Monday, June 06, 2016

Miangas, Adakah Kapal yang Bersandar Hari ini?

"Tampak ombak 
kejar-mengejar menuju karang
Menampar tubuh pencari ikan.
Semilir angin berhembus
Bawa dendang unggas laut
Seperti restui jala nelayan.

Gurau mereka
Oh memang akrab dengan alam
Kudengar dari kejauhan
Dan batu-batu karang,
tertawa ramah bersahabat
Memaksa aku tuk bernyanyi...

(Iwan Fals)

-----------------------------------------

Jika aku diminta menyebutkan daftar perjalanan impian, maka pergi ke Pulau Miangas adalah salah satunya. Bukan karena destinasi wisatanya melainkan letak geografisnya. Miangas adalah pulau terdepan Indonesia di ujung paling utara. Letaknya bahkan lebih dekat dengan negara Filipina dibandingkan dengan jarak ke ibukota kabupatennya sendiri. Filipina menyebut pulau ini sebagai Pulau La Palmas dan pernah diklaim menjadi bagian dari wilayahnya sebelum akhirnya kalah dalam Mahkamah Arbirtrase Internasional.

Letak Miangas (ditandai dengan "pin merah") dalam peta Indonesia

Menginjakkan kaki di Miangas ternyata bukan hanya mimpiku saja, tapi itu juga mimpi Dian, Dame, Yuni, Ester dan Kusuma. Namun tak mudah menuju Miangas. Satu-satunya transportasi menuju ke sana hanyalah menggunakan kapal laut, itupun dengan jadwal yang tidak pasti karena seringkali terkendala kondisi kapal serta cuaca. Satu lagi masalah muncul, apakah hari yang kami jadwalkan pergi ke sana akan sesuai dengan jadwal kapal? Bukan hanya pergi, melainkan juga jadwal pulangnya. 

Catatan perjalanan ke Miangas yang sempat kami baca di sebuah  blog malah membuat kami mengernyitkan dahi. Bagaimana tidak? Si penulis menceritakan dirinya "dicurigai" oleh pejabat pemerintahan dan kepolisian setempat saat datang ke Miangas. Berkali-kali diinterogasi, barang-barangnya digeledah, laptopnya disita dan dia menjadi semacam "tahanan kota" selama di sana. Selain itu, peristiwa penculikan WNI yang dilakukan gerombolan Abu Sayyaf  asal Filipina yang sedang menjadi trending topic pemberitaan waktu itu semakin menambah kernyitan dahi ini

Tapi ternyata mimpi kami didukung oleh semesta. Mengutip kata-kata legenda dari seorang penulis ternama "Saat kamu menginginkan sesuatu maka seluruh alam semesta akan bersatu membantumu untuk meraihnya". Terima kasih banyak untuk teman-teman yang tanpa lelah mencari semua contact person guna memperlancar perjalanan kita ke Miangas. Seiring berjalannya waktu persiapan, akhirnya kami juga terhubung dengan Tim Nusantara Sehat (NS) yang bertugas di pulau itu. Ya, setidaknya ada orang yang kami "kenal" di Miangas kelak. 

Ditemani secangkir kopi dan nyanyian tentang Pulau Miangas, akan kukenang kembali segenap kisah perjalanan yang tak terlupakan itu...

1 Mei 2016

Setelah menempuh satu jam lebih perjalanan dari Tamako dengan diantar mobilnya Kak Cilia dan Kak Istem, akhirnya sekitar jam 9 malam kami sampai kembali di Kota Tahuna  ibukota Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara, tepatnya di Hotel Melia. Kemarin kami sengaja menyewa satu kamar di penginapan ini untuk menyimpan barang-barang yang belum diperlukan. Sekarang kami harus segera packing dan check out. Malam ini, KM Meliku Nusa akan berangkat ke Miangas.

Marsello sudah menunggu di hotel. Dengan mobilnya, ia mengantarkan kami ke Pelabuhan Tahuna. Berhubung jumlah kami ada enam orang belum lagi barang-barang yang kami bawa banyak sekali, maka ia membagi perjalanan menjadi dua trip. Aku, Dame dan Kusuma jalan duluan.

Selama di mobil, aku dan Dame sempat iseng nggodain Kusuma apakah ia yakin akan ikut pergi ke Miangas. Mumpung sekarang masih di Tahuna dan kesempatan terbuka untuk balik badan, haha! Sungguh, kami hanya iseng saja, mengingat ini adalah pengalaman pertamanya ngetrip ala koboi begini. Kusuma hanya menanggapinya dengan tertawa dan berkali bilang "lanjutlah!".  Sip, semangat kakak!

KM Meliku Nusa telah bersandar di dermaga Pelabuhan Tahuna. Marsello menurunkan kami bertiga di parkiran yang letaknya persis di depan dermaga. Lalu dia balik lagi ke hotel untuk menjemput Dian, Yuni dan Ester. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam saat sirine kapal ini berbunyi. Ah, sudah mau berangkatkah kapalnya? Buru-buru aku telpon Pak Aso, salah satu ABK KM Meliku Nusa yang sebelumnya sering dikontak Dian untuk menanyakan jadwal kapal ini. Nah, itu dia! Salam kenal, Pak Aso! ABK kapal yang satu ini sudah sangat terkenal di grup WA Tim Miangas ini!

"Ayo naik saja ke dek atas, kamarnya sudah disiapkan. Nomor 211" kata Pak Aso. 

Salah satu ABK lain (yang kemudian baru diketahui bernama Jono alias Marjono alias Aril) diminta Pak Aso untuk membantu membawa kardus-kardus bawaan kami ke kamar. Hanya ada sebuah gangway yang terbuat dari lempengan kayu yang dipasang sebagai jembatan untuk kami menyeberang dari dermaga ke kapal. Sepintas kulihat dek bawah sudah penuh dengan barang-barang, begitupun para penumpang yang sebagian besar sudah naik ke kapal.

Kami menuju kamar yang sudah ditunjukkan di dek atas. Tak lama kemudian Dian, Yuni dan Esterpun sampai dan segera menyusul ke kamar. 

Di kamar 211 ini hanya terdapat empat tempat tidur dan sebuah kipas angin. Sementara kami berjumlah enam orang. Pak Aso bilang ada satu kamar lagi yang bisa disewa, terdiri dari dua tempat tidur dan ber-AC. Jadi bagaimana? 

"Kusuma sama Ester berdua di kamar AC. Sisanya di kamar yang ini!" kata Dian. 

Kami sontak terdiam. Kuperhatikan ekspresi wajah teman-teman. Kusuma langsung pergi dari koridor kamar. Walah, bagaimana ini? Urusan kamar kan masih belum selesai.

"Gue nunggu di sini aja, Len" kata Kusuma. Ia memilih duduk di deretan kursi penumpang, tak jauh dari kantin. 

Aku baru saja meletakkan barang di dalam kamar sedangkan Dame masih di depan pintu ketika Kusuma menghampiri kami dan berkata "Sorry, gue nyerah! Gue udah mencoba bertahan sejak kemarin. Tapi ini sudah di luar batas toleransi gue. Gue mundur, gue nggak ikut ke Miangas." 

Kusuma langsung turun ke dek bawah. Aku masih setengah nggak percaya. Dame turun, menyusul Kusuma. Aku segera keluar kamar bermaksud menyusul Kusuma juga, tiba-tiba Dian masuk ke kamar, maka sekalian kubilang padanya "Kusuma nggak jadi ikut ke Miangas" 

Setengah berlari aku turun ke dek bawah. Di dekat tangga kulihat Yuni, Ester dan Dame berdiri. Kusuma sudah keluar dari kapal, Marsello berdiri di sampingnya. Aku tak bisa berkata apa-apa melihat situasi ini.

