Wednesday, December 27, 2017

Menjejak Timor Tengah Selatan (Bag.2): Nyanyi Sunyi Fatumnasi

"Kuda-kuda bercengkerama di padang savana hijau
Sementara angin pagi menghantar kembali ingatan lampau
Kata orang, rindu adalah kesengsaraan yang syahdu
Dan aku sedang menikmati itu..."

-------------------------------------------------------------

11 Januari 2017

Selamat pagi, Kota Soe! Kamu tak sedingin yang kukira. Soe, Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur ini dikenal dengan sebutan Kota Dingin karena hawanya terkenal dingin dan cukup kontras jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Pulau Timor yang identik memiliki cuaca panas dan kering. Sekitar jam 7 pagi, selesai sarapan, Om Demus (driver mobil yang kami sewa) datang menjemputku, Kakak Dame dan Kakak Jane ke hotel tempat kami menginap di  Kota Soe. Masih dengan mobil APV yang kaca depannya retak setelah kena lemparan batu dalam perjalanan ke Bandara El Tari Kupang kemarin. Oke, sekarang kami bersiap menuju Fatumnasi, sebuah desa di Kaki Gunung Mutis, masih di Kabupaten Timor Tengah Selatan alias TTS.

Jarak dari Kota Soe menuju Desa Fatumnasi sekitar 40-an kilometer. Kami melintasi kota yang pagi itu telah memulai geliatnya. Perkampungan demi perkampungan, tentu saja dengan pemandangan khas Timor, yaitu rumah-rumah bulat atau Uma Bubu. Uma Bubu adalah rumah khas Timor yang terbangun dari papan dan beratapkan daun gewang. Seperti dalam perjalanan kemarin, Om Demus ini juga  serasa tak ada habisnya bercerita tentang tanah  timor.

Tuesday, August 08, 2017

Menjejak Timor Tengah Selatan (Bag.1): Pantai Oetune, Kolbano dan Suku Boti

"Well, hello there restless wind
It's been a long time since you've blown through these streets
I really don't mind
If you pick me up of my feet
Just one last time
And take me where you've gotta go..."

(Restless Wind by Passenger)

----------------------------------------------

Tahun berganti dan saatnya "berjalan" lagi. Kembali ke Nusa Tenggara Timur, propinsi dengan bentang alam dan budaya yang eksotis sekali. Kali ini aku mbolang bertiga bareng Kakak Dame dan Kakak Jane menuju Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di Pulau Timor.


Mari kita terbang, ke Kupang!


10 Januari 2017

Hai, Kupang! Aku dan Dame datang lagi setelah tiga tahun berlalu. Dan Kupang, tentu saja masih panas. Jane yang sudah sampai di Kupang sejak kemarin, menjemput kami di Bandara Eltari bersama Om Demus, driver mobil yang kami sewa. Tujuan utama kami sebenarnya menuju Desa Fatumnasi, desa di kaki Gunung Mutis. Mengingat lagi males ribet dan bakal memakan waktu lama jika naik transportasi umum, maka kami sepakat untuk rental mobil saja dengan share cost dibagi bertiga. Yeah, kami lagi pengen traveling dengan cara sedikit santai, tinggal duduk manis di dalam mobil.

Sebelum "mendapatkan" Om Demus sebenarnya kami sudah mengkontak beberapa rental mobil di Kupang. Harganya cukup fantastis apalagi hampir semuanya bilang bahwa jalan ke Fatumnasi rusak parah dan hanya bisa dilalui dengan mobil jenis 4WD. Tahu sendiri harga sewa mobil tipe gituan mehongnya minta ampun. Big no no deh! Untungnya Jane dapat info dari temennya di Kupang untuk menggunakan rental Om Demus saja. Harganya miring. Bukan mobil 4WD sih, melainkan mobil APV. Om Demus memang belum pernah ke Fatumnasi, tapi we'll see! Yang penting kan the man behind the wheel-nya, haha! Walaupun ketika kami lihat mobil APV Om Demus, sempet berdecak kagum sebentar karena kaca depan bagian passenger retak. Kaca depan mobil tersebut kena lemparan batu di dekat hutan saat perjalanan ke bandara katanya.  Waduh! Heuheu, semoga aman perjalanan ini, dan kacanya kagak rontok di tengah jalan ;p


Begini nih kondisi kaca mobilnya Om Demus :-(

Kami tak langsung menuju Fatumnasi, tapi mampir ke tempat wisata lain yang bisa didatangi seharian ini. Om Demus yang sudah biasa membawa tamu di seputaran Kupang dan Timor Tengah Selatan (TTS), menyebutkan beberapa nama-nama tempat yang bisa kami singgahi.

