di depan Kantor Gubernur Maluku, lengkap dengan tulisan besar "Ambon Manise" itu telah bersiap menyambut pertandingan sepakbola persahabatan dalam rangka Mangente Ambon 2015, antara tim Nyong Ambon keturunan Maluku yang tinggal di Belanda dan beberapa klub sepakbola di Kota Ambon.
 |
Ambon Manise di Lapangan Merdeka |
 |
Pembukaan Pertandingan Persahabatan |
Foto-foto sebentar di Gong Perdamaian di seberang sana, lalu nyebrang lagi bermaksud menyambangi sebuah benteng, tempat dimana Pattimura digantung Belanda. Yup, Benteng Victoria. Sayangnya kami tak bisa masuk ke dalamnya, meskipun minta izin dulu sama petugasnya. Benteng itu terletak di dalam kompleks TNI dan nggak bisa sembarang orang masuk ke dalam kompleks TNI itu kecuali mendapatkan izin yang dikeluarkan oleh atasannya. Baeklah, Pak.
 |
Gong Perdamaian |
Hari sudah beranjak sore saat kami memutuskan untuk kembali ke Pelabuhan Galala. Naik angkot 2x dari Lapangan Merdeka.
Meskipun ferry menuju Pulau Buru baru akan berangkat jam 20.30 nanti, ternyata sudah banyak penumpang di dalamnya. Akhirnya kamipun meneparkan diri di atas kasur/tempat tidur sesuai dengan nomor yang tertera di tiket. Ah...!
Semacam alarm bersuara nyaring (yang mengingatkanku pada fire drill di rig/barge) menandakan kapal ferry KM Temi berangkat ke Pulau Buru. Delapan jam perjalanan menempuh lautan. Aih, laut lagi, laut lagi... :-(
 |
KM Temi siapa berlayar ke Pulau Buru |
Kami membeli tiket bisnis, setidaknya ada tempat kami merebahkan diri dan tidur walau sangat seadanya. Sejenak berbincang dengan penumpang lain di sekitar kami. Nyaris semuanya bersuku/keturunan Jawa, meski tak semuanya pernah menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Mereka tinggal di Unit, sebutan untuk lokasi transmigrasi di Pulau Buru. Suku Jawa mungkin mendominasi populasi penduduk di Pulau Buru, ini mungkin berawal dari sebuah kisah di masa lalu. Sudahlah, tak perlu kuceritakan apa yang terjadi. Toh penguasa dulu telah menulis sejarahnya sendiri. Kita tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
 |
Bergegas memasuki kapal |
 |
Suasana di dalam kapal |
 |
Penumpang anak-anak dalam kapal |
Ayunan gelombang cukup membuatku terlelap. Berbantal life jacket yang memang sengaja kubawa dari rumah untuk menemani perjalanan Maluku yang dipenuhi aroma lintasan laut ini. Bau minyak angin dan sejenisnya serasa memenuhi udara. Gelombang memang cukup galak malam itu, mungkin banyak yang sea sick alias mabuk laut.
Jam empat pagi, kapal ferry itu akhirnya merapat di Pelabuhan Namlea Pulau Buru. Selamat datang di happyland somewhere, mengutip kata Om Pramoedya. Jam empat pagi, masih terlalu pagi untuk keluar dari kapal. Mari kita tidur lagi, nunggu diusir ABK saja, haha!
Penumpang nyaris habis, mungkin tinggal beberapa gelintir termasuk aku dan Kakak Dame. Sekitar jam setengah tujuh pagi, kami memutuskan keluar dari kapal. Kami tak berniat bermalam di Pulau Buru. Kapal ferry yang sama akan kembali ke Ambon malam nanti dan kami langsung bisa kembali. Jadi sekali lagi kami titipkan carrier besar kami ke salah satu ABK.
Sarapan dulu di sebuah warung dalam kompleks pelabuhan sambil mencari informasi tentang apakah ada transportasi umum menuju tempat-tempat yang ingin kami tuju atau penyewaan motor di sini. Tapi kami malah dirubung tukang ojek, menawarkan jasanya untuk mengantarkan kami dan tetap tak mau lepas kunci untuk menyewakannya pada kami. Setelah cukup alot bernegosiasi harga, akhirnya kami sepakat pakai ojek saja. Dua ojek tepatnya, yang dikendarai oleh Pak Imam dan Pak Rohim. Hmm, tahu gini kami menyewa motor dari Ambon saja (jatuhnya beda tipis saja, dan kami bisa lebih fleksibel mengatur perjalanan), seperti apa yang dikatakan oleh Kak Haikal, pemilik sebuah Tour & Travel yang kami kenal di Pelabuhan Tulehu dan sempat ngobrol tentang destinasi wisata di Pulau Buru. Ya sudahlah!