"Nanti gue kasih nomor saudara gue di Manado, lu bisa jalan-jalan di Manado bareng dia" teriak Yuni. Disambut lagi dengan sahutan Ester dan Dame. Riuh.
"Iya. Thanks. Gue baik-baik saja kok." kata Kusuma

Sirine kapal KM Meliku Nusa berbunyi tiga kali, menandakan kapal ini akan segera berangkat. Marsello, tolong temenin Kusuma! Aku, Yuni, Dame dan Ester hanya bisa melambaikan tangan dengan perasaan yang campur aduk.

Dengan gontai, kami berempat naik ke dek atas. Tapi tidak menuju kamar, melainkan berkumpul di dekat tangga tak jauh dari pintu masuk. Ngobrol menumpahkan unek-unek di kepala hingga berjam-jam.

Angin yang cukup kencang dan rasa kantuk yang menyerang akhirnya memaksa kami untuk segera masuk kamar. Kulihat Dian sudah tertidur. 

Kasur tiup kugelar di lantai kamar. Masuk ke dalam sleeping bag lalu mencoba memejamkan mata. Tuhan, setiap perjalanan memang tak selalu mulus. Tapi apapun yang terjadi hari ini, semoga menjadi pelajaran bagi kami. Kami tinggal berlima sekarang, perempuan semua...

Selamat malam, Meliku Nusa! Bawa kami berlayar hingga Miangas...ujung utara Nusantara!

2 Mei 2016

Selamat pagi, Laut Sulawesi!

Segelas kopi dan pop mie yang kami beli di kantin kapal menjadi menu sarapan untuk membuka hari. Pagi ini cerah sekali. Kapal perintis ini kelihatan masih cukup gagah mengarungi ganasnya lautan luas tak bertepi. Asam garam lautan sepertinya semakin membuatnya gahar menghadapi tantangan alam dengan misi menghubungkan pulau-pulau terdepan negeri, membawa logistik kebutuhan masyarakat sekaligus "pengikat" NKRI.

Baju-baju pelampung tertumpuk di pojok belakang kantin. Lifeboat dan liferaft tersedia baik di port side maupun starboard side. Sekilas melihat kondisi dek bawah dan...ah terus terang secara keseluruhan aku cukup sedih melihat kondisi kapal ini. Semoga pemerintah semakin memperhatikan aspek hygiene dan keselamatan kapal-kapal perintis seperti ini. 

Kami duduk-duduk di deretan bangku di bagian haluan kapal dan ngobrol dengan para penumpang yang sebagian besar merupakan penduduk Miangas. Warga Miangas yang kami jumpai di atas kapal ini kelihatan ramah dan welcome terhadap "tamu" seperti kami. Meskipun seringkali mereka bertanya "ada tujuan apa ke Miangas?". Pandangan heran semakin terpampang nyata saat kami menjawab bahwa kami hanya ingin menjejakkan kaki di pulau terdepan paling utara Indonesia dan menikmati keindahannya, itu saja! Kami bukan bagian dari pemerintah, bukan LSM, bukan peneliti, nggak mewakili komunitas apapun, dan bukan pula mahasiswi yang mau KKN Tematik  di sana. Kami cuma lima orang cewek yang demen bertualang nggak jelas.

"Barusan ada orang kapal bilang sama saya, kirain mbak-mbak yang datang dari Jakarta itu masih mahasiswa, tapi kok muka-mukanya senior semua. Maka saya jawab saja bahwa mereka itu mahasiswa S2" kata Pak Aso. 

Tawa kami meledak seketika. Rencana kedatangan kami ke Miangas menggunakan KM Meliku Nusa ternyata sudah membuat heboh Pak Aso dan kawan-kawan. Haha, saking seringnya telpon untuk memastikan jadwal ya Pak? Padahal belum pernah kenal, haha!

Jono Marjono, ABK bertubuh gempal dan putra asli Miangas itu juga nggak kalah hebohnya. Apalagi jika sudah mengucapkan kata "gue" (sumpah, bahasa lu/gue-nya bikin ngakak). Nah, Abang Jono ini gencar sekali dalam melakukan pendekatan ke Ester, wkwk! Dia bahkan rela minta izin cuti ke Chief-nya sesampai di Miangas nanti demi bisa menemani Ester jalan-jalan di Miangas, mencari ketam dan kelapa, demikian janji-janji surganya!.


Bersama Pak Aso dan Jono Marjono di atas KM Meliku Nusa

Yup, ngobrol dengan ABK maupun para penumpang menjadi hiburan tersendiri bagi kami daripada cengok nggak produktif  selama dua hari perjalanan di atas kapal.  Tak kudengar keluh tentang bagaimana hidup di sebuah pulau terpencil di ujung utara sana, tak ada kudengar kesah tentang nasionalisme yang luntur dari bibir mereka. 

Meski angin cukup kencang di luar tetap nggak membuat kami masuk kamar untuk sekedar tidur-tiduran di siang bolong begini. Angin pula yang menerbangkan topi dan jepit rambutnya Ester serta sandal jepit sebelah kirinya Yuni. Semua barang itu tentu saja terhempas lalu jatuh ke laut kemudian bisa saja terbawa gelombang hingga Filipina, haha! Tapi Yuni lebih beruntung karena ada satu penumpang yang sandal kanannya juga terbawa angin lalu ia relakan sandal kirinya untuk dipakai Yuni. Maka meskipun berbeda warna dan merk, sandal jepit kanan dan kiri itu akhirnya dapat bersatu di kaki Yuni. Ah, aku makin percaya bahwa jodoh memang tak akan kemana dan kekuatan cinta mampu menyatukan apa saja. Eh, gue nulis apa ya barusan? Wkwk!

Kami juga bertemu dengan Kakak Sian, suami Ibu Dokter yang tadinya bertugas di Miangas. Sekarang Ibu Dokter tidak lagi berdinas di Miangas, beliau sebentar lagi akan melahirkan dan kini tinggal di Manado. Kak Sian pergi ke Miangas untuk melelang barang-barang milik mereka di Miangas.

KM Meliku Nusa ini tak langsung menuju Miangas, melainkan singgah di pulau-pulau lainnya yang berada di jalur sebelah barat Kabupaten Sangihe kemudian baru berlayar naik ke utara. Kapal ini berangkat dari Bitung, semalam berlabuh di Tahuna/Sangihe, pagi tadi sempat singgah sebentar di Kawaluso dan sekarang Pulau Kawio ada di depan mata. Di setiap persinggahan, kapal ini akan menurunkan ataupun menaikkan penumpang serta logistik. Kedatangan kapal di tiap dermaga pulau selalu disambut oleh gempita warga. Orang-orang berlarian, kendaraan bergerak mendekati, ramai sekali. Termasuk di Pulau Kawio ini. 

Dermaga Pulau Kawio
Bersama anak-anak Pulau Kawio (dan seorang Bapak juga;p)

Kapal ini tak lama bersandar di Pulau Kawio, tak cukup waktu untuk sekedar jalan-jalan di kampung tepian dermaga. Namun Ester dan Dian sempat turun sebentar untuk memberikan buku-buku bacaan kepada anak-anak di dermaga. Tetap belajar dan ceria ya, adik-adik sayang. 

Sirine kapal berbunyi lagi. Kapal perintis dengan body berwarna kuning dan putih ini meninggalkan Pelabuhan Kawio. Masih ada satu pulau lagi yang akan didatangi KM Meliku Nusa sebelum menuju Miangas yaitu Pulau Marore yang merupakan pulau terakhir di wilayah Kabupaten Sangihe.