"Kita menyisir bagian timur dulu. Ke Pantai Oetune"

Monday, August 07, 2017

Ibukota, Malam Ini




Ada Jakarta hari ini
Ada bulan penuh malam ini
Kunyalakan lagi kenangan tentangmu
Tentu saja atas nama rindu

Rindu yang sederhana
Rasa yang tersisa di ujung senjakala
Tapi kadang rinduku memang terlalu
Seperti si pungguk yang tak tahu malu

Apa kabarmu, rembulanku?
Kau yang tak terjangkau
Kau yang semakin jauh,
dan tak tersentuh...

(Jakarta, 5 Agustus 2017)

Tuesday, July 11, 2017

"Pembangunan" Ini Punya Siapa?

Sejatinya, saya ingin tulisan-tulisan dalam blog ini "jauh-jauh" dari urusan politik walaupun tentu saja saya punya preferensi dalam hal pilihan politik. Lebih enak nulis tentang puisi galau atau cerita perjalanan ala-ala saya. Tapi terus terang ngilu tangan saya untuk, tidak menuliskannya. Sejak Pilpres 2014 lalu, negeri ini memang "terkubu" menjadi dua bagian. Hingga sekarang, rasanya susah untuk kembali "normal" seperti dulu baik di dunia nyata apalagi dunia maya. Dampaknya ternyata kronis sekali. 

Kali ini aku cukup "tersentil" dengan sebuah tulisan panjang kali lebar yang muncul di timeline media sosial yang membahas tentang "pembangunan". Sejak Jokowi menjabat, berita hingar-bingarnya pembangunan memang marak dilakukan terutama di luar Jawa. Klaim tentang siapa sebenarnya "pemilik pembangunan" itu tiba-tiba membahana seantero jagad raya. Kemudian muncul komentar miring bahwa sebenarnya pembangunan tersebut sudah digagas dan direncanakan sejak era-era sebelumnya, komentar bahwa proyek di era sebelumnya yang mangkrak ataupun pendapat bahwa jika cuma menggagas semuanya pasti bisa tapi yang sulit adalah mengeksekusi rencana tersebut.

Wednesday, July 05, 2017

Tentangku dan mu




Di luar sedang sedang hujan
Kupandang derasnya dari balik jendela kaca
di sebuah kedai tua

Kau nyalakan rokok
batang yang kedua
Kugambar wajahmu
diantara kepulan asapnya
Lalu kulukis tanda cinta
di atas kopi tanpa gula

Bermimpi tentang masa depan
kita yang bahagia
Mungkin...

(Jakarta, 1 Juli 2017)

Monday, July 03, 2017

Bersua Lembah Besoa

"Rinduku sedang bertandang ke masa lalu
Mengais remah-remah kenangan tentangmu
Apakah kamu masih semegah dulu?
Saksi bisu kejayaan negeriku..."

-----------------------------------------

11 Desember 2016

Pak Ronald, driver mobil yang kami sewa, menjemput kami berlima (aku, Kakak Dame, Rifki, Kirey dan Yuji) di Hotel Buana Palu Sulawesi Tengah, tempat kami menginap. Mobil langsung diarahkan ke Bandara Mutiara SIS Al-Jufrie untuk menjemput Kakak Ester yang baru tiba pagi ini dari Jakarta. 

Okay, kini formasi lengkap sudah. Cuss meluncur ke Lembah Besoa yang merupakan kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Seharusnya peserta trip ini ada tujuh orang. Tetapi Rudi mengundurkan diri di menit-menit terakhir. Atit dia, wkwk! Cepet sembuh ya, Rud. Tapi beruntung juga sih Rudi nggak ikut sehingga satu seat di dalam mobil ini bisa menjadi tempat carrier-carrier kami yang numpuk. Eh, sebenarnya carrier Rifki dan Kirey doang sih yang bikin penuh. Entah apa yang dijejalkan ke dalamnya. Mungkin segepok cita-cita bahwa sehabis dari Taman Nasional Lore Lindu mereka berdua akan lanjut backpackeran ke Sulawesi Selatan. Tapi sekali lagi, ini baru cita-cita lho ya.

