Thursday, January 28, 2016

Ngelamang di Sumbawa (Bag. 3) : Desa Mantar, Apa Rungan Desa Kita Amek?

"Terbang tinggi di awan.
Mungkin ada yang bisa kutemukan.
Menyeberangi ilalang.
Walaupun jauh yang harus kutempuh.."
(Ipang BIP - Serdadu Kumbang)

------------------------------------------------------------------------------

9 Januari 2016

Selamat pagi, Benete! Sudah nggak sabar menanti datangnya hari ini, karena Desa Mantar di Kecamatan Poto Tano sana akan aku sambangi. Desa Mantar, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Poto Tano Kabupaten Sumbawa Barat yang terkenal dengan sebutan desa di atas awan. Aku mengenal desa ini lewat sebuah film garapan Ale Sihasale dan Nia Zulkarnaen, Serdadu Kumbang judulnya. Berkisah tentang Amek, seorang anak laki-laki usia SD, kehidupan keluarga dan kesehariannya. Film tersebut mengambil setting desa ini. Keindahan dan kebersahajaan kampung serta keseharian warga tercapture dengan apik sekali.


Syuting Film Serdadu Kumbang di Desa Mantar berlatar "Pohon Cita-Cita"
(sumber: kapanlagi.com)

Waktu menunjukkan pukul 06.30 pagi saat Yuli telah siap menstarter motor, kuangkat carrier berisi tenda dan peralatan lenong untuk camping. Kami siap memulai petualangan hari ini. Yuli mengarahkan motor ke rumah Wiwin terlebih dulu, untuk kemudian berangkat bersama menggunakan motor ke Poto Tano. Sampai di rumah Wiwin, dia bilang Irwan belum datang, dan masih di rumahnya di Sekongkang. Aku dan Yuli diminta berangkat duluan saja, toh bakalan bisa disusul karena Wiwin dan Irwan adalah raja jalanan, haha!

Maka berangkatlah kami berdua. Yuli yang mengendarai motor, aku mbonceng saja dengan gembolan carrier segede gaban di punggung. Jalan raya dari Benete ke arah Jereweh ini meliak-liuk, naik turun, dipadu dengan perbukitan hijau di kanan kiri, sesekali masih diselimuti kabut, keren sekali. Santai aja naik motornya, Yul. Aku sedang ingin dimanja dengan atmosfer segar seperti ini.

Rasanya perjalanan dengan motor ini telah melalui puluhan kilometer. Kami melintasi Kecamatan Jereweh hingga kemudian sampai di Pantai Poto Batu. Yuli mengentikan motornya dan kami bermaksud menunggu Wiwin dan Irwan di bawah naungan pohon besar, bisa dikatakan sebuah rest area kecil di tepi pantai. Tapi kami tak lama menunggu, dari jauh kelihatan sebuah motor bergerak ngebut sekali. Wuzzzzz! Here they are! Kami bisa disusul juga! 

Perjalanan kami lanjutkan kembali. Tapi formasi diubah. Wiwin mengendarai motor mboncengin Yuli, sedangkan aku mbonceng Irwan. Let's go racing, guys! 

Sebentar lagi kita akan memasuki Taliwang, Ibukota Kabupaten Sumbawa Barat. Yuli menyebut bahwa kami akan melewati KTC (Komutar Telu Center), sebuah lokasi yang diperuntukkan sebagai pusat kota, keramaian serta pusat pemerintahan Taliwang. Kami berhenti di depan Masjid Darussalam, tak jauh dari tugu perempatan KTC. Foto-foto sebentar, anggap saja kita adalah para pejalan religius karena asyik berfoto di depan masjid, hehe! 

Lanjut lagi yuk, perjalanan masih panjang kawan! Mungkin sekitar 20-30 km lagi kami akan sampai di tujuan yaitu Puskesmas Seteluk. Eh, ngapain ke Puskesmas? Ada yang sakit? Haha, enggak! Tapi di sanalah meeting point kami dengan Khaerul, temannya Yuli. Puskesmas Seteluk juga menjadi semacam basecamp Komunitas Ngelamang+, sebuah komunitas jalan-jalan alias kelayapan tapi plusnya adalah mengenalkan potensi wisata khususnya di Sumbawa Barat.