Sama seperti saat di dermaga Kawio, maka suasana dermaga Marorepun begitu riuh saat kapal ini merapat. Di pulau ini, KM Meliku Nusa akan bersandar cukup lama karena ada dokumen kapal yang harus diurus ke Syahbandar. Para penumpang bisa turun ke dermaga dan membeli makanan untuk makan siang yang dijual oleh penduduk setempat.

Tepat sebelum kapal ini merapat, Bunda Yuli seorang Ibu asal Miangas yang sedari tadi ngobrol dengan kami ikut membantu meneriaki penjual makanan di seberang. Surprise aja!

"Nasi enam, ikan enam, sayur enam!" teriak Bunda Yuli.
"Iya, harus diteriakin dari sini, biar disisakan dan tidak keburu diambil orang lain" lanjutnya.

Kami berlima bergegas turun dari kapal. Ah, benar sekali! Semua orang berhamburan membeli makan siang di Pelabuhan Marore, banyak yang tidak kebagian. Untung saja kami masih bisa mendapatkan makanan sejumlah yang dipesan melalui teriakan Bunda Yuli tadi.

Pelabuhan Pulau Marore
Mengangkut barang-barang dari kapal

Ada apa di Pulau Marore?  Kami disambut sebuah gerbang bertuliskan "Welcome to Marore Island : The Border of Indonesia-Philippines". Ternyata pulau ini merupakan pulau terdepan Indonesia yang berbatasan dengan Filipina dari sisi sebelah barat laut. Di pulau ini juga terdapat kantor border crossing station Filipina. Hai lihat, ada sebuah patung gagah nan berwibawa yang letaknya kira-kira lima puluh meter dari gerbang Pulau Marore. Patung Soekarno Presiden RI pertama berdiri tegak di sana dengan jari telunjuk kanan mengarah ke arah Filipina! Bung Karno seolah memberi tanda "Ini Indonesia, jangan main-main!" Tak jauh dari patung Bung Karno, terdapat pula patok perbatasan RI. Sumpah, ini keren sekali!


Pose narsis di depan Perintis ;p
Patok Perbatasan NKRI di Pulau Marore
Patung Bung Karno di Pulau Marore
Maksi dulu, Kakak!

Meliku Nusa harus segera berlayar lagi. Mengarungi Laut Sulawesi hingga Samudra Pasifik. Kita akan menuju satu titik di sana...Pulau Miangas!

Satu atraksi luar biasa yang langsung dipersembahkan alam sempat melintas di hadapan kami entah di perairan dengan koordinat berapa. Ikan lumba-lumba berloncatan di bagian kanan dan kiri kapal. Banyak sekali! Secara spontan kami semua berteriak kegirangan seperti anak kecil yang baru dibelikan balon toet-toet. "Loncat, kakak! Loncat, kakak!" Hah, apaan sih maksudnya? Haha! 

Laut biru menghampar dalam saujana. Mendung berarak di langit siang. Nyaris tak percaya bahwa perjalanan kami sudah sejauh ini.

"Itu kapal Abu Sayyaf" teriak Jono Marjono, saat terdengar semacam klakson dari bridge. Jono menunjuk sebuah titik serupa kapal kecil nun jauh di sana. Ah, tentu saja Jono Marjono sang maskot Miangas hanya bercanda saja.

Waktu terus berjalan, dan kami masih saja duduk-duduk di tempat yang sama. Tak ada niatan masuk kamar sama sekali. Ssst, kami menunggu senja. Karena senja di laut lepas selalu juara! Percayalah!


Indahnya berdua denganmu...(halah!)
I'm sailing...I'm sailing

Kami masuk ke kamar ketika malam telah menjelang. Sisa nasi tadi siang, berteman abon menjadi menu santap malam. Musik mana musik?

"Playlist gua kebanyakan lagu-lagu korea sih" kata Yuni sambil menghidupkan Mp3 player berspeaker itu.

Hah, korea? Tidaaak! Tentu saja kami protes.

"Tenang-tenang, ada lagu-lagu Cold Play sama Chrisye kok. Tapi korea dulu ya, satu-dua lagulah" celetuk Yuni.

Akhirnya kami terpaksa mendengarkan gedebag-gedebug lagu K-Pop yang nggak jelas dan serasa seperti benda asing di kupingku. Yakin cuma satu-dua lagu? Tentu saja tidak! Boyband K-Pop itu tetap terus bernyanyi.

Eh, nggak ada yang mandi ya? Ngapain mandi keleus! Hahaha! Ups, hanya Dian yang doyan mandi. Yang lain mah lagi implementasi go green, hemat air! Wkwk!

Selesai makan (dan Alhamdulillah Wa Syukurilah, akhirnya suara merdu Chrisye mengalun merdu di kamar 211, menggantikan suara Mas-Mas K-Pop). Kami harus beres-beres. Kabarnya dini hari nanti kapal ini bakal sampai di Miangas! 

Tidur-tidur...! Alarmnya disetel ya! Mimpi kita nyaris tercapai, kaki ini akan segera menjejak titik paling utara NKRI!

3 Mei 2016

Jam dua pagi kami bangun. Tak lama setelah itu suara sirine kapal berbunyi. Kami nyaris sampai, saudara-saudara!

Tapi ternyata kapal tidak bisa langsung bersandar di pelabuhan karena belum ada petugas yang mengaitkan tali kapal ke boulder dermaga. Walhasil, kapal ini akhirnya hanya ngapung-ngapung saja dan baru bisa merapat kira-kira jam 05.30 pagi nanti. Baiklah, mari kita lanjut tidur lagi. 

Dari jendela kamar, terlihat langit mulai terang. Samar kulihat tulisan Pelabuhan Miangas menyala dengan lampu LEDnya. KM Meliku Nusa bergerak mendekat. Setelah satu hari dua malam perjalanan di atas kapal....now here we are! 


Pelabuhan Miangas

Kami keluar dari kamar dengan gembolan masing-masing beserta kardus-kardus sembako itu. Memandang Miangas yang tinggal sepelemparan batu saja. Terima kasih tak terhingga kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa!

Satu persatu kami turun dari kapal. Gelombang cukup kuat di dermaga, hingga membuat gangway a.k.a jembatan kayu penghubung kapal dengan dermaga bergoyang nggak stabil. 

Dua orang pemuda berkaos loreng ala tentara menjemput kami. Mereka mengenalkan diri sebagai Aris dan Ari. Kirain mereka beneran anggota TNI lho ya, hebat juga kita berlima sampai dijemput TNI segala! Haha! Ternyata Aris dan Ari adalah salah dua dari lima orang Tim Nusantara Sehat yang ditempatkan di Pulau Miangas yang telah dikontak sebelumnya.

Sebuah gerbang bertuliskan "Selamat Datang di Pulau Miangas" menyapa kedatangan kami. Aih, aku sudah sampai Miangas!


Berjalan kaki sambil melihat kanan-kiri. Cukup surprise karena kondisi Miangas yang kusaksikan ini, jauh di atas ekspektasi. Jalan utama sudah beraspal. Tepat setelah gerbang terdapat kantor pelabuhan yang cukup bagus. Rumah-rumah penduduk yang tertata rapi dan warung-warung yang bertebaran. Sebuah Kantor PLN, Kantor Camat, Polsek, dan lain-lain. Aku nggak pernah membayangkan Miangas "semaju" ini jika dilihat sepintas dari pembangunan infrastruktur yang ada. Kami juga melewati border crossing station Filipina, berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu yang kabarnya agak spooky, hiii...!