Pulau ini cukup luas. Untuk wilayah Propinsi Maluku, Pulau Buru merupakan pulau terluas nomor dua setelah Pulau Seram. Sebenarnya banyak tempat wisata di Pulau Buru yang termuat di brosur wisata produksi Dinas Pariwisata Maluku, tapi banyak tempat yang sepertinya masih susah terjangkau apalagi kami hanya punya waktu sehari. Kami memilih Pantai Jikumerasa sebagai destinasi pertama.
Pantai Jikumerasa berada di utara Namlea, Ibukota Kabupaten Buru. Sekitar 30 menit naik motor melewati jalanan aspal bagus yang sangat lengang. Aku disuguhi pemandangan alam yang cukup gersang dan ladang/kebun yang dipenuhi tanaman kayu putih.
 |
Pohon kayu putih di pinggir jalan |
 |
Jalanan di Namlea |
Akhirnya kami tiba di sana, Pantai Jikumerasa. Terletak di tepi jalan besar dan aku tak menemukan pos tiket, alias silahkan masuk saja. Sepi, tak ada orang lain selain kami berdua serta dua ojek yang mengantarkan ini. Berpasir putih dengan gradasi air berwarna biru dan toska, bersih dan cantik. Snorkeling? Sepertinya nggak bisa kalau di pinggir pantai karena banyak karangnya. Jadi harus naik perahu sampai tengah dulu. Jadi, simpen peralatan tempurnya dulu ya, Kakak Dame. Kita berjalan menyusuri pantai saja. Kelihatannya cukup romantis berpayung langit biru, wkwk! Ah, lagi-lagi setengah nggak percaya bahwa akhirnya kami bisa nyasar sampai ke Pulau Buru!
 |
Pantai Jikumerasa |
 |
Apa yang kurasa di Jikumerasa? |
Entah apakah ada spot yang menarik lainnya di bibir-bibir pantai sebelah sana. Sepertinya masih banyak. Atau, pasti seru kalau bisa naik ke bukit di sana dan melihat pemandangan pantai dari atasnya. Tapi mengingat hari semakin siang dan kami masih punya tujuan berikutnya yaitu ke Desa Savanajaya.
Dalam perjalanan ke Desa Savanajaya, kami mampir sebentar di tempat pembuatan minyak kayu putih tradisional. Daerah Namlea di Pulau Buru memang terkenal menjadi sentra produksinya. Mari kita tengok sebentar proses pembuatannya.
 |
Daun kayu putih yang siap diproses |
 |
Tungku tempat memproses kayu putih |
Buru yang sepi tapi panas, sangat menyengat. Jalanan berdebu. Masih dengan ojek, kami akan menuju ke Desa Savanajaya.
"Buru sekarang berbeda dengan beberapa tahun lalu. Saat ditemukan emas, aktivitas penambangan ramai sekali dan hal tersebut tentu berdampak pada kehidupan masyarakatnya. Banyak orang datang ke sini mencari emas. Banyak pula yang meninggal gara-gara emas. Lima orang masuk lubang, kadang hanya dua orang yang bisa keluar dengan selamat." kata tukang ojek kami
Penambangan emas di Pulau Buru sangat booming pada tahun 2011 saat ditemukan emas dengan kandungan tinggi di Gunung Botak Kecamatan Waepo. Sejak itu, jumlah penambang melonjak menjadi berkali lipat dengan kedatangan banyak orang dari luar pulau. Ekonomi Buru menggeliat maju. Tapi hal itu juga berdampak negatif pada lingkungan karena penambangan dilakukan secara tradisional dan tidak mempertimbangkan dampak dari bahan-bahan kimia yang dipakai. Angka kriminalitas meningkat dan juga merebaknya prostitusi di lingkar tambang. Ya, semua menjadi seperti efek domino. Tapi kini, emas tak lagi menjadi primadona seiring makin menipisnya cadangan yang ada.