Yup, akhirnya kami sampai juga di Puskesmas Seteluk. Khaerul tak bisa menemani petualangan kami hari ini, tapi dia telah mendelegasikan tugasnya kepada Komeng, dedengkot komunitas Ngelamang+. Ada pula temannya Komeng dari Lombok yang bakal join juga yaitu Mauliddin. Eh, titipin motor dulu dan gembolan ransel yang belum diperlukan ini dulu yak! Oke, capcus kita...! 

Sebelum jalan, ada yang agak menggoda di seberang Puskesmas. Cilok pentol, tampak begitu sedapnya dengan panci yang ngebul menggoda lidah. Wiwin memborongnya seplastik, tapi apa daya...terkadang penampakan tak seindah rasanya. Haha, sabar ya!

Tentang Desa Mantar. Desa ini terletak pada ketinggian sekitar 800-an mdpl dengan akses berupa tanjakan terjal berbatu dan jalan yang sebagian besar belum diaspal atau dibeton dan masih dalam proses pengerjaan. Ya, tak mudah menuju desa yang bisa dikatakan cukup terpencil itu. Mobil dengan double gardan sangat disarankan untuk menjangkau desa ini.

Maka inilah kami berenam, aku, Yuli, Wiwin, Irwan, Komeng dan Mauliddin, berada di bak belakang sebuah mobil double gardan. Tubuh kami terpelanting kanan-kiri, depan-belakang, menyusuri jalan berbatu nan terjal menuju Desa Mantar. Kalau bisa bicara, mungkin mobil itu sudah meraung kesakitan dan perlu di-gips sana-sini karena patah tulang.



Pintu Gerbang Desa Mantar

Setelah perjalanan seru dalam bak belakang mobil, akhirnya kami memasuki Desa Mantar. Kami minta diturunkan di tempat palarayang. Letak desa ini yang tinggi memang cocok untuk kegiatan olahraga semacam itu. Bulan November 2015 lalu, sebuah event paralayang dalam rangka memperingati HUT Kabupaten Sumbawa Barat telah sukses dilaksanakan.

Sesampai di tempat itu, wow....! Luar biasa, serius! Terbentang di hadapanku pemandangan yang bukan saja memanjakan mata lahir tapi juga batin. Tampak areal persawahan nun jauh di bawah sana, laut biru, Pelabuhan Poto Tano, Pulau Kenawa, Paserang, Kalong, dan pulau-pulau kecil lainnya yang tersebar di sisi utara Pulau Sumbawa. Cantik sekali. Ah, bahkan puncak Guung Rinjani bisa kita intip dari sini!


Aku menyukai indahnya, sepinya, senyapnya...
Dan tempat seperti ini membuat kesepianku bertambah garang....

Segala pose foto sudah kami coba, serasa tak ada bosannya. Tapi ada satu orang di antara kami yang tampak galau karena nggak pegang kamera. Haha, yang sabar ya! Silahkan beli lagi di toko kamera terdekat :-)

Kami lanjut jalan kaki ke timur, melihat pemandangan yang memukau lainnya dari sebelah sana. Kami melewati "Pohon Cita-Cita". Pohon ini sangat terkenal di film Serdadu Kumbang sebagai tempat menggantungkan botol-botol kosong yang di dalamnya berisi kertas yang tertulis cita-cita mereka. Dalam film ini, pohon ini tampak sebagai pohon yang bercabang banyak, tanpa daun dan berdiri di dekat padang rumput yang luas sekali. Kenyataannya, pohon cita-cita yang asli atau yang sekarang kami dapati adalah pohon kemiri yang berdaun banyak dan dibatasi dengan pagar. Tak apalah, namanya juga film ;p

Berjalan lagi sedikit, terdapat semacam gazebo atau orang lokal menyebutnya sebagai baruga. Tempat ini sekaligus bisa menjadi tempat istirahat maupun look out point untuk menikmati pemandangan. View di sini mirip dengan di tempat paralayang tadi, sama-sama keren. Maka kubayangkan bermalam di sini, lalu menyapa pagi esok harinya dengan suguhan alam negeri di atas awan. Pasti sempurna!


