Monday, July 27, 2015

Pada Suatu Siang

Pada suatu siang yang tak lengang. Suara adzan memanduku menuju sebuah masjid. Sebejat-bejatnya aku, ternyata aku masih risih jika meninggalkan sholat. Bukan soal balasan surga atau neraka. Aku hanya sadar diri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Dzat yang Maha Berkuasa. Bentuk pasrahku mungkin...

Masjid yang tanpa rambu besar di pintu gerbang bertuliskan "Wajib Menggunakan Pakaian Muslimah". Jujur aku nggak suka jika ada tulisan seperti itu terpajang nyata di muka. Bagiku yang belum menggunakan baju muslimah (secara umum didefinisikan sebagai memakai jilbab), maka aku merasa terdiskriminasi, seolah tak berhak menghadap Tuhanku sendiri. Bahkan sudah ditolak mentah-mentah sebelum masuk ke dalamnya.

Entah berapa kali aku terpaksa mundur teratur dan tahu diri jika membaca tulisan seperti itu di pintu gerbang tempat ibadah. Kaos dan jeans atau celana pendek selutut tentu bukanlah kriteria busana muslimah. Maka aku akan berjalan lagi, menyusur gang-gang kecil hingga menemukan mushola atau masjid yang memperbolehkanku masuk dengan penampilan ini.

Kini aku bisa bernafas lega ketika memasuki masjid ini yang tak memampangkan syarat tertentu. Memanjatkan doa yang sama yang telah terucap tak terhingga. Maaf Tuhan, doaku masih sama. Semoga Engkau tak pernah bosan mendengar putar ulangnya. 

Berjalan kembali di tengah siang yang terik. Sungguh aku merindukan petrichor. 

Ya, aku masih berjibaku dengan mimpi...

Saturday, July 18, 2015

Goreng Terus, Sampai Hangus!

Tepat di hari raya Idul Fitri 17 Juli 2015 kemarin, beredar kabar tentang pembakaran sebuah mushola di Tolikara Papua saat warga muslim melangsungkan Sholat Ied di sana. Seiring dengan peristiwa itu lalu beredar pula sebuah surat edaran dari sebuah gereja di sana tentang pelarangan masyarakat muslim melaksanakan perayaan Idul Fitri di daerah tersebut. Dunia sosial media di negeri ini begitu hingar memberitakannya. Dan seperti biasa, isu SARA (terutama agama) memang sangat menggemaskan untuk dibumbui kemudian digoreng sampai hangus.

Ada yang berniat pergi jihad ke sana? Nggak usah jauh-jauh ke Palestina kan ya. Tapi tiket ke Papua mahal lho, kakak! Apalagi untuk menuju Tolikara di daerah Pegunungan Tengah Papua.

Pembakaran mushola tepat saat warga muslim melaksanakan sholat pada hari raya jelas merupakan tindakan biadab, begitupun dengan pelarangan warga untuk merayakan hari besarnya. Tapi tetaplah berpikiran jernih dan dewasa dalam menyikapi hal-hal seperti ini. Terlalu banyak cerita dari berbagai versi tentang kasus ini yang kesahihannya kita nggak tahu. Sepengetahuanku yang awam ini, nggak pernah ada konflik agama di Papua, kalau perang antar suku memang sering! Isu SARA (di tambah bumbu politik) memang tambah seksi. Para provokator doyan banget hal beginian. Jangan hanya gara-gara ulah para oknum yang tidak bertanggung jawab maka rusak kerukunan dan kedamaian umat beragama di Indonesia ataupun Papua khususnya.

Jangan pula kemudian menggeneralisasi bahwa seluruh warga Papua dan seluruh warga yang beragama non-muslim di Papua bertindak intoleran terhadap penduduk muslim di sana yang notabene merupakan kaum minoritas. Apa yang terjadi di Tolikara bukanlah representasi dari seluruh warga Papua atau seluruh warga non-muslim Papua apalagi non-muslim Indonesia. Mengutip sebuah cuitan di twitter dari seorang aktivis NU yang bunyinya kurang lebih seperti ini "Jika masjidku dibakar, aku akan menuntut dan mengejar pelakunya. Tapi tidak keluarganya, teman sekampungnya atau yang seiman dengannya." 

Saya muslim dan bersuku Jawa, kurang apa coba mayoritasnya di Indonesia ? Tapi saya paling suka kalau diajak piknik ke timur Indonesia sana. Terlepas dari keindahan alamnya yang luar biasa, sebenarnya saya juga ingin merasakan atmosfer yang berbeda. Ya, atmosfer yang secara umum di Indonesia dianggap "minoritas". Piknik ke sana akan membuat pikiran lebih terbuka tentang keberagaman bangsa kita. Beneran!

Maka sejujurnya saya tak suka dengan kata mayoritas atau minoritas. apalagi jika diterapkan dalam ranah agama. Dikotomi seperti itu nggak pas saja menurutku dalam konteks hubungan antar umat beragama. Oleh para pendiri bangsa, saya percaya bahwa negara ini dibangun untuk seluruh rakyatnya, apapun sukunya, apapun agamanya, apapun rasnya, apapun golongannya. Ya, kita semua, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote!

