Friday, April 17, 2015

Menyapa Papua (Bag. 10) - Merauke

"This country the Republic of Indonesia, doesn't belong to any group, nor to any religion, nor to any ethnic group, nor to any group with customs and traditions, but property of all us...from Sabang to Merauke"
(Soekarno)

-------------------------------------------------------------------------------------------

14 Februari 2015

Woohoo...! Pesawat Sriwijaya Air yang kami tumpangi mendarat mulus di landasan pacu Bandara Mopah. Selamat datang di Merauke! Sebuah tempat yang hanya kukenal lewat lagu yang kerap dinyanyikan saat SD dulu. Merauke, inilah daerah yang sepertinya resmi dianggap sebagai perbatasan timur Indonesia setidaknya dalam lagu dan slogan-slogan nasionalisme.

Eh, hari ini 14 Februari ya? Kata orang, hari ini diperingati sebagai hari kasih sayang. Tapi makna kasih sayang kan luas, termasuk menyayangi negeri tercinta Indonesia menurutku. Nyatanya saking cintanya pada Indonesia, kami bela-belain menjejakkan kaki sampai Papua bahkan ke ujung Merauke tepat di hari valentine ;p

Mama Regina, adik dari suami Roslena (teman SMP Dame, tempat kami menginap selama di Jayapura) sudah menunggu di area pengambilan bagasi Bandara Mopah. Mama Regina bekerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Merauke, jadi sepertinya beliau punya akses khusus untuk bisa menjemput kami sedekat itu, haha! Ceritanya kami juga bakal numpang dua hari di rumahnya selama berada di Merauke. Bisa dibilang kami beruntung karena selalu dapat tempat tumpangan selama jalan di Papua. Mauliate godang atas semua usahanya ya, Eda Dame :-)  


Selamat Datang di Merauke! Izakod Bekai Izakod Kai = Satu Hati Satu Tujuan :-)

Sampai di rumah Mama Regina, aku dan Dame istirahat sebentar. Suami Mama Regina sedang tugas di luar kota, jadi di rumah hanya tinggal beliau dan tiga anaknya yaitu Regina, Rafael dan Karen yang masih bayi. Saat ngobrol di sela makan siang, Mama Regina menanyakan kami hendak jalan-jalan kemana saja selama di Merauke, mengingat sebenarnya nggak ada tempat wisata yang menarik di sana. Kami mah yang penting jalan saja, apapun yang dilihat di jalan itulah yang kami nikmati, hehe! 

Dengan meminjam motor milik Mama Regina, kami langsung ngacir ke destinasi pertama yaitu Monumen LB Moerdani. Monumen ini terletak di daerah Tanah Miring sekitar 15 km dari kota Merauke. Jalanan Merauke lengang, tak banyak kendaraan lalu lalang. Sebenarnya sebelum pergi tadi, Mama Regina sudah ngasih sedikit ancer-ancer menuju monumen tersebut, tapi tetep saja ketika sudah sampai jalan raya, bingung juga sama arahnya. Nggak apa-apa, banyak orang di sepanjang jalan yang pasti bisa ditanya-tanya. 

Tiba-tiba turun hujan deras bahkan disertai angin yang lumayan kencang. Motor ini serasa bergoyang. Kupacu pelan saja. Kami melewati sebuah jembatan panjang yang melintasi Sungai Maro. Sumpah itu jembatan panjaaaaaaaang banget! Jembatan itu bernama jembatan 7 Wali-Wali dan memiliki panjang 565 meter. Wow! Sensasi melewati jembatan itu di atas motor sambil hujan-hujanan benar-benar luar biasa!

Hujan juga membuat jalan raya licin. Di beberapa lokasi terlihat jalan yang bergelombang, retak dan pecah parah. Sepanjang jalan menuju Tanah Miring, kami bisa melihat banyak persawahan. Ternyata Merauke adalah lumbung padinya Papua. Banyak penduduk transmigran yang datang dan menjadi petani di sana. 

Dari jauh, aku melihat tugu di sebuah pertigaan. Yup, itulah Monumen LB Moerdani. Ternyata monumennya kecil saja, berdiri di tengah-tengah pertigaan yang lengang. Monumen itu berbentuk seorang tentara berbaret merah lengkap dengan senjata dan parasut yang digendongnya. Tampak tak begitu istimewa. Tapi cerita dibalik monumen itulah yang luar biasa. Monumen ini dibangun untuk mengenang jasa Mayor LB Moerdani yang diterjunkan di daerah tersebut pada saat pembebasan Irian Barat. 

"Di sini daerah penerjunan dalam rangka pembebasan Irian Barat yang dipimpin oleh Mayor L Benny Moerdani pada tanggal 4 Juni 1962. Terima kasih atas perhatian masyarakat dan pemerintah daerah Tingkat II. Persembahan masyarakat dan Pemda. 2 Oktober 1989". Kalimat itulah yang tertera pada prasasti pada monumen tersebut. 


