Saturday, April 11, 2015

Menyapa Papua (Bag. 7) - Lembah Baliem Day-6 (Distrik Piramid)

"Remember a day before todayA day when you were youngFree to play alone with timeEvening never came..."(Remember a Day - Pink Floyd) ----------------------------------------------------------------------------------------------------------

10 Februari 2015

Dari rumah Indah, aku, Dame dan Pak Musa berjalan kaki ke sebuah pertigaan ke pangkalan angkot yang akan  membawa kami ke Distrik Pramid. Distrik Piramid merupakan distrik yang terletak di bagian barat laut Kabupaten Jayawijaya yang berbatasan dengan Kabupaten Lanny Jaya. Maka dari itu, untuk menuju Piramid kami harus menggunakan mobil jurusan Tiom yang merupakan Ibukota Kabupaten Lanny Jaya. Oh ya, seperti yang telah aku ceritakan di catatan perjalanan sebelumnya, transportasi umum untuk jurusan jauh dengan medan naik-turun, maka mobil sejenis 4WD lah yang digunakan, termasuk menuju Tiom.

Kami bertiga duduk berdesakan dengan penumpang lain di bak belakang mobil. Cuaca cerah, cenderung panas. Langit di atas sangatlah biru. Entah berapa jam perjalanan itu, yang aku rasakan adalah jauh sekali. Di tengah jalan, beberapa kali mobil itu berhenti dan menaikkan penumpang. Makin penuhlah bak belakang, aku nyaris tak bisa bergerak. 

Tak jauh dari airstrip/bandara perintis Distrik Piramid, kami bertiga turun. Di sana memang ada bandara, tapi bukanlah bandara-bandara yang sering kita lihat. Tak ada landasan aspal, tak ada tower ACT, tak ada...semuanya tak ada. Yang ada hanyalah sebuah lapangan hijau terbuka berbentuk miring, dengan tanah dan rumput sebagai landasannya, Tentu saja hanya pesawat-pesawat kecil yang bisa mendarat di airstrip tersebut. Konon, bandara kecil ini dulu sering didarati oleh para misionaris untuk mengabarkan Injil di daerah ini. Tapi dengan kondisi geografis Jayawijaya atau pegunungan tengah Papua secara umum yang memiliki akses jalan darat terbatas, sulit atau bahkan kadang nggak ada, maka keberadaan bandara perintis semacam ini memang sangat dibutuhkan. 

Airstrip Distrik Piramid

Rumah-rumah para misionaris Belanda terletak persis tepat di seberang bandara. Kabar yang sempat kudapatkan dari seorang kawan, rumah para misionaris itu cantik sekali, mirip rumah-rumah model Eropa. Tapi sesampainya di sana, terus terang aku agak kecewa. Rumah-rumah ala film Little House on The Praire itu kini dalam kondisi yang tak terawat bahkan beberapa di antaranya rusak. Sebuah gereja tua beserta asrama juga tampak berdiri, tapi semuanya terbengkalai tak berpenghuni, sebentar lagi mungkin lelah dimakan usia. Ah, rumah-rumah itu pasti keren pada zamannya, aku serasa bukan berada di Papua. Entah mengapa dan kemana perginya para minisonaris itu sekarang...


Rumah eks misionaris Belanda

Atmosfer Eropa di Papua ;p

Gereja Tua dan asrama di pemukiman eks misionaris

Dari Distrik Piramid sebenarnya rencana kami adalah trekking lewati lembah dan gunung entah kemana yang jelas nanti pulangnya bisa nembus ke Wamena lewat jalan lain. Tapi ternyata Pak Musa juga nggak begitu kenal dengan daerah ini. Sempat menanyakan ke penduduk sekitarpun, nihil hasilnya. Bahkan ada informasi yang kami dengar bahwa jika trekking ke sisi selatan, daerah itu rawan dalam hal keamanan. Hah, yo wislah. Akhirnya kami terpaksa menyusuri kembali jalan aspal itu. Jalan yang kami lewati dengan mobil pas berangkat tadi.


Gereja di Distrik Piramid

Lazing in the haze of mid day


Beberapa kejadian lucu atau bahkan memalukan sempat terjadi di sepanjang jalan. Yang pertama adalah saat melewati Kantor Distrik Piramid, kami bertemu dengan beberapa anak kecil yang sedang bermain. Kami berniat untuk bisa foto dengan bocah-bocah itu, dan rayuan maut berupa gula-gula telah kami bagikan ke mereka. Sebenarnya anak-anak itu mau, tapi tiba-tiba...terdengarlah suara teriakan galak dari seorang Ibu dari ujung lapangan sana. Ibu itu menggunakan bahasa daerah yang aku tak mengerti artinya, tapi dari nada suaranya sepertinya ia marah. Pak Musa menimpalinya dengan bahasa lokal juga. Maka terjadilah sedikit ketegangan. Sepertinya Ibu itu tidak suka anak-anak itu difoto. Aduh maafkan kami Mama, seandainya dari awal kami so lihat Mama ada di situ, pasti kami minta izin dulu. Sudah-sudah...jangan diteruskan keributan ini.

Kejadian kedua adalah di sebuah sekolah dasar. Ceritanya kami ingin melihat SD itu. Kami kemudian minta izin ke seorang guru yang sedang mengajar olahraga di lapangan sekolah itu agar kami bisa masuk dan foto-foto sebentar. Guru tadi mengizinkan, silahkan saja katanya. Tetapi...jreng-jreng-jreng...saat kami asyik berfoto dan melihat-lihat, datanglah Sang Kepala Sekolah menanyakan kami darimana dan ada acara apa kami ke sekolah tersebut. Akhirnya kami jelaskan bahwa kami hanyalah pejalan biasa, tanpa bermaksud apapun, hanya melihat sekolah itu saja. Ternyata izin dari seorang guru di lapangan olahraga di lapangan saja tak mencukupi. Ya sudahlah, kami memang salah dan akhirnya minta maaf ke Bapak Kepala Sekolah itu.

