Monday, March 30, 2015

Menyapa Papua (Bag. 6) - Lembah Baliem Day-5 (Menembus Kabut Habema)


"Aku makin ke timur, mengikuti garis bujur.
Meski barangkali hidup adalah angan-angan panjang, 
tapi di satu titik ini izinkan aku berhenti sebentar.
Ingin kubekukan sepi, 
Dan pagipun melandai, menyisakan angin pucat dan kabut dingin ..."

------------------------------------------------------------------------------------------------------

9 Februari 2015

Hari ke-5 di Lembah Baliem. Sampailah hari di mana aku dan Dame akan pergi ke Danau Habema...

Menuju ke Danau Habema bukanlah perkara mudah, terutama untuk urusan kantong. Tak ada transportasi umum ke sana. Satu-satunya jalan adalah harus mencarter mobil 4WD dari Wamena dengan biaya sekitar dua jutaan rupiah lebih! Hah! Sejak awal kami bikin itinerary Papua, maka transportasi ke Danau Habemalah yang bikin mata terbelalak lebar apalagi praktis biaya tersebut hanya ditanggung oleh kami berdua. Tapi selalu ada harga yang dibayar untuk keindahan destinasi yang mungkin tak biasa ini. Dan akhirnya, kami tetap nekad pergi ke sana...

Tepat jam 06.30 pagi, sebuah mobil Ford Ranger yang kami rental dengan driver bernama Kak Nunuk telah siap di depan mata. Oh ya, Pak Musa tetap ikut. Capcus kita! 

Danau Habema berada sekitar 48 km dari Wamena, berada di kaki Gunung Trikora, dan termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lorentz. Danau ini memiliki nama asli Yuginopa. Nama Habema sendiri diambil dari seorang perwira Belanda yaitu Letnan D. Habema yang mengawal ekspedisi H.A Lorentz untuk mencapai puncak Gunung Trikora pada tahun 1909 (sebelum nama Trikora disematkan, pemerintah Belanda menyebut gunung itu dengan nama Gunung Wilhelmina). Dengan ketinggian 3.225 mdpl danau ini termasuk danau tertinggi di Indonesia. Dari sana, kita akan bisa melihat Gunung Trikora yang menjulang tinggi dengan salju abadi di puncaknya. Hey, bila kalian pernah menonton film "Denias Senandung Di Atas Awan", maka keindahan Danau Habema sempat terekam dalam beberapa adegannya. Pemandangannya luar biasa!

Mobil meluncur ke arah Distrik Napua. Untuk pergi ke kawasan Danau Habema, kami memang diharuskan melapor terlebih dahulu ke Pos Polisi Napua karena perjalanan ke sana termasuk rawan dalam hal keamanan.

Jalanan sempit dengan rute berkelak-kelok dan naik turun, diapit hutan Papua dengan pepohonan tinggi, serta kabut yang harus kami tembus menjadi teman perjalanan. Hmm, dingin tapi indah sekali. Sepi, nyaris kami tak bertemu dengan orang atau kendaraan lain. Jalur menanjak makin tinggi. Kota Wamena berada jauh dibawah kami bahkan di satu titik mobil kami berjalan sejajar dengan awan! Wah...!

Tapi ada sedikit yang merusak pemandangan. Di beberapa lokasi tampak penebangan pohon terjadi. Bukannya tempat ini bagian dari Taman Nasional yang seharusnya menjadi hutan lindung ya. Entahlah...



Kabut, sengajakah engkau mewakili pikiranku...

Awan bahkan bergerak sejajar dengan jalanan yang kami lewati

Sebuah lukisan pagi


Dua jam lebih perjalanan hingga kemudian Kak Nunuk berhenti di tepi jalan dimana kami bisa melihat Danau Habema dari kejauhan. Cantik, dengan latar belakang pegunungan yang gagah sekali. Satu jepretan dulu boleh?



Jalanan ala offroad kembali dilanjutkan. Kami mendekati arah tujuan, sang danau tertinggi di Indonesia itu.  Ah, bahkan bunga edeweis-pun tumbuh liar di pinggiran jalan. Sampai di persimpangan jalan, Kak Nunuk memilih jalan ke kiri, arah ke Kabupaten Nduga kata Kak Nunuk. Kalau ambil jalan ke kanan, itu menuju Kabupaten Puncak Jaya. Dan jalanan ini, wuih...bentang alamnya! Bebatuan tinggi yang keren sekali!

Danau Habema makin dekat dalam pandangan mata. Bukan main luasnya, dikelilingi oleh hamparan padang rumput dan rawa. Mobil berjalan pelan, kami mencari jalan masuk untuk turun ke danau itu, tapi tak kunjung ketemu.