By the way, areal Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) itu sebenarnya luas sekali, mencakup dua kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah, yaitu Kabupaten Sigi dan Poso. Kawasan ini dipenuhi hutan warisan alam dengan keanekaragaman flora dan fauna endemiknya. Tak hanya itu, TNLL juga menawarkan wisata budaya adat istiadat masyarakat lokal serta situs-situs megalitik yang berserak di Lembah Bada, Lembah Napu dan Lembah Besoa.

Sunday, June 18, 2017

Sejenak di Luwuk

"And the earth becomes my throne
I adapt to the unknown
Under wandering stars I've grown
By myself but not alone
I ask no one
................
Anywhere I roam
Wherever I lay my head is home"

(Wherever I May Roam - Metallica)

--------------------------------------

Aku dan Kakak Dame (my partner in crime, untuk kesekian kali) punya tiga hari free sebelum bergabung dengan Ester, Kirey, Yuji dan Rifki jelong-jelong ke Taman Nasional Lore Lindu di Poso Sulawesi Tengah. Tapi malah bingung mau kemana. Tercetus banyak ide, tapi kemudian lewat begitu saja. Baru nyaris di injury time, kami memutuskan untuk pergi ke Kota Luwuk Kabupaten Luwuk-Banggai Sulawesi Tengah. Ini kota yang paling memungkinkan kami kunjungi karena memiliki jadwal direct flight ke Palu, tempat meeting point kami nanti dengan teman-teman sebelum berangkat bareng ke TN Lore Lindu. So, the backpacks are packed and we ready to go! 

8 Desember 2016

Berangkat dari Jakarta dan transit di Makassar. Ada kejadian yang cukup memalukan saat kami transit selama kurang lebih empat jam di Bandara Sultan Hasanudin Makassar. Saking capeknya, aku dan Dame terkapar di kursi ruang tunggu bandara. Meski tepar, sejatinya telinga kami masih bisa menyimak pengumuman dari petugas bandara. Tapi entah apa yang terjadi pada subuh pagi itu...

"Panggilan terakhir, panggilan terakhir untuk penumpang atas nama Dame Sianipar dan Lena Viyantimala, penumpang pesawat Garuda Indonesia tujuan Luwuk....." 

Aku dan Dame saling berpandangan. Apa? Kagetlah pastinya! Apakah kami begitu teparnya sehingga ketinggalan berita boarding bahkan sampai dipanggil-panggil begini? Setengah berlari kami menuju gate sesuai boarding pass, sambil tak henti tertawa. 

Sekitar jam 08.30 WITA, akhirnya kami mendarat di Bandara Syukuran Aminuddin Amir di Luwuk Sulawesi Tengah. Selamat datang di Kota Luwuk Berarir alias Bersih, Aman, Indah dan Rapi, ibukota Kabupaten Luwuk Banggai, kota yang berjarak sekitar 600-an KM lebih dari Palu, Ibukota Sulawesi Tengah. 

Thursday, April 06, 2017

Menyapa Sang Bisma

"Lampu-lampu mulai padam
Menyisakan kenangan tentang malam
Gunung kembali ramai, kopi menyala
Adakah kamu di sana?


Langit keemasan mengusir gelap
Angin menghempas pucuk ilalang yang meriap
Pagi ini, masih bolehkah aku menyapamu? 
Meskipun kutahu kau takkan pernah menjawabku..."



19 November 2016

Nyaris subuh, saat sleeper bus yang kami tumpangi akhirnya tiba di Taman Plasa Wonosobo. Yes, sleeper bus, guys! Bis yang nggak pakai bangku melainkan tempat tidur dan sukses membuatku nyenyak tidur sepanjang perjalanan Jakarta-Wonosobo. Ester dan Cula tampaknya juga merasakan sensasi serupa. Tak salah jika kita bertiga bela-belain mencoba naik moda transportasi yang baru beberapa bulan dilaunching ini. 

