Monday, October 05, 2015

Mangente Maluku (Bag. 5) - Bertemu Keluarga Baru di Negeri Waai

"Consider each day a miracle - which indeed it is,
when you consider the number of unexpected things that could happen in each second of our fragile existence..."
(Paulo Coelho)

--------------------------------------------------------------------------------------------

26 Agustus 2015


Masih dua jam lagi Kapal Ferry dari Pelabuhan Waipirit di Pulau Seram ini akan berangkat menuju Pelabuhan Hunimua di Ambon. Aku dan Kakak Dame masih sempat untuk mengisi perut di sebuah rumah makan dalam kompleks pelabuhan. Aku lupa nama rumah makannya, tapi makanannya (waktu itu kami memesan Soto Makasar) cukup enak dan harganya wajar. Ada satu hal yang membuat rumah makan itu unik yaitu banyak souvenir khas Papua terpajang di dindingnya seperti noken, koteka, dan beberapa hiasan dinding yang terbuat dari kayu. Ingatanku melayang kembali pada perjalanan kami di Lembah Baliem Papua, bulan Februari silam. 

Siang ini sebenarnya kami masih blank mau kemana melanjutkan perjalanan ini. Dengan gagalnya Banda Neira, maka kami memang harus mencari gantinya mengingat waktu yang masih banyak tersisa. Maka tersebutlah nama Pulau Saparua. Pulau yang tidak asing di telinga bagi pemerhati sejarah Indonesia dan Maluku khususnya, tapi tidak cukup terkenal dalam dunia pariwisata. Bekal kami hanya sebuah brosur wisata tentang Kepulauan Lease dimana di dalamnya terdapat nama Pulau Saparua. Kami juga belum tahu apakah ada kapal yang reguler ke sana dari Ambon atau tidak. 

Sekitar pukul 13.30 siang, berangkatlah Ferry KMP Inelika menuju Ambon. Kami segera menuju deck atas untuk mencari tempat duduk. Meski dengan sandaran tempat duduk yang nggak memadai, aku terlelap dalam kantuk dan sama sekali tak berniat menikmati hamparan lautan yang kami lewati selama satu setengah jam ke depan.

Ferry yang membawa kami ke Ambon

Saat bangun, kami sudah hampir sampai tujuan. Kami belum tahu mau kemana. Langsung ke Saparua atau bagaimana. Tapi tubuh ini rasanya lelah sekali, maka diputuskan bahwa hari ini kami akan libur jalan dan beristirahat di Ambon saja. Tapi masalahnya, kami juga belum tahu penginapan yang murah meriah untuk kami tempati istirahat hari ini. 

Kakak Dame bertanya pada beberapa penumpang di sebelah tentang hotel murah di Kota Ambon, tapi mereka menyebutkan harga hotel dengan kisaran dua ratus ribuan. Ah, nggak ada yang lebih murah lagikah? Mungkin harapan kami didengar oleh Tuhan, tiba-tiba ada seorang Ibu yang duduk di sebelah kami menawarkan untuk tinggal di rumahnya saja. Rumahnya di Waai, tidak begitu jauh dari Pelabuhan Tulehu Ambon. Mama Kala namanya. 

Awalnya agak gimana gitu, serius ini kita mau numpang semalam di rumahnya? Tapi Mama Kala tampak ikhlas menawarkan bantuannya (mungkin melihat wajah-wajah lelah dan kusut kami berdua, hehe!). Akhirnya kami terima tawaran beliau. 

Mama Kala adalah seorang guru SD yang bertugas di Pulau Seram. Setiap akhir pekan, beliau kembali pulang ke rumahnya di Waai Ambon. 

"Tapi rumah Mama sederhana saja" kata Mama Kala

Ya ampun Mama, kami mah sudah sangat berterima kasih sekali dengan bantuan ini, maaf telah merepotkan. Maka kamipun mengikuti Mama Kala menuju rumahnya dengan naik sebuah angkutan umum. Turun di sebuah gang dan berjalan sekitar seratus meteran untuk sampai di rumah beliau.