Ada yang mau tidur di baruga? Monggo...

Hanya nge-set timer saja, dua orang ini sampai sebegitu sibuknya ;p


Setelah makan siang di baruga, kami harus segera beranjak karena waktu semakin siang dan sudah janjian dengan driver mobil bahwa jam 13.00 siang nanti kami pulang. Berjalan melewati persawahan, ladang, padang ilalang, kuda-kuda yang berkeliaran, segala nuansa damai jauh dari kesibukan dan keegoisan kota. Perkampungan dengan model rumah-rumah panggung yang samar-samar kuingat ada di film Serdadu Kumbang. Amek, ayo tunjukkan pada kami dimana rumahmu dan masjid tempat kamu dan kawan-kawan belajar mengaji bersama Papin (papin=bahasa Sumbawa untuk menyebut kakek)

Lumbung Padi 

Lapangan Desa Mantar
Rumah panggung ber-cat biru, rumahnya Amek ;p
Di satu sudut desa

Sekitar jam 13.00 siang, kami tinggalkan Desa Mantar. Kami pulang dengan membawa banyak ingatan manis tentang segala sisi keindahan serta keunikan desa ini. Kupikir, aku harus kembali lagi ke tempat istimewa ini suatu hari nanti.

Apa rungan desa kita, Amek? Rungan balong, jawabmu....

Cerita selanjutnya di: Ngelamang di Sumbawa (Bag. 4): Bersama Savana Kenawa

--------------------------------------------------------------

Budget :
1. Biaya mobil 4WD dari Seteluk-Desa Mantar (pulang-pergi) = Rp. 250.000,-/rombongan


Saturday, January 23, 2016

Ngelamang di Sumbawa (Bag. 2): Sekongkang, Sepanjang Jalan Kenangan

"I don't know where I'm going
But, I sure know where I've been
Hanging on the promises
In songs of yesterday
And I've made up my mind
I ain't wasting no more time
But, here I go again...here I go again"
(Here I Go Again - Whitesnake) 

------------------------------------------------------------------

8 Januari 2016

Selamat pagi, Lombok! Mari kita mulai hari dengan duduk santai di teras kamar hotel, secangkir kopi dan senyuman pagi (halah!)

Tepat jam 07.30, travel langganan Yuli sudah menjemput dan siap membawa kami ke Pelabuhan Kayangan. Bang Rasyid, sang driver menjadi teman ngobrol yang cukup seru. Travel ini hanya berpenumpang tiga orang saja, dua diantaranya ya aku dan Yuli. Menyusuri kembali jalanan menuju Lombok Timur. Sungguh, sekali lagi sangat samar ingatanku tentang jalan-jalan ini.

Gagahnya Gunung Rinjani, menjadi pemandangan indah di sepanjang jalan di setengah perjalanan kami. Ah, kau harus kudaki suatu hari nanti!

Sekitar jam 09.00 pagi, kami tiba di Pelabuhan Kayangan. Inilah pintu menuju Pulau Sumbawa jika menggunakan transportasi laut. Ada dua jenis kapal yang bisa kita gunakan, yaitu kapal ferry menuju Pelabuhan Poto Tano dan kapal menuju Pelabuhan Benete, tinggal pilih sesuai tujuan kita. Kami berdua mengunakan kapal dengan jurusan Pelabuhan Benete. Apa sebab? Tentu saja, karena rumah Yuli ada di Benete dan aku ingin mengenang cerita masa laluku saat kerja di Sumbawa, start dari situ. 