Di depan Border Crossing Station-nya Filipina di Pulau Miangas

Yo wis, akhirnya kami sampai di basecampnya Tim Nusantara Sehat yaitu di Puskesmas Pembantu (Pustu) Miangas. Di komplek Pustu itu terdapat rumah dinas dokter yang kamarnya kosong dan bisa menjadi tempat kami menginap karena Ibu Dokter (Istri Kak Sian) sudah tidak menempatinya lagi. Kami berkenalan dengan Tim Nusantara Sehat lainnya yaitu Amel dan Fida, serta satu orang lagi (tapi dia bergegas mengejar kapal Meliku Nusa yang langsung berangkat ke Bitung pagi ini juga). Selain Tim NS, di Pustu ini juga tinggal dua orang Bidan PTT yaitu Selvi dan Santi. Salam kenal semuanya!


Ah iya, sepertinya aku harus ngiklan sedikit tentang Nusantara Sehat.  Nusantara Sehat adalah program dari Kementerian Kesehatan berupa penempatan tenaga kesehatan di Puskesmas DTPK (Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan) dan DBK (Daerah Bermasalah Kesehatan) berbasis tim interprofesi. Maaf banget, Ibu Nila (Menkes Kabinet Kerja). Kalau nggak gara-gara pergi ke Miangas ini, saya blas nggak tahu kalau ada program seperti ini di bidang kesehatan. Seandainya pada jaman dulu kala sudah ada program seperti ini, pasti saya sudah ndaftar duluan. Serius :-)

Kembali ke laptop! Mari mandi dulu, sarapan, terus...sowan ke rumah Bapak Mangkubumi I (Ketua Adat). Masyarakat Miangas memang masih menjunjung tinggi adat istiadat setempat yang berlaku sejak zaman leluhur. Di samping ajaran agama, adat juga menjadi rujukan bagi perilaku dan kebiasaan hidup sehari-sehari masyarakat. Eh, ketemu sama Bapak Camat Miangas di depan Pustu. Sekalian berkenalan dan kami minta izin untuk tinggal beberapa hari di sini. 

Aris menemani kami berlima ke rumah Bapak Mangkubumi, semacam kulonuwon atau permisi bahwa kami berkunjung ke pulau ini. Tinggal jalan kaki saja dari Pustu. Ramai banget nih rumahnya Pak Mangku, lagi banyak tamu di terasnya. Setelah kami dipersilahkan masuk, ternyata oh ternyata...ini tho Bapak Ketua Adatnya? Kemarin kami sudah ketemu dan sempat ngobrol dengan beliau di KM Meliku Nusa. Ketemu dengan Mbak Septi juga, anak perempuan Bapak Mangku. Mbak Septi menyuguhkan minuman spesial asal Filipina yaitu Royal Kasalo. Rasanya? Hmm, mirip Fanta Orange itu! Yeah, setidaknya kami sudah minum Fanta Made in Philippines! Kami ngobrol dengan akrab sambil menunggu redanya hujan yang datang tiba-tiba.


Fanta-nya Filipina (Photo Courtesy of Yuni Rachma)

Pamit dari rumah Bapak Mangku dengan satu pesan dari beliau bahwa jika ingin jalan-jalan ke Bukit Keramat sebaiknya besok saja karena hari ini baru ada warganya yang meninggal. Salah satu adat yang berlaku di Miangas ini adalah jika ada kemalangan, maka penduduk tidak diperkenankan untuk bekerja sebagai tanda penghormatan dan duka cita. 

Minta izin ke Bapak Mangku sudah, terus ke siapa lagi? Bapak Camat juga udah ketemu. Polsek juga sudah (karena beliau menjadi salah satu tamu yang duduk di teras rumah Bapak Mangku). Berarti urusan perizinan sudah clear semua. Kami siap untuk diajak jalan-jalan kemana saja ditemani gank Nusantara Sehat yaitu Aris, Ari, Amel dan Fida. Eh, abang Jono Marjono ikutan juga! Dia beneran cuti lho ternyata! Ester, tuh si Abang laksana merpati yang tak pernah ingkar janji! Huahaha!

Destinasi pertama adalah pergi ke Bandara Miangas. Masih calon bandara sebenarnya karena memang sedang dalam proses pengerjaan. Dari Pustu kami berjalan ke arah barat melewati Pos Pangkalan TNI AL (POSAL), Tugu Miangas dan Patok Perbatasan NKRI yang terletak persis di dekat sebuah pantai, Pantai Racuna namanya.

Tugu Miangas, kondisinya sangat menyedihkan. Lantainya sudah rusak. Catnya  mengelupas. Sebuah relief peta Indonesia di tubuh tugu itu telah kusam dimakan zaman. Tinggal lambang Garuda Pancasila berwarna kuning yang masih tampak gagah menempel di bagian atas tugu itu. Mari abadikan dulu, menjadi satu tengara, bahwa aku pernah di sini...ujung paling utara Indonesia.


Tugu Miangas & Patok Perbatasan NKRI di Miangas

Dari  Pantai Racuna, kami tinggal berjalan sedikit lagi ke arah utara. Di sanalah Bandara Miangas berada. Lahan yang semula perkebunan sawit telah disulap menjadi bandara yang cukup representatif. Alat-alat berat masih terlihat di sana-sini. Pembangunannya memang langsung dikebut begitu urusan pembebasan tanah selesai. Wah, landasan pacunya sudah jadi! Demikian juga dengan gedung terminal dan bangunan towernya. Keren juga nih Bandara Miangas. Tapi yang perlu dipikirkan dan dibangun adalah akses ke/dari bandara ke pemukiman penduduk yang belum ada. Hanya ada jalanan kampung selebar 1 - 1,5 meter atau bahkan masih berupa jalan tanah.


Laporan pandangan mata tentang pembangunan Bandara Miangas

Kami duduk di bangku-bangku bandara di calon gedung terminal yang masih berbau cat. Aku tersenyum puas. Memang sudah saatnya negeri ini membangun daerah perbatasan dengan serius. Fasilitas transportasi udara akan mempercepat pergerakan ekonomi, alternatif penghubung pulau terdepan ini dengan wilayah nusantara serta mendukung kepentingan strategis lainnya. Kelak, tak ada lagi masyarakat Miangas yang hanya bisa menunggu kapal dengan harap-harap cemas dan bertanya "adakah kapal yang bersandar hari ini?"

Kami pulang, kembali ke Pustu. Melewati jalan-jalan desa dengan pemandangan kebun sawit, kelapa dan laluga. Laluga adalah sejenis talas yang merupakan makanan pokok warga Miangas sebelum mereka mengenal beras. Laluga juga bisa menjadi bahan makanan cadangan warga jika cuaca buruk dan kapal yang membawa logistik tidak dapat menembus Miangas. Dalam perjalanan, Tim NS juga menunjukkan keberadaan sumber air bersih yang ada di pulau ini.

Baiklah, biar ceritaku lebih komplit, simak ya informasi tambahan tentang Miangas berikut ini! Hehe! Pulau Miangas ini luasnya sekitar 3,15 kilometer persegi, berada di gugusan Kepulauan Nanusa di Kabupaten Kepulauan Talaud Propinsi Sulawesi Utara. Di sini hanya ada satu desa yaitu Desa Miangas dan satu kecamatan khusus yang disebut sebagai Kecamatan Khusus Miangas. Jumlah penduduknya sekitar 700 orang lebih dan mayoritas beragama Kristen Protestan. Mata pencaharian penduduknya rata-rata adalah nelayan dan petani kopra. Untuk sarana pendidikan, terdapat satu SD, satu SMP dan satu SMK. Sementara fasilitas kesehatannya terdiri dari satu Puskesmas dan satu Puskesmas Pembantu (Pustu). Tapi nggak ada dokter sama sekali di pulau ini. Duuh!