"Mama sama siapa?" tanya beberapa warga yang rumahnya kami lewati. Pasti mereka heran, ada dua orang cewek dengan ransel segede gaban di punggung, berjalan bersama Mama Kala.

"Mereka saudara jauh saya" jawab Mama Kala

Aku tersenyum. Nggak tahu kenapa, hal-hal seperti ini yang membuat cerita dalam sebuah perjalanan begitu istimewa. Bukan cuma akhirnya kami bisa "mengirit" biaya penginapan semalam di Ambon, tapi tulusnya sebuah bantuan dari orang yang bahkan baru kita kenal adalah hal yang luar biasa.

Akhirnya kami sampai di rumah Mama Kala. Rumahnya sepi. Anak dan suaminya belum pulang. Kami bertiga ngobrol. Mama Kala bercerita tentang pekerjaannya dan juga keluarganya, kamipun bercerita tentang perjalanan di Maluku ini yang dimulai dari Kepulauan Kei hingga akhirnya nyasar ke rumah Mama Kala hari ini.

"Di Waai ini ada tempat wisata juga. Orang sini menyebutnya Morea. Besar sekali." kata Mama Kala sembari menunjukkan sebuah kalender yang bergambar Morea. Morea adalah nama lain dari belut. Dan ya, gambar di kalender tersebut memang memperlihatkan belut yang sangat besar.

Ah, kami jadi ingat percakapan kami dengan Yopie, teman baru kami dari Kepulauan Kei yang ikut piknik bareng ke Gugusan Pulau Warbal. Karena Yopie berasal dari Ambon, maka kami bertanya padanya tentang wisata di Ambon yang wajib dikunjungi. Yopie menyebut Morea di Waai. Pernah googling sih tentang morea, tapi aku dan Kakak Damepun merasa tak tertarik untuk ke sana jika ke Ambon, ya orang cuma belut doang. Tapi ternyata, nasib malah membawa kami ke sini, ke Waai, tempat dimana morea alias belut raksasa tersebut berada. Haha! Maka daripada bengong melewatkan sore, dengan bantuan Mama Kala yang mencarikan ojek, kami berduapun meluncur ke arah Objek Wisata Morea. 

Dua tukang ojek yang mengantarkan kami adalah Kak Yongman dan Kak Mario. Kebetulan juga ternyata Kak Yongman dan Kak Mario ini orang asli Saparua, pulau yang kemungkinan besar akan kami kunjungi besok. Dari merekalah kami bisa mendapatkan informasi tentang transportasi ke/dari Saparua dan lain-lain. Sip! Berangkat kita, menyusuri jalanan di Desa Waai yang tertata rapi dengan pemandangan Gunung Salahutu yang gagah sekali.

Sampailah kami di Objek Wisata Morea. Meski sudah sore, tempat ini masih ramai karena ternyata kolam tempat morea alias belut raksasa tersebut berada tersambung dengan sebuah sungai yang jernih sekali airnya sehingga banyak anak yang mandi dan bermain-main air. Kami di dekati kolam morea itu. Ada beberapa belut di dalamnya, besar ukurannya. Tapi ternyata ada mbahnya alias yang paling besar yang masih ngumpet di antara bebatuan. Kami tunggu agak lama, akhirnya si belut raksasa itu muncul juga. Wow, memang benar-benar besar, panjangnya satu meter lebih! Ada pawang morea di situ yang bisa memanggil dan menjinakkannya dengan telur ayam, tentu kita harus membayar (waktu itu beliau minta Rp. 56.000,- untuk memperlihatkan atraksi morea). Tapi kami ngeri ah melihat belut sebesar itu, dan lebih baik melihat dari atas saja ;p.

