Thursday, March 12, 2015

Menyapa Papua (Bag. 3) - Lembah Baliem Day-2 (Distrik Kurulu)


"To move, to breathe, to fly, to float,
To gain all while you give,
To roam the roads of lands remote,
To travel is to live..."
(Hans Christian Andersen)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

6 Februari 2015

Selamat pagi, wahai pagi pertamaku di lembah Baliem! Pagimu dingin tapi segar sekali. Kabutmu sendu menutup sebagian sisi pegunungan Jayawijaya.

Aku, Dame dan Pak Musa berangkat dari rumah Indah sekitar jam 06.30 pagi. Sesuai rencana kemarin, kami akan jalan-jalan ke sisi utara lembah Baliem. Jalanan Wamena sangat lengang, Pasar Potikelek yang kami lewati juga masih sepi. Sekitar 1 kilometer kami harus berjalan kaki sampai Gereja Advent Wamena untuk mencegat sebuah angkot. Angkot berwarna putih yang akan membawa kami ke Pertigaan Pikhe. Dari pertigaan Pikhe kami harus ganti angkot lagi menuju Kurulu.

Mirip wallpaper di Windows :-)

Jalanan sepi menuju Distrik Kurulu

Jalan aspal menuju Kurulu bisa dibilang cukup bagus. Tiang listrik rapi berjajar di tepi jalan. Bukit-bukit kars menghadang tinggi. Pemandangan hijau di kanan-kiri. Cantik sekali.

SMPN 1 Kurulu

Kami bertiga turun dari angkot di pinggir jalan dekat SMP 1 Kurulu ke arah jalan menuju Kantor Distrik Kurulu dan Pos Polisi Kurulu. Dari situ kami akan trekking selama kurang lebih 1,5 sampai 2 jam menuju "Air Garam Kurulu" yang berada pada ketinggian sekitar 2100 mdpl, destinasi pertama yang direkomendasikan oleh Pak Musa. Pada zaman dulu saat belum ada garam seperti model sekarang, nenek moyang mereka mengambil air garam dari atas bukit sana dan dibawa ke kampung untuk kemudian diolah sebagai garam penyedap makanan, begitu cerita Pak Musa. Hmm, aku nggak punya bayangan seperti apa sih "Air Garam" yang disebut itu (nggak iqra' dulu sih sebelum jalan, haha!). Terus terang aku hanya membayangkan sebuah danau luas berair asin di atas bukit.

Di awal perjalanan, Pak Musa bilang akan mengambil pisang dulu untuk dibawa ke lokasi Air Garam. Hah, ngapain bawa pisang segala? Ransel so berat begini masih mau ditambah pisang pula! Aku dan Dame bilang nggak perlu. Tapi ternyata sebenarnya yang dimaksud oleh Pak Musa bukanlah buah pisang, tapi pelepah pisang yang berguna untuk semacam simulasi bagaimana nenek moyang dulu mengambil dan mengekstrak air garam di bukit sana menjadi garam. Hal ini baru kami ketahui nanti kelak saat tiba di air garam sana. Efek mis-komunikasi, hehe! Nantilah ada cerita sendiri soal ini :-)

Seorang anak laki-laki bernama Marten yang masih kerabat dengan Pak Musa bergabung dengan kami di tengah jalan, ingin ikut ke Air Garam katanya. Kami berjalan menembus padang ilalang menuju tiga bukit yang berjajar tinggi di depan. Bukit Wiyan, Bukit Bagare dan Bukit Kika namanya. Air Garam Kurulu berada di antara Bukit Wayan dan Bagare. Siapkan dengkul, kakak! Kita akan naik-naik ke puncak gunung!

Kami berjalan, membelah ilalang
Trekking di jalan berbatu kadang juga berlumpur menembus hutan Papua yang kaya vegetasi, dipadu dengan bunyi-bunyian alam, serta suara gemericik air dari sungai yang kami lewati di beberapa titik. Ah, surga bagi para penikmat alam dan bagi mereka yang ingin memanjakan mata, mata batin terutama :-)


Kalimat "Sebentar lagi kita sampai" dari Pak Musa, terdengar lumayan merdu di telinga di antara nafas satu-satu yang menderu. Hmm, rasanya sudah lama sekali kita tidak mengasah kemampuan dengkul, kakak Dame! Hehe!

Lalu sampailah kami ke tempat yang agak lapang, terdapat sungai berbatu yang mengalir dan sebuah kolam air.

"Inilah Air Garam", kata Pak Musa

Aku terpana. Jadi, mana danau air asin dalam bayanganku itu, hohoho! Di depanku hanyalah kolam air berukuran 4x4 meter saja!