Kebutuhan listrik digerakkan oleh PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dan menyala 24 jam lho! Bagaimana dengan urusan komunikasi? Hanya kartu Telkomsel yang bisa berfungsi di sini. Apalagi? Oh ya, nggak ada sarana transportasi umum di sini, bersiaplah untuk olahraga jalan kaki kemanapun (pasti jarang penduduk yang kena obesitas dan kolesterol, haha!). Fasilitas hotel atau penginapan juga tidak ada.

Capek juga jalan seharian ini. Kami tepar bergelimpangan seperti ikan pindang di kamar kosong rumah dinas dokter. Entah jam berapa, antara keadaan sadar dan tidak aku mendengar suara "Sore ini kita mau berenang atau mau tidur?" Dan spontan kami jawab "tiduuuur!" Wkwk! Sadar-sadar sudah jam lima sorean mungkin. Aduh, parah! Masa jauh-jauh sampai Miangas cuma pindah tidur?

Kami rame-rame ke Pantai Racuna, lokasi yang siang tadi sudah kami datangi. Ternyata jika sore hari, hampir seluruh penduduk Miangas tumplek blek di tempat ini. Tua, muda, segala usia! Mungkin karena pantai ini letaknya paling dekat dengan pemukiman penduduk. Anak-anak berenang dan bermain pasir dengan ceria. Para pemuda terlihat bermain bola di dekat Pos Pangkalan TNI-AL. Para ibu duduk-duduk di pinggiran pantai, ngobrol sambil ngerumpi mungkin, hehe! Di awal kedatangan kami di pantai itu, masih banyak mata memandang penuh selidik dan heran. Apalagi kami pakai acara mengibarkan bendera merah putih pula di dekat Patok Perbatasan, haha!. Tapi lama-lama, kamipun bisa ngobrol dan seru-seruan dengan mereka!

Nelayan Miangas
Mari ngerumpi ...;p
Bermain sepakkbola di depan menara penjaga TNI-AL

Sayang, senja di ufuk barat tertutup awan. Tak ada senja indah di cakrawala sore ini. Tapi kekecewaanku hilang seketika saat aku melihat sebuah pemandangan yang luar biasa. Saat kapal nelayan datang dan merapat ke pantai, semua orang berhamburan menuju kapal nelayan untuk membeli ikan. Bagi warga yang ikut membantu menaikkan kapal ke daratan akan mendapatkan ikan gratisan. Begitu seterusnya. Seru aja melihatnya. Harga ikannya? Busyet, murah pakai banget! Aku tersenyum. Sore ini, di titik paling utara Indonesia...aku melihat sebuah kehidupan yang sederhana dan penuh sukacita.

Mau bikin istana pasir
Kapalnya mau diangak ke daratan
Momong anak :-)
Menjelang malam, hanya kamu dan aku... #Eaaa


Malam hari di Pustu. Ikan yang dibeli dari nelayan di Pantai Racuna sore tadi siap untuk dieksekusi. Aris, Ari dan Jono yang bakar-bakar ikan di depan Pustu, dibantu pula oleh Joni (anak Miangas yang memang suka main ke Pustu). Ester dan Yuni juga sibuk bikin bakso ikan. Aku makan aja ya, haha! Nanti aku cuci piring deh, janji! Jujur saja, aku kehilangan passion untuk memasak di trip ini setelah Chef Kusuma pergi...hiks! 

Setelah kenyang makan, ayo kita jalan lagi! Melihat suasana dermaga di malam hari pasti asyik sekali. Dan benar, saudara-saudara! Angkasa raya malam di dermaga Miangas sungguh breathaking abis! Cerah dengan bintang-bintang bertaburan bahkan milky way! Nyesel banget nggak bawa tripod untuk mengabadikan momen ini dengan maksimal. Aku speechless saking kerennya. Boleh nggak kita tiduran saja di sini sampai pagi? 
  
 
Bang, ikan bakarnya satu. Gak pake lama ya Bang...


Kami kembali ke Pustu, tapi dalam perjalanan pulang, kulihat Dian malah ambil jalan ke kiri. Ternyata Dian mau ke POSAL, nyari Wifi gratis di sana! Hah? Aku baru tahu kalau ada fasilitas wifi di pulau ini. Hajar, ayo rame-rame ke POSAL! Agak-agak rindu dengan dunia maya soalnya, wkwk! Sesampainya di POSAL, wuih ramainya nggak ketulungan! Banyak orang berkumpul, tapi sibuk dengan hape-nya masing-masing. Hmm, ikutan sibuk juga ah, haha!

Hari pertama di Miangas, banyak kejutan! Tak sabar menunggu esok...

4 Mei 2016

Selamat pagi, beranda Nusantara paling utara! Chef Ester dan Yuni bikin sarapan. Aku tinggal makan. Tapi aku cuci piring lagi kok, tenang aja! Haha!

Hari ini jadwal jalan-jalan padat sekali. Kami akan ke SMP Miangas, menemani Ester menyerahkan buku-buku bacaan. Setelah itu ke Bukit Keramat, lalu...pokoknya ngelilingin pulau ini deh. Kami berangkat full team, demikian juga Tim NS, ditambah Kak Paski dari TNI AL, ada Kak Afdal dari Departemen Kelautan dan juga Kak Hein, warga lokal yang menjadi guide.  

Kami diterima oleh Ibu Kepala Sekolah dan beberapa orang guru. Ibu Kepala Sekolah meminta kami mengenalkan diri satu persatu. Aduh, saya malu Bu...Hihi! Eh, kok nama sekolahnya  "SMP 2 Nanusa" bukan "SMP 1 Miangas" ya? Iseng nanya ke Ibu Guru. Ternyata hal itu dikarenakan sebelum Miangas menjadi Kecamatan Khusus, pulau ini masuk Kecamatan Nanusa, sehingga SMP ini tetap terdaftar dengan nama itu hingga sekarang. 

"Semoga buku-buku bacaan ini dapat menambah koleksi di perpustakaan sekolah dan berguna bagi para siswa di sini" ucap Ester, sambil menyerahkan buku-buku bacaan yang dibawanya dari Jakarta. 


Ester bersama Ibu Kepala Sekolah


Kami berangkat ke Bukit Keramat  setelah pamit dengan para guru SMP Miangas. Belum ke Miangas namanya jika belum mengunjungi Bukit Keramat, begitu kata Bapak Mangkubumi kemarin. Bukit Keramat adalah sebuah bukit yang letaknya di bagian utara pulau ini. Di bukit tersebut tersimpan meriam-meriam yang konon merupakan peninggalan dari nenek moyang Miangas yang digunakan untuk berjuang melawan para penyerang. Guna mengingat jasa senjata-senjata dan juga lokasi tersebut yang merupakan benteng pertahanan terakhir para pejuang Miangas, maka tempat itu disebut sebagai Bukit Keramat dan sangat disakralkan oleh penduduk setempat.

Kami bertemu dengan beberapa orang petugas di Pos Navigasi dalam perjalanan ke bukit. Satu teko es kelapa diberikan ke kita sebagai bekal jalan. Awalnya sih malu-malu menerimanya, tapi mau juga akhirnya! Pegangin ya, Ari (tapi jangan dihabisin sendiri! Hehe!) Eh, namanya juga ke bukit ya pasti pakai acara naik-naik ke puncak bukit. Tapi tenang saja, sudah ada tangga-tangga semen untuk naik ke Bukit Keramat. Ayo, Yuni...kamu bisa!!!

Berhenti sejenak dan melepas lelah di dekat sebuah pohon besar. Hmm, katanya ini merupakan titik daratan tertinggi di Miangas. Dari sini kami bisa melihat dermaga, pemukiman penduduk, bandara dan juga sebuah pulau kecil di sebelah selatan sana bernama Tanjung Wora. Cantik sekali.