Kapal Tenggara Satu, demikian namanya. Kapal yang terakhir kali aku naiki delapan tahun lalu. Dulu kapal ini dikelola oleh PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai sarana transportasi dari site ke Lombok pulang pergi bagi para karyawan dan juga kontraktor. Kini kapal itu dikelola oleh Pemda Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan terbuka bagi penumpang umum (non karyawan) kecuali pada hari tertentu yang memang sudah diblock hanya khusus bagi karyawan. Dan suasana Tenggara Satu, masih seperti dulu...

Selamat Datang di Tenggara Satu, bla-bla-bla, tampak layar TV di kapal menyajikan video keselamatan kapal sebelum kapal ini beranjak pergi meninggalkan Pelabuhan Kayangan. 

Tak lama berada di kabin. Aku dan Yuli naik ke deck atas dan menikmati udara segar serta pemandangan laut. View Gunung Rinjani mulai kami tinggalkan perlahan.

Di deck atas Tenggara Satu
"Siluet" Poto Tano terlihat dari kejauhan

"Seingatku kapal ini akan melewati pulau-pulau karang gitu." kataku, anganku menjelajah sebuah ruang di masa lalu.
"Iya benar, tapi masih cukup jauh dari sini. Hey, lihat itu mbak! Itu Poto Tano, sepertinya yang itu Pulau Kenawa" ujar Yuli, menunjuk pada pulau-pulau kecil yang tampak dari kejauhan.

Kami masuk kembali ke kabin kapal, masih ada satu jam perjalanan ke depan, aku bahkan sempat tertidur. Yuli membangunkanku ketika kami sudah nyaris sampai tujuan yaitu Pelabuhan Benete. 

Selamat Datang di Pelabuhan Benete Sumbawa

Tenggara Satu merapat. Inilah aku sekarang. Kembali menjejak Pulau Sumbawa. Apa rungan (apa kabar), Benete? Rungan balong (kabar baik), serumu! Ya, hanya dua kalimat berbahasa Sumbawa itu yang masih membekas di ingatanku. Keluarga Yuli menjemput kami. 

Dari dalam mobil, aku kembali mengingat mozaik-mozaik yang tercecer di sepanjang jalan itu. 

Rumah Yuli tak begitu jauh dari Pelabuhan Benete. Segera setelah sampai, kami istirahat sejenak, dan sehabis makan siang kami langsung jalan-jalan ke daerah Sekongkang bersama Yuli dan keluarga yaitu Ibu, saudari, ipar dan keponakannya. 

Maka sekali lagi, aku merangkai mozaik-mozaik masa lalu yang tercecer di sepanjang perjalanan Benete ke Sekongkang, melintasi jalan di depan gerbang Newmont dan melewati Maluk. Aku tercengang saat melewati Maluk. Wow, inikah Maluk sekarang? Nyaris tak kukenali. Tempat ini sudah sangat ramai dengan pertokoan berjajar di tepi jalan.

Di Maluk, kami sempat ketemuan dengan Ahmad, seorang kawan lama, dulu satu perusahaan. Obrolan seru meski hanya sebentar, cukup menyenangkan. 

"Ya Allah Len, belum nikah-nikah juga kamu sampai sekarang?" kelakarnya
"Nggak ada yang mau sama aku, Mad" ujarku disusul ngakak tak terkira. Haha, manusia yang satu itu memang CS ku sejak dulu, di berbagai site yang pernah kami jelajajahi, dari site Sumbawa hingga hutan belantara site eksplorasi di Tapanuli Selatan, beberapa tahun silam. 

Kembali ke track semula, kami menuju Kecamatan Sekongkang. Ada banyak pantai indah di sana yang ingin kulihat lagi, meski sekarang aku tak begitu mencintai laut, haha!

"Sudah ada jalan baru yang menghubungkan Maluk ke Sekongkang, jalannya nggak se-ekstrim dulu." kata Yuli sambil menunjukkan jalan di depan.

Memoriku mencoba mengingat kembali. Dulu jalan dari Maluk ke Sekongkang memang penuh dengan tanjakan, turunan tajam dengan jalan yang bisa dibilang sangat sempit. Kini sudah ada jalan raya baru, cukup lebar dengan tanjakan/turunan yang cukup wajar.