"Airnya asin, ayo dicoba saja Ibu" jelas Pak Musa

Penasaran, aku cicipi air di kolam tersebut dan benar rasanya asin euy! Dan sungai yang terletak persis di sebelah kolam air asin itu airnya tawar.saja.

Pak Musa bilang seandainya tadi kami sempat mengambil pelepah pisang sebelum trekking maka dia akan menunjukkan bagaimana caranya mengambil air garam seperti yang dilakukan penduduk sekitar pada zaman dulu. Haha, di situlah kami baru ngeh kalau yang dimaksud oleh Pak Musa adalah pelepah pisang dan bukan buah pisang. Untungnya, di dekat bebatuan sungai, Pak Musa menemukan pelepah pisang yang tak terpakai. Beliau lalu meremas-remas pelepah pisang tadi sembari merendamnya ke dalam kolam yang berisi air garam. Nenek moyang Pak Musa menggunakan remasan pelepah pisang yang telah direndam beberapa lama ke dalam air garam hingga berubah warna itu, menjadi sumber garam pada masakannya. Air garam di atas bukit ini juga tak pernah kering dan adanya sumber air garam di atas gunung dianggap sebagai keajaiban oleh masyarakat sekitar, lanjut Pak Musa. Sampai kini air garam itu juga dipercaya mampu mengobati berbagai penyakit. Sebuah kisah yang seru. Aku tak pelu kecewa karena hanya mendapatkan sebuah kolam berair asin di atas bukit ini setelah trekking berjam-jam. Cerita di balik  "air garam" semakin mentahbiskan bahwa selalu ada cerita di setiap destinasi :-)

Karena penasaran mengapa ada air asin di atas bukit, maka googling-lah aku sambil menulis catatan perjalanan ini. Dan inilah infomasi yang kudapatkan :

"Secara geologi, mata air asin yang terdapat di Kurulu ini terbentuk oleh mineral Kalsit (CaCO3). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh M. Hutasoit dkk (1998) mata air ini berasal dari Danau Habema.

Sketsa Penampang Proses Terbentuknya Mata Air Asin Kurulu

Dengan mempergunakan oksigen dan hidrogen yang dianalisis dengan menggunakan sampel dari contoh mata air asin yang ada dan berdasarkan interpretasi peta topografi ditemukan bahwa mata air asin ini berasal dari air bawah tanah. Berasal dari air meteoric (merupakan air yang berasal dari air hujan yang menyusup masuk ke tanah) lokal dan kadar garam yang dihasilkannya adalah akibat interaksi antara air dengan material batuan. Dimana air asin ini diperkirakan berasal dari mineral kalsit yang banyak kita temukan di daerah Kurulu dan sekitarnya.

Secara megaskopis di sekitar daerah mata air ini banyak ditemukan fosil-fosil yang terdapat di daerah ini dapat pula mengindikasikan bahwa air asin tersebit merupakan air purba (connate water) atau air yang terbentuk atau terjadi pada saat air laut surut, namun hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. 

Menurut Edi Prasetyo (2003), air tanah dengan kadar garam tinggi yang dapat mencapai sepuluh kali lipat dai kadar garam yang terdapat pada air air laut secara umum dapat dijumpai pada batuan sedimenter. Air tanah ini tidak selalu terkait dengan aktivitas vulkanik maupun aktivitas laut yang ada. Tanpa memperhatikan asalnya, air ini dikenal sebagai air bentukan. Ketika air tanah ini menyembul ke permukaan ia akan menjadi mata air dengan kadar garam tinggi. Lokasi ini sangat jauh dari samudra/lautan karena terletak di kaki pegunungan Jayawijaya serta tidak ada aktivitas vulkanik di sekitar kawasan tersebut". 

Selesai sudah menikmati "air garam" di atas bukit, maka kami turun kembali. Jalur pulang tentu lebih enak dan cepat karena bebas tanjakan. Kali ini tak ada kata tertatih ataupun terseok ;p

Tujuan kami selanjutnya adalah ke objek wisata Mumi Jiwika. Saat melewati Kantor Distrik Kurulu, Pak Musa berhenti sebentar dan minta izin mau ngurus uang BLT. Ternyata hari itu adalah jadwal pembagian uang BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk warga Distrik Kurulu yang dipusatkan di Kantor Distrik. Warga ramai berkumpul di kantor itu. Beberapa penduduk kenal dengan Pak Musa dan juga mengucapkan salam padaku dan Dame. Mereka sangat ramah. Karena antrian panjang, Pak Musa akhirnya menitipkan kartu BLT ke saudaranya untuk minta diambilkan saja. Baiklah Pak Musa, ayo kita capcus lagi! Marten pamit pulang, nggak ikut ke Jiwika.