Ternyata Desa Savanajaya itu jauh sekali dari Namlea. Aku yang cuma mbonceng saja pegelnya minta ampun apalagi yang pegang setang motor pastinya. Tapi kami harus ke sana.
 |
Jalan raya yang sedang diperbaiki |
Mungkin tak ada yang istimewa di desa itu sekarang. Tapi dulu semasa pemerintahan Orde Baru sekitar tahun 60/70-an, tempat menjadi saksi bisu sebuah noktah perjalanan negeri ini. Ribuan orang dari Pulau Jawa dibuang ke Pulau Buru (tanpa pernah melalui proses pengadilan), dengan alasan yang mungkin tak pernah mereka mengerti hingga kini. Label tahanan politik eks PKI mereka sandang seumur hidup bahkan turun dari generasi ke generasi. Para tahanan politik tersebut dipaksa untuk membuka lahan pertanian di tengah belantara Lembah Waepo Pulau Buru.
Zaman bergerak dan Desa Savanajaya dan sekitarnya yang menjadi lokasi trans atau mereka sebut sebagai Unit (entah ada berapa unit, banyak banget yang jelas, dan letaknya jauh-jauh), kemudian berkembang menjadi sentra pertanian di Pulau Buru. Hijaunya sawah dapat dengan mudah kita jumpai di kawasan ini. Sangat mirip dengan Jawa, aku teringat kampung halaman.
Lalu adakah yang tersisa dari sejarah kelam masa lalu itu? Jangan harap bisa mendapatkan banyak hal, semisal camp tahanan, rumah Pram, mesin ketik Pram dan lain-lain. Kami hanya menemukan sebuah bangunan meyerupai aula yang sepertinya baru dipugar. Dulu, bangunan itu adalah tempat berkumpulnya para tahanan politik untuk berkreasi kesenian. Kami berhenti di sana.
Ah, imajinasiku tetiba menjadi liar membayangkan kisah masa lalu...
 |
Aula tempat berkumpulnya para tapol pada zamannya dan tugu peresmian Desa Savanajaya |
 |
"Sejarah Bangsaku" Kami temukan banyak chart di dalam aula tempat berkumpulnya para tapol pada zaman dulu. Chart hasil diskusi yang masih tampak baru. |
Kami melanjutkan perjalanan lagi , kali ini ke Unit 5, yang jauhnya naudhubillah. Ada sebuah patung yang terus terang aku nggak tahu dia siapa, patung itu tanpa lengan. Gara-gara googling tentang Pulau Buru, dan patung itu kerap muncul di "image", tapi googling yang sifatnya seadanya sehingga luput informasi detailnya. Maka setelah sampai di tempat yang dituju, kami sontak tertawa. Apa pasal? Patung tanpa lengan itu tak terawat dan berdiri begitu saja di tengah persawahan Desa Wanakarta, letaknya di pinggir jalan raya penghubung menuju Kabupaten Buru Selatan. Tertera di bawah patung tersebut bahwa ia adalah "Pelda Panita Umar yang gugur dalam menjalankan tugas demi pengabdian kepada kemurnian dan keluhuran Pancasila". Kabarnya, dia dibunuh oleh para tahanan politik dan ditemukan tewas dalam kondisi lengan yang terputus.
 |
Patung Pelda Panita Umar |
Kami kembali ke Pelabuhan Namlea. Panas kian menyengat tanpa ampun.
Pulau Buru masih terlalu luas untuk diburu. Tapi setidaknya, jejak kaki ini sudah ada di sini, di satu pulau di tanah air beta, di happy land somewhere...
 |
Senja di Pelabuhan Namlea |
Kapal ferry ke Ambon baru nanti malam berangkat. Ada lelah yang membuncah. Perjalanan di Maluku ini nyaris berakhir di garis finish...
"Pada beberapa tempat yang kami datangi, mungkin tak sesuai ekspektasi. Tapi kemudian terbayar dengan beberapa hal yang di luar ekspektasi di tempat lainnya. Pada akhirnya, semua adalah tentang menikmati sebuah perjalanan. Indonesia terlalu indah, kawan!"
(Lena Viyantimala & Dame Magdalena Sianipar, Agustus 2015)
------------------ THE END ----------------
Budget :
1. Angkot Pelabuhan Galala Ambon - Pegadaian (Lapangan Merdeka) = Rp. 3000,-/orang
2. Angkot Lapangan Merdeka - Pasar Mardika = Rp. 2500,-/orang
3. Angkot Pasar Mardika - Pelabuhan Galala Ambon = Rp. 3000,-/orang
4. Tiket Kapal Ferry Galala - Namlea Pulau Buru = Rp. 120.000,-/orang
5. Ojek Keliling Pulau Buru = Rp. 100.000,-/ojek
6. Tiket Kapal Ferry Namlea - Pelabuhan Galala Ambon = Rp. 120.000,-/orang