"Itu Hotel Mega Arafah, masih inget kan? Camp kita dulu" lanjut Yuli ketika kami sudah sampai di Kecamatan Sekongkang.

Aku memandang setengah tak percaya. Seingatku jalanan ini dulu masih sangat sepi, tak banyak rumah di sekitar hotel itu. Ah, betapa banyak perubahan yang telah terjadi.

Begitupun dengan jalan raya sepanjang Sekongkang ini, sudah banyak dipenuhi rumah penduduk, juga cafe dan hotel yang dimiliki oleh expat. Pantai di sekitar sini memang berombak besar, surga bagi para peselancar. 

Pantai Lawar adalah tujuan pertama kami. Sekarang jalan menuju pantai sudah lebar dan mobil bisa masuk sampai bibir pantai. Dulu seingatku hanya jalan setapak kecil, yang hanya bisa dilewati motor itupun harus mblusuk nggak jelas gitu, hehe! Panas menyapa kami siang ini, sangat panas bisa dibilang. Tapi pantai ini masih cantik, bersih dan tetap sepi. Saya suka dengan bukit-bukit di kanan-kirinya.

Pantai Lawar, siang itu

Hati-hati jalannya ya, Alfon

Dan sapi-pun ingin piknik juga :-)

Pantai Tropical adalah destinasi selanjutnya, pantai ini masih sejajar dengan Pantai Lawar. Dari jalan besar Sekongkang menuju pantai ini jalannya sudah sangat lebar dan kelihatan baru diaspal. Berpasir putih, dan berombak besar, dengan pemandangan bukit yang cantik sekali.


Ada "Gosip" di Pantai Tropical ;p

Selesai dari Pantai Tropical kami balik arah kembali ke Maluk, melewati dataran yang agak tinggi sehingga pantai-pantai di daerah Sekongkang ini terlihat dari atas, cantik sekali. Berhenti sebentar. Meneruskan perjalanan lalu mblusukan sejenak melewati jalan setapak di pinggir jalan untuk menikmati Pantai Yoyo dan Pantai Rantung.

Pantai Rantung

Ombak di Pantai Yoyo

Pantai-pantai di Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat ini nyaris tak berbeda dengan dulu, aku tetap menyukai sepinya, pasirnya, bersihnya, birunya dan ombaknya serta bukit-bukit hijau yang menjadi latarnya. Siang itu, pemandangan laut yang berpadu dengan perbukitan, telah kuobati rinduku pada Sekongkang.

Malamnya kami nongkrong di Pantai Benete, menikmati suara deburan ombak dan kerlip lampu-lampu pelabuhan dan konsentrator tambang. Kami sekaligus ketemuan dengan Wiwin dan kedua adiknya (mereka masih kerabat Yuli), ngobrol tentang rencana esok hari. Ya, aku, Yuli, Wiwin dan Irwan (temannya Wiwin) besok akan pergi ke Kecamatan Poto Tano. Yup, sebuah petualangan seru siap dimulai...!!!

Kisah selanjutnya di : Ngelamang di Sumbawa (Bag.3): Desa Mantar, apa rungan desa kita Amek?

-----------------------------------------

Budget :
1. Travel Lombok - Pelabuhan Kayangan = Rp. 70.000/orang
2. Kapal Pelabuhan Kayangan - Benete Sumbawa = Rp. 135.000/orang (bagi penumpang ber-KTP non KSB). 

Monday, January 18, 2016

Ngelamang di Sumbawa (Bag. 1): Mendadak Lombok

"You will never completely be at home again, because part of your heart will be elsewhere. That is the price you pay for the richness of loving and knowing people in more than one place..."
(Miriam Adoney)

--------------------------

7 Januari 2016

Pesawat yang kutumpangi mendarat mulus di Bandara Internasional Lombok (BIL) di Praya sekitar jam 08.15 pagi. Selamat datang di Lombok. 