Hey kamu, di bawah langit biru...

Anak-anak SD Kampung Piramid 

Berjalan di jalanan aspal Distrik Piramid menuju Distrik Asologaima yang sepi. Hanya sesekali mobil arah Tiom lewat. Siang itu panas luar biasa, menyengat wajah dan tubuh kami. Sun block SPF 50 pun rasanya tak berguna melawan terik ini, Ya sudah, anggap saja kulit hitamku bisa tambah eksotis terpajan matahari dari timur ini.

Kakak Dame mau cek kesehatan dulu di Polindes ;p

Babi aja mandi, masa kamu enggak...?

Kami putuskan berhenti di Pasar Kimbim. Dari sana, kemungkinan banyak angkot menuju Wamena. Jadi kami bisa ngirit tenaga karena nggak perlu trekking di jalanan aspal dan tanpa payung peneduh ini, haha!

Geliat perelonomian masyarakat di Pasar Kimbim Distrik Asologaimo

Yey, akhirnya ada angkot juga! Tapi tetep sih berdesakan di bak penumpang bagian belakang, kaki tertekuk, tak bisa bergerak. Kami akan menuju Wesaput. Wesaput terletak di belakang Bandara Wamena. Iya, belakang...tapi belakangnya ternyata jauuuuuuuuh banget! U-nya banyak! Gempor juga ini kaki. Padahal sudah dibela-belain short cut loh alias lewat di runway Bandara sisi selatan (tapi sudah minta izin petugas Bandara dulu pastinya) agar kami tidak perlu memutar jauh. Seumur-umur ini pertama kalinya aku lewat landasan bandara secara ilegal. Nah, tapi kalau mendengar suara sirine panjang, maka para pelintas landasan (mau orang atau babi sekalipun) segera berlarilah dan menepi karena itu artinya ada pesawat yang mau landing. Serius ini.

Ada apa di Wesaput? Kami akan lihat jembatan gantung yang mungkin keren pada era kejayaannya dulu. Tapi jembatan gantung itu kini sudah tidak digunakan karena kondisinya nggak layak pakai. Di sebelah jembatan gantung itu kini sudah berdiri jembatan beton yang besar. Ah, aku jadi ingat jembatan gantung yang membentang di atas sungai Baliem di Distrik Kurima yang sempat kami seberangi beberapa waktu lalu.

Jembatan gantung Wesaput

Dua Mama Papua sedang beristirahat di pinggir jalan.
 Seorang bayi kecil digendong di dalam noken Mama sebelah kanan. 


Tak jauh dari jembatan gantung itu, sebenarnya ada sebuah museum yang lagi-lagi mungkin bagus pada masa jayanya. Museum Pilamo namanya. Dulu museum ini dipenuhi oleh koleksi produk budaya Lembah Baliem. Sekarang? Miris melihat kondisi museum itu saat ini. Halamannya ditumbuhi rumput-rumput liar. Bangunan museum yang berbentuk honai bisa dikatakan rusak dengan kaca-kaca yang pecah berhamburan dan rak-rak display yang sudah nggak karuan bentuknya. Entahlah apa yang terjadi, tapi sungguh amat disayangkan :-(

Museum Pilamo, riwayatmu kini...

Gereja kecil berkubah warna emas di pinggir jalan Wesaput. 

Muka dan wajah kami telah gosong terpanggang panas. Lelah sudah kaki ini trekking di jalanan aspal, wkwk! Tapi anehnya, demi mencari kopi asli Wamena kami rela jalan kaki lagi ke Kota Wamena. Parahnya, produsen kopi tersebut alamatnya pindah-pindah nggak jelas. Capek kami tak berbalas, entah dimana bisa kami temukan kopi arabica asli Wamena/Lembah Baliem itu...

Cerita selanjutnya di Lembah Baliem Day-7 (Distrik Wolo)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Transportasi Wamena - Distrik Piramid = Rp. 50.000/orang
2. Transportasi Pasar Kimbim - Wamena = Rp. 25.000/orang



3 comments:

  1. Luar biasa... Terima Kasih telah mengunjungi Surga-nya orang Papua di atas tanah Penonggalo sekarang Pyramid.

    ReplyDelete
  2. Pyramid itu kampung saya. Orang Pyramid sebanarny ramah dan baik-baik saja. Hanya saja cerita lucu yang di ceritakan itu bisa terjadi karena kondisi Sosial dan Politik di atas Tanah Papua-lah yang bisa membuat seperti demikian. Pyramid (Penonggalo) itu tanah Peradaban orang Balim (Dani) hanya saja sampai kini tanah itu menjadi MISTERI dan belum banyak orang yang mengetahui di Balik dari Pyramid. Penamaan nama tempat di sini Penonggalo lalu menjadi Pyramid dan lain-nya itu hanya dalam kebingungan mereka di atas tanah itu. Tentu hal ini pengaruh pihak eksternal Zending misionaris CANADA dan AMERIKA namun mereka pergi tanpa jejak yang jelas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, kakak! Terima kasih sudah mampir di blog saia. Salam kenal :-)

      Wah, trims utk infonya tentang Penonggalo (Pyramid). Meskipun sempat ada kejadian2 lucu di sana, itu bikin perjalanan saia punya cerita.

      Daerahnya keren banget! Papua mmg luar biasa di manapun berada. Maka tak salah bhw Papua disebut sbg kepingan surga yg jatuh ke bumi :-D

      Delete