Naik-naik ke puncak bukit

Pemandangan dalam perjalanan ke Bukit Keramat

Hadeuh, kalau sudah duduk pasti lupa berdiri. Ayo jalan lagi, perjalanan masih jauh! Mendaki lagi kita! Mari kita kasih semangat untuk Yuni! Es kelapa dulukah? Haha!

Sebelum kami sampai di tempat yang dituju (tempat meriam-meriam tua berada), Kak Hein sebagai penduduk lokal yang mengenal daerah itu sempat berhenti di semacam "gerbang" dimana terdapat tulisan "Wui Batu (Gunung Keramat)" dan membacakan sesuatu, lirih, semacam doa dan minta permisi kepada para leluhur. Setelah selesai, baru kami lanjut lagi menuju sebuah bangunan kecil dan beratap. Di situlah empat buah meriam tua diletakkan. Sebagai bagian dari adat, kami memasukkan uang koin ke dalam meriam tersebut sebagai bentuk penghormatan. Di sekitar tempat meriam ini, aku juga melihat susunan batu-batu menyerupai tembok meski kondisinya sudah tidak utuh lagi. Ini rupanya benteng pertahanan yang dibangun oleh nenek moyang Miangas dulu.

Gerbang menuju Wui Batu
Inilah meriam-meriam peninggalan para pejuang Miangas di Bukit Keramat

Hari semakin siang dan saatnya kami turun. Kali ini Kak Hein memilih jalur yang berbeda alias bukan jalan pas naik tadi. Jalur ini lebih dekat untuk sampai ke pemukiman katanya. Okelah kalau begitu. Tetapi, apa yang terjadi saudara-saudara.! Jalurnya parah, parah banget! Jalur tersebut memang turun, tetapi sangat curam dan kami harus berpijak pada batu-batu. Jalurnya pun sebenarnya nggak jelas, serasa membelah hutan. Hanya pohon, ranting dan akar yang bisa kami pegang sebagai alat bantu untuk terus berjalan turun dan sesekali ngesot. Ampun! Di antara kami tidak ada yang membayangkan akan melewati trek semacam ini. Ternyata Miangas punya beginian euy! Kulihat Yuni, Amel dan Fida bahkan Kak Adfal dan Kak Paksi hanya pakai sandal jepit! Waduh, terbayang kan gimana susahnya! Kak Hein, mengapa Kakak pilih jalur ini?  Atau kita sedang buka jalur? Haha!


Membuka jalur baru ;p (Photo Courtesy of Dame Sianipar)

Tapi syukurlah, setelah berjibaku di tengah hutan dan melintasi jalur berbatu-batu yang nggak jelas itu, akhirnya kami menemukan kembali peradaban berupa jalan perkampungan. Hah! Lega rasanya!  Jalan itu akhirnya tembus ke Pantai Wolo, tempat digelarnya Festival Manami setiap tahunnya. Saat Manami, masyarakat Miangas akan berkumpul di Pantai Wolo dan dengan kearifan lokal yang telah dimiliki secara turun-temurun mereka akan mengurung ikan pada saat air laut mencapai surut. Tahun ini festival tersebut akan diadakan pada tanggal 21 Mei nanti. Sebulan sebelum pelaksanaan, seluruh warga dilarang untuk mendekati areal pantai itu, atau harus bayar denda 1 juta rupiah jika melanggarnya!

Karena masih larangan, kami hanya duduk-duduk di sebuah aula di dekat pantai sambil minum air kelapa yang langsung dipetik di TKP. Serahkan ke Kak Hein yang ahlinya memanjat pohon kelapa, kami mah tinggal minum saja. Seger! Sekaligus kenyang (karena kalau dapat kelapa yang tua kan dagingnya ngenyangin juga), hehe!  

Amel, lagi mikirin siapa hayo...
Kak Hein, sang pemanjat handal!
Bang, kelapanya satu dong Bang ;p

Masih terus membakar lemak dengan berjalan kaki, ternyata kami sampai di bagian belakang bandara. Bandara yang siang itu panasnya pol-polan. Sebuah insiden terjadi, sandal Kak Paski putus! Kasihan! Kebayang kan harus bertelanjang kaki memijak tanah di sini?


Para Mama sedang mencari Laluga

Next destination? Tentu masih ada. Kami menuju ke Goa Kamenangan. Ternyata di Miangas ini juga terdapat areal dengan batu karang dan goa. Nah, satu goa yang kami datangi adalah Goa Kamenangan. Goanya sih kecil saja, tapi yang bikin seru adalah cara masuk dan keluarnya yang harus merayap karena melewati celah bebetuan yang sempit sekali. Ini sebenarnya sudah masuk kategori Confined Space Entry, wkwk!


Goa Kamenangan
Dame, lu lagi ngapain cuy?

Capek ya Kak..?

Kami tepar setelah sampai di dekat Pantai Racuna. Terduduk lesu tak berdaya di dekat sebuah warung yang ternyata tutup pula. Bahkan Amel sudah pamit di sebuah persimpangan jalan sebelum pantai. Ia langsung kembali ke Pustu. 

Masih ada satu tujuan lagi yaitu Tanjung Wora. Tapi kami sedang lapar-laparnya. Haruskah kami pulang ke Pustu dulu, makan lalu ngumpul lagi kemudian ke Tanjung Wora? Atau...kita langsung saja ke Tanjung Wora dan mengisi perut dulu dengan makanan ringan di warung? Oke, kita sepakat dengan pilihan dua!

Tanjung Wora adalah pulau kecil di sebelah selatan Miangas. Jika laut sedang surut, kita bisa menyeberang ke sana melewati batu-batu karang yang seolah menjembatani Miangas dan Tanjung Wora. Namun jika air laut pasang, maka akses ke sana menjadi tidak semudah itu. Aku ingat dua hari yang lalu saat KM Meliku Nusa nyaris merapat ke Pelabuhan Miangas, aku melihat pulau kecil dengan salib putih besar di ujungnya. Keren banget! Ternyata itulah Tanjung Wora. Beruntung bahwa siang ini kondisi laut sedang surut. Kami berhasil menyeberang tanpa aral yang berarti. Perjalanan di Tanjung Wora ini bahkan lebih seru karena banyak anak-anak kecil yang ikutan.Ayo kita bikin rame! 


Menyeberang ke Tanjung Wora

Saat kami turun dari Tanjung Wora dan menyeberangi batu-batu karang, tampaknya air laut mulai beranjak pasang. Aku dan Yuni berjalan beriringan. Tanpa sadar...di antara debur ombak pantai ini, kami menyanyikan lagu Tanah Airku. "Tanah airku tidak kulupakan. Kan kukenang selama hidupku. Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu. Tanahku yang kucintai, Engkau kuhargai..".

"Saya juga bisa nyanyi lagu itu" kata Agus yang berjalan di samping kami.
"Ya sudah, ayo kita nyanyi bareng" jawab Yuni.

Maka kami bernyanyi bersama, sambil menyeberangi pantai, melewati batu-batu karang, berlatar deburan ombak Pantai Tanjung Wora. Indonesia memang keren sekali! Ah, meskipun sebenarnya suaraku fals kalau nyanyi, fals sefals-falsnya!

"Saya juga bisa nyanyi lagu Miangas" kata Agus 
"Memang ada lagu Miangas?" tanyaku dengan polos
"Ada!" jawab Agus, diamini oleh anak-anak lain yaitu Marselino, Vano dan Fabio.

Spontan anak-anak itu langsung bernyanyi. Tapi suara ombak yang cukup gemuruh disertai angin, membuatku tak begitu ngeh dengan syair yang mereka nyanyikan.

"Nanti setelah sampai di seberang, kalian nyanyi lagu Miangas ya. Ntar Kakak ambil videonya. Oke?" kataku. 