Pertama kalinya aku menginjak bandara ini. Dulu ke Lombok masih via Bandara Selaparang, kebayang kan jadulnya, haha! Kalau tidak salah ingat, terakhir kali ke Lombok pada tahun 2008. Delapan tahun lalu, saat aku masih bekerja di salah satu kontraktor perusahaan tambang Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa sana. Lalu mengapa tiba-tiba aku balik ke sini? Karena aku mau liburan dan tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan, hehe! 

Yup, aku sudah janjian dengan Yuli, temen kerjaku dulu yang kebetulan juga putri asli Sumbawa. Nggak tahu tiba-tiba aku kangen dengan Sumbawa dan pas juga kami punya jadwal libur yang sama di bulan Januari ini. Tak banyak cingcong, kami langsung capcus saja :-)

Aku ngopi di sebuah cafe di BIL sambil menunggu Yuli. Dia akan terbang dari Denpasar dan baru sampai Lombok sekitar jam 11.30 nanti. Dan dalam secangkir kopi, ternyata banyak kenangan yang terngiang kembali (halah, bahasamu).

Masih teringat jelas, panas yang menggantang di tengah open pit raksasa itu. Haul truck dan alat berat lainnya yang berlalu lalang. Pantai-pantai yang indah di  Maluk dan Sekongkang. Ah, apa rungan Sumbawaku? Kemana berlalunya waktu? Ya, aku mendadak melo mengenang semua itu. 

Hpku berdering, Yuli telepon, mengabarkan bahwa ia gagal naik pesawat siang karena antrian penumpang yang mengular hingga menyebabkan waktu check in sudah tutup saat dia sampai di depan meja check in. Hadeuh! Tapi dia masih bisa naik pesawat sore katanya, dan baru sampai Lombok jam 15.30 sore. Wokelah kalau begitu. Tetapi, hal ini tentu  berefek domino terhadap transportasi kami ke Sumbawa nanti. Kami dipastikan nggak bisa mengejar boat jam 16.00 sore ke Benete Sumbawa, namun masih ada cara lain yaitu naik Bis Damri dari Sweta Lombok jam 19.00 malam nanti dan akan tiba di Maluk Sumbawa esok dinihari. Siplah, apapun itu ;p

Tapi masalah kedua muncul yaitu jika Yuli bari sampai di Lombok sore nanti, maka aku juga dipastikan akan cengok dot com berjam-jam di bandara ini doing nothing! Lha terus mau ngapain coba? Keluar bandara lalu jalan-jalan dulu? Mungkin bisa, tapi males, mana bawa gembolan carrier segede gaban, wkwk! Walhasil aku bener-bener mati gaya. Duduk di bangku depan Solaria sejam sambil maen hp, pindah duduk di depan Bakso Lapangan Tembak sejam, move sebentar ke mushola bandara, makan siang di CFC sambil cengok, pindah lagi ngemper di depan Indomart bandara, balik lagi ke mushola dan lain-lain. Sungguh teramat nggak produktif, wkwk!

Tapi penantian itu akhirnya berujung. Suara merdu announcement di bandara menyebutkan bahwa pesawat dari Denpasar baru saja landing. Oh, Yuli! Setelah sekian tahun, akhirnya kita bertemu kembali!

Kami keluar dari bangunan bandara. Dengan bis Damri, kami menuju poolnya di Sweta Lombok. 

Aku dan Yuli ngobrol tentang banyak hal mengisi perjalanan. Mendung di Lombok. Jalanan tak begitu ramai. Kepikir juga untuk jalan-jalan di Lombok sebentar sambil nunggu Damri jurusan Maluk yang baru berangkat dari pool jam 19.00 malam nanti, gembolan ransel besar ini toh bisa dititipkan sebentar di kantor pool.  


"Dua Tiket Damri ke Maluk, Pak"
kata Yuli ke perugas loket Damri, segera setelah kami tiba di pool.
"Habis, mbak. Penumpang penuh malam ini"
jawab si bapak sambil menunjukkan list manifest penumpang bis jurusan Maluk Sumbawa untuk kepergian nanti malam. Whoaaa, hancur sudah semua rencana kami!