Satu, dua...tiga...lompat kakak!

Kami melewati ladang dan beberapa kali melompati pagar untuk menuju tempat Mumi Jiwika. Hehe, tenang saja kami bukan maling kok. Tapi penduduk sana memang memasang pagar untuk membatasi tanah, rumah, kampung atau ladangnya. Sesekali bertemu dengan penduduk di sepanjang perjalanan, terucap kata "selamat siang" dari mereka sambil mengulurkan tangan untuk salaman. Itu budaya penduduk jika bertemu orang katanya. Nice!

Sampailah kami ke sebuah kampung yang terdiri dari beberapa Honai. Honai adalah rumah adat yang terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai ini cenderung sempit, kecil dan tidak berjendela kemungkinan bertujuan untuk mencegah hawa dingin masuk ke dalam rumah. Suasana kampung masih sepi. Kemudian datanglah seorang Bapak warga kampung tersebut menyambut kedatangan kami. Selanjutnya, muncullah satu persatu para pria yang menggunakan koteka dan juga para wanita dengan pakaian tradisionalnya. Ingat baik-baik, jangan sembarangan berfoto atau jeprat-jepret seenaknya dengan penduduk lokal yang berpakaian adat tersebut kecuali kalian adalah pejalan yang uangnya tak berseri! Dari awal, biarkanlah si Bapak yang menyambut kedatangan kalian menjelaskan berapa harga yang harus dibayar untuk mengeluarkan mumi serta berfoto dengan warga di kampung itu.

Setelah sepakat dengan harga. Maka Bapak tadi mengeluarkan mumi dari Honai kemudian diletakkan di atas sebuah balok kayu di halaman depan Honai. Mumi berwarna hitam, dalam posisi berjongkok dengan mulut menganga lebar. Beberapa hiasan di kepala dan leher bahkan koteka yang dipakainya masih tampak utuh. Bapak tersebut menjelaskan bahwa Mumi tersebut berumur 367 tahun, dulunya dia adalah seorang Kepala Suku Mabel. Mumi itu bernama Wim Motok Mabel.

Wim Motok Mabel, sang Mumi Jiwika

Puas menengok Jiwika, maka perjalanan menyusuri alam Kurulu kembali dilanjutkan. Kami akan mampir ke kampungnya Pak Musa tepatnya di Kampung Waga-Waga. Jadi inget lagunya Shakira...Waka-Waka ey..ey...! Eh, beda ding ;p

Lapangan untuk perang suku

Lanjut lagee...!!!

Berapa kira-kira harga babi segemuk ini? 

Di tengah jalan, Pak Musa berhenti sebentar dan menunjukkan bahwa di sebelah kanan sana ada sebuah batu yang disebut sebagai "Batu Pacaran Zaman Nenek Moyang". Hah, apaan tuh?  Jadi penasaran dibuatnya. Kami dekati batu besar itu. Ya memang cuma batu sih tapi ada cerita di balik batu besar itu!

Ceritanya begini. Pada zaman dahulu kala, ketika komunikasi nggak secanggih sekarang, batu ini menjadi saksi bersatunya dua insan. Wkwk, apaaan sih! Jadi di atas batu inilah sang pria akan meletakkan daun-daunan sebagai penanda ia naksir dan berharap ketemu dengan wanita pujaannya. Nah, jika sang wanita pujaan tadi juga menyukai si pria, maka sang wanita tersebut akan meresponnya dengan meletakkan daun-daunan juga di atas batu tersebut. Selanjutnya, kedua orang yang saling jatuh cinta tadi akan bertemu di batu tersebut. Selayaknya film India, maka mereka akan pura-pura sembunyi sambil berlarian mengitari batu besar itu. Aku tertawa memperhatikan gaya Pak Musa yang berapi-api memperagakan kisah cinta ala Kurulu-wood itu.

Sampai di kampung Pak Musa, kami bertemu dengan istri dan keponakannya. Satu kompleks Honai terdiri dari Honai untuk laki-laki-laki (Pilamo), Honai khusus perempuan, dapur, kandang babi serta tempat acara bakar batu. Mari kita menikmati kehidupan ala Honai, dan berfoto sepuasnya :-)

Inilah Pilamo atau Honai untuk laki-laki. Pak Musa menyatakan bahwa Honai di kampungnya ini (Honai Jagaman) adalah Honai terbesar di Kurulu. Di sebelah kanan, tampak batu-batuan untuk acara adat bakar batu. 