Monumen LB Moerdani

Merauke juga terkenal dengan sebutan Kota Rusa dikarenakan dahulu banyak ditemukan hewan rusa di tempat ini. Tapi perburuan yang banyak terjadi menjadikan populasi hewan ini semakin berkurang. Aku inget di dekat pertigaan Monumen LB Moerdani, terlihat beberapa Mama Papua yang membuka lapak dagangan dan mereka menjual daging rusa. Hmm, seperti apa ya rasa daging rusa?

Selesai dari monumen LB Moerdani kami kembali pulang ke arah kota. Tujuan selanjutnya adalah ke Pantai Lampu Satu. Mengapa disebut Pantai Lampu Satu? Karena ada satu mercusuar di dekat pantai ini yang memiliki satu lampu besar sebagai alat penerangnya. Hujan rintik masih menemani perjalanan kami. Kembali aku bingung mencari jalan menuju pantai itu. Oke, kita tanya warga lagi :-)

Akhirnya kami temukan pantai lampu satu itu di tengah hujan yang kian deras dan angin yang semakin nggak karuan. Awalnya sih ingin menunggu senja di sini, tapi cuacanya sungguh tidak bersahabat. Ah, aku gagal termangu di Pantai Lampu Satu! Banyak juga kapal nelayan berjajar di tepi pantai, tapi tak kulihat aktivitas nelayan pada saat itu. 


Aku termangu di Pantai Lampu Satu

Mercusuar Lampu Satu

Usai sudah menikmati perjalanan hari pertama di Merauke. Kami pulang ke rumah Mama Regina dengan kondisi jas hujan yang masih merekat di badan dalam kondisi basah. Tapi motor-motoran di tempat anti mainstream sambil hujan-hujanan sepertinya memang sesuatu sekali, hihi! 

15 Februari 2015

Tak lengkap rasanya pergi ke Merauke jika tak mengunjungi Distrik Sota, daerah perbatasan RI dengan Papua Nugini. Skouw di Jayapura juga merupakan perbatasan, tapi yang dibuat lagu kan dari Sabang sampai Merauke, bukan Sabang sampai Jayapura ;p

Distrik Sota terletak sekitar 70 km dari kota Merauke. Jauhnya! Rencana awal sih mau naik motor saja, tapi dengan kondisi cuaca di Merauke yang kurang mendukung akhirnya kami sepakat menggunakan mobil saja. Nanya harga sewa mobil di Merauke, ampyun mahal sekali, sekitar 800 ribu. Untungnya, kami dapat pinjaman mobil dari temannya Mama Regina dan tinggal isi bensin saja. Nah, sekarang giliran Kakak Dame yang nyetir. Mari kita liburan keluarga, karena Mama Regina dan ketiga anaknya ikut menemani kami ke Sota :-)

Jalan raya menuju Sota sudah bagus. Dari kota tinggal lurus saja ke timur. Menjelang Sota, kami melewati Taman Nasional Wasur. Taman Nasional Wasur merupakan lahan basah terbesar di Papua. Sekitar 70% dari luas wilayahnya terdiri dari sabana, sementara vegetasi lainnya merupakan hutan rawa, hutan pantai, hutan pambu dan hutan sagu. Jalan raya ke Sota menembus taman nasional ini dengan panorama rawa di kanan kiri.


Gerbang Taman Nasional Wasur
Kantor Taman Nasional Wasur

Sepanjang jalan juga bisa kita lihat, orang menyebutnya "rumah semut atau musamus", tapi bukan rumah sembarang rumah, tapi sarang yang besar dan tinggi sekali! Semutnya pun juga bukan semut biasa tapi semut putih alias rayap dengan jenis Marcotermes sp. Istana rayap ini dibangun dari campuran rumput kering sebagai bahan utama dan liur sebagai semen untuk merekatkannya. Kabarnya, rumah rayap ini juga tahan gempa. Wuih, ruar biasa!

Kanguru juga banyak berkeliaran di Taman Nasional Wasur. Tapi itu dulu. Entah dimana atau tinggal berapa hewan tersebut ada. Sungguh sangat disayangkan. Walhasil kita hanya bisa melihat kanguru yang terbuat dari semen di Bandara Mopah sana :-(

Dan...setelah menempuh perjalanan selama 1,5 jam lebih kami sampai di Distrik Sota. Ayo kita mampir dulu ke sebuah tugu paling terkenal di Merauke apalagi kalau bukan Tugu penanda Nol Kilometer-nya Indonesia sebelah timur. Meskipun sebenarnya tidak terletak di titik 0 km sih, tapi bisa dikatakan ini lambang bahwa Merauke adalah titik tertimur Indonesia. Di tubuh tugu ini terdapat tulisan "Tugu Kembaran Sabang Merauke". Hmm, memang tugu di Sabang sana miripkah dengan tugu di Merauke ini? 