Kami mendapat ketidakberuntungan yang bertubi-tubi. Dimulai dari Yuli yang ketinggalan pesawat ke Lombok sehingga kami nggak bisa mengejar boat sore ke Sumbawa, dan sekarang Damri ke Sumbawa untuk jadwal malam nanti juga penuh! Sumbawa bener-bener gagal kami jangkau hari ini. Tak ada pilihan lain, kami memang harus menginap semalam di Lombok. 

Dengan gontai, kuangkut lagi ransel ini dan menuju sebuah taksi yang mangkal di depan pool Damri. 

"Kita ke Hotel Viktor 3 di Cakranegara, Pak" kata Yuli ke sopir taksi, hotel langganan Yuli tiap ke Lombok katanya.

Kususuri lagi pemandangan kota ini dari jendela kaca taksi. Lombok yang ramai. Samar ingatanku tentang kota tempat dulu aku transit sebelum menuju site di Sumbawa ini.

Dan inilah kami sekarang. Mendadak berada di hotel di Lombok, sesuatu yang nggak ada sedikitpun dalam rencana. Tapi setidaknya, setelah ngemper selama berjam-jam di bandara Lombok, kini setidaknya aku bisa meluruskan kaki dan punggung di atas kasur ;p

Selonjorin kaki dulu, boleh?


Lapar? Ah, tentu saja! Sehabis maghrib kami capcus jalan kaki ke dekat Mataram Mall di daerah Cakranegara, tak jauh dari hotel ini. Lidah kami (aku tepatnya) sudah rindu bin ngiler ingin makan Ayam Bakar Taliwang dan Plecing Kangkung, dua makanan khas Lombok itu. Yup, ketika dua makanan tersebut bersatu, maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?



Ayo dilap dulu ingusnya, eh ilernya...

Satu ekor ayam itu awalnya terlihat sangat besar porsinya. Eit, tapi tunggu dulu, karena ternyata setelah selesai makan...semuanya ludes dan nyaris tinggal kepalanya saja yang tersisa, wkwk! 

Kenyang! Tapi malam masih panjang. Kemana lagi kita? Nge-mall yuk? Haha, daripada bengong di hotel kan ya. Maka dengan sebuah taksi kita menuju ke sebuah mall yang baru dibuka di Lombok, mall yang lagi nge-hitz pastinya, Lombok Epicentrum namanya.

Aih, mallnya megah, luas, masih bau cat dan dipenuhi gerai dari brand-brand ternama.  Baiklah, mari menjadi bagian dari dunia kekinian. Kita cuci mata (tapi nggak belanja) dan ngopi-ngopi cantik saja, haha!

Hampir malam di Lombok

Ngopi dulu kakak? Yuks!


Lagi-lagi kita membahas banyak hal yang tak terduga yang terjadi hari ini. Tak ada yang perlu disesali. Toh ngetrip kita kali ini juga tanpa itinerary, even tiket pulangpun belum kubeli. Jadi kita nikmati apa saja apapun di depan sana.

Tapi malam semakin bergerak seiring sruputan cappucino dalam gelas kertas ini yang mulai habis. Satu demi satu lampu dari gerai-gerai di mall ini mati. Ya, meski kita masih betah menikmati kekiniannya Lombok, tampaknya kita harus segera beranjak pergi.

Sumbawa, tunggu kami esok hari. Insya Allah, semuanya lancar jaya :-D

Catatan: Ngelamang (dalam judul di atas) adalah bahasa Sumbawa, artinya kelayapan/keluyuran.

Kisah selanjutnya di Ngelamang di Sumbawa (Bag. 2): Sekongkang, Sepanjang Jalan Kenangan

-----------------------------------------

Budget :
1. Damri Bandara BIL - Pool Damri Sweta = Rp. 25.000,-
2. Taksi Pool Damri - Hotel Viktor 3 (Cakranegara) = Rp. 20.000,-
3. Hotel Viktor 3 = Rp. 150.000/kamar
4. Taksi Mall Mataram - Lombok Epicentrum = Rp. 25.000,-
5. Taksi Lombok Epicentrum - Hotel = Rp. 25.000,-