Akhirnya kami berada di seberang. Berdiri di atas beton-beton penahan abrasi di tepian pantai. Agus, Fabio, Marselino dan Vano berdiri berjajar. Mereka siap bernyanyi.

"Pulau Miangas jauh terpisah
dari kepulauan Indonesia
Satu pulau perbatasan. 

Itu sungguh, tanahku pujaanku
Walaupun sering-sering ditimpa bencana alam

Tinggilah harapan setiap masa
Kepada Tuhan Yang Maha Esa
Hidupku aman sentosa"

Merinding! Suara keempat anak Miangas ini berhasil meluluhlantakkan hatiku. Yuni bahkan nyaris berurai air mata. Maknyes rasanya mendengar lagu itu hingga menembus jantung. Syairnya mengharukan tapi penuh rasa optimis. Rasa cinta terhadap tanah kelahiran yang begitu terasa. Sebuah moment yang pasti akan membuatku akan terus mengenang Miangas.

Perjalanan seharian ini kita tutup dengan bersantai di tepian pantai dan minum air kelapa yang sudah disiapkan Jono. Tuhan, terima kasih telah kau jadikan nyata satu mimpiku untuk menginjak satu surga di tanah tercinta! 

Vano, Agus, Marsellino dan Fabio

Terasa sayang melewatkan segala apa yang di Miangas ini begitu saja. Apalagi besok kami akan pulang, itupun jika Kapal KM Sangiang yang menurut kabar burung akan datang, benar-benar berlabuh esok hari. Akan kami nikmati setiap detik yang tersisa...

Sore ini kami pergi lagi ke Pantai Racuna, sama seperti kemarin. Pantai ini sudah dipadati oleh warga. Ester, Dame dan Dian turun berenang dan snorkelingan. Aku dan Yuni duduk-duduk di pinggiran, menikmati pantai dengan segala atmosfernya yang luar biasa. Keceriaan anak-anak yang tersirat dari suara tawa dan teriakannya, semangat warga saat menyambut kapal nelayan datang serta kebahagiaan wajah nelayan saat mendapatkan banyak ikan. Pemandangan yang membuatku betah berlama-lama. Ah, bahkan Aris ikut-ikutan membantu nelayan menaikkan kapal ke daratan. Pasti bakal dapat ikan gretongan entar, wkwk! Atau Ari yang tiba-tiba muncul membawa ikan besar dan minta difoto! Haha! Sore ini juga semakin sempurna, dengan hiasan senja merekah di barat sana! 


Siap angkat! Satu...dua....
Salam metaaallll....!!!
Salam metaaaalll lageee....!!!
Mancing mania! Mantap...!
Metalhead of Miangas! Yeah!



Senja di Pantai Racuna

Patok NKRI berlatar senja...

Malamnya kami jalan lagi, nyari bambuta di sekitar dermaga. Pencarian ini dikomandoi oleh Joni dan Agus, dua anak Miangas yang datang tepat waktu jam tujuh malam di Pustu. Bambuta adalah nama lokal untuk keong laut yang bisa dikonsumsi. Maka seperti pencari bambuta yang profesional, dengan senter masing-masing, kami sibuk menundukkan kepala dan berjalan di antara karang dalam kegelapan malam, terus mencari keong yang dimaksud di sela-sela karang. Tak jua menemukan bambuta di area depan kantor pelabuhan, kamipun pindah ke sisi seberangnya. 

Yuni, Aris, Joni dan Agus terus mencari dengan semangat 45. Sementara Amel, Ester dan aku akhirnya memilih duduk di pinggiran pantai. Langit menawan yang ditaburi bintang dan milky way ini lebih menggoda untuk dinikmati dan dikagumi. 


Malam-malam keluyuran demi Bambuta

Pasukan Pemburu Bambuta!

Kumpulin terus Bambutanya!

Langit Miangas malam itu...

Angin terus berhembus, lebih dari sepoi. Gelombang memecah karang, suaranya bagai orkestra alam yang konstan bermain meski tanpa conductor. Hanya sekedar duduk, menatap langit, menjadi saksi indahnya langit Samudra Pasifik. Ada yang bisa bermain gitar di sini? Aku tahu ini bukan Anyer, tapi lagu Anyer 10 Maretnya Slank tiba-tiba terngiang...

"Malam ini, kembali sadari ku sendiri
Gelap ini, kembali sadari kau tlah pergi.
Malam ini, kata hati harus terpenuhi
Gelap ini, kata hati ingin kau kembali,
Hembus dinginnya angin lautan
..............................."

Waduh, bahaya! Baper gue! Skip-skip...! Markipul, mari kita pulang! Sudah seember penuh bambuta kita dapatkan!

Pustu kembali ramai. Hasil tangkapan ikan sore tadi dimasak Woku oleh Jono Marjono. Ia juga menepati janjinya untuk membawa lobster. Lobster segede gaban yang harganya cuma sepuluh ribu perak per-ekornya! Eh, jumlahnya empat atau lima, Jono?  

Chef Ester kembali membuat bakso ikan. Kali ini dia membuka kelas masak khusus bakso ikan kepada Tim NS. Nah, kelak bisa jadi kerja sampingan kan. Kalian bisa buka gerai bakso di Pustu. Haha! Warung Bakso Nusantara Sehat, dijamin sehat dan halalan toyyiban! 

Jono Marjono Uli Aril dengan Lobsternya
Ingat kolesterol!

Joni tak mau pulang. Ayahnya terus mencarinya tapi dia malah ngumpet di pagar Pustu. Dinasehatin tapi tetep nggak mau pulang juga, padahal sudah lebih dari jam 11 malam. Bandel bener!

"Hei Joni, jangan bersembunyi kamu. Kakak punya mata yang transparan, bisa lihat kamu dimanapun! Ayo keluar, pulang, sudah malam!" seru Dame dengan tegasnya.

Joni akhirnya mau pulang. Tapi kami tentu saja tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Dame yang katanya punya mata transparan! Wkwk!

Joni dan Agus, dua anak yang kerap main ke Pustu dan ngintilin kami. Joni yang badung serta Agus yang cenderung pendiam. Yuni nambahin cerita, tadi saat membuang keong yang nggak bisa dimakan, Agus sempat bertanya kapan kami pulang? Yuni menjawab bahwa kami akan pulang besok dengan KM Sangiang. Tahu nggak reaksi Agus?

"Kapal Sangiang itu jarang merapat, Kakak. Nanti kita doakan kapal itu kena badai dan tidak jadi merapat kemari. Ini kita belum kasih Amin, Kakak. Biasanya kalau sudah kita kasih Amin, Tuhan akan kabulkan doa kita" 

Ah, meleleh aku mendengarnya, terharu! Anak-anak Miangas ini memang spesial. Kadang aku melihat "ringannya" hidup mereka. Sekolah dan bermain, tanpa tuntutan-tuntutan lain. Meskipun hidup di pulau perbatasan begini pastilah tak mudah, tapi mereka pasti punya mimpi. Mimpi untuk meraih kehidupan yang lebih baik suatu hari ini. 

Hari ini begitu banyak cerita. Yang bahkan aku tak mampu merangkumnya saking banyaknya. Besok kami pulang. Itupun jika Sangiang datang....

5 Mei 2016

Miangas, selamat pagi! 

Rasanya enggan meninggalkan tempat ini. Dua hari yang sangat menyenangkan. Tapi berita kepastian apakah KM Sangiang akan merapat hari juga belum juga kami dapatkan. Aris dan Kak Sian terus menghubungi siapapun yang bisa memberikan kabar. Yang agak pasti sih KM Sabuk Nusantara 38 akan sampai Miangas, tapi lusa nanti. 