Jepretannya nggak bagus, tapi kira-kira itulah penampakan Morea ;p
Anak-anak Negeri Waai

Hari semakin sore. Kami lanjut ke tujuan selanjutnya yaitu ke Baileo Negeri Waai. Baileo adalah rumah adat Maluku sebagai identitas setiap negeri. Baileo berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda suci, tempat upacara adat sekaligus sebagai balai warga. Sampai di Baileo, kami baru tahu kalau bangunan Baileo tersebut sudah dipugar. Bangunananya tidak lagi menggunakan kayu dan atap rumbia. Baileo ini sempat terbakar pada saat kerusuhan tahun di Ambon tahun 1998, begitu kata Kak Mario. Ah, cerita sedih lagi tentang konflik masa lalu di negeri ini :-(

Bermain di depan Baileo dan Gereja di Waai
Bagian dalam Baileo

Oke, kita selesai dengan Baileo dan berniat pulang kembali ke rumah Mama Kala. Tapi di tengah jalan, Kak Yongman menawarkan untuk lanjut ke Suli dan makan rujak di sana. Suli? Di mana itu? Ah sudahlah, hajar sudah dimanapun itu!

Ternyata dari Waai ke Suli itu jauhnya minta ampun. Kami melewati Pelabuhan Tulehu dan masih lurus terus, pokoknya jauh. Motor baru agak dipelankan saat kami sampai di belokan dimana di tempat tersebut berjajar pedagang-pedagang dengan lapaknya masing-masing bertuliskan Rujak Natsepa dan kami berhenti di sana. Hah, ternyata Suli itu Natsepa? Natsepa, ya Pantai Natsepa memang termasuk destinasi yang cukup terkenal di Ambon jika kita googling tempat wisata Ambon, pun rujaknya yang khas kabarnya. Tapi kami tak mengira bahwa Suli yang dimaksud oleh Kak Yongman adalah daerah Natsepa ini. Tapi siplah, tanpa kami rencanakan, kami malah tiba di sini. Mari kita nikmati rujak Natsepa berlatar Pantai Natsepa di kala senja (nggak senja lagi ding, tapi sudah di atas maghrib).


Senja di Pantai Natsepa

Sebagai penggemar rujak, maka aku bisa bilang bahwa bumbu rujak Natsepa ini agak beda rasanya dengan bumbu rujak yang biasa kutemui di Pulau Jawa. Bukan soal kacangnya, karena kacang yang ditumbuk dengan nggak begitu halus juga biasa ada di Jawa sana. Bukan pula soal gulanya atau kuantitas bumbu yang luber-luber seisi piring plastik kecil itu. Ternyata pas kutanya sama ibu penjualnya, bumbu rujak itu diberi campuran buah pala. Nah itu dia! Ada satu lagi sebenarnya yang membuat beda, meski nggak begitu signifikan karena sebenarnya nggak dicampur/diulek pada bumbunya, yaitu gulaba. Gulaba ini semacam buah atau entah apalah (yang baru kulihat di sini) yang di dalamnya ada biji-biji kecil dan dicampurkan begitu saja ke dalam rujak Natsepa itu. Ya, bumbu rujak ini sempurna!

Rujak in progress ;p

Yang ini siap dihajar!

Ini yang namanya "Gulaba"

Mama Kala menyambut kami sesampai di rumah. Beliau khawatir ternyata karena kami jalan lama sekali, padahal tadi pamitnya hanya ke Morea saja, tapi malah terdampar sampai Natsepa. Aduh, maaf Mama. Ini Kak Yongman dan Kak Marion malah mengajak kami rujakan di Natsepa, haha! Oh ya, kami dikenalkan dengan Pak Agus Manuputty suami Mama Kala dan juga Encha putri mereka.



Malam di Waai adalah malam yang spesial bagi kami. Sambil menikmati mie telur rebus buatan Mama Kala, aku merasa bersyukur bahwa kami dipertemukan dengan keluarga yang baik dalam perjalanan di Maluku ini. Sebuah keluarga yang kini juga menjadi bagian keluarga kami. Terima kasih banyak, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati Mama Kala dan keluarga. Amin.

Cerita selanjutnya di Mangente Maluku (Bag. 6) - Menjejak Saparua

-----------------------------------------------------------------------------------------

Budget :
1. Ferry Pelabuhan Waipirit Seram - Hunimua Ambon = Rp. 16.500,-/orang
2. Angkutan Umum Pelabuhan Hunimua - Waai = Rp. 10.000,-/orang
3. Ojek Waai, Natsepa pp = Rp. 40.000,-/ojek


No comments:

Post a Comment