Monday, March 21, 2016

Mengintip #WonderfulEclipse di Bumi Sriwijaya

"Dua puluh tahun dari sekarang, Anda akan merasa lebih menyesal atas hal-hal yang belum dilakukan daripada hal-hal yang telah dilakukan. Maka, lepaskanlah pengikat perahumu, berlayarlah dari pelabuhan kenyamananmu. Tangkap angin yang akan mendorongmu untuk berlayar. Carilah. Mimpikan. Temukan." ~ Mark Twain ~


Masih subuh saat aku keluar dari hotel tempatku menginap yang berjarak sekitar satu kilometer dari Jembatan Ampera. Seorang tukang becak yang mangkal di depan hotel menawariku untuk mengantarkan sampai ke dekat jembatan. Dengan halus aku menolak tawarannya. Aku bisa berjalan kaki ke sana, anggap saja olahraga. Lagipula jalan menuju Jembatan Ampera telah ditutup sejak semalam.

Banyak kendaraan terparkir di sepanjang jalan hingga Masjid Agung Palembang. Jalan raya sudah sedemikian ramainya meskipun pagi buta. Orang berduyun-duyun menuju Jembatan Ampera yang telah disiapkan sebagai pusat berkumpulnya masyarakat untuk menyaksikan Gerhana Matahari Total (GMT). Benar saja, jembatan yang merupakan tengara terkenal di Palembang ini telah riuh dipenuhi warga dan media. 

Entah berapa banyak manusia yang tumpah ruah menyaksikan gerhana di tempat ini dari berbagai usia dan bangsa. Beberapa stasiun televisi tampak sibuk menyiapkan liputannya. Para fotografer lengkap dengan lensa telenya sudah berjajar di tepian jembatan memastikan mereka bisa menangkap momen gerhana di titik yang sempurna.

Mengapa aku memilih Palembang di antara 11 kota lainnya di Indonesia yang dilewati gerhana matahari total pada tanggal 9 Maret 2016 ini? Alasan pertama adalah karena aku belum pernah ke Palembang. Alasan lainnya adalah karena Pemerintah Daerah Palembang kelihatannya sangat merencanakan kegiatan ini dengan baik. Menyiapkan festival hingga menunjuk titik utama pengamatan gerhana yaitu di atas Jembatan Ampera. Pas sudah!


Jembatan Ampera, 9 Maret 2016, sebelum GMT

Langit pagi mulai terang. Semoga cerah. Dari atas Ampera, Sungai Musi terlihat sibuk dengan aktivitasnya. Kapal-kapal bergerak mengangkut orang, logistik bahkan batubara. Tak hanya jembatan saja yang dipenuhi masyarakat yang ingin melihat gerhana. Di Benteng Kuto Besak di seberang hilir jembatan juga tak kalah ramainya. Magnet gerhana matahari total mampu menyihir semua orang untuk menyaksikannya. Tak perlu takut melihat gerhana, inilah relasi manusia dengan alam semesta.

Aku duduk di pinggir trotoar, membaur dengan warga. Kulihat beberapa orang telah menyiapkan kacamata gerhana beraneka bentuk dan warna. Tapi kuakui bahwa masyarakat kita memang sangat kreatif. Selalu ada jalan untuk menggantikan kacamata gerhana keluaran pabrik yang harganya cukup mahal. Ada yang menggunakan hasil foto rontgen besar yang mereka persiapkan sebagai pelindung mata. Bukan saja foto rontgen, bahkan klise foto jaman dulu juga hadir kembali tapi beralih fungsi. Berderet momen human interest di sekitarku ini benar-benar istimewa!

Nak, kan kutunjukkan satu fenomena alam padamu...
Menikmati gerhana dari balik foto rontgen
Melihat gerhana dari balik klise foto

"Mana gerhananya, Ayah?" tanya seorang anak kecil kepada ayahnya. Mereka duduk di sebelahku. 
"Sebentar lagi. Nanti pakai ini ya saat melihat gerhana." kata si Ayah.

Sang Ayah memberikan sebuah kotak karton kecil pada putrinya. Kotak pinhole kurasa.

"Bikin sendiri, pak?" tanyaku membuka obrolan. 
"Ya, mbak. Lumayan, jadi nggak usah beli kacamata gerhana"  jawabnya

Mana gerhananya, Ayah? 

Sesuai perkiraan, proses gerhana matahari total di Kota Palembang ini dimulai sekitar pukul 06.20 WIB. Dari balik kacamata gerhana, sempat kulihat proses saat bulan sedikit demi sedikit menutupi matahari. Tapi sayangnya hanya bisa dinikmati sebentar saja. Langit di sekitar Ampera berselimut awan. Sesekali awan pergi namun datang kembali. Begitu seterusnya. Banyak yang kecewa, termasuk aku. Padahal tempat ini digadang-gadang sebagai lokasi yang bagus untuk menyaksikan gerhana. Orang-orang kemudian menunjuk cerobong asap pabrik Pusri yang tampak mengeluarkan asap nun jauh di sana. Entahlah, aku tidak dapat menyimpulkan apakah hal tersebut turut berkontribusi terhadap tertutupnya matahari pagi ini.

Gumpalan awan menutupi matahari

Pukul 07.20 WIB, menjelang matahari benar-benar berada segaris dengan bulan, langit perlahan berubah menjadi gelap. Lampu Jembatan Ampera tiba-tiba menyala. Suasana pagi yang awalnya terang benderang terlihat seperti waktu maghrib. Suhu udara mendadak menjadi dingin. Sungguh sebuah perubahan yang dahsyat! Orang-orang berteriak, bersorak, sebagian bertakbir dan bertasbih. Mulutku tercekat. Aku terpaku selama hampir dua menit menyaksikan itu. Segala puji bagi-Mu, Tuhan Semesta Alam!


Jembatan Ampera, 9 Maret 2016, pukul 07.20 pagi!!!
Mengabadikan kegembiraan

Awalnya cukup kecewa dengan proses gerhana dan korona yang tak bisa terlihat, padahal aku sudah jauh-jauh datang ke Palembang khusus demi ini. Tapi peristiwa selama dua menit tadi telah membayar lunas semua. Momen merasakan sensasi perubahan terangnya pagi menjadi seperti malam, bersama ribuan pasang mata di atas Jembatan Ampera, wow...luar biasa! Ini tak terlupakan!

Gerhana berlalu. Jembatan Ampera kembali menggeliat dipenuhi lalu lalang kendaraan yang lewat. Di bawahnya, mengalir Sungai Musi, nadi kehidupan kota ini. Aku pulang dengan membawa banyak kenangan dan tentu saja...Pempek Palembang!


Jembatan Ampera dan aktivitas Sungai Musi

No comments:

Post a Comment