"Susah turun ke danau di bawah itu. Rawanya hidup." kata Kak Nunuk

Lah, tapi aku ingat di beberapa artikel dan blog yang kubaca, bahwa kita bisa turun ke bawah, bahkan berenang di danaunya. Ada papan nama Danau Habema dan juga gubug-gubug di pinggirannya. Jadi pasti ada jalan turun ke bawah sana. Akhirnya kami putar balik, dan mencoba ambil arah kanan di persimpangan jalan tadi. Ya, kami ambil jalan yang menuju arah Kabupaten Puncak Jaya.

Mobil kembali pelan berjalan. Hawa dingin makin menusuk tulang. Entah berapa derajat celcius suhu di sana. Kabut tampak pekat, langit sama sekali tak biru. Kak Nunuk bilang jika kami datang agak siangan, maka tempat ini sudah tertutup kabut dan membuat Danau Habema tak kelihatan lagi. Lalu mana Gunung Trikora dengan puncak salju abadinya...?

"Seharusnya Gunung Trikora bisa terlihat di sebelah kanan kita jika cuaca cerah. Tapi cuacanya seperti ini, jadi tidak kelihatan" jelas Kak Nunuk.

Yach, gagal sudah harapan untuk menikmati megahnya Trikora dengan salju di puncaknya itu. Ya sudahlah, mengeluh tiada guna, bukankah alam memiliki skenarionya sendiri.

Membiarkan mata kami menikmati pemandangan yang sempurna dan tak biasa di depan mata adalah anugerah terindah pagi itu. Akhirnya, tampak di depan sebuah gubug kayu rusak dan papan nama yang sudah miring. Kami spontan teriak, nah....itu pasti jalan masuk untuk turun ke Danau Habema!


This is it, Danau Habema! 


Carilah papan nama ini, maka di situlah jalan masuk turun menuju Danau Habema

Aku, Dame dan Pak Musa turun sementara Kak Nunuk mau nunggu di mobil saja katanya. Baiklah, mari kita tapaki padang rumput yang terbentang maha luas ini untuk menuju danau itu. Jauh juga! Ups, hati-hati melangkah, ini bukan sembarang padang rumput biasa karena sebagiannya berupa aneka macam tumbuhan lumut dan tersimpan kubangan air dan lumpur di bawahnya. Tapi nyatanya, meski sudah berhati-hati dan mata tertuju pada langkah, berkali-kali aku masih terperosok juga, haha!

Di sekitar danau bisa kita jumpai tanaman epifit sarang semut dan entah tanaman apa lagi yang aku tak tahu namanya. Sepi sekali. Tak ada orang lain di tempat ini selain kami, lansekap seindah dan semegah ini benar-benar kami nikmati sendiri. Seribu puisi, mungkin bisa tercipta di sini.


Padang rumput, lumut dan rawa...

Mari istirahat di sini, kita nikmati sepi...

Iseng googling, tanaman ini bermarga Rhododendron
Ketika kopi bertemu dengan sarang semut (Myrmecodia pendans). Karena selalu ada kopi di setiap destinasi :-)

Menjelang siang kami pulang, meninggalkan Danau Habema dengan segenap kesunyiannya.

Dalam perjalanan pulang, belum begitu jauh dari lokasi danau, tiba-tiba aku ingat bahwa bendera merah putih itu belum dikibarkan. Aku memang sengaja membawa bendera dari rumah dengan sebuah cita-cita yaitu mengibarkannya di danau tertinggi di Indonesia, di Papua! Lha kok bisa-bisanya terlupa! Waduh! Eh, Kak Nunuk malah menyarankan untuk tetap dikibarkan saja, dia berhenti di tepi jalan dan memarkir mobilnya.

Maka hari ini, Senin tanggal 9 Februari 2015, kami kibarkan Sang Saka Merah Putih di dekat Danau Habema, danau tertinggi di Indonesia, di kaki Gunung Trikora Jayawijaya Papua! Kepada...Sang Merah Putih....Hormaaaat graaak...!!!



Papua, sekali lagi...tetaplah menjadi Indonesia!

Makin jauh kami tinggalkan Habema di belakang. Ada rasa enggan pergi...

Jadi teringat, sejumput tulisan tentang Heinrich Harrer, seorang pendaki Austria yang juga merupakan penakluk pertama Cartenz Pyramid Papua pada tahun 1962. Dalam bukunya I Come from The Stone Age, dia menuliskan kesannya tentang Papua. Kuterjemahkan secara bebas saja ya : "Di Aigera aku ingin menguji kemampuanku. Di Himalaya aku ingin mengetahui tentang kesendirian. Di Tibet aku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Tapi di Papua aku menemukan semuanya..." 

Kami melewati jalan yang sama seperti saat berangkat tadi. Alam masih menyuguhi kami kabut pekat sepanjang perjalanan.

Kembali ke Wamena, kami melapor lagi ke Pos Polisi Napua yang menyatakan bahkan kami telah pulang dengan selamat dari Danau Habema. Saat lapor, kami sekalian iseng menanyakan dimana letak Air Terjun Napua yang kabarnya terletak tak begitu jauh dari Pos Polisi. Tak kusangka, Bapak Polisi yang jaga malah bersedia mengantarkan kami ke air terjun itu.