Cukup sudah menggoreng kasus ini, angkatlah dan jangan biarkan hangus lalu tiriskan minyaknya. Biarkan pihak-pihak yang berwenang dibantu tokoh-tokoh agama dan adat menyelesaikan kasus ini dengan baik.

Meskipun saya nggak sempat mengunjunginya waktu piknik ke Pegunungan Tengah Papua, tapi saya yakin alam Tolikara pasti seindah tempat lainnya di Pegunungan Tengah sana. Dan meski hanya seminggu saya tinggal di Pegunungan Tengah Papua, saya bisa merasakan bahwa tak ada masalah dengan toleransi di sana. 

Dan kini, semua mata tertuju pada Tolikara....!

Pikniklah saudara-saudara, khususnya ke Pegunungan Tengah Papua. Dan rasakan atmosfer yang berbeda... :-)


- Tolikara -
sumber : www.toliwone.wordpress.com


Thursday, July 16, 2015

Yang Terlewat

Malam takbiran...

Bukan malam takbiran pertama jauh dari keluarga. Mungkin ini untuk ketiga kalinya. Sekarang aku berada di sebuah rig lepas pantai di Selat Makassar.

Banyak yang terlewat. Mungkin hanya momen-momen sederhana yang kupunya, tapi membuatku selalu rindu pulang saat lebaran.

Membuat kue bersama Ibu, ya memang hanya kue-kue sederhana, tapi rasanya seru saja. Ikut sibuk memasak ketupat dan opor ayam. Ah, ketupat bikinan ayahku dan opor buatan ibuku memang selalu juara!

Malam takbiran...

Kali ini bukan gema suara takbir dari masjid dekat rumah yang kudengar, melainkan suara bising mesin rig yang beroperasi.

Inilah aku, bersama banyak orang yang bekerja dan terpaksa jauh dari keluarga dan melewatkan perayaan Idul Fitri bersama.

Ibu dan Ayah, maafkan anakmu yang melewatkan sekali lagi sungkem secara langsung padamu. Maafkan segala kesalahanku dan keegoisanku. Maafkan anakmu yang belum bisa membahagiakanmu.

Dari tengah samudra, aku hanya bisa memanjatkan doa. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan dan perlindungan. Amin.

Allahu akbar Allahua akbar
La ilaaha ilallah huwallahu akbar
Allahu akbar wa lillahil hamd.

(@Ray Rig, Attaka field)

Sunday, July 12, 2015

Siapa Suruh Datang Kerinci (Bag.2) - Secangkir Teh Kayu Aro

"Konon bumi ini adalah milik mereka yang mau berhenti sejenak untuk melihat-lihat lalu meneruskan perjalanan..."
(Anonim)

2 Juni 2015

Selamat pagi, Kersik Tuo! Pagi yang cerah di kaki Gunung Kerinci.

Tidurku nyenyak sekali, seakan membalas malamku kemarin saat nenda di gunung sana. Tapi bangun-bangun, kaki ini sakit semua, menjalar sampai paha, bahkan untuk berjalan saja sakitnya luar biasa.


Selamat pagi, Kerinci

Hari ini kami nggak tahu mau ngapain. Dengan kondisi kaki yang parah begini, nggak mungkin kami langsung mendaki lagi ke Danau Gunung Tujuh. Baiklah, mari menjemur sepatu dan beberapa peralatan camping yang basah di halaman penginapan. Tapi hasil ngobrol-ngobrol dengan Stefan seorang bule half Asian yang kebetulan menginap di homestay ini (yang sengaja nggak ikut teman-temannya ke Danau Gunung Tujuh karena kakinya masih sakit sehabis nanjak Kerinci), kami dapat ide untuk jalan-jalan ke pabrik teh kayu aro dan Sungai Penuh ibukota Kabupaten Kerinci. Dengan menyewa mobil milik Pak Subandi (pemilik homestay) lengkap dengan supirnya, maka pergilah aku, Mas Heru, Mas Rahmat dan Mas Abi ditambah si Stefan tadi.

Aow...bahkan untuk naik ke mobil saja, kaki ini bener-bener sakit sekali!

Menuju Pabrik Teh Kayu Aro, kami disuguhi hamparan kebun teh ribuan hektar di sepanjang jalan dan udara yang segar sekali. Perkebunan teh Kayu Aro ini katanya adalah perkebunan teh terluas di dunia. Selain kebun teh, kami juga disuguhi pemandangan baliho dan spanduk pemilihan Gubernur Jambi. Wajah-wajah calon gubernur itu tampak tersenyum optimis lengkap dengan jargon-jargon yang berisi penyemangat pembangunan. Eh, ternyata ada artis  sebut saja inisialnya ZZ (artis atau mantan artis yak?) yang ikutan nyalon. Aih, wajah charmingnya...bagaimana aku bisa mengabaikannya? Wkwkw!