Setelah tiga keril segede-gede gaban dikeluarkan dari bagasi bis, kami segera meluncur ke rumah Desi di daerah Mangli dengan ojek yang mangkal di sekitaran taman. Desi adalah host kami selama berada di Wonosobo.

Bang Harley menyambut kami di depan kolam renang Mangli yang berada tak jauh dari rumah Desi. Bang Harley, Mbak Toots dan TJ sudah duluan sampai sejak dinihari tadi. Hey, salam kenal ya semuanya! Plus Desi, maka kami lengkap bertujuh sekarang dan bersiap mendaki satu gunung di Wonosobo.

Wonosobo bukan hanya Prau, bukan cuma Sikunir, karena di sana juga ada Bisma. Gunung Bisma. Gunung Bisma yang terletak di dataran tinggi Dieng dengan ketinggian sekitar 2365 mdpl. Kami akan mendaki gunung itu, pagi ini.

Berangkat sekitar jam 8 pagi lebih, kami mencarter angkot menuju Desa Sikunang di Kecamatan Kejajar. Dari Sikunang, pendakian Gunung Bisma akan dimulai. Ternyata jarak dari Mangli ke Sikunang cukup jauh, aku bahkan terlelap nyaman di angkot. Bangun-bangun, angkot yang kami tumpangi sedang melewati jalan raya di depan sebuah perusahaan panas bumi yang ada di Dieng ini.

Tuesday, March 14, 2017

Menembus Hulu Mahakam (Bag. 2): Desa Long Apari, Tapal Batas Negeri

"They say home is where the heart is
But my heart is wild and free
So am I homeless?
Or just heartless?
Did I start this? Did it start me?"
(Home - Passenger)

11 Oktober 2016

Selasa pagi di Desa Tiong Bu'u. Suara mesin kapal berderu satu per satu. Sungai Mahakam memulai kehidupannya.

Jam 7 pagi, Waktu Indonesia Tengah. Selesai sarapan di warung Ibu Saleh di sebelah penginapan, kami segera menuju dermaga di belakang penginapan. Seperti kesepakatan dengan Pak Suadi (motorist ketinting alias Ces) dan Mas Ali kemarin, pagi ini mereka akan menjemput kami menuju Desa Long Apari.


Ibu-ibu siap pergi menuju ladang

Wadah cantik tempat sirih pinang

Thursday, February 16, 2017

Menembus Hulu Mahakam (Bag. 1) - Menantang Jeram Menuju Tiong Ohang

"There are places I'll remember
All my life, though some have changed.
Some forever not for better
Some have gone and some remain
All these places have their moments..."
(In My Life - The Beatles)

------------------------------------------------

Ternyata terlalu banyak desnitasi impian. Ini salah satu dari sekian banyak itu, menyusur Sungai Mahakam hingga ke hulu.

Sungai Mahakam merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Propinsi Kalimantan Timur yang bermuara di Selat Makassar. Sungai sepanjang 920 KM ini melintasi Kabupaten Mahakam Ulu di bagian hulu hingga Tenggarong dan Samarinda di bagian hilirnya. Ia menjadi sumber air, sumber makanan (perikanan) dan menjadi parasarana transportasi bagi kehidupan masyarakat sekitar.

Berdasarkan informasi, ada beberapa cara menuju Kabupaten Mahakam Ulu. Bisa menggunakan kapal kayu besar dari Samarinda atau Melak, dapat juga menggunakan speedboat dari Pelabuhan Tering. Alternatif lainya adalah menggunakan transportasi udara yaitu Susi Air dari Bandara Melak ke Data Dawai (tapi susah medapatkan tiket penerbangan perintis semacam ini). Maka dengan mempertimbangkan berbagai alasan, maka kami memilih menggunakan speedboat dari Pelabuhan Tering di Kutai Barat sebagai titik awal perjalanan menyusuri Sungai Mahakam. 

Terus terang ini adalah perjalanan tanpa itinerary, males bikin dan informasi yang terbatas. Tiket pulang ke Jakartapun belum dibeli. Jika semesta mengizinkan, cita-cita kami adalah menjejakkan kaki sampai ke Desa Long Apari, desa paling ujung di hulu Sungai Mahakam yang "nyaris" berbatasan dengan Malaysia. Kita lihat saja nanti. Lagi-lagi my partner of crime dalam trip ini adalah the one and only...Dame!