Kampungnya Pak Musa

Dapur keluarga 

Di dalam Honai  perempuan

Begini caranya menggunakan alat penjepit makanan ala Honai :-)

Pak Musa & Family

Hari semakin siang. Kamipun pamit dari kampung Pak Musa. Tapi Kurulu belum selesai dijelajahi siang ini. Kami jalan kaki lagi dan berniat menunggu angkot di dekat SMP 1 Kurulu yang akan membawa kami ke lokasi Pasir Putih, demikian masyarakat menyebutnya.

Geliat aktivitas warga di sudut jalan. 

Pasir Putih terletak di tepi jalan raya. termasuk bagian dari Desa Aikima. Sebuah kawasan yang dipenuhi oleh bukit berbatu tinggi nan gagah dan pasir sehalus tepung berwarna putih yang berhamburan di sekelilingnya. Yup, setelah ada air garam di atas bukit maka kini ada pasir putih tanpa lautan di lembah yang berada di ketinggian 1600-an mdpl ini. Keunikan apalagi ini? Sempat baca di beberapa artikel, bahwa dulunya Wamena adalah sebuah danau raksasa. Gempa hebat yang terjadi pada tahun 1800-an membuat pergeseran lempeng dan perubahan geologi pada daerah ini. Di artikel lain menyebutkan bahwa pasir tersebut adalah pasir kuarsa yang memang identik berada di daerah kars seperti Wamena dan sekitarnya.

Menuliskan langkah di atas pasir

Karena santai nggak harus di pantai...

Kami tinggalkan Pasir Putih beserta langit biru yang menjadi latarnya. Menunggu angkot lagi ke Kota Wamena.

Bersama anak-anak Aikima 

Salah fokus, foto warganya malah jadi blur :-(

Dua pasang kaki, hasil trekking seharian ini 

Pasar Jibama adalah tempat yang kami kunjungi selanjutnya. Ini adalah pasar terbesar di Wamena. Berkeliling pasar, lorong demi lorong, melihat aktivitas masyarakat menjual dan membeli barang beraneka rupa.

Sayurnya, kakak! Boleh, kakak!

Ada sarang semut cuy! 

Gerbang Pasar Jibama.
Eh, di Wamena ada becak lho. Kabarnya becak-becak tersebut dibawa dari Malang menggunakan pesawat Hercules !

Kami kembali ke rumah Indah sore itu. Membawa cerita  tentang Kurulu, satu tempat dengan seribu keindahan di Lembah Baliem.

Dan sore itu, toko sekaligus tempat praktek drg. Indah tak sengaja kedatangan tamu agung yaitu Bapak Camat Kurulu. Indah kemudian bercerita bahwa aku dan Dame baru saja blusukan ke Kurulu sampai ke Air Garam segala. Beliau kaget sekaligus senang mengetahui ada dua pejalan sengaja jauh-jauh datang dari Jawa dan Sumatra untuk melihat keindahan Lembah Baliem, haha! Baiklah Pak Camat, mari kita foto dulu. Say cheeeeseee!!!

Kisah selanjutnya di Lembah Baliem Day-3 (Distrik Kurima)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :

1. Angkot Gereja Advent Wamena - Pertigaan Pikhe : Rp. 7000/orang
2. Angkot Pertigaan Pikhe - SMP 1 Kurulu : Rp. 25.000/orang
3. Biaya di Mumi Jiwika : mengeluarkan mumi (Rp. 50.000,-), biaya masuk untuk wisatawan domestik (Rp. 50.000/orang), biaya foto dengan penduduk lokal berpakaian adat suku (Rp. 10.000/penduduk/jepretan).
4. Angkot SMP 1 Kurulu - Pasir Putih : Rp. 15.000/orang
5. Angkot Pasir Putih - Pasar Jibama : Rp. 15.000/orang
6. Angkot Pasar Jibama - Kota Wamena : Rp. 7000/orang



4 comments:

  1. Hai mba. seru sekali ya perjalanannya ke papua :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, salam kenal Mba Pipit. Iya, seru banget, apalagi Papua mmg sdh keren dari sononya 😃

      Delete
  2. Mba Lena,
    salam kenal..terimakasih sudah berbagi cerita tentang Wamena dan Papua :)
    kami lagi bercita-cita mau kesana, seru sekali membaca cerita perjalanan Mba Lena

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Mbak May
      Salam kenal juga. Terima kasih sdh berkunjung ke blog saya.
      Papua (khususnya daerah Pegunungan Tengah, semcm Wamena) wajib jd destinasi Mbak May.
      Kita akan melihat satu "sisi lain" dari Nusantara dg keunikannya dan alamnya yg luar biasa indah.
      Btw, Three of Us-nya keren! Saia suka...saia suka...!

      Delete