Tak ada rambu apapun sebagai petunjuk menuju lokasi Air Terjun Napua. Yang jelas, Kak Nunuk memarkirkan mobil sekitar 200-an meter dari Pos Polisi Napua kemudian ada jalan setapak di sebelah kanan jalan. Trekking menanjak sedikit lalu turun dan menemukan aliran sungai. Tak jauh dari sungai itulah air terjun Napua berada. Air terjunnya nggak begitu tinggi, tapi masih lebih tinggilah dibanding air terjun Walesi yang kami kunjungi kemarin.  Terima kasih, Bapak Polisi! Aduh maaf, kami bahkan lupa menanyakan namanya.


Air Terjun Napua

Jam sudah menunjukkan waktu 13.30 siang saat  kami berhenti untuk menikmati Soto Makasar di sebuah warung langganan Kak Nunuk di Kota Wamena untuk makan siang. Saat makan, tiba-tiba Kak Nunuk bertanya "Habis makan, mau lanjut jalan-jalan kemana lagi?" Aku dan Dame saling berpandangan. Hohoho, jadi mobilnya bisa dipakai seharian kah? Maka sebuah konspirasi terjadi. Kak Nunuk menyatakan bahwa mobil yang kami sewa itu bisa dipakai seharian, nanti dia tinggal bilang ke bosnya kalau aku dan Dame agak lama di Danau Habema dan pulang sore dari sana. Deal! Hahaha!

Kami memutuskan jalan-jalan ke Distrik Wosilimo untuk melihat Goa Lokale dan Goa Kontilola. Oh ya, Distrik Wosilimo merupakan tempat diadakannya Festival Lembah Baliem di Bulan Agustus setiap tahunnya.


Lapangan Distrik Wosilimo yang digunakan untuk Festival Lembah Baliem

Goa Lokale kami kunjungi duluan. Goa ini bentuknya memanjang dengan akses yang sempit bahkan beberapa di antaranya harus melewati jembatan kayu yang lapuk. Penerangan hanya tersedia sampai 50 meteran dari pintu goa. Entah sampai mana ujung goa ini.


Pintu masuk Goa Lokale

Mantap, Kakak! Ayo lanjut naik terus!


Goa selanjutnya yang kami datangi adalah Goa Kontilola. Dan goa ini...ah mulutku sampai ternganga saat sampai di pintu masuknya. Ada semacam aula besar dengan pilar di tengahnya, taman/hutan kecil di dalam goa dan goa lain di seberangnya dan sebuah aliran sungai bawah tanah jika jelajahi bagian kanan dari aula itu (perlu senter untuk ke sungai bawah tanah itu, gelapnya minta ampun!). Dari tulisan di internet yang kami baca, sempat ditemukan tulang belulang didalam goa ini dan juga lukisan aneh di dinding goa. Tapi pada saat kami tanyakan ke Pak Musa dan juga anak-anak yang menjadikan goa ini sebagai tempat bermainnya, tulang maupun lukisan itu tak ada. Nah lo!

Bebatuan goa didominasi warna hijau. Semoga goa ini tetap tersembuyi dari para penggemar batu akik, karena bisa-bisa batu di goa ini habis semua digali, wkwk!


Sebuah pilar di tengah goa
Survey batu akik, Kakak? Hahaha! 

Giok, Bacan, Kalimaya, Red Borneo, Ruby, Kecubung, hmm...apalagi....wkwkw! 

Ini tempat main kami, Kakak!

Menjelang maghrib kami sampai kembali ke Kota Wamena. Meluruskan kaki dan membingkai memori tentang perjalanan hari ini. Itu sudaaahhh....!!!

Cerita selanjutnya di Lembah Baliem Day-6 (Distrik Piramid)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Sewa mobil 4WD Wamena - Danau Habema pp = Rp. 2.500.000/hari (sudah termasuk bensin dan supir)
2. Sumbangan untuk Goa Lokale = Rp. 100.000/rombongan
3. Sumbangan untuk Goa Kontilola = Rp. 50.000/rombongan

1 comment:

  1. Jakarta, Aktual.com — Dalam rangka memperingati HUT RI ke-70 pada 17 Agustus nanti, akan ditancapkan bendera Merah Putih dan juga bendera Korps Alumni KNPI untuk dikibarkan di puncak Gunung Carstensz, Papua, yang akan dibawa oleh pendaki tuna daksa Sabar Gorky.

    “Carstensz adalah puncak gunung tertinggi di Asia. Kita mau momentum Sabar Gorky digunakan untuk menyebar semangat pendaki berkaki satu kepada anak muda. Naik gunung untuk yang manusia yang normal fisik saja susah, apalagi yang tidak lengkap fisiknya,” kata Ketua Umum Korps Alumni KNPI Azis Syamsuddin, dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa (4/8).

    Tebarkan Semangat, Sabar Gorky Dipercaya Kibarkan ‘Merah Putih’ di Puncak Gunung Carstensz

    ReplyDelete