Tugu Nol Kilometer - Merauke

Prasasti di Tugu 0 Km-nya Merauke 

Perbatasan RI - Papua Nugini sudah menjadi destinasi wisata di Merauke. Jika di perbatasan  RI - PNG di Skouw Jayapura bisa dibilang ramai karena di sisi PNG terdapat pula jalan yang menghubungkan dengan pemukiman penduduk PNG,  maka perbatasan RI - PNG di Sota sangatlah sepi, bahkan hanya hutan dan rawa saja yang ada di sisi Papua Nugini. Meskipun demikian ada juga penduduk PNG yang datang melewati perbatasan Sota ini sehingga terdapat juga Kantor Imigrasi di dekat perbatasan ini. 

Baiklah, mari kita kunjungi ke titik perbatasan, titik tertimur Indonesiaku. Titip KTP dulu ke Bapak TNI penjaga perbatasan sebagai syarat kami bisa masuk ke area perbatasan RI - Papua Nugini dan nggak usah pakai paspor jika hanya berwisata saja. 


Pos Militer Perbatasan - Sota Merauke

Selamat jalan, Kakak Dame. Selamat liburan di PNG ;)

Ini sudah di wilayah PNG. Jangan jauh-jauh kakak, nanti kita dikira penyusup ilegal ;p

Para penjual souvenir di perbatasan

Lumayan puas menikmati Sota Merauke. Bahkan kami membawa bekal makan siang dari rumah untuk sengaja kita nikmati di perbatasan. Sekarang saatnya pulang kembali ke pangkuan Indonesia!

Welcome to Republik Indonesia!

Di sepanjang perjalanan pulang, Rafael terus merengek minta berhenti di Taman Nasional Wasur untuk bisa bermain air di objek wisata Biras. "Aku mau celup-celup" begitu bunyi rengekannya. Hahaha! Objek wisata Biras termasuk bagian dari TN Wasur sebenarnya adalah sebuah rawa yang cukup luas sekali dengan bunga-bunga teratai yang tumbuh subur di atas air. Di sana kita bisa berenang atau hanya bermain air saja. Tapi tempat itu masih jauh, mana hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. "Iya, nanti kita berhenti di sana untuk celup-celup. Jadi sekarang Rafael tidur dulu ya sambil berdoa semoga hujannya berhenti"  kata Kakak Dame. Mungkin doa Rafael didengar Tuhan, hujanpun berhenti sebelum kami sampai di objek wisata Biras :-)

Objek Wisata Biras

Mau berenang? 

Bunga teratai di atas rawa-rawa

Ayo celup-celup...

Mama Regina, Regina, Rafael & Baby Karen

Puas bercelap-celup di rawa-rawa Taman Nasional Wasur, kamipun pulang kembali ke Kota Merauke. Untuk Mama Regina dan keluarga, terima kasih atas bantuannya selama kami berada di Merauke. Besok kami pulang....! 

16 Februari 2015

Hari ini adalah hari terakhir kami di Merauke yang berarti ujung dari petualangan di bumi Papua. Dua belas hari lebih kami habiskan untuk perjalanan ini. Tak ada kata lelah untuk Papua, tempat itu terlalu luar biasa untuk dijelajahi.  Tapi kini kami harus pulang, lagi-lagi kembali ke kenyataan... :-(

Pesawat Sriwijaya Air akan membawa kami pulang dengan rute Merauke - Makassar - Jakarta. Sempat kuucapkan perpisahan untuk Merauke, pada Sungai Maro yang meliuk panjang yang aku lihat lewat jendela pesawat. Tapi ternyata setelah hampir 1 jam di udara, pesawat itu harus return to base alias kembali ke Merauke karena ada kerusakan teknis, begitu pengumuman yang disampaikan oleh paramugarinya. What...? Semoga nggak kenapa-napa...

Hampir satu jam pesawat itu diperbaiki dan menunggu bisa terbang kembali. Ada kerusakan di pintu pesawat katanya. Kakak Dame agak ketar-ketir karena dia harus melanjutkan penerbangannya ke Medan, khawatirnya nggak keburu apalagi pesawatnya nggak connecting dari Jakarta ke Medan. Tapi syukur Alhamdulillah, akhirnya semua bisa kembali normal. Kali ini kami benar-benar meninggalkan Merauke, menuju Makassar lalu bersambung ke Jakarta!

Aku dan Dame berpisah di Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Terima kasih  Kakak Dame yang telah menjadi teman seperjalanan menikmati Papua. Mohon maaf  banget jika sempat terjadi friksi-friksi kecil di antara kita, tapi di situlah seni-nya, hehe! Itu sudaaaaaaaaaahhhh....!!!

Jadi kapan kita kemana lagi, kakak...???



----------------------------------- THE END ---------------------------------

Budget :
1. Tiket Sriwijaya Air Jayapura - Merauke = Rp. 390.000/orang
2. Isi bensin motor = Rp. 25.000
3. Isi bensin mobil = Rp 100.000



2 comments:

  1. ada info sewa motor di Merauke?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Mbak. Maaf, saia tidak punya info utk penyewaan motor di Merauke.

      Delete