Oke cukup tentang ZZ, mari kita kembali ke masalah pabrik. Pak Supir membawa kami ke pintu samping pabrik, jika lewat depan lebih ribet prosedurnya katanya. Seorang gadis muda menyambut kami dengan tiket yang harus dibeli dan mengenalkan kami pada seorang mandor pabrik yang akan menjadi guide untuk melihat-lihat proses produksi pembuatan teh. 

Pabrik Teh Kayu Aro didirikan pemerintahan kolonial Belanda sejak tahun 1925 dan masih beroperasi hingga saat ini. Teh hitam kualitas nomor 1 dihasilkan di pabrik ini untuk diekspor ke Eropa, beberapa negara Asia dan Timur Tengah. Bahkan kabarnya, ratu-ratu Belanda dan Inggris sana doyan banget sama teh made in Kayu Aro ini. Tapi teh Kayu Aro iyang dijual di pasaran Indonesia ya tentu saja yang kelas-kelas di bawahnya :-(

Ya sudah, mari kita berkeliling dan melihat aktivitas pabrik ini.


Daun teh segar melalui proses pelayuan di dalam bak-bak yang di bawahnya dialiri udara panas
Setelah layu, daun-daun itu dibawa dengan lori gantung ke tempat penggilingan

Proses Penggilingan
Proses Fermentasi & Pemilahan
Proses Pengemasan
Penghargaan yang sudah diraih oleh Pabrik ini (Nihil Kecelakaan Kerja, Proper, dll)
Satu sudut pabrik
Kebun bunga di belakang pabrik :-)

Sebelum pulang, iseng kami menanyakan apakah bisa mencicipi teh Kayu Aro kelas 1 yang diekspor ke luar negeri. Ternyata Pak Mandornya bilang bisa, tinggal ganti ongkos gula saja katanya. Wuih, mari kita nikmati jamuan teh ala Raja dan Ratu Belanda ini. Hmm, menurutku rasa tehnya sih biasa, tapi segar banget. 



Dari Pabrik Teh Kayu Aro, kami lanjut ke Sungai Penuh. Nggak tahu mau lihat apaan, yang jelas jalan saja daripada bengong di penginapan, hehe. Lagi-lagi, wajah charming Bapak ZZ memenuhi pinggiran jalan dan menyapa para pejalan dengan senyumnya. 

Oh ya, kami sempat berhenti di sebuah rumah makan dendeng batokok untuk makan siang. Baru pertama kalinya aku makan menu itu. Dan rasanya, alamak...maknyus top markotop sip markusip!

Setelah dua jam perjalanan, kami sampai di Kota Sungai Penuh ibukota Kabupaten Kerinci. Tak ada sungai yang penuh di Sungai Penuh. Praktis Pak Supir hanya membawa kami putar-putar kota saja karena kami memang nggak punya tujuan jelas. Tapi sebagai bukti bahwa kami sudah sampai di Sungai Penuh Ibukota Kabupaten Kerinci, maka kami berfoto di lapangan luas (alun-alun?) yang pastinya merupakan ikon kota ini :-)


Cari-cari tulisan yang ada unsur kata "Kota Sungai Penuh"
Satu sudut kota Sungai Penuh

Nemu ginian di jalan :-)

Kami sampai kembali ke Kayu Aro pada sore hari. Mas Abi dan Mas Rahmat packing untuk bersiap meninggalkan Kayu Aro dan kembali ke Jakarta via Padang malam nanti. Rayuanku tentang indahnya Danau Gunung Tujuh dan Bengkulu yang akan aku sambangi esok dan lusa ternyata tak mempan bagi mereka, wkwk! Baiklah. Sementara Mas Abi dan Mas Rahmat berkemas, aku dan Mas Heru juga ikutan beres-beres untuk pindahan penginapan karena homestay Pak Subandi sudah penuh dibooking malam ini. Ya sudah,  Mas Abi dan Mas Rahmat...hati-hati di jalan dan sampai ketemu lagi. Kapan-kapan Gank Purpala harus reuni lagi, entah ngesot dan mbrangkang di gunung mana, wkwk! Salam untuk Abang Rafael ya karena siapa tahu dapat driver travel dia lagi ;p

Hujan deras tak kunjung berhenti di Kayu Aro...

Aow....kaki ini masih sakit sekali. Alamat bakal ngesot dan mbrangkang session 2 ke Danau Gunung Tujuh esok hari. Tapi lihat besok deh. Kalau besok pagi hujan, ya mending tidur selimutan saja di kasur, haha!

Cerita selanjutnya di Siapa Suruh Datang Kerinci (Bag. 3) - Merengkuh Danau Gunung Tujuh

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Homestay Pak Subandi = Rp. 60.000/orang
2. Sewa mobil untuk ke Pabrik Teh & Sungai Penuh = Rp. 500.000
3. Tiket masuk pabrik teh = Rp. 10.000/orang
4. Tips untuk guide (keliling pabrik) & minum teh = Rp. 50.000