Saturday, October 31, 2015

Menyoal Tentang "Buruh"

Foto: www.viva.co.id

Ini tulisan serius, sungguh! Bukan puisi melo mendayu, apalagi catatan perjalanan alay.

Buruh kembali demo, menuntut penolakan terhadap formulasi pengupahan baru yang digagas pemerintah. Bukan sekali ini para buruh demo, biasanya mereka demo menyoal tuntutan kenaikan upah, UMR, UMP atau apalah namanya. Terakhir kubaca, buruh di DKI Jakarta menuntut minimum upah sebesar 3,4 juta rupiah/bulan.

Sejak dulu sebenarnya saya merasa agak-agak absurd tentang istilah buruh. Siapa sebenarnya yang disebut buruh? Perspektif secara umum, masyarakat menyebut buruh seolah-olah hanya pada mereka yang bekerja di pabrik saja. Tapi apakah secara makna harfiah memang demikianlah definisi buruh? Mari kita lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, "buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja". Oke, berarti bisa dikatakan bahwa buruh adalah sama dengan pekerja. Baiklah, coba kita googling tentang pekerja di KBBI (lagi). Pekerja adalah "orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan"  Nah, berarti buruh sama dengan karyawan. Kita lanjut mencari lagi arti kata karyawan. Masih menurut KBBI, karyawan adalah "orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor,perusahaan dsb) dengan mendapat gaji (upah); pegawai; pekerja." Muncul lagi kata pegawai, mari kita telusuri lebih lanjut. Berdasarkan KBBI lagi, pegawai adalah "orang yang bekerja pada pemerintah, perusahaan dsb". Maka jika disimpulkan (kuharap ini bukan ilmu cocoklogi) maka secara kata, buruh sama dengan pekerja, sama dengan karyawan, sama dengan pegawai. 

Mari kita tengok peraturan yang ada. Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003), tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 

Buruh baik menurut arti kata maupun secara undang-undang/peraturan jelas bermakna sangat umum sekali. See, tak ada kata "pabrik" sama sekali. Terus, mengapa seolah-olah yang paling heboh dan paling memiliki soal perburuhan, kesannya adalah para karyawan yang bekerja di "pabrik"? Well, saya sebut saja pabrik, karena yang namanya pabrik tentu macam-macam berdasarkan apa yang dihasilkannya. 

Maaf, saya memang protes. Kesan "teraniaya" para pekerja pabrik cenderung lebay lalu demo mengerahkan ribuan massa dan menuntut aneka macam tuntutan tiap tahunnya atas nama hak buruh. 

"Ah, kamu kan kerja di sektor migas, beda dengan kami". Mungkin akan ada anggapan seperti itu. Tapi yang jelas saya juga buruh. Mau apapun kerjanya, selama saya bekerja untuk orang lain dan menerima upah, maka saya termasuk buruh. Saya juga tidak ujug-ujug kerja seperti ini. Jadi kuli pabrik pernah, kuli di tambang pernah, sekarang kebetulan saja saya jadi kuli di migas. 

Seperti yang telah saya tulis di atas, saya pernah bekerja di pabrik. Saya pernah merasakan sistem pengupahan ala pabrik. Dan waktu itu saya masih merasa beruntung mendapatkan penghasilan yang cukup dibandingkan menjadi...Guru. Ya, guru! Mengapa tiba-tiba saya menclok ke soal guru (dan tentu saja gajinya)? Karena kedua orang tua saya adalah guru, tepatnya guru SD. Meski keduanya PNS, tapi saya sangat tahu berapa gaji mereka. Saya bisa bilang bahwa para buruh pabrik itu bergaji lebih tinggi dibanding kedua orang tua saya yang menjadi PNS guru puluhan tahun!. Oke, mungkin sekarang sudah ada program sertifikasi guru dimana guru akhirnya mendapatkan tambahan tunjangan yang lumayan, tapi bagaimana dengan gaji para guru honorer? Tahukah Anda bagaimana skema gaji guru honorer, padahal rata-rata guru honorer berpendidikan Sarjana? Gajinya sangat menyedihkan! Sungguh keterlaluan kalau saya bilang!

Ini kisah riil, karena kemudian adik saya mengikuti jejak kedua orang tua kami menjadi pendidik. Meskipun saat ini dia masih menjadi guru honorer di sebuah SMP di kampung halaman sana.

Sini saya ceritakan. Semisal si Fulan menjadi guru honorer di sebuah sekolah. Tugasnya adalah mengajar pelajaran Matematika. Untuk pelajaran Matematika sendiri, si Fulan mengajar selama 10 jam seminggu. Honornya mengajar adalah Rp. 14.000,- per jam. Jadi 10 jam x 14.000,- menjadi Rp. 140.000,-. Itu gaji yang didapatkan si Fulan selama sebulan. Iya, sebulan! Bukan kemudian Rp. 140.000,- tadi dikalikan 4 (karena sebulan terdiri dari 4 minggu). Melainkan hitungan seminggu-nya itu adalah hitungan gajinya sebulan! Yup, slip gaji si Fulan setiap bulannya adalah Rp. 140.000,- (itu mungkin belum termasuk potongan ini-itu). Bandingkan penghasilannya dengan UMR, kawan! Jauuuhhhh! Dan si Fulan adalah seorang Sarjana, seorang guru, yang bertanggungjawab mendidik generasi penerus bangsa!

Apa arti uang seratus empat puluh ribu di zaman sekarang? Cukupkah untuk hidup sebulan? Saya tak perlu menulisnya, membayangkannya saja saya tak mampu.

Maka sejujurnya saya ingin protes sekerasnya mengapa sektor pendidikan menjadi sangat mengenaskan, kalah dibanding tuntutan para buruh (pabrik) yang seolah paling menderita dan teraniaya! Sejujurnya perasaan saya nggak jelas juntrungannya melihat kondisi yang nggak adil ada di depan mata kepala saya. Karena guru tentu saja masuk definisi buruh, setidaknya kasih hak atas nama buruh, termasuk gaji standar UMR, bukan skema gaji aneh nan menyedihkan!

Pak Anies Baswedan nggak mungkin membaca blog ini, tapi saya ingin mengutip ucapan beliau bahwa kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah manusianya, bukan kekayaan alamnya. Pertanyaannya adalah bagaimana cara "membesarkan" manusianya? Saya yakin 100% bahwa pendidikan adalah salah satu kuncinya dan itu tidak terlepas dari peran para guru, termasuk guru honorer. Lalu bagaimana seorang guru bisa bekerja dengan baik, jika setiap harinya ia masih memikirkan periuk di dapur dengan penghasilan kurang dari dua ratus ribu rupiah setiap bulannya?

Entahlah, apakah saya harus bertanya juga pada rumput yang bergoyang....

Gambar : www.radaronline.co.id

No comments:

Post a Comment