Ya sudahlah, kita tunggu saja berita baiknya. Eh, kemana lagi kita pagi ini? Ke  Patung Santiago yuk! Tapi langitnya sedang kurang bagus untuk menjadi latar foto, kita tunggu sampai biru! Mari ke Pantai Racuna dulu.

Dame dan Dian snorkelingan di sana bersama beberapa anak-anak Miangas yang memang menjadikan laut sebagai taman bermainnya. Anak-anak yang bahagia di mataku. 

"Kakak, lihat...ini kacamata saya" kata Joni dan Vano sambil menunjukkan kacamata renangnya. Bukan terbuat dari plastik made in pabrik seperti yang ada di pasaran. Kacamata itu terbuat dari kayu dan kaca. 
"Bikin sendiri ya? Namanya apa?" tanyaku
"Kacamata laut" jawab mereka. Wkwk, kacamata laut! Baiklah! 
"Kacamata lautnya difoto, Kak" lanjut mereka

Senyum bocah-bocah Miangas, pada sebuah pagi
Loncaatttt....!
Kacamata renang handmade, hanya di Miangas!

Pagi ini, tak terlihat kegiatan di atas kapal tongkang untuk mendukung pembangunan dermaga ferry. Tongkang tersebut berada di ujung jetty calon dermaga. Bersama bocah-bocah Miangas, Dian dan Dame menuju ke arah tongkang tersebut. Anak-anak itu juga bergantian meminjam masker dan fin yang dipakai Dame, serasa pengen nyobain "barang asing" yang baru pertama kali dilihatnya. Yup, anak-anak itu dibesarkan oleh alam dan terbiasa menyelami lautan tanpa alat bantu apapun.  


Menyusuri papan-papan di atas jetty calon dermaga ferry

Joni & The Gank in action (Photo Courtesy of Dame Sianipar)

Salam Metal dari Agus! (Photo Courtesy of Dame Sianipar)

Aku berjalan. Kembali memotret apapun yang bisa kuabadikan di tempat spesial ini. Berhenti di depan banyak prasasti berupa tulisan tentang nasionalisme tak jauh dari Pos Pangkalan TNI AL. Sebuah relief peta Indonesia menghiasi bagian bawah sebuah tugu di samping batu-batu prasasti itu.

"Ini Miangas...!" seru seorang bocah sambil menunjuk sebuah titik di relief peta itu.
"Pinter! Kalau ini pulau apa?" tanyaku sambil menunjuk Pulau Sumatra. Bocah itu tampak berfikir.
"Ini Pulau Suma....." aku coba memancingnya.
"Traaaa...." jawab bocah-bocah Miangas itu sambil tertawa kecil.
"Pinter. Nah, kalau ini apa hayo?" aku menunjuk Jawa. Bocah itu kembali berfikir.
"Ini Pulau Ja..."
"Wa......!" bocah-bocah itu kembali tertawa.

Inilah Indonesia, anak-anakku! Negeri kita yang luas sekali .Kalian tak sendiri. Kalian bagian dari jajaran kepulauan dalam NKRI. Dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Rote.

Inilah Indonesia!

Awan pergi, langit sudah biru. Patung Santiago, pahlawan Sangihe-Talaud itu berdiri gagah di pinggiran dermaga Miangas. Di seberang sana, Tanjung Wora dengan deburan ombaknya. 

 
Patung Santiago

KM Sangiang positif datang siang nanti. Kami packing barang-barang dengan setengah hati. Banyak yang berserak di sini, kenangan di tapal batas Miangas. Tapi kami memang harus pergi...

Sebelum pergi, kami dapat berkah siang ini. Ada kiriman Laluga dari Mama Yulce yang tinggal di seberang Pustu. Akhirnya bisa mencicipi makanan pokok khas Miangas ini setelah ngidam beberapa hari! Makasih, Mama! 



Laluga (sebelah kanan), makanan pokok khas Miangas

Tim Nusantara Sehat mengantarkan kami ke Pantai Racuna untuk menunggu KM Sangiang. Siang yang terik sekali di pantai ini. Penduduk Miangas sudah banyak yang berkumpul. Kedatangan dan kepergian kapal seperti menjadi hiburan tersendiri bagi warga perbatasan. Banyak juga calon penumpang yang akan naik kapal KM Sangiang. Anggota TNI, pegawai dinas perikanan, kepala bandara, bahkan pak camat juga. 

KM Sangiang hanya  mengapung di seberang sana. Orang-orang Miangas bilang, Sangiang adalah kapal sombong yang tak pernah mau bersandar di dermaga. Para penumpang harus menggunakan perahu kecil dulu baru kemudian ditransfer ke atas kapal. Setelah sampai di atas Sangiang, aku baru tahu alasan kenapa kapal itu tak pernah bersandar. Hal itu disebabkan di dermaga Miangas tidak tersedia fender yaitu bumper yang digunakan untuk meredam benturan yang terjadi pada saat kapal akan merapat ke dermaga atau pada saat kapal yang sedang ditambatkan tergoyang oleh gelombang atau arus yang terjadi di pelabuhan. Tidak adanya fender akan berpotensi mengakibatkan badan kapal menghantam beton-beton dermaga

Kami adalah kloter kertiga penumpang yang ditransfer mengunakan perahu karet milik TNI-AL. Aris dan Ari mengantarkan, ikut dalam perahu. Walah, akses masuk KM-Sangisng itu tinggi sekali, sekitar lima meter mungkin tingginya. Kami harus memanjat pilot ladder/tangga monyet untuk sampai ke atas. Aduh, gimana kalau aku terpeleset lalu kecebur kemudian tersangkut propeller kapal. Parno kan jadinya? Hmm, bismillah! Fokus, pelan-pelan! Layaknya sebuah film action yang menegangkan dengan backsound ala-ala OST Mission Impossible, kami naik satu persatu.

Hah! Akhirnya kami sampai semua di atas KM Sangiang dengan selamat sentosa! Kami lambaikan tangan ke Aris dan Ari, lambaian tangan juga untuk pulau Miangas. Kami duduk di port side agar Miangas tetap kelihatan dalam pandangan. Tapi pelan, kapal ini semakin jauh meninggalkan pulau itu. Miangas semakin tidak terlihat. Ia berlalu, tapi tetap menyisakan banyak cerita.

 
Saat di KM Sangiang, ini Miangas dalam satu jepretan terakhir

Terima kasih tak terhingga untuk Tim Nusantara Sehat yang bertugas di Miangas: Aris, Ari, Amel dan Fida. Bersama kalian, trip kami di Miangas ini menjadi lebih berwarna dan bukan sekedar pencapaian mimpi egoisme semata. Juga Mbak Diah (Tim NS dari Jakarta) yang telah menghubungkan kami dengan Tim NS Miangas, seluruh warga Miangas serta Pak Aso & the gank di KM Meliku Nusa. 

Tak ada gunung tinggi di ujung utara negeri, 
Pun pantai-pantai indah seterkenal Bali. 
Tapi selalu ada senyum dan tawa tulus 
Juga asa yang yang tak pernah putus.
Deru nasionalisme itu menggebu
Tetaplah menjadi Indonesia, Miangasku! 

Yau Mapurete! Salam NKRI Harga Mati!

------------------------------------------

Budget :
1. Tiket KM Meliku Nusa (Tahuna - Misngas) = Rp. 40.000/orang
2. Sewa kamar di KM Meliku Nusa (Tahuna - Lirung) = Rp. 1.000.000,-/kamar
3. Tiket KM Sangiang (Miangas - Lirung) = Ro. 85.000,-/orang
4. Sewa kamar di KM Sangiang (Miangas - Lirung) = Rp. 500.000,-/kamar